Di awal bulan suci Ramadhan, menjelang Iedul Fitri hingga sesudahnya, ummat muslim dan masyarakat luas di Indonesia saling berbagi ucapan dan ungkapan melalui SMS, email, telepon atau disampaikan pada saat bertemu langsung. Akan tetapi ternyata banyak yang kurang memahami apa makna berbagai macam ucapan dan ungkapan tersebut serta dari mana asal usulnya. Jadi kebanyakan cuma ikut-ikutan saja atau demi sopan santun. Sehingga kadangkala menjadi kurang tepat penggunaannya.
Misalnya, ketika memasuki bulan suci Ramadhan biasanya orang mengucapkan “marhaban ya ramadhan” yang merupakan ungkapan yang berasal dari bahasa arab artinya “selamat datang bulan suci Ramadhan”. Kalau di luar negeri, biasanya ditambahkan “ramadhan mubarak” yang artinya “bulan yang penuh berkah”. Jadi kalimat ini diucapkan dengan tujuan untuk saling berbagi suka cita menyambut kedatangan bulan suci yang penuh berkah dan biasanya diikuti ungkapan ajakan untuk berlomba dalam kebaikan.
Sebagian orang, yang mungkin lebih mengerti, memilih mengucapkan kalimat yang lebih panjang di awal dan akhir bulan Ramadhan, yaitu “allahumma taqobbal minna shiyamana, wa qiyamana, wa sujudana, wa tilawatana, wa shodaqona. Taqobbalallahu minna wa minkum kullu aamin wa antum bi khoir” yang artinya “semoga Allah SWT membalas amal ibadah kita-saya dan anda (puasa, sholat malam, sujud, tilawah AL Qur’an, shodaqoh, dll.) dengan balasan yang baik”.
Atau mengucapkan versi singkatnya “taqobbalallahu minna wa minkum” yang artinya “semoga Allah SWT menerima (amal ibadah) aku dan kalian”. Kalimat ini sering diucapkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Beberapa sahabat menambahkan ucapan ini dengan kalimat “shiyamana wa shiyamakum” yang artinya “puasaku dan puasa kalian”. Artinya ini adalah doa agar amal ibadah, terutama puasanya diterima Allah SWT.
Ungkapan Khas Indonesia
Namun ada beberapa ungkapan hanya khas dikenal di Indonesia saja (tidak dimengerti ummat muslim di negara lain). Yang paling populer adalah kalimat “minal ‘aidin wal faizin” walau berasal dari kata-kata dalam bahasa arab, namun di arab sendiri kalimat ini tidak dipahami. “Minal ‘aidin” artinya secara bebas adalah “golongan yang kembali” dan kalimat “wal faizin” artinya “golongan yang menang”. Sehingga makna ungkapan tersebut adalah doa “semoga kita semua termasuk golongan yang kembali (fitrah, suci seperti bayi) dan termasuk orang yang meraih kemenangan (melawan hawa nafsu selama bulan suci Ramadhan)”. “Minal ‘aidin wal faizin” biasanya diawali dengan kata “ja’alanallah” sehingga menjadi “ja’alanallahu minal ‘aidin wal faizin”. Artinya kurang lebih, semoga Allah menjadikan kita termasuk (golongan) orang-orang yang kembali (fitrah) dan menjadi pemenang.
Jadi, ungkapan ini merupakan budaya lokal Indonesia yang diyakini sudah cukup lama berkembang di masyarakat. Akan tetapi ternyata masih cukup banyak salah kaprah yang mengartikan “minal ‘aidin wal faizin” sebagai ucapan “mohon maaf lahir dan batin” dalam bahasa arab. Itupun penulisan transliterasinya juga sering salah ejaan misalnya kata “‘aidin” ditulis “aidzin” (dengan huruf arab “dzal” bukan “dal”) serta kata “faizin” ditulis “faidzin” dimana perbedaan satu huruf saja akan mengakibatkan perbedaan makna. Bisa dimaklumi, mungkin mereka yang tidak mengetahui ini merasa malu bertanya apa arti sebenarnya dan bagaimana cara penulisannya yang benar, karena ungkapan ini sudah sangat umum, memasyarakat dan sering digunakan dimana-mana. Kalau bertanya kok kesannya memalukan sekali, masa tidak tahu? Demikian kira-kira penyebab salah kaprah yang terus berlanjut ini
Penggunaan kalimat “minal aidin wal faizin” yang lebih sesuai makna seharusnya adalah sebagai kalimat penutup ucapan yang lebih lengkap di akhir bulan puasa: “taqabbalallahu minna wa minkum wa ja’alanallahu minal ‘aidin wal faizin” yang artinya “Semoga Allah menerima amalan-amalan yang telah saya dan anda kerjakan dan semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang kembali kepada fitrah dan orang-orang yang mendapatkan kemenangan”.
