Sabtu, 30 Januari 2010

Taqarub kepada Allah dan Manusia

Oleh Anang Rikza Masyhadi


Rasulullah SAW bersabda: Pada Hari Kiamat nanti Allah SWT akan menegur kita, ''Wahai anak cucu Adam, Aku sakit, mengapa engkau tak menjenguk-Ku?'' Hamba bertanya, ''Wahai Tuhanku, bagaimana aku menjenguk-Mu, sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam?'' Allah pun menjawabnya, ''Kamu tahu bahwa hamba-Ku si fulan sedang sakit dan kamu tidak membesuknya.''

Dialog itu pun berlanjut. ''Wahai anak cucu Adam, Aku meminta makan kepadamu, mengapa engkau tidak memberi-Ku makan?'' Hamba bertanya, ''Wahai Tuhanku, bagaimana aku akan memberi-Mu makan, sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam?'' Allah menjawab lagi, ''Kamu tahu bahwa hamba-Ku si fulan sedang kelaparan dan kamu tidak memberinya makan.''

''Wahai anak cucu Adam, Aku meminta minum kepadamu, mengapa engkau tidak memberi-Ku minum?'' Hamba bertanya lagi, ''Wahai Tuhanku, bagaimana aku akan memberi-Mu minum, sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam?'' Allah menjawab, ''Kamu tahu bahwa hamba-Ku si fulan sedang kehausan dan kamu tidak memberinya minum.'' (HR Muslim)

Hadis ini sungguh mengesankan. Allah SWT mengajarkan pentingnya menjaga hablum minannas , hubungan horizontal antarmanusia. Islam menekankan keseimbangan, termasuk dalam ibadah yang selalu mengandung dua dimensi, yaitu vertikal ( hablum minallah ) dan horizontal ( hablum minannas ).

Mari kita perhatikan perintah shalat dalam Alquran. Perintah shalat hampir selalu dirangkai dengan perintah berzakat. ''Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk (QS Al-Baqarah [2]: 43). Kata ' amanu ' (beriman) juga selalu diikuti dengan perintah beramal shaleh, ' amilus sholihat '. Vertikal dan horizontal.

Surat Al-Ma'un (107: 1-3), lebih keras lagi. ''Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Yaitu, orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.'' Di sini, Allah SWT mengaitkan agama dengan aktivitas sosial.

Artinya, orang mukmin yang tidak peduli pada anak yatim dan fakir miskin, maka dia itu pengkhianat. Kategori orang mukmin sejati itu bukan saja terletak pada ketekunannya dalam ibadah, tetapi juga hubungan baiknya dengan manusia, bahkan dengan alam semesta; kita dilarang melakukan perusakan di bumi.

Jadi, Islam menolak pendekatan diri kepada Allah dengan cara menjauhkan diri dari kehidupan. Oleh karena itu, esoterisme itu tidak sepenuhnya didukung oleh Islam, demikian pula eksoterisme. Justru, sebagaimana hadis di awal, mendekatkan diri kepada sesama adalah media mendekatkan diri kepada Allah. Mari kita seimbangkan.

(-)

Moral Islam

Oleh Prof Dr H Fauzul Iman MA

Al-Ghazali menyebut moral Islam sebagai tingkah laku seseorang yang muncul secara otomatis berdasarkan kepatuhan dan kepasrahan pada pesan (ketentuan) Allah Yang Mahauniversal. Seorang Muslim yang bersikap demikian akan mengarahkan pandangan hidupnya pada spektrum yang luas, tidak berpandangan sempit ataupun eksklusif. Ia dapat menerima realitas sosial yang beragam dan memupuk pergaulan dengan berbagai kalangan tanpa membatasi diri dengan sekat agama, kultur, dan fanatisme kelompok.

Inilah yang dimaksud dengan firman Allah SWT, ''Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.'' (QS Al-Hujurat [49]: 13).

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa moral Islam adalah takwa itu sendiri. Artinya dengan kekuatan takwanya, seorang Muslim mampu menanamkan moral Islam di tengah-tengah perbedaan sosial dan budaya masyarakat secara toleran, demokratis, terbuka, dan tanpa mengklaim dirinya paling benar.

Ulama Sufi membagi moral ke dalam tiga jenis, yaitu moral agama, moral undang-undang, dan moral lingkungan sosial. Dari ketiga jenis moral tersebut, yang paling dominan adalah moral agama dan menjadi sumber acuan bagi kedua moral yang lainnya. Itulah sebabnya, ajaran Islam selalu menekankan kepada semua umatnya agar senantiasa berpegang teguh pada moral Islam.

Sayangnya, fakta yang terjadi justru sebaliknya. Banyak orang yang tunduk pada selain moral agama. Dari kalangan penguasa, pengusaha, dan politisi, misalnya, masih banyak yang tunduk pada tatanan sistem politik yang hegemonik demi keuntungan pribadi, ketimbang membela rakyat dan masyarakat lemah dari ketertindasan.

Kasus lainnya, ada seorang agamawan yang dahulunya menjadi panutan masyarakat, pribadinya baik, tutur katanya lembut, sikapnya sopan, dan tidak pernah lupa mengenakan simbol-simbol keagamaan, kini justru berubah. Ia tenggelam dalam dunia kekerasan dan dunia kemewahan setelah menceburkan diri dalam lingkungan pergaulan yang hedonis.

Sebagai bangsa yang religius, sepatutnya kita memperkuat moral Islam yang bersifat universal dengan tetap melestarikan moral sosial dan lingkungan yang substansinya sejalan dengan moral Islam. Dengan cara demikian, kita berharap semua bentuk perilaku yang menodai akhlak dan nilai-nilai luhur agama dan bangsa dapat dieliminir. Semoga!