Halal bi Halal
Ungkapan lain yang juga hanya bisa dipahami oleh orang Indonesia adalah istilah “halal bi halal”. Meskipun ungkapan ini menggunakan bahasa arab, namun justru tidak dapat dimengerti oleh orang arab. Karena dari segi tata bahasa arab tidak dikenal susunan kata yang semacam ini, mirip seperti kasus ungkapan “minal ‘aidin wal faizin” yang oleh sebagian ulama dikatakan: mungkin asalnya adalah ungkapan dalam bahasa lokal yang dibahasa-arab-kan. Arti “halal bi halal” kurang lebih adalah “halal bertemu halal”. Asal usul frasa ini pun ada banyak versi dan setiap daerah di Indonesia nampaknya punya sejarah masing-masing yang berbeda.
Kalangan pesantren dan kaum santri misalnya mengatakan bahwa bersama dengan ucapan ini, kedua belah pihak sepakat untuk saling menghalalkan segala sesuatu yang semula haram diantara mereka. Atau dalam bahasa yang sederhana “saling memaafkan satu sama lain”. Ungkapan ini dianggap sangat tepat untuk mewakili budaya saling memaafkan sepanjang bulan Syawwal (setelah bulan Ramadhan). Karena agama Islam mengajarkan bahwa pada bulan suci Ramadhan semua dosa diampuni Allah SWT kecuali dosa kepada sesama ummat manusia.
Sehingga di bulan Syawwal banyak dilakukan ritual budaya “halal bi halal” yaitu berkumpulnya handai taulan untuk saling memaafkan yang umumnya diselenggarakan melalui acara yang dirayakan secara besar-besaran mengundang sebanyak-banyaknya kerabat atau kelompok-kelompok pergaulan masyarakat. Bahkan bagi kalangan pejabat/pemimpin/tokoh masyarakat dikenal istilah “open house” dimana setelah sholat Iedul Fitri para pemuka masyarakat dan seluruh anggota keluarganya bersiap diri di rumah untuk menerima kunjungan anak buah, relasi dan masyarakat umum. Tujuannya sekedar bersalam-salaman, bermaaf-maafan dan kadang-kadang juga sambil memberikan sedekah sehingga bisa menimbulkan kemacetan luar biasa
Di arab sendiri dan masyarakat Islam lain di berbagai belahan dunia, budaya dan ritual yang mirip dengan “halal bi halal” seperti di Indonesia hanya dilakukan di lingkungan keluarga besar saja serta tidak diacarakan secara khusus yang melibatkan banyak orang bahkan massa.
Sebenarnya menurut hukum syariat, pemaknaan “halal” dan “haram” di dalam hubungan kemasyarakatan ini kurang tepat. Karena sesuatu yang diberikan maafnya itu belum tentu adalah hal yang haram. Misalnya perbuatan khilaf belum tentu adalah haram sehingga perlu dihalalkan. Penggunaan istilah “halal bi halal” ini nampaknya lebih cenderung karena alasan budaya daripada syariat (hukum). Kemungkinan asalnya diilhami ritual “bersalaman” dalam prosesi “akad nikah” yang kemudian diikuti dengan kata “halal”. Sehingga sekarang ini kegiatan “halal bi halal” selain menjadi momentum untuk saling memaafkan, juga identik dengan aktivitas saling bersalam-salaman.
Kelompok masyarakat yang lebih awam umumnya mengartikan “halal bi halal” ini sebagai “saat menikmati segala yang semula diharamkan di siang hari (selama bulan suci Ramadhan) dan merayakan bersama handai taulan sambil kita saling memaafkan” yaitu makan, minum, ber-jima’ antara suami isteri. Jadi ungkapan pendek itu ternyata artinya bisa jadi panjang juga
Dari segi budaya, “halal bi halal” dimaknai sebagai kesempatan untuk silaturahim, saling memaafkan dan mempererat pertalian kekeluargaan serta kekerabatan yang ini diyakini akan mampu menciptakan keharmonisan dan meningkatkan kerukunan diantara sesama di dalam masyarakat. Upaya ini mudah dipahami karena suku bangsa Indonesia memang amat erat persaudaraannya. Sehingga momentum “halal bi halal” dipandang sebagai suatu tuntunan ajaran agama, bagian dari ritual sekaligus sarana melestarikan budaya.
Salah Kaprah
Istilah “silaturahim” sendiri paling sering digunakan pada momentum Iedul Fitri ini. Akan tetapi masih banyak orang justru salah kaprah dalam menyebutkannya menjadi “silaturahmi” yang ternyata makna kalimatnya menjadi berbeda jauh. Istilah “silaturahim” berasal dari kata dalam bahasa arab “silah” yang artinya “menyambungkan” dan “rahim” yang artinya “kasih sayang dan pengertian”. Sehingga kalimat “silaturahim” maknanya adalah “menyambungkan kasih sayang dan pengertian”.
Ini sangat berbeda dengan makna kata “silah” yaitu “menyambungkan” dan “rahmi” yang ternyata artinya “rasa nyeri pada saat seorang ibu hendak melahirkan”. Lha, kan ternyata tidak nyambung dengan maksud penggunaan kalimat ungkapan ini untuk menggambarkan aktivitas saling berkunjung untuk mempererat tali persaudaraan dan kekerabatan. Padahal justru istilah salah kaprah “silaturahmi” ini terlanjur lebih populer di tengah masyarakat
Mirip dengan salah kaprah penyebutan istilah “muhrim” untuk lawan jenis yang haram dinikahi. Padahal arti kata “muhrim” dalam bahasa arab adalah “orang yang mengharamkan (sesuatu yang sebenarnya halal, misalnya ber-jima dengan suami atau isteri)” dimana ini biasanya terjadi pada orang yang sedang mengenakan pakaian “ihram” alias yang sedang melaksanakan ibadah umrah atau haji. Istilah yang benar adalah “mahram” yang artinya “orang yang diharamkan (untuk dinikahi – menurut syariat)”. Salah satu hadist terkenal yang menggunakan istilah ini adalah “dilarang berduaan bagi pria dan wanita yang bukan mahram”. Konon di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah kaprah ini tidak (belum) diperbaiki sehingga kata “muhrim” dan “mahram” tetap diartikan sama yaitu “orang yang haram dinikahi”, padahal sebenarnya arti kedua kata tersebut berbeda.
Konon salah kaprah ini terjadi karena masalah perbedaan dialek. Rumpun bahasa melayu termasuk bahasa daerah Sunda dan Jawa yang cukup kuat pengaruhnya di tengah masyarakat, sulit di dalam mengucapkan kata-kata arab. Sehingga kata “silaturahim” dan “mahram”, karena dialek, berubahlah menjadi “silaturahmi” dan “muhrim” yang tanpa sengaja ternyata di dalam bahasa arab ada artinya juga dan berbeda makna.
Tetapi ternyata salah kaprah bukan hanya terjadi akibat penggunaan istilah serapan bahasa asing ataupun lokal, melainkan juga terjadi pada Bahasa Indonesia yang baku. Misalnya orang sering menyampaikan ucapan “Selamat hari raya Iedul Fitri”. Sebenarnya ini salah, karena yang seharusnya diberi selamat adalah “perayaannya” bukan “hari-nya”. Sehingga pengucapan yang benar adalah “Selamat (merayakan) Iedul Fitri” atau kalau di hari besar agama lain, misalnya Natal (Nasrani), adalah “Selamat (merayakan) Natal”. Kalau di hari ulang tahun adalah “Selamat ulang tahun”. Konon salah kaprah ini pernah dikoreksi oleh Pak Anton Mulyono pakar Bahasa Indonesia di TVRI sekitar 20 tahun yang lalu
Ada salah kaprah yang lainnya berkaitan dengan anjuran menyegerakan berbuka puasa, sebagaimana dijelaskan oleh Pak Hidayat Nur Wahid. Yang pada intinya, Rasulullah SAW memang manganjurkan agar segera berbuka puasa (biasanya dengan beberapa biji kurma dan air yang kadang diberi madu) sedang ketika sahur justru sebaiknya lebih lambat, yaitu menjelang waktu subuh. Akan tetapi, ucapan segera berbuka puasa itu bukan dengan ungkapan “batalkan dulu puasanya”. Karena ternyata niat “batal puasa” dengan “berbuka puasa” itu berbeda makna dan juga implikasi hukumnya. Sekalipun sudah masuk waktu berbuka puasa, tetapi kalau niatnya membatalkan puasa, maka bisa jadi batal sungguhan puasanya! Wah, padahal maksudnya adalah ingin menyegerakan berbuka puasa. Kan rugi? Jadi, istilah yang tepat untuk menganjurkan segera berbuka puasa adalah ungkapan “ayo segera berbuka puasa” bukan “batalkan dulu puasanya”.
Mengingat ternyata ada banyak salah kaprah, maka harus lebih hati-hati agar ibadah kita sempurna.
Dalil Rujukan
Kegiatan “halal bi halal” ini kemudian oleh para ulama diberikan rujukan dalil di dalam Al Quran sebagai landasan ritual budaya yang sudah mendarah daging di tengah masyarakat Indonesia tersebut. Bahkan bukan hanya menjadi monopoli ummat muslim, karena ummat agama lain juga akhirnya memanfaatkannya untuk meningkatkan dan menjaga kerukunan serta keharmonisan
Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab salah satu ayat yang sering dijadikan landasan “halal bi halal” adalah “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam) berbuat kebaikan”. (Q.S. 2:148). Titik tekan ayat di atas adalah pada berbuat kebaikan dan perilaku berorientasi nilai. Perilaku semacam ini akan mentransformasi dunia menjadi sebuah surga. Firman Allah (SWT), “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang yang meminta-minta ; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat ; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, benar (imannya) ; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. 2:177).
Berangkat dari makna “halal bi halal” tersebut, pesan universal Islam untuk selalu berbuat baik, memaafkan orang lain dan saling berbagi kasih sayang hendaknya tetap menjadi warna masyarakat Muslim Indonesia. Akhirnya, Islam di wilayah ini adalah Islam yang “rahmatan lil alamiin (rahmat bagi seluruh alam semesta)”.