Senin, 25 Januari 2010

Alquranku Inspirasiku

Oleh Yodi Indrayadi

Hampir bisa dipastikan, di setiap rumah keluarga Muslim, ada satu mushaf Alquran yang disimpan di rak buku atau lemari kecil di tempat shalat bersama sajadah, sarung, dan mukena. Tapi, seberapa sering kita membacanya?

Membaca Alquran tidak cukup hanya pada bulan Ramadhan. Membacanya harus selalu dilakukan setiap hari, bahkan di setiap kesempatan. Bukan semata karena besarnya pahala membaca kitab suci itu, tapi juga karena ia merupakan pedoman hidup kita, inspirasi kita.

Allah berfirman, "Dan, Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (QS Annahl [16]: 89).

Dalam kerangka inilah, Rasulullah SAW kerap mendorong umatnya agar rajin membaca Alquran. Tidak sedikit hadis yang menjelaskan keutamaan membaca Alquran. Salah satunya, yang paling masyhur, adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Ibnu Mas'ud.

Rasulullah bersabda, "Siapa yang membaca satu huruf Alquran, baginya satu kebaikan. Dan, satu kebaikan itu dikali sepuluh. Aku tidak mengatakan 'alif lam mim' sebagai satu huruf. Tapi, 'alif' satu huruf, 'lam' satu huruf, dan 'mim' satu huruf."

Dalam kesempatan lain, Rasulullah bersabda, "Bacalah Alquran! Karena, pada hari kiamat, ia akan datang menjadi penolong bagi yang membacanya." (HR Muslim dan Ahmad).

Tentu, bukan sekadar membaca biasa yang dimaksud oleh Rasulullah dalam hadis tersebut, tapi membaca sekaligus memahami dan kemudian mengamalkannya. Oleh karena itu, sudah saatnya kita meningkatkan kualitas bacaan Alquran kita dari level "membaca biasa" ke level yang lebih tinggi, yakni "membaca sekaligus memahami dan mengamalkannya".

Memang, itu tidak mudah dilakukan. Tapi, dengan pembiasaan, itu bukanlah hal yang mustahil. Alquran sendiri telah menjamin bahwa ayat-ayatnya sangat mudah dipahami bagi siapa saja yang mau memahaminya. "Dan, sesungguhnya telah Kami mudahkan Alquran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?" (QS Alqamar [54]: 17).

Dengan demikian, Alquran pun akan menjadi inspirasi bagi kita dalam bertutur, bertingkah laku, bersikap, dan menyelesaikan setiap persoalan hidup. Setidaknya, bisa menjadi penolong kita di hari kiamat kelak, seperti yang digambarkan hadis Nabi SAW di atas

Selasa, 19 Januari 2010

Syiar Islam

Oleh A Ilyas Ismail

Dalam kehidupan manusia terdapat banyak peninggalan bersejarah yang monumental dan mengandung nilai yang tinggi. Peninggalan semacam ini, biasanya dijaga dan dipelihara sebagai 'peringatan' agar manusia dapat mengambil pelajaran. ''Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.'' (QS al-Dzariyat [51]: 55).

Dalam Alquran, hal-hal yang monumental semacam itu dinamai 'syiar' yang secara harfiah berarti tanda atau rambu-rambu yang dipasang untuk mengenali sesuatu. Kata syiar berasal dari kata syu`ur, yang bermakna rasa, karena syiar dibangun agar setiap orang yang melihatnya merasakan keagungan Allah SWT.

Syiar selanjutnya dipahami sebagai tanda ibadah, terlebih lagi ibadah haji. Syiar bisa menunjuk pada tempat-tempat yang mulia, seperti Ka`bah, Shafa, Marwah, Arafah, dan al-Masy`ar al-Haram; bisa menunjuk pada waktu, seperti bulan Dzulqa`dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab; dan dapat pula menunjuk pada amalan-amalan agama.

Menurut al-Razi, syiar tak hanya menunjuk pada amalan ibadah haji semata, tetapi semua ibadah, bahkan semua aktivitas yang menjadi simbol kepatuhan seseorang kepada Allah. Syiar diagungkan sebagai manifestasi rasa takwa. Firman-Nya: ''Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.'' (QS al-Hajj [22]: 32)
Kegiatan mengagungkan syiar Allah pada ayat ini dipahami oleh para ulama dalam beberapa makna. Pertama, ihtifal. Bahwa aktivitas keagamaan yang bernilai syiar, perlu dilakukan secara terbuka, meriah, dan penuh antusiasme, tetapi tetap khidmat dan penuh makna.
Kedua, iltizam. Bahwa mengagungkan syiar itu merupakan kewajiban agama yang harus ditunaikan oleh setiap Muslim sebagai bagian dari proses tadzkir, yaitu usaha untuk mengingatkan manusia pada keagungan Allah.

Ketiga, itmam. Bahwa syiar harus dilakukan sebaik dan sesempurna mungkin. Sekadar contoh, dalam konteks syiar haji, Rasulullah memberikan 100 ekor unta sebagai kurban.

Seperti telah dikemukakan bahwa syiar bertalian dengan takwa. Ahli tafsir Zamahsyari, juga Ibn `Asyur, memahami takwa sebagai mabda', atau pangkal tolak kegiatan syiar. Bagi Al-Alusi, selain sebagai mabda', juga sebagai ta`lil, yakni alasan perlunya syiar.