Selanjutnya Prof. Dr. Quraish Shihab menerangkan dalam bukunya Lentera Hati:
Makna bentukan kata yang berasal dari “halal” antara lain berarti “menyelesaikan masalah, meluruskan benang kusut, melepaskan ikatan dan mencairkan yang beku”. Maka “halal bi halal” diterjemahkan sebagai kegiatan untuk “meluruskan benang kusut, menghangatkan hubungan yang beku sehingga cair kembali, melepaskan ikatan yang membelenggu, serta menyelesaikan masalah yang menghalangi terjalinnya keharmonisan hubungan”.
Demikianlah hubungan antar manusia, masalah bisa timbul karena kita lama tidak berkunjung atau bertegur sapa kepada seseorang, atau ada sikap adil yang kita ambil namun menyakitkan orang lain atau timbul keretakan hubungan dari salah paham akibat ucapan dan lirikan mata yang tidak disengaja. Kesemuanya ini, tidak haram menurut pandangan hukum, namun perlu diselesaikan secara baik.
Itulah makna serta substansi “halal bi halal” atau jika istilah tersebut enggan kita gunakan, katakanlah bahwa itu merupakan hakikat Iedul Fitri, sehingga semakin banyak dan seringnya kita mengulurkan tangan dan melapangkan dada dan semakin parah luka hati yang kita obati dengan memaafkan, maka semakin dalam pula penghayatan dan pengamalan kita terhadap hakikat “halal bi halal”. Bentuknya memang khas Indonesia, namun hakikatnya sesuai ajaran Islam.
Landasan lainnya yang sering digunakan adalah Al Quran surat Ali ‘Imron ayat 134-135 yang intinya diperintahkan, bagi seorang Muslim yang bertaqwa bila melakukan kesalahan, paling tidak harus menyadari perbuatannya lalu memohon ampun atas kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, mampu menahan amarah dan memaafkan dan berbuat kebajikan terhadap orang lain. Jadi tidak cukup hanya meminta maaf, tetapi harus juga diikuti perbuatan baik yang menyenangkan orang lain secara berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari dan ini berlaku kepada semua ummat manusia bukan hanya sesama muslim sehingga “halal bi halal” adalah tradisi yang merefleksikan Islam sebagai agama toleran yang mengedepankan pendekatan kerukunan dengan semua agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk saling berlomba-lomba dalam kebajikan (fastabiqul khoirot).
Ungkapan Lokal
Nah, kalau semua istilah yang telah dijelaskan tersebut berasal dari bahasa arab dan atau di-arab-arab-kan, bagaimana dengan istilah atau ungkapan yang berasal dari bahasa setempat di berbagai daerah di Indonesia? Ternyata urusannya jauh lebih pelik lagi
Salah satu istilah yang paling populer adalah “lebaran”. Berdasarkan linguistik (ilmu bahasa) ternyata tidak ada keterangan dan rujukan yang baku. Sehingga istilah “lebaran” diterima sebagai ungkapan khusus yang ada begitu saja serta hidup di dalam keseharian masyarakat luas. Kamus Besar Bahasa Indonesia pun mengartikan kata “lebaran” sebagai “hari raya ummat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawwal setelah menjalankan ibadah puasa di bulan sebelumnya (Ramadhan). Hari raya ini disebut dengan Iedul Fitri”, sedangkan “lebaran besar” adalah istilah untuk menandai hari raya Iedul Adha atau disebut juga “lebaran haji”. Tidak ada penjelasan dari mana asal usul kata ini dan apa saja rujukannya dan masyarakat juga tidak terlalu mempedulikannya.
Sebagian kelompok misalnya orang Jawa beranggapan istilah “lebaran” berasal dari ungkapan bahasa Jawa “wis bar (sudah selesai)”, maksudnya sudah selesai menjalankan ibadah puasa. Kata “bar” sendiri adalah bentuk pendek dari kata “lebar” yang artinya “selesai”. Bahasa Jawa memang suka memberikan akhiran “an” untuk suatu kata kerja. Misalnya asal kata “bubar” yang diberi akhiran “an” menjadi “bubaran” yang umumnya menjadi berkonotasi jamak. Kata “bubar” sendiri adalah bentuk populer/rendah dari kata “lebar”. Seperti diketahui Bahasa Jawa mengenal tingkatan bahasa yang berbeda dan berlaku untuk kelompok masyarakat tertentu. Kata “bubar” dan “lebar” maknanya sama, tetapi kata “bubar” digunakan oleh masyarakat awam, sedangkan kata “lebar” digunakan oleh para priyayi (bangsawan), sebagai istilah yang lebih halus/sopan.