Ini berarti, syiar Islam tak boleh dilihat dari sisi simboliknya semata, tetapi pada makna profetiknya yang inspiratif dan transformatif. Dalam arti, lahir dari semangat takwa untuk menggerakkan manusia mencapai derajat takwa.

Senin, 18 Januari 2010

Peran Ulama


Oleh AM Fatwa

Perintis Berdirinya MUI DKI
tahun 1973

Ulama dan partai politik memiliki tujuan yang mulia untuk perbaikan kehidupan masyarakat. Ulama mengacu pada otoritas intelektual dan spiritual di mana masyarakat menjadikannya sebagai rujukan kehidupannya. Sementara itu, partai politik memiliki peran dan otoritas untuk menentukan eksistensi kepemimpinan untuk menciptakan keteraturan kehidupan masyarakat dengan melaksanakan fungsinya, seperti melaksanakan manajemen konflik.

Dalam Islam, kepemimpinan merupakan sebuah kemestian untuk menjamin integrasi dan kohesi sosial. Dalam konteks ini, peran partai politik dalam proses penentuan eksistensi kepemimpinan menjadi sebuah kewajiban. Oleh karena itu, yang diharapkan adalah peran dan otoritas masing-masing ulama dan partai politik yang dapat menciptakan kehidupan aman, tertib, teratur, nyaman, dan tenteram.

Dilema peran

Belakangan ini, peran ulama dihadapkan pada dua pilihan dilematik antara partai politik dan pembangunan umat. Dalam kenyataannya, terjunnya ulama ke dalam partai politik umumnya menyebabkan tidak fokusnya atau bahkan terabaikannya perhatian ulama pada pembangunan umat. Padahal, pembangunan umat memerlukan totalitas perhatian dari para ulama agar umat tidak kehilangan rujukan keteladanan dalam kehidupannya.

Di sisi lain, partai politik yang diharapkan sebagai media untuk lebih memperbaiki dan memberdayakan kehidupan umat justru sering menjadi bagian dari masalah yang perlu diselesaikan oleh ulama. Akibatnya, partai politik bukan menjadi media solusi, tetapi justru menjadi bagian dari problem. Bahkan, peran ulama dalam partai politik yang diharapkan mampu memberi warna moral bagi dinamika politik ternyata tidak juga terwujud secara maksimal.

Akibatnya, kesan bahwa politik sebagai praktik yang kotor tetap melekat dalam memori masyarakat seiring dengan perilaku menyimpang yang diperlihatkan oleh beberapa politikus. Kondisi tersebut menunjukkan anomali peran ulama. Satu kaki berpijak di politik praktis, tapi kaki yang lain masih berpijak pada ranah dakwah.

Akibatnya, gerak transformasi yang seharusnya diperankan oleh ulama secara maksimal berjalan lamban, bahkan bisa mengorbankan dua-duanya, yaitu politik praktis dan dakwah. Dalam kondisi demikian, ulama dalam partai politik telah mempersempit ruang perannya yang begitu luas dan universal.

Peran ulama yang awalnya melampaui sekat-sekat partai politik menjadi terfokus pada prosesi suksesi kepemimpinan sesuai dengan kepentingan partai politik. Karena itu, ketika ulama terlibat dalam politik praktis, sesungguhnya ia telah mempersempit ruang amal dan pengabdiannya bagi umat. Ia mengotak-kotakkan dirinya dalam sekat-sekat partai politik dan menjadi bagian partisan visi dan misi partai tertentu.

Padahal, visi dan misi seorang ulama begitu luas, mulia, dan universal. Keuniversalan peran ulama berlangsung ketika ulama tidak menyekat dirinya dalam kepentingan kelompok-kelompok tertentu, termasuk kepentingan partai politik. Ketika ulama menyekat dirinya dalam partai politik tertentu, tugas universal keumatan dengan sendirinya terdistorsi.

Lebih dari itu, keterlibatan ulama dalam partai politik rentan bagi terjadinya politisasi umat dengan menjadikan umatnya sebagai kekuatan yang dimobilisasi bagi kepentingannya dengan mengabaikan etika universal keulamaannya.

Sumbangsih ulama
Peran ul ama dalam pemberdayaan umat sesungguhnya akan menjadi amal jariah bagi partai politik ketika para ulama berhasil memberi landasan dan penjaga moral politik bangsa.

Pemberdayaan yang dilakukan oleh para ulama melalui dakwah atau gerakan sosial bisa melahirkan generasi yang mumpuni secara moral bagi seluruh kegiatan masyarakat di berbagai level kehidupan, termasuk dalam kehidupan politik. Peran ulama tersebut telah dibuktikan dalam sejarah negeri ini. Hadirnya para tokoh agama (ulama) yang menjadi perintis perjuangan dan pendorong pembebasan masyarakat dari segala bentuk kebodohan dan keterbelakangan adalah bukti konkret sumbangsih ulama bagi negeri ini.

Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari keberadaan para ulama yang menjadi jembatan beragam kepentingan dalam masyarakat, bukan hanya kelompok tertentu. Dan, itu akan terus terpelihara ketika ulama mampu menempatkan dirinya sebagai sosok yang mengayomi, bukan mengadili. Mengayomi terkait dengan kepentingan banyak orang, sementara mengadili tertuju pada kepentingan tertentu. Peran ulama sebagai pandu moral bagi aktivitas masyarakat telah diakui masyarakat selama ini.