Jadi ungkapan “wis bar” bentuk singkat ungkapan “wes bubar” yang berlaku untuk masyarakat awam. Sedang ungkapan “sampun lebar” digunakan oleh golongan masyarakat yang lebih tinggi tingkatan sosialnya. Selanjutnya kata “lebar” diserap ke dalam Bahasa Indonesia dengan akhiran “an”, sehingga menjadi istilah umum yang kita kenal sekarang yaitu “lebaran”. Artinya kurang lebih “perayaan secara bersama dengan handai taulan setelah selesai menjalankan ibadah puasa”
Namun justru sangat jarang orang Jawa memakai istilah “lebaran” ini. Umumnya digunakan istilah “sugeng riyadin” yang artinya “selamat hari raya” sebagai suatu ungkapan sopan/halus dan “riyoyo” yang merupakan bentuk kasar/rendah-nya. Kalau kata kerja jamaknya bisa diduga menggunakan akhiran “an” yaitu “riyoyoan” alias merayakan hari raya. Selain itu ada ungkapan lain untuk menyebut “hari raya” yang maknanya sedikit berbeda yaitu “bada” yang berasal dari serapan bahasa Arab “ba’da” artinya “setelah”. Sehingga “riyoyoan” juga berarti “bada-an” yang bermakna “perayaan setelah berpuasa di bulan suci Ramadhan”. Ucapan “sugeng riyadin” biasanya kemudian diikuti dengan ungkapan permohonaan maaf “nyuwun pangaksami” (halus) atau “nyuwun pangapunten” (kasar) “sedoyo kalepatan” (segala kesalahan). Sedang kalau anak muda biasa to the point “sepurane yo” (maafkan ya).
Artinya ucapan selamat itu tidak berdiri sendiri melainkan segera diikuti ungkapan permohonan maaf yang menunjukkan kuatnya asimiliasi ajaran agama Islam ke dalam budaya perayaan Jawa tersebut. Meskipun ritual bermaaf-maafan, bersalaman, berkumpulnya kerabat dalam jumlah besar di dalam suatu acara khusus semacam “halal bi halal” ini tidak dikenal di arab dan di tempat masyarakat muslim lainnya. Di Indonesia, “halal bi halal” bahkan sudah dimulai sejak masih di lapangan atau masjid setelah sholat Ied. Bahkan sering dengan cara berbaris memutar diantara seluruh jamaah dan disertai mendendangkan syair shalawat “allahumma sholli ala muhammad, ya robbi sholli alaihi wassalim” secara bersama-sama.
Yang banyak menggunakan istilah “lebaran” justru masyarakat Betawi. Menurut mereka, istilah “lebaran” berasal dari kata “lebar” yang maknanya “luas” yaitu sebagai gambaran keluasan hati atau kelegaan setelah keberhasilan menuntaskan ibadah selama bulan suci Ramadhan dan kegembiraan dalam menyambut perayaan hari kemenangan dan karena bersilaturahim dengan sanak saudara dan handai taulan.
Orang Malaysia, ternyata juga menggunakan istilah “lebaran”, tetapi mereka juga tidak tahu dari mana asal usul istilah ini. Apakah karena meniru kebiasaan di Indonesia, ataukah memang ada keterkaitan dengan bahasa dan budaya Melayu? Sampai saat ini tidak ada rujukan, catatan atau bukti memadai yang bisa menjelaskannya.
Yang lucu adalah cerita asal usul kata “lebaran” ini menurut seorang anggota dan peserta diskusi di Detik Forum.
Ceritanya ada 2 orang berlogat Medan sedang ngobrol:
si A : Cam mana ni, makan ta boleh, minum ta boleh, bersetubuh dengan istri sendiri di siang hari tak boleh. Sempit kale kau
si B : tapi selepas bulan ini lebaran lah kau.
Jadi, mungkin arti lebaran menurut orang Medan adalah lebih lebar, lebih bebas, lebih luas.
Saling Memaafkan
Inti ekspresi budaya berupa berbagai ungkapan di atas adalah untuk melaksanakan ajaran agama yaitu agar sesama manusia saling memaafkan. Ternyata yang paling utama menurut tuntunan Rasulullah SAW, saling memaafkan justru dilakukan sesaat sebelum memasuki bulan Ramadhan. Sehingga ketika melaksanakan ibadah puasa dan amalan lainnya di bulan Ramadhan itu hati telah bersih. Itu sebabnya mengapa pentahapan di dalam ritual Ramadhan itu diawali dengan 10 hari pertama yang penuh dengan Rahmat (kasih sayang) dari Allah, karena ummatnya telah saling memaafkan dan menjalin kembali silaturahim serta melaksanakan ibadah itu bersama-sama (serentak) di seluruh dunia. Hal ini menunjukkan kebesaran Allah dan ajaran agama yang mulia ini. Kemudian dilanjutkan dengan 10 hari yang kedua penuh dengan ampunan dan ditutup 10 hari terakhir menuju pembebasan dari siksa api neraka (terutama karena berkah malam “lailatul al qodar” – kebaikan setara 1000 bulan = 83,3 tahun, yang konon kata Rasulullah terjadi pada malam-malam ganjil 10 hari terakhir terutama malam 27 dan 29 Ramadhan).
Pada prinsipnya, ibadah puasa di bulan Ramadhan itu akan dipandang sempurna apabila mampu membangkitkan kepekaan sosial, rasa empati dan kasih sayang terhadap sesama. Dimana semua itu baru bisa terlaksana apabila telah melepaskan diri dari segala penyakit hati berupa kesombongan, benci, dendam, curiga, iri, dengki, hasad, fitnah dan suudzon terhadap sesamanya. Rasulullah SAW menekankan agar di awal Ramadhan segala urusan yang bisa menjadi penyebab penyakit hati seperti hutang piutang agar dapat diselesaikan dengan saling memaafkan sehingga di akhir Ramadhan mampu menutup bulan yang indah ini dengan berbagi bersama fukara masakin, kaum dhuafa dengan mengeluarkan zakat dan merayakan Iedul Fitri bersama-sama seluruh ummat. Sungguh suatu ajaran rangkaian sikap mental dan perilaku yang sempurna.
Qiyamul Lail
10 hari terakhir bulan Ramadhan menyimpan keutamaan dan keistimewaan dibanding 20 hari sebelumnya yang tak tertandingi hikmah dan pahalanya. Rasulullah SAW mengajak ummatnya untuk memperbanyak amalan ibadah dan bahkan meninggalkan duniawi, rumah, isteri, anak, pekerjaan sejenak dilupakan dan digantikan ritual sepenuhnya taqorrub (mendekatkan diri) pada Allah SWT dengan ber’iktikaf (tinggal dan berdiam diri) di masjid sambil memaksimalkan pekerjaan amalan seperti dzikir dan tadarus (mengaji) termasuk sholat sunnah.
Di sejumlah tempat di Indonesia para ulama berinisiatif menyelenggarakan ritual tambahan yang khas dilakukan khusus pada 10 malam terakhir di bulan Ramadhan. Tradisi ritual ini disebut dengan “likuran” yang artinya “dua puluhan” dalam bahasa Jawa atau “maleman” yang artinya ibadah di malam hari. Disebut dengan “maleman” karena inti ibadah tersebut adalah sholat malam (“qiyamul lail”), terutama sholat witir. Ritual ibadah ini dilaksanakan biasanya dimulai pada tengah malam hingga saat menjelang sahur pada malam-malam tanggal ganjil yaitu malam tanggal 21, 23, 25, 27 dan 29 bulan Ramadhan.
Biasanya masjid-masjid yang menyelenggarakan sholat tarawih akan mengumumkan pada setiap malam ganjil tersebut bahwa setelah sholat tarawih tidak dilaksanakan sholat witir seperti biasanya, karena sholat witir akan diselenggarakan tersendiri di tengah malam. Sholat witir ini biasanya akan diawali dengan dzikir bersama, “taklim muawanatul hasanah” (ceramah agama) dan diantara salam antara sholat witir dibacakan doa witir dan dzikir bersama-sama dengan jamaah. Pada umumnya sholat witir ini dilaksanakan sebanyak 11 rakaat, tiap 2 rakaat ditutup salam dan 3 rakaat dengan satu salam di akhir rangkaian dengan membaca surat-surat pendek (Juz Amma). Mirip seperti sholat tarawih. Walaupun ada juga yang melaksanakan dengan jumlah rakaat lebih banyak dan membaca surat panjang hingga meng-khatam-kan Al Quran.
Disarankan bagi jamaah yang sudah terbiasa melaksanakan “qiyamul lail” seperti sholat taubat, tasbih, hajat dan tahajud agar melaksanakannya terlebih dahulu sebelum sholat witir ini. Dan yang lebih seru sebenarnya, setelah sholat witir berjamaah di tengah malam ini kemudian dilanjutkan dengan sahur bersama berlanjut hingga masuk waktu subuh. Terutama kegiatan ini diminati oleh kaum muda. Sehingga 10 malam terakhir ini akan terasa lebih semarak.
Fenomena Mudik
Aktivitas “halal bi halal” dan “lebaran” yang khas budaya Indonesia ternyata juga berkaitan erat dengan histeria massal yang nyaris sama besarnya dengan Iedul Fitri itu sendiri, yaitu MUDIK atau PULANG KAMPUNG. Sebuah kegiatan yang tak ada duanya di dunia ini. Dimana puluhan juta manusia kaum urban, tidak peduli muslim atau abangan atau bahkan non muslim, derajat kedudukan jabatan status sosialnya, kaya maupun miskin, mulai bayi sampai kakek nenek, pada satu periode waktu yang nyaris bersamaan, dengan berbagai cara berduyun-duyun berkunjung ke kampung halaman untuk satu alasan yang sama, berkumpul bersama keluarga, sanak saudara dan handai taulan serta kerabat dan tetangga.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “mudik” artinya “berlayar atau pergi ke udik (hulu sungai)”. Makna keduanya adalah “pulang ke kampung halaman”. Kata “udik” mengandung makna positif, yaitu “bagian atas sungai atau bagian kepala sungai yang dekat sumber mata air, sehingga jernih dan belum terkena polusi”. Sehingga, entah bagaimana istilah “mudik” ini bersesuaian makna dengan filosofi Iedul Fitri yaitu kembali ke “fitri” alias “jiwa yang bersih seperti bayi yang baru lahir”.