Hal itu akan tetap efektif apabila ulama mampu menjadi panutan bagi seluruh umat, bukan bagi kelompok tertentu. Keistikamahan ulama dalam menjalankan fungsinya sebagai pandu moral masyarakat akan menjadi salah satu nilai lebihnya yang menciptakan kenyamanan dan kesejukan dalam kehidupan. Karena itulah, umat akan selalu merindukan dan membutuhkan kehadirannya. Partai politik dan pembangunan umat merupakan dua ranah yang membutuhkan peran ulama. Hal itu akan terwujud apabila ulama mampu memerankan diri secara proposional dan universal.

Universalitas peran ulama berlangsung ketika ulama tidak menyekat dirinya dalam kepentingan kelompok-kelompok tertentu, termasuk kepentingan partai politik. Keterlibatan ulama dalam partai politik pada kenyataannya telah membuat dirinya terfragmentasi sesuai kepentingan partainya. Wajarlah jika masyarakat mengaitkan apa yang dikatakan ulama itu dengan kepentingan politiknya. Ulamapolitikus, yaitu ulama yang, karena punya massa, kemudian terjun atau dilibatkan dalam dunia politik praktis, cenderung dijadikan alat politis partai.

Partai politik mebutuhkan politikus-ulama, yaitu kader partai yang memiliki kualitas intelektual yang mumpuni, alim, dan integritas moral yang tinggi sehingga mampu mewujudkan visi dan misi politiknya bagi kepentingan umat. Para ulama yang concern dalam pemberdayaan umat menjadi kekuatan profetis (transformatif) bagi dinamika kehidupan nasional dengan berlandaskan pada nilai-nilai moral dan spiritual. Bukan sebaliknya, menjadi alat legitimasi atas kepentingan kelompok tertentu.

Universalitas dan integritas yang dimiliki ulama telah menyebabkan kehadirannya menjadi tempat bersimpuh semua kepentingan masyarakat dari berbagai kepentingan politik. Ketika ulama mampu memerankan itu secara efektif, tugas partai politik dan pembangunan umat dengan sendirinya sudah dijalankan. Ini disebut: sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.

Doa untuk Almarhum


Oleh KH Didin Hafidhuddin

Salah satu perilaku yang dianjurkan oleh ajaran Islam untuk dibiasakan oleh seorang mukmin adalah mendoakan saudaranya sesama mukmin yang sudah meninggal dunia. Allah SWT berfirman, ''Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: 'Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang'.'' (QS Al-Hasyr [59]:10).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa ciri kaum mukmin yang baik adalah mereka yang suka mendoakan sesama saudaranya yang mukmin (Muslim) yang telah meninggal dunia terlebih dahulu. Iman dan Islam telah mempertemukan doa seorang Muslim dengan saudaranya yang sudah meninggal, walaupun di dunia ini tidak saling mengenal karena perbedaan tempat tinggal atau perbedaan masa hidupnya.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW bersabda, ''Ruh-ruh itu adalah ibarat kumpulan orang-orang yang bisa bertemu dan bisa berpisah. Apabila mereka saling mengenal (karena persamaan agama), mereka akan menyatu (secara otomatis). Dan apabila tidak saling mengenal (karena berbeda agama), maka mereka akan berpisah dengan sendirinya,'' (HR Imam Bukhari dari Siti Aisyah).

Karena itu, dengan alasan apa pun, seorang Muslim seharusnya tidak mendoakan seseorang yang sudah meninggal dunia dalam keadaan non-Muslim, meskipun itu sahabat, handai taulan, atau keluarganya sendiri.

Allah SWT berfirman dalam Alquran Surat At-Taubah [9]:84, ''Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.''

Akan tetapi, dibolehkan bagi seorang Muslim untuk mendoakan orang non-Muslim yang masih hidup agar mendapat hidayah Allah SWT, seperti yang pernah dilakukan Rasulullah SAW yang mendoakan kaum Tha'if yang kafir yang melukainya. ''Ya Allah, limpahkan hidayah kepada mereka, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.''

Karena itu, upaya untuk memperkuat toleransi antarsesama umat beragama di negara kita haruslah diartikan untuk saling menghormati dan menghargai agama dan keyakinan masing-masing, serta saling bekerja sama dalam pembangunan bidang sosial kemasyarakatan. Bukannya diartikan untuk mencampuradukkan akidah dan ibadah yang satu dengan yang lain. Semoga Allah selalu menjaga bangsa dan umat Islam dari kerusakan akidah dan ibadah.

Islam

Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Mengapa Tuhan menamai agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW dengan agama Islam? Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari akar kata salima yang berarti selamat, damai, dan bebas. Akar kata yang sama melahirkan beberapa kata yang amat penting dalam Islam, seperti salam (damai), Islam (kedamaian), istislam (pembawa kedamaian), dan taslim (ketundukan, kepasrahan, dan ketenangan).

Allah SWT memberi nama agama yang dibawa oleh Nabi SAW itu dengan agama Islam. Bukan agama salam (kepasrahan tanpa konsep) atau agama istislam (yang lebih mengutamakan kecepatan dan ketegasan dalam memperjuangkan kedamaian dan kepasrahan). Kata Islam itu sendiri mengisyaratkan jalan tengah atau moderat. Dari segi bahasa saja, Islam sudah mengisyaratkan jalan tengah, moderat, dan tentu menolak kekerasan.

Seorang Muslim sejatinya mengedepankan kedamaian, ketundukan, kepasrahan, dan pada akhirnya mengejawantahkan ketenangan lahir batin. Agaknya kurang pas jika panji-panji Islam dibawa-bawa untuk sesuatu yang menyebabkan lahirnya kekacauan dan ketidaknyamanan. Apalagi jika nama Islam digunakan untuk melayangkan nyawa-nyawa orang yang tak berdosa.

Sesuai dengan namanya, Islam adalah agama kedamaian dan agama kemanusiaan. Penggunaan kata Islam dalam Alquran dan hadis sesungguhnya lebih dominan sebagai feminine word ketimbang masculine word. Alquran sendiri lebih menonjol sebagai the feminine book ketimbang the masculine book.

Bahkan, Alquran melukiskan Allah lebih menonjol sebagai The Mother God ketimbang sebagai The Father God. Perhatikan, Alquran selalu mengawali surah dengan kalimat Bismillah al-Rahman al-Rahim yang berarti Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini menggambarkan bahwa Allah lebih menonjolkan Dirinya sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Kini, yang menjadi masalah, mengapa kelompok minoritas Muslim begitu leluasa mengklaim diri dan gerakannya sebagai gerakan Islam, sementara kelompok mainstream Muslim tidak berani menyuarakan kelompok mayoritas. Kini, sudah saatnya mayoritas Muslim bicara dalam upaya menciptakan stabilitas dunia dan umat manusia.

Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah minoritas Islam liberal lebih menekankan Islam dalam konteks salam, yang lebih bersifat substansial dan universal. Sementara itu, kelompok minoritas Islam radikal lebih menekankan Islam dalam konteks istislam yang menuntut adanya intensitas dan semangat akseleratif dalam mewujudkan nilai-nilai dasar Islam. Kelompok mayoritas Islam lebih menekankan Islam konteks Islam yang menekankan aspek kemanusiaan manusia.

(-)

Kamis, 14 Januari 2010

Monopoli Penafsiran


Oleh: Abdullah Hakam Shah MA

Banyak hal getir dalam sejarah umat Islam. Tapi, kalau kita bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, maka yang paling getir adalah monopoli penafsiran teks-teks agama oleh para penguasa.

Pada tahun 820-an M., khalifah ketujuh Dinasti Abbasiyah, al-Ma'mun, menganut pemikiran kelompok Mu'tazilah bahwa Alquran adalah makhluk; diciptakan dan tidak azali. Namun, Ahmad bin Hanbal berpandangan lain: Alquran adalah kalam Allah, yang menyatu dengan Zat-Nya. Karena itu, Alquran tidak sama dengan bumi atau ciptaan Allah yang lain. Ia adalah abadi dan azali.

Yang direkam oleh para sejarawan bukan soal Alquran makhluk atau kalam Allah. Perbedaan pandangan tersebut mungkin penting. Tapi, yang lebih penting untuk dicatat adalah betapa getir beban yang dipikul oleh Ahmad bin Hanbal akibat monopoli penafsiran teks-teks agama oleh penguasa.

Al-Thabari dan al-Dzahabi dalam karya mereka mencatat rentetan kegetiran Ahmad bin Hanbal dengan ''tinta merah'' dan air mata. Sementara al-Maqrizi menceritakan, ''Ketika masyarakat Baghdad merindukan fatwa-fatwa Ahmad bin Hanbal, al-Mu'tashim dan al-Watsiq (dua khalifah Abbasiyah pasca al-Ma'mun) justru memenjarakan dan menyiksanya di hadapan khalayak.''

Ahmad bin Hanbal adalah bintang kejora intelektual pada eranya. Tapi, al-Mu'tashim dan al-Watsiq tak bersikukuh. Atas nama penafsiran yang dianggap paling benar, siapa pun yang menyuarakan penafsiran berbeda harus disingkirkan. Para penguasa Abbasiyah itu barangkali lupa, bahwa penafsiran yang dipaksakan melalui pedang dan kekuasaan, maka itu adalah korupsi terhadap kebenaran.

Monopoli penafsiran seperti ini memiliki senarai panjang, dan bisa terulang kapan saja dan di mana saja. Pada kasus Ahmad bin Hanbal, khalifah ke-10 Dinasti Abbasiyah, al-Mutawakkil, akhirnya harus mengakui kesalahan pendahulu-pendahulunya dan menghapuskan monopoli penafsiran yang pernah mereka paksakan. Dan mayoritas kaum Muslim, selepas pertengahan abad ke-9 itu, memenangkan pandangan Ahmad bin Hanbal dan faksinya bahwa Alquran adalah kalam Allah, bukan makhluk.

Barangkali, bagi Ahmad bin Hanbal, pengakuan atas kesalahan masa lampau tersebut tidak berarti banyak. Betapa terlambat dan percuma. Tetapi, betapa hal itu tetap sangat berarti bagi kita, bahwa penafsiran atas teks-teks agama tak pernah boleh dimonopoli. ''Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendakinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.'' (QS Ali Imran [3]:13).

Jumat, 08 Januari 2010

Haji Mabrur Modal Bangsa

Oleh Anang Rikza Masyhadi

Di negeri kita, umumnya orang pulang dari haji disambut dengan antusias dan penuh kemeriahan. Semua orang berharap bahwa yang datang adalah seorang haji mabrur. Sayangnya, sering kali kemeriahan penyambutan itu lebih banyak bersifat seremonial, sehingga kurang menyentuh makna substansial dari kemabruran haji itu sendiri.

Menyambut datangnya haji mabrur tidaklah salah. Karena, sebagaimana penegasan Rasulullah SAW, menyambut haji mabrur ibarat sedang menyambut calon penghuni surga.

Namun, masih banyak masyarakat kita yang belum mengerti seperti apa kriteria haji mabrur itu. Rasulullah bersabda, ''Haji mabrur tiada pahala yang layak kecuali surga.'' Para sahabat bertanya, ''Wahai Nabi, apakah haji mabrur itu?'' Lalu Nabi pun menjawab dengan singkat padat, ''Yang memberi makan dan menebar salam.'' (HR Ahmad).

Memberi makan berkonotasi menyejahterakan. Juga mengandung makna bahwa haji mabrur adalah orang yang sepulangnya dari Tanah Suci menjadi semakin gemar menolong orang lain. Dengan demikian, peduli kepada penderitaan orang lain dan empati kepada sesama untuk seterusnya akan menjadi gaya hidupnya.

Sedangkan menebar salam berkonotasi menenteramkan dan memberi rasa aman. Salam dalam bahasa Arab artinya damai, sejahtera, dan aman. Artinya, haji mabrur adalah orang yang kehadirannya di masyarakat menjadi penyejuk, penenteram, bahkan bisa mendamaikan lingkungan. Bukan sebaliknya, kehadirannya membuat masyarakat cemas, ketakutan, dan merasa tidak nyaman.

Sesungguhnya Alquran sejak awal sudah membekali jamaah haji dengan prinsip-prinsip mendasar tentang pola interaksi yang baik. Contohnya, orang tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan itulah yang dimaksud dengan bekal takwa, sebaik-baik bekal yang akan dibawa ke Tanah Suci. (QS Al-Baqarah [2]:197).

Nabi SAW juga bersabda, ''Barangsiapa yang berhaji dan ia tidak berbuat rafats dan fasik maka ia akan kembali seperti pada hari ketika ia dilahirkan oleh ibu kandungnya. (HR Muttafaq ‘Alaih). Rafats adalah perkataan kotor atau segala perbuatan yang dapat menimbulkan birahi. Sedangkan fasik adalah prilaku menyimpang dan merusak.

Apa yang telah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya itu mengisyaratkan bahwa haji mabrur merupakan potensi luar biasa bagi bangsa ini. Bayangkan, jika tiap tahunnya ada 205 ribu jamaah haji mabrur, maka akan ada sekian banyak orang yang siap bekerja menyejahterakan dan menenteramkan umat. Sayangnya, tidak semua jamaah haji mampu mengimplementasikan nilai-nilai kemabruran itu dalam masyarakat.

Pencerahan Bukan Kekerasan


Oleh A Ilyas Ismail

Pada suatu hari sahabat Abu Darda melihat sekelompok orang ramai-ramai sedang memukuli dan memaki-maki seseorang. Abu Darda kaget seraya bertanya, ''Kenapa dengan orang itu?'' Jawab mereka, ''Ia penjahat dan pendosa besar, Tuan.'' Lalu, Abu Darda bertanya lagi, ''Kalau ia jatuh ke dalam sumur, apa yang akan kalian lakukan?'' Jawab mereka, ''Kami akan mengeluarkannya tuan.''

Mendengar jawaban mereka itu, Abu Darda berpesan. Katanya, ''Kalau begitu, jangan siksa dia, tapi berikan kepadanya pelajaran, nasihat, dan pencerahan.'' Rupanya, mereka mengikuti pesan Abu Darda. Mereka semua berhenti memukuli dan memaki sang penjahat dan pendosa itu. Yang terakhir inipun menangis tersedu-sedu, menyatakan tobat dan menyesali dosa-dosa yang pernah dilakukannya.

Dari peristiwa ini, kita mendapat pelajaran berharga tentang metode dan pendekatan dakwah (manhaj al-da`wah). Paling tidak, ada tiga hal pokok yang bisa dipahami dari manhaj al-da`wah Abu Darda. Pertama, dakwah hendaknya dilakukan dengan kearifan (bi al-hikmah).

Kata hikmah memiliki makna dasar al-man`u, yaitu tercegah dari keburukan. Hikmah juga bermakna pemikiran mendalam, tepat, benar, atau mencapai kebenaran melalui ilmu dan amal. Menurut Sayyid Quthub, dakwah dengan hikmah bermakna dakwah dengan tingkat ketepatan yang tinggi dilihat dari segi materi, metode, dan waktu yang dipergunakan, sehingga kemungkinan dan peluang keberhasilannya menjadi besar.

Kedua, mencegah kemungkaran tidak boleh dengan kemungkaran pula, tetapi harus dengan kebaikan, melalui nasihat yang baik dan melalui dialog yang terbaik. Hal ini, karena Islam mengajarkan agar keburukan tak dilawan dengan keburukan serupa, tapi dengah kebaikan.

Firman-Nya, ''Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia (QS Fushshilat [41]: 34).

Ketiga, para dai selain memerhatikan proses harus pula peduli pada pengaruh dakwah. Dalam realitas dakwah, aspek yang satu ini sering diabaikan. Banyak orang, kalau sudah naik mimbar, memberi orasi. Mereka merasa telah selesai melaksanakan tugas dakwah, tanpa perlu tahu apakah dakwah yang disampaikan didengar dan diterima oleh khalayak atau tidak?

Dakwah dinilai efektif manakala khalayak memahami pesan dakwah yang disampaikan, lalu daya tarik (rasa cinta), dan puncaknya perubahan sikap dan prilaku mereka seperti dakwah sahabat Abu Darda dalam kisah di atas.

Rabu, 06 Januari 2010

Kekuatan Memberi

Oleh KH Didin Hafidhuddin

Allah SWT berfirman dalam QS Al-Lail [92]: 5-10, ''Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.''

Tuntunan rabbani di atas secara jelas menggambarkan tentang kekuatan memberi, di samping kekuatan takwa dan keyakinan akan balasan Allah SWT di akhirat nanti, yang akan mendatangkan kemudahan dalam mengatasi berbagai persoalan hidup. Sebaliknya, kebakhilan (keengganan untuk memberi) dan kesombongan, serta sikap dusta pada pahala surga, hanyalah akan menyebabkan kesulitan dalam mengatasi berbagai persoalan kehidupan di dunia dan akhirat nanti.

Ayat tersebut juga mengajarkan bahwa memberi dalam segala bentuknya (seperti memberi harta, ilmu pengetahuan, maupun tenaga) untuk kemaslahatan bersama akan membawa ketenangan dan ketajaman hati serta pikiran. Sehingga, memberi itu akan mengundang keberkahan dan memperbanyak harta maupun ilmu yang sudah dimilikinya.

Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda, ''Rendah hati itu tidaklah akan menambah kecuali ketinggian derajat seseorang, maka rendah hatilah kamu sekalian. Memaafkan kesalahan orang tidak akan menambah kecuali kegagahan dan keagungan seseorang, maka jadilah pemaaf. Sedekah tidaklah menambah kecuali memperbanyak harta seseorang, maka bersedekahlah kamu sekalian, pasti Allah akan memberikan rahmat kepada kamu sekalian,'' (HR Abi ad-Dunya).

Di samping itu, kebiasaan memberi akan menambah spirit dan semangat untuk senantiasa memiliki keunggulan-keunggulan yang kompetitif. Sebab, tidak mungkin kita akan mampu memberi kepada orang lain kalau kita tidak memiliki apa-apa. Seperti kata pepatah Arab, ''Faaqidu asy-syai'i laa yu'ti syai'an'' (Orang yang tidak punya apa-apa pasti tidak akan mampu memberikan apa pun juga).

Upaya untuk senantiasa memberi inipun akan meninggikan harga diri setiap orang yang melakukannya, apalagi orang yang beriman. Ia tidak akan mudah menyerah ketika menghadapi tantangan. Tidak mudah pula dikendalikan dan bergantung pada orang lain.

Bisa dibayangkan, jika para pemimpin bangsa ini terdiri atas orang-orang yang memiliki jiwa dan semangat memberi, pasti akan memicu terbangunnya harga diri bangsa secara keseluruhan. Tidak akan mudah bergantung dan dikendalikan oleh bangsa lain. Karena, satu-satunya ketergantungan yang bersifat absolut hanyalah pada Allah SWT

Selasa, 05 Januari 2010

Hiburan

Oleh Abdullah Hakam Shah MA

Kehidupan modern bisa dikatakan identik dengan hiburan. Media elektronik dan cetak menghadirkannya secara masif dalam keseharian kita. Berbagai seremonial pun nyaris tak pernah sepi dari 'bumbu' hiburan, baik acara pernikahan, ulang tahun, peringatan hari besar nasional, hari besar keagamaan, maupun malam pergantian tahun.

Imam Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin, menganggap hiburan sebagai kebutuhan yang melekat dalam fitrah manusia. Karena itu, wajar bila diperbolehkan dalam ajaran Islam. Bahkan, pada zaman Rasulullah SAW, ketika Abu Bakar RA memarahi dua pembantu wanita yang bernyanyi di rumah Aisyah RA pada hari Lebaran, Rasulullah balik menegur Abu Bakar, "Biarkanlah mereka, hai Abu Bakar, karena sekarang adalah Lebaran." (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain, Nabi SAW menyampaikan alasannya, "Agar orang-orang Yahudi tahu bahwa dalam agama kita terdapat kelonggaran." (HR Ahmad).

Pernah pula Rasulullah SAW menegur rombongan mempelai wanita yang tengah menuju rumah mempelai pria. Rombongan tersebut tampak sepi, tanpa iringan nyanyian atau hiburan yang lain. Maka, beliau bersabda, "Apa tidak ada hiburannya? Karena, biasanya, orang-orang Anshar suka hiburan." (HR Bukhari dan Muslim).

Namun, menikmati hiburan tidak boleh berlebihan. Imam Ali RA mengibaratkan hiburan dalam hidup seseorang seperti garam dalam racikan makanan; cukup dipergunakan sekadarnya. Apabila berlebihan, justru akan merusak keseimbangan dan esensi hidup itu sendiri. Sementara itu, Al-Ghazali menyebutnya sebagai obat bagi hati yang jenuh serta pikiran yang letih. Setiap obat harus dipakai sesuai dosisnya. Kalau over, bisa-bisa malah membahayakan si pengguna.

Dua ungkapan di atas selaras dengan tuntunan Alquran, "Dan, janganlah kalian berlebihan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan." (QS Al-A'raf [7]: 31).
Hiburan juga seyogianya tidak dicemari hal-hal yang diharamkan oleh syariat. Misalnya judi, mengonsumsi minuman keras, narkoba, percampuran dengan lawan jenis yang bukan mahram, dan sebagainya. Sebab, hiburan yang pada dasarnya diperbolehkan bisa menjadi haram gara-gara ternoda perkara yang bertentangan dengan norma-norma agama dan sosial. Bak kata pepatah, "Nila setitik dapat merusak susu sebelanga."

Hiburan yang dinikmati secara proporsional dan steril dari cela seperti digambarkan di atas itulah yang kiranya direkomendasikan Rasulullah lewat sabdanya, "Seorang yang berakal tidak selayaknya menghabiskan waktu, kecuali untuk tiga perkara: mencari bekal akhirat, memperbaiki taraf hidup, atau menikmati hiburan yang tidak diharamkan." (HR Ahmad dan Ibnu Hibban).

Kekuatan Sabar

Oleh Wiyanto Suud

Secara etimologi, sabar berarti menahan, seperti kata, 'Qutila fulanun shobron', artinya, ''si Fulan terbunuh dalam keadaan ditahan''. Oleh karenanya, seseorang yang menahan diri terhadap sesuatu dikatakan orang yang sabar.

Allah SWT berfirman dalam Alquran, ''Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.'' (QS Al-Baqarah [2]: 45).
Menurut Ibnu Jarir, redaksi ayat itu memang memperingatkan Bani Israel, namun yang dimaksud bukan mereka semata. Ayat ini mencakup mereka dan orang-orang selain mereka.

Ibnul-Mubarak berkata dengan sanadnya dari Said bin Jubeir, ''Sabar ialah pengakuan hamba kepada Allah atas apa yang menimpanya, mengharapkan ridha Allah semata dan pahala-Nya. Kadang-kadang seseorang bertahan dengan gigih dengan menguatkan diri, dan tidak terlihat dari dia kecuali kesabaran.''

Dengan demikian, tidak ada orang yang bisa disebut sabar, jika sikapnya menolak atau mengelak berdiri bersama permasalahan yang tidak mengenakkan di hati. Orang yang sabar selalu memancarkan kehangatan bagi orang lain karena ia senantiasa pasrah pada Allah dalam kondisi apa pun.

Jika ditimpa musibah, dia tidak akan larut atau meratapi musibah yang menimpanya. Sedangkan jika diberi kesenangan atau kenikmatan, dia tidak akan lupa diri dan kufur nikmat kepada Allah.

Ali bin Abi Thalib mengumpamakan keutamaan sabar bagi keimanan seseorang itu bagaikan tubuh, dan sabar adalah kepalanya. Ia mengatakan, ''Sabar bagi keimanan laksana kepala dalam tubuh. Apabila kesabaran telah lenyap maka lenyap pulalah keimanan.'' (HR. Baihaqi).

Walaupun secara sanad, atsar ini dinilai lemah, namun secara makna bisa diterima. Hal itu dikarenakan cakupan sabar yang demikian luas dalam Islam. Ia mencakup sikap seorang hamba dalam menghadapi berbagai perintah dan larangan serta berbagai keadaan yang dialami manusia di dalam kehidupan, di saat senang maupun susah.

Alquran membahasakannya dengan istilah ''sabar yang baik'', Allah SWT berfirman, ''Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.'' (QS. Al-Ma’aarij [70]: 5).

Oleh karena itu, marilah kita mulai dari diri kita sendiri untuk senantiasa berlatih sabar. Yakni, dengan komitmen sebagai seorang hamba untuk selalu mengikuti apa yang dikehendaki oleh Allah SWT; selalu berjalan sesuai dengan perintah-Nya. Inilah yang disebut sabar ma'allah, tingkatan sabar yang paling tinggi dan paling sulit. Dan Allah selalu bersama dengan orang-orang yang sabar (Al-Baqarah [2]: 153).

(-)

Senin, 04 Januari 2010

Rahasia Hidup dan Mati


Oleh Qutb Adeli

Hidup dan mati, keduanya sama-sama misteri. Hari ini seseorang hidup. Tapi boleh jadi, hari ini juga, besok, atau lusa ia mati. Pertanyaan tentang misteri keduanya yang terlontar sejak zaman filsuf Yunani hingga saat ini, masih saja relevan. Mengapa kita hidup? Dan, mengapa kemudian kita mati?

Di beberapa ayatnya, Alquran membincangkan masalah hakikat hidup dan mati, serta tujuan dari keduanya. Masalah yang pertama dijelaskan bahwa pada hakikatnya manusia mengalami dua kali kematian dan dua kali kehidupan. Ini dapat kita mengerti dari firman Allah yang menggambarkan pertanyaan orang-orang kafir di akhirat kelak. ''Mereka berkata, 'Wahai Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali. Sekarang kami mengakui dosa-dosa kami. Adakah jalan keluar?'' (QS Al-Mukmin [40]: 11).

Para ahli tafsir menerangkan, mati pertama adalah fase ketika manusia masih berupa tanah, atau sebelum dilahirkan ke dunia. Sedangkan, mati kedua adalah kematian fisik sebagai akhir hidup di dunia untuk menapak ke kehidupan akhirat. Adapun kehidupan pertama manusia merupakan kehidupannya di dunia. Dan, kehidupan kedua berlangsung ketika kebangkitan kembali saat hari kiamat tiba.

Penuturan ahli tafsir tersebut di atas menunjukkan, kematian bukanlah akhir dari kehidupan fisik manusia. Tetapi, kematian merupakan gerbang untuk memasuki kehidupan selanjutnya, yang menurut Alquran dan hadis, sebagai kehidupan yang sebenarnya. Konon, kehidupan itu sama sekali berbeda dengan kehidupan dunia saat ini.

Sedangkan, masalah tujuan adanya hidup dan mati, Allah berfirman, ''Dia yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya...'' (QS Al-Mulk [67]: 2).

Wahyu tersebut mengabarkan kepada manusia bahwasanya tujuan Allah menciptakan kehidupan dan kematian adalah memberikan kesempatan kepada manusia untuk tampil sebagai makhluk moral. Yaitu, makhluk yang punya kemampuan untuk memilih, mau berbuat kebajikan ataukah keburukan.

Pilihan-pilihan yang dijalankan akan kembali ditampakkan dalam kehidupan setelah kematian. Untuk itu, Islam menganjurkan hendaknya hidup ini dijalani dengan sungguh-sungguh, baik sungguh-sungguh dalam ketakwaan maupun dalam amalan

Al Quran On Line