Kata “udik” juga kerap dikonotasikan dengan “bebal, bodoh, bego, kampungan” dan beberapa kata negatif sejenisnya. Namun dalam konteks Iedul Fitri pengertiannya yang lebih tepat yang mengandung makna “kejernihan, kebersihan dan kesucian”. Sehingga peristiwa mudik diartikan oleh masyarakat urban sebagai upaya spiritual untuk menyempurnakan kesucian ibadah bulan suci Ramadhan dengan menuntaskan silaturahim dan berkunjung kepada orang tua yang umumnya memang masih tinggal di kampung dan melaksanakan tradisi “sungkeman” yaitu memohon maaf kepada orang tua sambil mencium kaki atau menunduk di pangkuan Bapak dan Ibu sebagai simbolisme seorang bayi yang kembali ke dalam buaian orang tua.
Menurut budayawan Jacob Soemardjo, secara historis, mudik adalah warisan tradisi primordial di Jawa yang sudah ada sejak sebelum berdiri Kerajaan Majapahit untuk membersihkan pekuburan dan doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan untuk memohon keselamatan kampung halamannya yang rutin dilakukan sekali dalam setahun. Ritual ini disebut dengan “nyekar” atau “nyadran” yang artinya kurang lebih adalah “menaburkan bunga sambil berdoa (di atas kuburan orang tua, leluhur atau pemimpin yang dihormati – biasanya ulama atau wali)”. Sejak pengaruh Islam, tradisi ini berangsur terkikis, karena dianggap syirik (kecuali di kalangan sebagian kelompok Islam kultural, tradisi nyekar tetap bertahan dan dilaksanakan di awal bulan Ramadhan dan atau sesaat setelah sholat Ied). Namun semangat pulang kembali ke desa setahun sekali itu tetap lestari dan kembali termanifestasi pada saat momentum mudik Iedul Fitri.
Mudik adalah fenomena realitas sosial budaya dan ekonomi yang walaupun tidak ada dasar di dalam ajaran agama namun seolah telah menjadi ritual wajib. Ajang silaturahim terbesar di dunia yang hanya ada di Indonesia. Bukti nyata bahwa di negara ini azas kekeluargaan tetap hidup lestari walaupun justru sering dinafikan para pemimpin, pejabat dan wakil rakyat demi kepentingan sesaat yang sesat sehingga setiap tahun kita melihat bagaimana negara ini gagal melakukan penataan manajemen untuk melayani para pemudik secara layak, aman, nyaman dan bermartabat. Yang kita lihat selalu hanya keruwetan dan berbagai tragedi kemanusiaan yang seharusnya dapat diantisipasi sehingga tidak perlu terjadi.
Tradisi Munggahan
Selain “nyekar” atau “nyadran” ada suatu tradisi menyambut datangnya bulan suci Ramadhan yang hidup di sebagian masyarakat Jawa Tengah dan terutama Sunda. Ritual ini disebut dengan “munggahan” sebuah ungkapan yang berasal dari kata “unggah” yang artinya “mancat atau naik ke posisi/kedudukan yang lebih tinggi”. Secara etimologis kurang lebih maksudnya adalah perlambang upaya “lelaku” manusia (terutama di bulan suci Ramadhan) untuk mencapai derajat kemuliaan yang lebih tinggi di mata Tuhan .
Di dalam Kamus Umum Basa Sunda (1992), “munggah” berarti hari pertama puasa pada tanggal satu bulan Ramadan “unggah kana bulan anu punjul martabatna” yang kalau ditafsir secara kontekstual bisa berarti bulan yang luhur bermartabat dan harus dipenuhi laku lampah yang bermartabat pula. Sehingga diharapkan, setelah seseorang sukses melalui ibadah di bulan suci Ramadhan, nantinya akan menjadi sifat-sifat baik yang berlanjut di bulan-bulan berikutnya. Menjadi manusia yang bermartabat dan lebih tinggi derajat kemuliaannya.
Tradisi “munggahan” dalam manifestasinya di masa kini dilaksanakan dengan cara menyelenggarakan majelis talim mendengarkan ceramah agama dan tanya jawab sambil berkumpul, makan bersama, silaturahim sambil bermaaf-maafan. Intinya menyiapkan mental untuk menjalani berbagai macam ibadah di bulan suci. Karena itu, biasanya ceramah akan banyak mengupas dan mengulang kembali (sebagai pengingat) sisi syarat dan rukun peribadatan, filosofi dan fadlilah-nya. Mulai dari puasa itu sendiri, sholat tarawih, witir, sholat malam lainnya, zakat dan termasuk ritual budaya yang menyertainya.
Perayaan Kupatan
Tradisi lain yang tak kalah serunya adalah “kupatan”, sebuah istilah yang berasal dari kata “kupat” atau setelah di-Indonesiakan menjadi “ketupat”. Yaitu sebutan untuk makanan dari beras yang dimasukkan ke dalam kotak anyaman pelepah daun kelapa muda (janur). Makanan ini sangat mirip dengan “lontong” dimana cara membuatnya juga sama, yaitu beras dimasukkan ke dalam bungkus daun kemudian ditanak selama beberapa jam. Yang berbeda hanya bungkusnya dan juga tentu saja aromanya. Biasanya “lontong” dibungkus dengan pelepah daun pisang.
Asal-usul makanan ini konon pada jaman Wali Songo, sebagai pengganti lontong. Dibuat dari pelepah daun kelapa dan disajikan bersama masakan yang ber-santan karena diyakini pohon kelapa adalah tanaman yang sangat berguna, mulai dari batang, akar, daun, buahnya, airnya, serabutnya, batok-nya dlsb. bisa dimanfaatkan untuk kehidupan manusia. Sehingga, hendaknya manusia meniru dan memanfaatkan umurnya untuk berbuat manfaat kepada sesamanya. Selain itu bentuk ketupat yang persegi empat diyakini melambangkan rukun Islam yang ke empat yaitu berpuasa di bulan Ramadhan.
Ya, Iedul Fitri memang identik “ketupat”. Sebagai makanan yang disajikan sebagai menu utama yang disantap bersama keluarga setelah sholat Ied. Lauknya di setiap daerah berbeda-beda, namun umumnya terdiri atas opor ayam, sayur lodeh kacang, sambal goreng ati sapi dan krecek (kulit sapi) serta kadang-kadang ada semur daging atau lidah sapi serta telor ayam rebus dengan bumbu petis. Kemudian sebagai penyedap diatasnya ditaburi bawang goreng dan bubuk kacang kedelai. Lezat!
Konon kata “kupat” berasal dari ungkapan dalam bahasa Jawa yaitu “ngaku lepat” yang artinya “mengaku salah” atau “kulo lepat” yang artinya “saya (mengaku) salah”. Sehingga ada tradisi dimana orang saling berkirim hantaran ketupat dan kelengkapannya kepada tetangga sebagai simbol ungkapan pengakuan atas segala kesalahan dan permintaan maaf. Tradisi hantaran ini berbeda-beda di tiap daerah pelaksanaannya, ada yang di awal Ramadhan, sehari sebelum lebaran dan bertepatan pada hari raya setelah sholat Ied.
Namun tradisi yang paling kuat justru perayaan “kupatan” baru dilaksanakan pada hari ke-7 (tujuh) bulan Syawwal. Tradisi ini dikaitkan dengan ritual “syawwalan” yaitu merayakan penutupan puasa bulan Syawwal. Puasa di bulan Syawwal? Ya. Memang ritual ini jarang dilaksanakan dan kurang dikenal oleh ummat muslim pada umumnya. Sebenarnya sehari setelah Iedul Fitri, yaitu tanggal 2 – 7 Syawwal ummat muslim dianjurkan untuk melanjutkan berpuasa selama 6 (enam) hari berturut-turut yang disebut dengan puasa Syawwal. Konon, bagi yang melaksanakan puasa ini akan diganjar pahala dihapuskan dosa-dosanya selama 1 (satu) tahun ke depan. Barangkali hitungan totalnya seperti ini: puasa bulan Ramadhan selama 30 (tiga puluh) hari ditambah 6 (enam) hari = 36 (tiga puluh enam hari) dikalikan 10 (sepuluh) ganjaran pahala = 360 (tiga ratus enam puluh) hari atau tepat satu tahun menurut jumlah hari penanggalan masehi. Tapi, biasanya hitungan secara syariat Islam kan mengikuti penanggalan Qomariah bukan Masehi? Nah, jadi sebaiknya soal mitos hitungan pahala itu lupakan saja, laksanakan ibadah dengan niat tulus hanya karena Allah SWT semata dan bukan karena mengharapkan ganjaran yang dihitung dengan rumus macam-macam
Jadi “kupatan” atau “syawwalan” agaknya semula dimaksudkan untuk merayakan telah berakhirnya puasa sunnah pada bulan Syawwal. Barangkali itu filosofinya makanan kupat dan santan yang sama-sama berwarna putih, melambangkan semakin putihnya hati setelah menuntaskan puasa (prihatin) dan bermaaf-maafan kepada sesama.
Sebagaimana tradisi lainnya, di setiap daerah ada istilahnya masing-masing. Di Madura misalnya “kupatan” disebut dengan “tellasan topa’” yang dimeriahkan dengan tontonan pertunjukan kesenian dan ini juga terjadi di daerah lainnya.
Kesimpulannya, Indonesia ini memang sungguh negeri kaya budaya yang sangat majemuk dan saya merasa bangga sebagai seorang muslim dan sekaligus warga negara Indonesia.
Wallahualam bishowwab.
sumber: http://www.pataka.net/2008/09/29/istilah-seputar-lebaran/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar