Jumat, 30 April 2010

Kisah Nabi Shaleh AS, Balasan Allah terhadap Kaum Tsamud (Bagian 1)

Tak henti-hentinya ia berdakwah di jalan Allah, siang dan malam. Dengan penuh kesabaran dan cinta, ia berusaha menunjukkan kaumnya kembali kejalan yang benar. Kaumnya meminta bukti kenabian, lalu Allah SWT memberikannya, berupa Unta Betina yang amat Elok. Tetapi kaumnya tetap ingkar.

Nabi Shaleh AS adalah anak Ubaid bin Jabir bin Tsamut. Kaumnya bernama “Tsamut” nama yang dibangsakan kepada kakeknya yang bernama Tsamut bin Amir bin Iram bin Sam bin Nuh. Jadi Nabi Saleh itu adalah keturunan Nabi Nuh AS yang keenam.

Mereka tinggal di pegunungan dan bukit-bukit yang mereka jadikan sebagai tempat tinggal, yang terletak antara Hejaz dan Syam, di sebelah tenggara negeri Madyan.

Nabi Shaleh AS berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, sembahlah Allah, yang tiada tuhan lain bagi kalian selain Dia.” (QS. Hud: 61). Kalimat yang sama yang disampaikan oleh para Nabi. Kalimat tersebut tidak pernah berubah, sebagaimana kebenaran juga tidak pernah berubah.

Nabi Shaleh AS menyatakan, tuhan yang mereka sembah, yakni patung-patung dan berhala itu, tidak memiliki nilai apa-apa. Nabi lalu melarang mereka untuk menyembahnya dan meminta kepada kaumnya supaya hanya menyembah Allah SWT.

Rupa-rupanya seruan dan dakwah Nabi Shaleh AS itu cukup menggemparkan kaumnya. Mereka terkejut dengan apa yang dikatakannya. Mereka tidak percaya, kenapa tiba-tiba ada sebagian dari bangsa Tsamud yang melarang mereka menyembah berhala. Padahal kebiasaan ini sudah berlangsung lama dan mereka mewarisinya dari nenek moyang mereka.

Yang lebih mengagetkan mereka, kenapa yang menyampaikan berita tersebut justru Shaleh, orang yang selama ini mereka anggap dan sangat terkenal karena kejujuran dan kebaikannya. Kaumnya sangat menghormatinya, karena Shalih dikenal memiliki keluasan ilmu, kematangan akal, dan kejernihan hati. Dan mereka sangat berharap kelak dia akan bersedia menjadi pemimpin mereka.

“Hai Shalih, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang diantara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? Dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami.” (QS. Hud: 62). Lebih keras lagi sebagian pemuka kaumnya berkata, “Alangkah celakanya! Kami tidak berharap engkau mencela tuhan-tuhan kami yang kami mendapati orangtua-orangtua kami menyembahnya!”

Demikianlah kaum Nabi Shalih AS merasa bingung berhadapan dengan kebenaran. Mereka heran terhadap saudara mereka, Shaleh yang mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT. Mengapa bisa demikian? Tiada lain, karena mereka tidak memiliki alasan dan pemikiran yang benar. Mereka hanya beralasan bahwa kakek-nenek mereka menyembah tuhan-tuhan berhala sebagaimana yang mereka lakukan sekarang. Mereka hanya mengikuti secara membabi buta, alias taklid, sehingga mereka terjerumus ke dalam kekufuran dan kesesatan.

Di tengah-tengah kekufuran kaumnya itulah, Allah mengutus seorang Nabi, yakni Nabi Shaleh AS. Ia diutus untuk menghilangkan taklid buta itu. Sebagai gantinya, Nabi Shaleh menyebarkan akidah Tauhid, untuk membebaskan segala pikiran dan belenggu kesesatan. “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada tuhan bagimu selain Dia.” (QS. Hud: 61).

Namun demikian, meskipun disampaikan dengan penuh ketulusan, kasih sayang dan cinta, dakwah Nabi Shaleh AS tetap saja ditentang oleh kaumnya. Mereka meragukan dakwahnya. Mereka mengira, Nabi Shaleh telah terkena sihir sehingga menyampaikan dakwah yang terasa asing di telinga kaumnya.

Mendapat perlawanan dari kaumnya, Nabi Shaleh tidak putus asa, bertahun-tahun ia terus menyampaikan ajaran-ajarannya. Ia sabar dan tabah menerima segala cobaan dari kaumnya. Biarpun tidak banyak, Nabi Sahleh akhirnya mempunyai pengikut juga. Mereka kebanyakan adalah orang-orang miskin.

Bersambung

Kisah Nabi Shaleh AS dan Unta Betina (Bagian 2)

Kenyataan tersebut membuat para pemimpin masyarakat Tsamud gusar. Mereka lalu mencari akal, bagaimana cara mempengaruhi pengikut Nabi Shaleh itu. Mereka menginginkan agar Nabi Shaleh tidak mempunyai pengikut sama sekali. Caranya ialah menentang Nabi Shaleh AS untuk membuktikan kemampuannya mendatangkan mukjizat.

Menurut pendapat mereka, kalau Nabi Shaleh itu tidak dapat menunjukkan suatu Mukjizat, tentulah pengikutnya akan menjauhinya. Para pemuka masyarakat Tsamud lalu mendatangi Nabi Shaleh. “Hai Shaleh, kalau engkau benar-benar seorang Nabi, perlihatkanlah kepada kami suatu Mukjizat! Kalau tidak, tentulah engkau pembohong!” kata salah seorang pemuka masyarakat itu.

Nabi Shaleh AS memang tidak mampu mendatangkan suatu Mukjizat, akan tetapi ia yakin, kalau itu syarat agar kaumnya mau mengikuti ajarannya, ia akan memohon kepada Allah SWT. Ia percaya Allah SWT pasti akan mengabulkan permohonannya.

“Akan kutunjukkan kepadamu suatu Mukjizat! Tetapi dengan satu syarat, kalian semua harus mengikutiku menyembah Allah!” kata Nabi Shaleh AS. Ia mengajukan syarat itu kepada tokoh-tokoh masyarakatnya, syarat itu mereka setujui, ia yakin kalau pemuka-pemuka masyarakatnya sudah bertobat dan menyembah Allah, rakyat akan mengikutinya.

Nabi Shaleh lalu berdoa sepenuh hati kepada Allah. “Ya Tuhanku! Kaumku tetap mendustakan kenabianku. Hanya sedikit orang yang mau mendengar kata-kataku. Untuk meyakinkan mereka, sudilah Engkau memberikan kepadaku suatu Mukjizat sebagai tanda kebenaranku. Mudah-mudahan mereka akan mengikutiku di jalan-Mu yang lurus!”

Allah mengabulkan permohonan Nabi Shaleh AS. Seekor Unta Betina yang luar biasa indahnya akan muncul dari puncak bukit. Unta itu gemuk, sehat dan bagus sekali. Belum pernah ada unta seindah itu dipermukaan bumi ini. Unta itu mempunyai air susu yang tidak habis-habisnya. Setiap orang boleh mengambil air susunya. Akan tetapi unta itu harus dibiarkan bebas berkeliaran. Ia tidak boleh diganggu. Dan pada hari-hari tertentu unta itu harus diberi kesempatan untuk minum sepuas-puasnya pada sumur penduduk.

Ilham yang diturunkan oleh Allah itu diberitahukannya kepada para pemuka masyarakat Tsamud. Lalu Nabi Shaleh menyuruh mereka berkumpul di kaki sebuah bukit di pinggiran kota Alhijir. Para pemuka masyarakat dan penduduk pun ramai berkumpul di kaki bukit itu. Mereka semua ingin menyaksikan keajaiban yang akan diperlihatkan oleh Nabi Shaleh AS.

Setelah penduduk berkumpul semuanya, Nabi Shaleh berdoa, menadahkan tangannya ke langit. Selesai berdoa, kilat menyambar-nyambar di puncak bukit itu. Kilat itu terang sekali, cahayanya sangat menyilaukan. Tak lama kemudian di puncak bukit itu bergemuruh. Tanah terguncang seperti gempa. Tiba-tiba puncak bukit itu terbelah. Bersamaan dengan itu, seekor unta betina yang sangat indah keluar dari dalam tanah. Unta itu berdiri dengan megahnya.

Para pemuka masyarakat dan semua yang hadir sama-sama tercengang. Unta itu lalu turun dari atas bukit, langsung menuju sumur penduduk. Ia minum sepuas-puasnya. Benar seperti yang dikatakan Nabi Shaleh AS, Unta itu selalu mengeluarkan air susu yang tidak habis-habisnya.

Kepada semua penduduk, Nabi Shaleh mengatakan agar menjaga keselamatan unta itu, lalu berseru, “Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah ia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat.” (QS. Hud: 64).

Tetapi apakah dengan Mukjizat unta itu mereka akan mengakui kebesaran Allah? Ternyata tidak! Para pemuka masyarakat itu malah menuduh Nabi Shaleh tukang sihir. Namun begitu, sejak peristiwa itu, pengaruh Nabi Shaleh di kalangan kaumnya makin besar. Para pengikutnya semakin yakin akan kebenaran yang diajarkan Nabi Shaleh AS. Pengikutnya pun makin bertambah. Sementara itu Unta yang dalam Al-Qur’an disebut Naqatullah, Unta Allah, bebas berkeliaran. Penduduk takut mengganggunya. Mereka takut akan azab yang di ancamkan oleh Nabi Shaleh AS.

Peristiwa tersebut sangat mencemaskan para pemuka masyarakat Tsamud. Hal itu tidak boleh dibiarkan. Unta itu jadi perlambang kemenangan Nabi Shaleh AS, maka itu harus segera dilenyapkan.

Bersambung

Kisah Nabi Shaleh AS dan Siasat Janda Cantik (Bagian 3 Habis)

Para pemuka kaum Tsamud lalu mengadakan persekongkolan. Mereka menjalankan siasat busuk lagi hina. Seorang janda kaya raya lagi sangat cantik, bernama Shaduk binti Mahya dijadikan sebagai umpan. Perempuan itu mengumumkan kepada penduduk bahwa ia bersedia menyediakan dirinya kepada laki-laki manapun yang dapat membunuh unta Nabi Shaleh itu. Ushadda bin Muharrij, seorang pemuda kekar yang sangat pemberani menyatakan kesanggupannya membunuh unta itu. Bahkan ia mau melakukan apa saja, asal ia dapat memperoleh janda yang kaya raya lagi molek itu.

Ada lagi seorang tua yang mempunyai beberapa gadis cantik. Di hadapan para pemuka Tsamud ia mengatakan bahwa ia akan menyerahkan seorang gadisnya kepada Gudar bin Salif kalau ia mau membunuh unta Nabi Shaleh AS. Gudar memang seorang pemberani. Tentu saja ia menyanggupi karena ia ingin sekali menyunting gadis itu

Mushadda dan Gudar mencari tujuh orang teman lagi. Mereka pun lalu pergi mencari unta itu. Kebetulan unta tersebut sedang menuju sebuah sumur. Para pembunuh itu lalu bersembunyi dalam semak-semak. Saat unta melintas di depan mereka, Mushadda membidikkan panahnya, paha unta itu kena. Unta itu menjerit kesakitan dan berlari, akan tetapi Gudar dengan cepat melompat. Pedangnya ditikamkan ke perut unta itu. Unta itupun roboh dengan pekikan yang menyedihkan. Ususnya berhamburan. Tak lama kemudian unta itu mati.

Mushadda dan Gudar menunggu dengan hati berdebar. Apakah akan terjadi sesuatu setelah unta itu terbunuh? Bukankah Nabi Shaleh telah menyatakan akan datang azab tuhan kalau unta itu dibunuh?

Mereka menunggu beberapa lama, namun tidak terjadi apa-apa legalah hati mereka. Mereka lalu kembali ke kota. Sepanjang jalan mereka berteriak-teriak, memberitahukan bahwa unta Nabi Shaleh telah mereka bunuh. Mereka merasa dirinya sebagai pahlawan. Mereka disambut dan dielu-elukan oleh para pemuka masyarakat Tsamud. Pada saat itu juga mereka mendatangi Nabi Shaleh AS.

“Hai Shaleh, kami telah membunuh untamu itu! Datangkanlah azab yang kau ancamkan kepada kami itu! Kalau tidak, tentulah kau hanya pembohong besar! Kata mereka dengan pongahnya.

“Aku telah bersusah payah mengajak kalian ke jalan yang benar, tetapi kalian tetap menjadi orang yang durhaka kepada Allah. Aku sudah memperingatkan kalian agar tidak menggnggu unta itu, karena unta itu adalah unta Allah, yang hanya mendatangkan keuntungan bagi kalian, tetapi sekarang ia kalian bunuh. Sekarang kalian malah minta agar azab Allah segera dijatuhkan kepada kalian. Sesungguhnya kalian memang patut dibinasakan, karena kalian hanya membuat kerusakan dan membuat kekacauan.”

Setelah itu Nabi Shaleh menyuruh mereka pulang. “Tunggulah azab Tuhan yang akan segera datang. Akan datang petir mengguntur dari langit. Rumah-rumah kalian akan runtuh dan mayat kalian akan bergelimpangan di dalamnya. Akan tetapi bagi mereka yang mengikuti menyembah Allah akan selamat. Tunggulah! Pulanglah kerumah kalian masing-masing. Bersenang-senanglah kalian selama tiga hari, setelah itu kalian akan binasa semuanya!”

“Hai Shaleh, mengapa mesti tiga hari? Kalau engkau memang kuasa, datangkanlah sekarang juga! Kami ingin melihatnya segera!”

Lalu Nabi Shaleh menjawab. “Sungguh kalian ini menjadi orang yang paling durhaka di muka bumi. Neraka jehanamlah yang pantas menjadi tempat kalian kelak. Tunggulah azab itu pasti datang dan tidak satupun diantara kalian yang akan selamat. Tidak ada yang dapat menolong kalian. Apalagi berhala kalian itu. Bukan aku yang mendatangkan azab, tetapi tuhanku, Azza wa jalla!”

Penangguhan waktu tiga hari itu membuat bangsa Tsamud menjadi sangat gelisah. Rupanya Nabi Shaleh AS bermaksud memberi kesempatan berpikir bagi kaumnya yang durhaka itu. Namun percuma saja, mereka bukannya sadar dan bertobat, tapi malah merencanakan untuk membunuh Nabi Shaleh AS.

Mashadda dan Gudar serta ketujuh temannya, pada malam pertama menjelang hari kedua mendatangi rumah Nabi Shaleh AS. Mereka berikrar akan membunuhnya malam itu. Akan tetapi Allah melindungi utusan-Nya. Batu-batu besar berjatuhan dari langit menimpa kepala mereka satu persatu. Mereka bersembilan mati saat itu juga.

Nabi Shaleh akhirnya memutuskan tidak ada lagi gunanya tinggal bersama orang-orang durhaka itu. Sehari sebelum turunnya azab, berangkatlah Nabi shaleh AS bersama pengikutnya meningglkan Alhijir, negeri mereka, menuju tanah Palestina. Tatkala Nabi Shaleh dan pengikutnya sudah berada di tempat aman, tampaklah awan hitam yang sangat tebal menggantung di atas kota kaum Tsamud. Kemudian terdengar suara mengguntur sangat dahsyat di langit. Petir dan halilintar menyambar dan meruntuhkan seluruh bangunan dan kebun mereka.

Bangsa Tsamud yang durhaka kepada Allah SWT itu semuanya binasa. Terbakar hangus laksana rumput kering. Bumi pun berguncang keras sekali dan akhirnya tempat itu meledak dengan suara yang sangat dahsyat. Semuanya menjadi abu, berterbangan di tiup angin.

“Alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku. Sesungguhnya kami menimpakan atas mereka satu suara yang keras mengguntur. Maka jadilah mereka seperti rumput kering (yang di kumpulkan oleh) yang punya kandang binatang.” (QS. Al-Qomar: 30-31).

Bangsa Tsamud dan peradabannya lenyap, seperti tidak pernah ada di permukaan bumi. Mereka hancur sebelum mengetahui apa yang terjadi. Yang tinggal hanyalah sejarahnya yang di nukilkan dalam kitab suci, agar menjadi peringatan bagi umat manusia sesudahnya. Sedangkan orang-orang yang beriman bersama Nabi Shaleh AS, telah meninggalkan tempat itu sehingga mereka selamat.

Sabtu, 24 April 2010

Kekuatan Alquran yang Terlupakan


Oleh: Tarmizi Taher
(Ketua Dewan Direktur Center for Moderate Muslim)

Negeri ini sedang proses tumbuh dan berkembang. Perubahan yang terjadi terbukti tidak hanya bersifat fisik material, tetapi juga menyeret perubahan pada norma dan nilai. Kadangkala, nilai dan norma itu hanya sekadar dikemas dalam slogan indah, seperti demokratisasi, keterbukaan, dan hak asasi manusia.

Modernitas adalah proses pertumbuhan dan perubahan yang sudah kita jalani selama hampir tiga dasawarsa. Kita harus berani menolak hal-hal yang membawa kebobrokan moral, hedonisme, dan kekerasan. Hal seperti itu tentu sangat mengancam masa depan bangsa kita.

Bila jalan hidup kita lupa dan tidak berpegangan dengan kokoh pada Alquran, perubahan nilai yang akan mengesahkan segala nilai baru yang masuk tentu akan membawa akibat yang buruk. Oleh karena itu, kita harus mempelajari dan memahami Alquran serta sejak dini mengajarkannya kepada generasi baru.

Orang tua yang berhasil memenuhi segala keperluan material anak, tetapi melupakan tugas mendasar mendidik anak-anaknya, terbukti harus membayarnya dengan mahal. Sebab, anaknya sering menjadi anak yang gagal dalam aspek material dan spiritual.

Di samping itu, rumah ibadah kita harus sudah selayaknya disuburkan dengan pengajaran Alquran dan juga ibadah shalat. Karena agama kita sangat mendorong pada kemajuan, nalar, dan pendidikan; selain sebagai tempat persemaian pemahaman Alquran, masjid atau mushala sebaiknya juga digunakan untuk menunjang pendidikan.

Rumah ibadah tak hanya dibangun dengan bentuk yang indah, menarik, sejuk, dan nyaman. Akan tetapi, yang penting, bagaimana anak-anak muda menyukainya sebagai tempat belajar yang menyenangkan. Rumah ibadah yang tidak bersih sesungguhnya bertentangan dengan kaidah dan tuntunan agama yang menyerukan kebersihan.

Umat Islam perlu mengingat, dulu Timur Tengah jahiliyah yang tak dikenal dalam peta sosial ataupun peradaban besar umat manusia di mana pun; hanya dalam waktu kurang dari 50 tahun telah berhasil menciptakan peradaban baru yang gemilang. Peradaban baru dari agama Islam itu kemudian menjadi inspirasi hidup kemanusiaan, keadilan, egaliter, dan antifeodalisme. Dengan pedoman Alquran pula, umat manusia mula-mula belajar empirisme, melatih kebiasaan pembuktian, menjauhi syirik, dan membuat landasan penting bagi pengembangan sains dan ilmu pengetahuan.

Dalam ayat-ayat Alquran, manusia berkali-kali didorong untuk bepergian meninggalkan tempat kelahiran, termasuk juga perintah menunaikan haji bagi mereka yang mampu. Ajaran ini secara tidak langsung menciptakan lalu lintas perdagangan lokal, regional dan global, tourisme , dan berbagai ekspedisi ilmu pengetahuan. Berbagai contoh itu menunjukkan bahwa kitab suci tidak membuat umat menjadi statis. Justru, Alquran menjadikan manusia dinamis, suka mengembara, berekspedisi mencari ilmu, serta melakukan perdagangan demi kesejahteraan diri dan masyarakatnya.

Alquran bukan sekadar kutipan para ulama dan dai dalam ceramah saja, tetapi menjadi petunjuk kehidupan umat manusia. Umat manusia pada masa depan harus semakin mampu mengamalkan ajaran kitab suci. Merupakan sebuah perbuatan yang agak sia-sia jika ayat suci Alquran terus disuarakan di mana-mana, tetapi akhlak tidak semakin baik. Begitu juga semakin memperbesar dosa jika kita cuma rajin melombakan tilawatil Alquran, tetapi akhlak dan moral kita semakin melorot ke bawah.

Pengawas
Manusia sudah seharusnya menjadikan Allah sebagai Maha Pengawas atas segala aktivitas yang dilakukan. Jika tidak merasa ada pengawas dalam diri, tindakan korupsi dan manipulasi hukum dengan mudahnya dapat dilakukan. Kita tentu tak lupa, sejak kecil diajarkan bahwa dosa yang terjadi dalam bentuk sekecil dan sependek waktu apa pun tidak akan terlewat dari pencatatan malaikat yang nantinya wajib dipertanggungjawabkan oleh yang melakukannya.

Dengan penghayatan dan pengamalan Alquran secara mendalam, kita juga dapat menumbuhkan keadilan, persamaan, dan kejujuran untuk kemanusiaan secara terus-menerus. Nilai-nilai yang menjadi fungsi dan isi bacaan-bacaan Alquran seperti itulah yang harus dikembangkan pada masa sekarang dan akan datang.

Alquran tidak hanya bermuatan sejarah dan hukum. Ajaran tentang spirit kemajuan dan kerukunan, larangan merusak rumah ibadah, serta larangan memaksa agama adalah pelajaran yang juga tertera secara jelas dalam Alquran. Itu semua merupakan ajaran yang amat modern di era globalisasi dan era informasi sekarang ini.

Kemajemukan adalah ciri umat manusia zaman modern. Masyarakat yang dikehendaki oleh Alquran adalah masyarakat majemuk. Jadi, bukan sekadar masyarakat monolitik (tunggal). Hal itu dengan tegas dinyatakan Alquran dalam surah Yunus ayat 99, yang dengan jelas menyatakan bahwa Allah yang Mahakuasa, apabila menghendaki, sangat mudah untuk menjadikan semua orang beriman kepada-Nya .

Sejatinya, di negeri ini, kita suburkan solidaritas dan toleransi. Akan tetapi, bukan solidaritas dan toleransi terhadap korupsi dan kekerasan. Solidaritas dan toleransi merupakan perintah agama yang menjadi bingkai ajaran untuk menciptakan kerukunan. Kita harus menghormati sesama manusia yang merupakan ciptaan Allah meskipun berbeda agama. Namun, kita tidak akan hormat terhadap tindakan bermacam bentuk mafia di negeri ini.

Alquran menjelaskan bahwa semua makhluk diciptakan Allah untuk tidak menjadi sia-sia. Alquran memang ajaran yang sangat modern karena menjadi hukum bagi pelanggar hukum. Yang tatkala penting, Alquran sesuai dengan perkembangan zaman yang menuntut adanya solidaritas, toleransi, sikap saling menghormati, dan peduli kepada rakyat kecil, tetapi bukan peduli pada tindakan mafia yang besar ataupun kecil. Wallahualam .

Allah Menyapa


Oleh Nur Faizin M Lc MA

''Lalu, ke manapun kamu menghadap, maka di situlah 'wajah' Allah.'' (QS Al-Baqarah: 115). Allah ada di manapun manusia berada, namun manusia sering kali lupa dan tidak mampu merasakan kehadirannya serta tidak bisa melihat tanda-tanda kekuasaannya yang terdapat di seluruh alam semesta.

Allah SWT menyapa manusia melalui media ayat-ayat alam semesta ( kauniyyah) dan ayat-ayat Alquran (qauliyyah ). Agar manusia menyadari sapaan Allah, manusia yang melihat ayat-ayat tersebut harus memahami fungsi alam semesta sekaligus mampu mengelaborasikannya dengan Alquran.

Begitu juga ketika membaca Alquran, seharusnya kita mampu memahaminya sesuai dengan fungsi-fungsi dan tujuan Allah menciptakan alam semesta. Yaitu, untuk kemaslahatan dan memberi manfaat kepada seluruh anak manusia.

Secara tegas, Allah sangat sering menyapa manusia dengan sapaan yang penuh makna; '' Ya ayyuhal ladzina Aamanu '' (wahai orang-orang yang beriman), '' Ya Ayyuhan Naasu '' (wahai manusia), Ya 'ibaadi (hai hamba-hambaku), dan lain sebagainya.

Seruan-seruan Allah yang banyak kita temukan di permulaan ayat-ayat Alquran itu, seharusnya mampu menggugah pribadi seorang mukmin untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Bukankah kita percaya bahwa ayat-ayat Alquran adalah firman Allah, namun mengapa keyakinan itu hanya sebatas pada tataran pikiran dan kemantapan hati belaka?

Kepercayaan atau keimanan dalam pandangan Islam adalah ibarat mesin yang menggerakkan jasad untuk melakukan perbuatan baik dan amal saleh sebagai bentuk implementasi.

Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya `Ulumud Din menyebutkan tiga tingkatan manusia yang membaca ayat-ayat Alquran: Pertama, merasa sedang membacanya di hadapan Allah sehingga khusyuk dan berusaha untuk membacanya dengan benar.

Kedua, merasa bahwa Allah sedang berkata dan menyapa kepadanya sehingga dia akan berusaha untuk memahami ayat-ayat Alquran, lalu melaksanakannya. Ketiga, merasa bahwa Allah sedang hadir dan berdialog bersamanya sehingga ketika ada ayat perintah ia merasa Allah langsung memerintahkan padanya. Dan ketika ada larangan, dia sadar bahwa Allah sedang hadir melarangnya.

Al-Ghazali tidak menyebutkan tingkatan keempat yang lebih baik dalam membaca ayat-ayat Alquran, yaitu membaca ayat-ayat Alquran dengan mengombinasikan dan mengelaborasikan kandungannya ke dalam pembacaan terhadap ayat-ayat alam semesta raya ( kauniyyah ).

Dengan demikian, ayat-ayat Alquran dapat menyatu dan menghiasi semua perilaku manusia pada saat ia diberikan kesempatan mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam semesta ini. Hanya dengan cara seperti itulah, ayat-ayat Alquran dapat memberikan perannya bagi ekosistem dan iklim alam. Wallahu a`lam.

Selasa, 20 April 2010

Memahami Islam di Indonesia

Oleh Azyumardi Azra

Banyak kalangan Barat merasa semakin perlu memahami Islam di Indonesia atau yang juga disebut sebagai Islam Indonesia. Dorongan dan keperluan itu disebabkan kian dikenalnya Indonesia sebagai negara paling banyak memiliki penduduk beragama Islam. Bahkan, sering juga Indonesia disebut sebagai negara Muslim terbesar di dunia Islam.
Kenyataannya, Indonesia dalam 10 tahun terakhir juga merupakan negara demokrasi terbesar di muka bumi setelah India dan AS. Hal tersebut memperkuat dorongan untuk lebih memahami Islam di negeri ini.

Dalam konteks itu, Robert Pringle, seorang Amerika yang pernah bertugas sebagai diplomat pada awal 1970-an di Indonesia, menjadi contoh terakhir lewat karyanya Understanding Islam in Indonesia: Politics and Diversity (Singapore: Editions Didier Millet, 2010). Meski Pringle dalam karyanya ini memakai istilah 'Islam in Indonesia', ia juga menggunakan istilah 'Islam Indonesia' secara bergantian. Istilah terakhir ini mengisyaratkan, dia melihat distingsi Islam Indonesia yang khas, khususnya dalam politik dan keragaman [budaya], yang tidak ditemukan di tempat-tempat lain di dunia Muslim.

Sebenarnya, banyak orang asing, baik akademisi, diplomat, maupun masyarakat umumnya, bahkan masyarakat Indonesia sendiri, tidak memahami Islam Indonesia dengan baik dan akurat. Hal seperti itu disimpulkan dalam buku tersebut, Persepsi-persepsi populer tentang Islam di negara mayoritas Muslim terbesar [di muka bumi] mencerminkan stereotipe yang saling bertentangan. Sebagian orang melihatnya sebagai mistikal dan jinak. Sebagian lainnya ketakutan karena [bagi mereka] para ekstremis Islam telah berada pada jalan untuk mendominasi demokrasi Indonesia yang tengah bergulat.

Bagi Pringle, orang harus melangkah ke luar dari persepsi-persepsi stereotipe dan berusaha memahami apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia dewasa ini. Untuk itu, orang perlu mengetahui berbagai aspek masyarakat Indonesia dan khususnya tentang peristiwa-peristiwa historis tertentu yang memiliki kekuatan penjelasan. Untuk kepentingan itu, Pringle berusaha mengungkapkan perjalanan historis Islam Indonesia yang begitu panjang, sejak kedatangan dan penyebaran Islam di kawasan ini, masa penjajahan Belanda dan Jepang, sampai masa presiden Soekarno, Soeharto, dan dinamika terkini.

Dalam kurun begitu panjang, perjalanan Islam Indonesia dalam politik penuh berbagai peristiwa tidak selalu menyenangkan dan traumatik, yang memengaruhi secara signifikan aktualisasi Islam politik.
Pengalaman traumatik itu terjadi tidak hanya pada masa Belanda, tetapi juga masa menjelang dan setelah kemerdekaan. Memang, dalam waktu relatif pendek, pada masa Jepang, para pemimpin Muslim terekrut ke dalam pergumulan politik. Namun, kemudian, terkesampingkan oleh para pemimpin lain yang biasa disebut sebagai nasionalis yang secara tipikal diwakili Soekarno. Pada masa terakhir ini, Pringle menemukan akar-akar marginalisasi Islam sejak dari penghapusan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945, tersudutnya Islam karena pemberontakan DI/TII, sampai kegagalan partai-partai Islam mendapatkan suara mayoritas dalam Pemilu 1955: [partai] NU, Masyumi, dan PSII hanya mampu mendapatkan suara 42 persen.

Dalam masa presiden Soeharto, Islam politik bukan hanya mengalami marginalisasi. Pringle lebih jauh lagi menggunakan ungkapan 'Islam ditindas' yang berujung pada 'lenyapnya' Islam politik. Akan tetapi, justru di tengah situasi ini, Islam yang biasa disebut sebagai Islam kultural mengalami kebangkitan. Dalam pengamatan Pringle, Islam mengalami ekspansi luar biasa berkat pertumbuhan ekonomi, yang menimbulkan perubahan sangat cepat dan berdampak panjang dalam bidang sosial, kultural, dan keagamaan. Hasilnya, menjelang jatuhnya pemerintahan presiden Soeharto, berbagai lembaga baru Islam lengkap dengan gaya dan praktik baru Islam pun juga merebak sampai ke tingkat yang tidak bisa dimundurkan lagi.

Maka, kerangka Gertzian yang sangat disukai banyak kalangan Indonesianis yang membelah kaum Muslim menjadi 'santri' dan 'abangan' menjadi tidak relevan lagi. Bagi Pringle, kerangka ini justru bertanggung jawab atas terjadinya distorsi dalam memahami Islam Indonesia. Kategori Muslim abangan yang misalnya dilekatkan kepada para petani Jawa tidak lagi eksis dalam kehidupan keagamaan. Mereka telah tersapu peningkatan kesalehan Islam, tulis Pringle.

Pringle memang tidak memiliki pretensi untuk menulis karya yang murni akademis; tetapi sebaliknya lebih populer, tanpa harus kehilangan makna ilmiahnya. Bagi saya, pendekatan Pringle ini memiliki kekuatan tertentu: karya menjadi lebih mudah dibaca meski mengandung argumen-argumen yang dapat melibatkan diskusi dan perdebatan akademis intens, yang tentu saja sangat rumit.

Hikmah Bersyukur

Oleh: Mukhyar Imran Lc


''Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'.'' (QS Ibrahim [14]: 7).

Sudah seharusnya kita sebagai hamba bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Mulai dalam kandungan ibu sampai menjadi manusia yang bisa berpikir hingga kembali pada-Nya adalah nikmat Allah yang tidak terhingga. Mulai dari kesenangan hidup, rezeki, dan kasih sayangnya yang tak pernah putus.

Akankah kita mengingkari, menentang, melanggar, dan tidak mau mengabdikan diri kepada-Nya? Dari ayat di atas, kita dapat menarik hikmah bahwa bersyukur adalah sebuah jalan untuk mencari keridhaan-Nya. Sebaliknya, bila manusia mengingkari nikmat-Nya, bersiaplah menerima azab yang sangat pedih.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus senantiasa bersyukur atas segala nikmat dan anugerah yang diberikan Allah. Kita mesti bersyukur saat memperoleh kesenangan dan bersabar saat tertimpa musibah.

Rasulullah SAW bersabda, ''Perkara orang Mukmin itu mengagumkan. Sesungguhnya, semua perihalnya baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang Mukmin. Bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya. Bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya.'' (HR Muslim No 5318).

Sesungguhnya, nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita sangat banyak jumlahnya dan tak terhingga. Semua yang diberikan itu, sekiranya suatu saat Allah menagihnya, kita tidak akan sanggup untuk membayarnya. Sebab, nikmat itu diberikannya setiap saat dan tak pernah berhenti, mulai dari bangun tidur hingga kita tertidur lagi. Alangkah pengasih dan penyayangnya Allah kepada kita, umat manusia.

Allah SWT berfirman, ''Dan, Dia telah memberikanmu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan, jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).'' (QS Ibrahim [14]: 34).

Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk bersyukur kepada manusia. Karena, syukur kepada manusia merupakan salah satu bentuk tanda syukur kepada Allah SWT.

''Siapa yang tidak pandai bersyukur (berterima kasih) kepada manusia, berarti ia belum bersyukur kepada Allah.'' Abu Isa berkata, ''Ini adalah hadis hasan sahih.'' (HR Tirmidzi No 1877).

Dengan memperbanyak syukur, manusia akan menyadari segala kelemahan dan kekurangannya di hadapan Allah. Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur.

Minggu, 18 April 2010

Cara Kerja Mafia Kemungkaran



Cara Kerja Mafia Kemungkaran
ilustrasi
Oleh Prof Dr HM Baharun


Kemungkaran berasal dari akar kata 'mungkar' yang bermakna durhaka atau tidak taat agama dan moralitas. Kemungkaran merupakan kedurhakaan yang diperbuat seseorang dan sudah pasti berakibat merugikan orang lain. Begitu seterusnya. Secara sistemis, itu merusak umat dan masyarakat.

Karena itu, kemungkaran berarti perilaku yang antikemanusiaan. Skandal penyelewengan, penyalahgunaan wewenang, kepongahan jabatan, perselingkuhan, korupsi, kolusi, konspirasi, praktik money politics, dan persekongkolan jahat lainnya adalah perbuatan mungkar dan telah membuat rakyat sengsara.

Pendidikan keimanan, keadilan, dan kejujuran tampaknya telah gagal membangun karakter setiap individu. Sehingga, sekelompok orang kini begitu mudah melakukan kemungkaran meski mereka mengetahui akibat buruknya. Kemungkaran yang terjadi, seperti yang dipertontonkan oleh sebagian public figure sekarang ini, telah menjadi seperti 'mode'. Inilah kemungkaran sistemis yang sangat berbahaya dan bisa menjerumuskan anak-anak bangsa dalam kubang keterpurukan sosial yang paling parah.

Karena terbiasa dengan kemungkaran, akhirnya tanpa rasa tanggung jawab, bila ada pelaku skandal kemungkaran yang terlibat, mereka akan mencari alibi (alasan) agar terbebas dari jerat hukum duniawi. Padahal, meskipun lepas dari hukum dunia, dia tidak akan terbebas dari hukum akhirat.

Rasulullah SAW mengatakan, "Barang siapa menyaksikan kemungkaran, hendaklah mengubahnya dengan tangan (kekuasaan umara). Jika tak bisa, hendaklah dengan lisan (nasihat ulama). Jika tak bisa pula, hendaklah dengan hati (doa orang tak berdaya), inilah selemah-lemah iman." (Alhadis).

Kemungkaran tak boleh dibiarkan karena akan merusak sendi-sendi keharmonisan dan tatanan sosial. Dalam Alquran, kata makruf (baik) selalu disandingkan dengan pencegahan perbuatan mungkar (keburukan).

Disebutkan dalam kitab suci bahwa yang berbuat kemungkaran itu telah mengikuti setan (QS 24: 21). Karena itu, orang munafik mengajak pada kemungkaran (QS 9:67). Sebaliknya, orang yang beriman dan mengikuti petunjuk rasul akan berkomitmen mencegah kemungkaran (QS 9:71 dan 7: 157). Dan, Allah menyuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kemungkaran dan permusuhan (QS 16: 90).

Orang yang gagal dalam mencegah kemungkaran pada dirinya adalah orang yang gagal pula dalam shalatnya. Ada jaminan dari Alquran bahwa shalat yang dilaksanakan secara benar dan sungguh-sungguh akan mampu mencegah diri seseorang itu berbuat keji dan mungkar (QS 29: 45).

Jumat, 16 April 2010

Rahasia untuk Jaya di Usia Senja



Rahasia untuk Jaya di Usia Senja

Oleh Wiyanto Suud


Orang yang lanjut usia sering kali dianggap beban bagi keluarga daripada tumpuan. Kita juga sering mendengar dan menyaksikan, baik dari media cetak maupun elektronik --bahkan dalam kehidupan sehari-hari-- ulah dan kenakalan para lansia. Semakin tua, semakin buruk perangainya. Padahal, bagi mereka itu telah banyak kenikmatan yang dikurangi oleh Allah SWT.

Syahdan, suatu ketika Ma'an bin Zaidah mendatangi Al-Makmun. Al-Makmun bertanya, "Bagaimana keadaanmu di usia tua renta ini?" Ia menjawab, "Aku bisa jatuh hanya karena tersandung kotoran unta, dan cukup diikat hanya dengan sehelai rambut."

Al-Makmun bertanya lagi, "Bagaimana tanggapanmu terhadap makanan, minuman, dan tidurmu?" Ia menjawab, "Bila lapar, aku marah; dan bila makan, aku merasa jengkel; bila berada di antara orang-orang, aku mengantuk; dan bila di atas kasur, aku terjaga."

"Bagaimana pendapatmu tentang para wanita?" Ia menjawab, "Kalau wanita yang buruk rupa, aku tidak menginginkan mereka; sedangkan para wanita yang cantik, mereka tidak menginginkanku." Al-Makmun berkata, "Kalau begitu, tidak pantas orang sepertimu dianggap muda."

Sungguh amat keterlaluan bagi orang-orang yang sudah lanjut usia, tapi masih juga melakukan maksiat. Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT tidak akan menerima dalih seseorang sesudah Dia memanjangkan usianya hingga 60 tahun." (HR Bukhari).

Oleh karena itu, Allah memberi pujian kepada mereka yang berusia senja, tapi masih tetap menjaga keimanannya. Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah menyampaikan firman Allah SWT, "Demi kemuliaan-Ku, keagungan-Ku, dan kebutuhan hamba-Ku kepada-Ku, sesungguhnya Aku merasa malu menyiksa hamba-Ku, baik laki-laki maupun perempuan, yang telah beruban karena tua dalam keadaan Muslim."

Tua dalam keadaan Muslim yang dimaksud dalam hadis Qudsi di atas adalah orang yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya. Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik orang di antara kalian ialah yang panjang umurnya dan baik pula amalannya." (HR Tirmidzi).

Dengan demikian, kebahagiaan di akhirat harus dicapai dengan bekal pahala yang banyak dari amal saleh yang sebanyak-banyaknya. Rasulullah telah memberikan resep tentang amal yang pahalanya akan terus mengalir meskipun kita sudah meninggal dunia.

Rasul SAW bersabda, "Apabila seorang anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang senantiasa mendoakan orang tuanya." (HR Muslim). Inilah rahasia keberkahan usia yang terus bertambah, dan tetap mengalir pahala kebaikannya. Ibarat sebuah aset, kita tinggal menikmati keuntungan dan kejayaan kita.

Noda yang Menghancurkan Ibadah



Noda yang Menghancurkan Ibadah

Oleh: Abdullah Hakam Shah MA


Banyak orang beranggapan bahwa kualitas ibadah hanya ditentukan oleh syarat, rukun, dan kekhusyukan dalam pelaksanaannya. Misalnya, shalat yang berkualitas adalah yang didahului oleh wudlu yang benar, suci pakaian dan tempatnya, serta khusyuk dalam melakukan setiap rukunnya. Demikian pula dengan ibadah-ibadah yang lain.

Saad bin Abi Waqqash RA bertanya kepada Rasulullah SAW tentang rahasia agar ibadah dan doa-doanya cepat dikabulkan. Rasul SAW tidak mengajari Sa'ad tentang syarat, rukun, ataupun kekhusyukan. Rasul mengatakan, "Perbaikilah apa yang kamu makan, hai Sa'ad." (HR Thabrani).

Ada sindiran yang hendak disampaikan Rasulullah SAW lewat hadis di atas. Yaitu, bahwa kebanyakan manusia cenderung memperhatikan 'kulit luar', tapi lupa akan hal-hal yang lebih urgen dan fundamental.

Setiap Muslim pasti mengetahui bahwa shalat atau haji mesti dilakukan dengan pakaian yang suci. Pakaian yang kotor akan menyebabkan ibadah tersebut tidak sah alias ditolak. Namun, betapa banyak di antara kaum Muslim yang lupa dan lalai bahwa makanan yang diperoleh dari cara-cara yang kotor juga akan berujung pada ditolaknya ibadah dan munajat kita.

Rasul SAW telah mengingatkan, "Demi Zat Yang menguasai diriku, jika seseorang mengonsumsi harta yang haram, maka tidak akan diterima amal ibadahnya selama 40 hari." (HR Thabrani).

Dalam hadis lain yang dinukil Ibnu Rajab al-Hanbali, Rasul SAW bersabda, "Barangsiapa yang di dalam tubuhnya terdapat bagian yang tumbuh dari harta yang tidak halal, maka nerakalah tempat yang layak baginya."

Di sinilah terlihat dengan jelas, korelasi antara kualitas ibadah dan sumber penghasilan. Bahkan, karena ingin memastikan bahwa semua yang dikonsumsi berasal dari sumber yang halal, para Nabi dan Rasul menekuni suatu pekerjaan secara langsung untuk menghidupi diri dan keluarga mereka.

Nabi Dawud adalah seorang pandai besi dan penjahit, Nabi Zakaria seorang tukang kayu, Rasulullah SAW adalah seorang pedagang, dan seterusnya. Demikian pula dengan para sahabat yang mulia; mayoritas kaum Muhajirin berprofesi sebagai pedagang, sementara kaum Anshar mengandalkan hidupnya dari pertanian.

Lebih dari itu, ketika seseorang bergelimang harta haram, dan ia menafkahi keluarganya dengan harta tersebut, sebenarnya ia tidak hanya menodai ibadahnya sendiri. Tapi, juga menodai ibadah dan masa depan anak-istrinya.

Seperti komentar Syekh 'Athiyah dalam Syarh al-Arbain an-Nawawiyah, "Orang tua seperti itu secara sengaja membuat ibadah dan doa anak-anaknya tertolak. Sebab, ia menjadikan tubuh mereka tumbuh dari harta yang haram." Wa Allahu a'lam

Sabtu, 10 April 2010

Proses Cepat yang Melumat Peradaban

Proses Cepat yang Melumat Peradaban
ilustrasi
Oleh Imam Nur Suharno MPdI


Suatu hari, para pembesar Quraisy menggelar rapat khusus. Pasalnya, salah seorang wanita Quraisy dari Bani Makhzum telah mencuri. Antara panik dan resah karena takut kasus ini terekspos ke publik, mereka pun berpikir keras. Siapa orang yang bisa melobi Rasulullah SAW untuk mempetieskan kasus ini. Pilihan pun jatuh ke Usamah bin Zaid.

Usamah bergegas menemui Rasulullah SAW dengan sangat hati-hati dan penuh harap. Pemuda kesayangan Nabi SAW itu mengungkapkan maksud kedatangannya. Intinya, ia meminta hak khusus agar Nabi SAW tidak memidanakan kasus ini. Paham akan kedatangan Usamah, Rasulullah SAW menjadi merah wajahnya. Beliau menahan marah luar biasa. Lalu, Rasulullah SAW berdiri seraya berkata, "Sesungguhnya, yang telah menghancurkan orang-orang sebelum kamu adalah (sikap tercela mereka). Apabila yang mencuri itu adalah orang terpandang di antara mereka, mereka membiarkannya. Namun, apabila yang mencuri itu adalah orang yang lemah, mereka menegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, andai Fatimah, putri Muhammad, mencuri niscaya aku potong tangannya." (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis di atas menggambarkan ketegasan Rasulullah SAW dalam masalah hukum. Tegas dalam menegakkan supremasi hukum, tanpa pilih kasih, tanpa pandang bulu, atau tebang pilih siapa pun pelakunya. Hukum harus bersih dari intervensi kepentingan siapa pun. Sistem birokrasi pun harus bersih dari unsur keluarga dan kekerabatan.

Tegaknya supremasi hukum akan melahirkan kepastian. Kepastian akan yang benar dan salah. Dari keseharian, kita sering kali menyaksikan keadilan masih berpihak kepada orang-orang yang terpandang. Sementara itu, kaum yang lemah sering kali terpinggirkan, bahkan menjadi bahan uji coba perundang-undangan.

Persoalan sederhana ditangani secara berlebihan. Yang seharusnya diselesaikan menurut ukurannya justru menjadi besar dan luas hanya karena tidak mampu menempatkan persoalan secara proporsional. Sementara itu, persoalan yang besar justru seakan-akan hilang begitu saja.

Oleh karena itu, keadilan menuntut kejujuran dan objektivitas. Maksudnya, tidak berpihak, kecuali pada kebenaran dan rasa keadilan itu sendiri. Allah SWT menegaskan, "Hai, orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan, janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Almaidah [5]: 8). Wallahualam.

Kamis, 08 April 2010

Kiai Haji Aqil Siradj yang Saya Kenal

Oleh Dahlan Iskan

(Dirut PLN)

Salah besar komentar pengamat yang mengatakan dengan terpilihnya KH Said Aqil Siradj sebagai ketua umum (tanfidiyah ) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berarti golongan konservatif yang menang. Kiai Aqil adalah orang yang amat terbuka, moderat, pluralis, bahkan cenderung menggampangkan banyak hal.

Di mata Kiai Aqil Siradj tidak ada barang yang sulit, termasuk dalam beragama. Sampai-sampai muncul guyon di kalangan NU, seperti yang diceletukkan Kiai Ali Mashuri dari Sidoarjo, kalau Anda ingin menanyakan segi halalnya semua hal, bertanyalah ke Aqil Siradj.

Sedangkan kalau menanyakan sudut haramnya semua hal, bertanyalah ke KH Ma'ruf Amin. Dengan terpilihnya Kiai Aqil Siradj boleh dibilang kepemimpinan NU akan lebih cair dan rileks. Akan kembali seperti saat dipimpin Gus Dur dalam skala yang lebih kecil. Seandainya yang terpilih adalah calon satunya, Slamet Effendy Yusuf, wajah kepemimpinan NU akan lebih politis, mirip ketika dipimpin KH Hasyim Muzadi.

Kiai Aqil Siradj sungguh sangat rileks. Bahkan, kini beliau tidak peduli lagi kalau ada orang yang salah memanggil namanya: Agil. Padahal, dulu, beliau selalu mengoreksi kalau ada orang yang memanggilnya Agil. Yang benar adalah Aqil. 'Q' di situ harus diucapkan lebih mendekati huruf 'K' daripada huruf 'G'. Atau tepatnya, harus diucapkan di antara bunyi huruf 'G' dan huruf 'K'.

Bagi yang tidak familiar dengan ucapan huruf Arab, kata 'aqil' memang akan diucapkan salah: Agil atau sekalian Akil. Saya pun yang bertahun-tahun sekolah di madrasah tidak biasa memanggil beliau secara benar. Saya selalu memanggil beliau dengan Agil. Ini gara-gara ada dua orang terkenal yang bernama Agil: KH Said Agil al Munawar (mantan menteri Agama di era presiden Megawati) dan H Agil H Ali (tokoh pers Indonesia).

Maka, ketika pertama kali mengenal beliau di Makkah, saya pun selalu memanggil beliau dengan Agil. Setiap itu pula beliau memberikan koreksi: Aqil! Waktu itu beliau masih mahasiswa program doktor Universitas Ummul Quro di Makkah. Sedangkan saya, bersama-sama tim dari Jawa Pos, sedang menerbitkan koran musiman di Makkah.

Tentu kami sangat beruntung ada mahasiswa sekaliber Said Aqil Siradj bisa bergabung di tim kami. Waktu itu, kami belum memanggil beliau kiai. Kami memanggilnya Ustaz Agil. Saat itulah, selama dua bulan, kami bekerja bersama dalam satu tim siang malam. Dari situ pula, kami berkesimpulan bahwa mahasiswa satu ini sangat istimewa. Encer otaknya dan luas pandangan ilmunya.

Saya kaget ketika ada komentator politik yang mengatakan bahwa dengan terpilihnya KH Said Aqil Siradj sebagai ketua umum Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam Muktamar di Makasar pekan lalu, berarti kemenangan kubu konservatif. Saya sama sekali tidak melihat kekonservatifan Kiai Aqil Siradj. Pandangannya mengenai apa saja benar-benar sangat terbuka dan luas. Dia selalu mempunyai dalil yang kuat untuk segala hal yang menyangkut hidup orang banyak. Setidaknya dia sangat berbeda dengan seorang mahasiswa doktor lainnya yang juga bergabung dengan tim kami.

Kalau yang satu tadi melarang kami menghidupkan TV yang disiarkan dari Libanon atau Qatar atau Mesir, Ustaz Aqil tidak begitu. ''Kalau mau nonton, nonton saja,'' katanya setelah mahasiswa yang satunya tadi tidak berada di kantor darurat kami di Makkah.

Kalau Gus Dur merekrut Ustaz Aqil Siradj sebagai kader muda NU yang cemerlang, sungguh tidak salah. Sejak di Makkah itu pun kami sudah melihat bahwa mahasiswa ini akan menjadi seorang yang penting kelak di kemudian hari. Saya pun sudah melihat Ustaz Aqil Siradj saat itu sebagai 'Gus Dur muda'. Pandangannya benar-benar luas. Ilmunya amat banyak dan dalam. Disertasinya mencerminkan begitu banyak dan luas bacaannya: referensi di disertasinya seribu buku!

Yang juga mirip dengan Gus Dur adalah keberpihakannya terhadap golongan minoritas dan selera humornya! Humor-humor Kiai Aqil Siradj sangat kaya dan kelas tinggi. Suatu saat, ketika dia sudah menjadi beliau, saya berjanji bertamu ke rumah beliau di dekat rumah Gus Dur di Ciganjur. Ketika saya tiba di rumah beliau tepat jam dan menitnya, beliau langsung berkelakar mengenai kedisiplinan saya itu: ''Kini, saya tahu Anda ini pasti dari keluarga Masyumi!''

Lho apa hubungan Masyumi dengan kedisiplinan?
Inilah humor itu: Di masyarakat Indonesia ini, katanya, hanya dikenal empat golongan. Mereka yang disiplin tapi sembahyang, itulah Masyumi. Mereka yang tidak disiplin tadi sembahyang itulah NU. Mereka yang disiplin tapi tidak sembahyang, itulah PSI. Mereka yang tidak disiplin dan tidak sembahyang, itulah PNI. Saya langsung tertawa ngakak atas ketajaman humornya itu.

Langsung, saya harus mengakui bahwa sebagian besar keluarga saya memang Masyumi. Tapi, Masyumi yang agak aneh. Ubudiyah (cara beribadah) keluarga saya sangat NU. Padahal, ubudiyah -nya Masyumi biasanya sangat Muhammadiyah. Anehnya lagi, meski ubudiyah kami NU, aliran tarekat keluarga kami adalah Syatariah. Padahal, orang NU umumnya menganut tarekat Nahsyabandiyah. Kini, tentu lebih aneh lagi karena dengan latar belakang yang 'ruwet' seperti ini saya menduduki jabatan dirut PLN!

Saya melihat NU akan sangat 'ramah' di bawah pimpinan Kiai Aqil Siradj. Siapa pun akan merasa terpuaskan berdialog dengan kiai kelahiran Cirebon tahun 1954 ini. Yang orientasinya salafi, akan termuarakan karena beliau memang santri pondok salafi kelas 'bintang sembilan' seperti Krapyak di Yogyakarta dan Lirboyo di Kediri. Yang berorientasi ke Arab, tidak diragukan. Beliau lebih 10 tahun tinggal di Arab Saudi.

Golongan minoritas dalam Islam akan merasa aman karena beliau sendiri sampai pernah dicap sebagai penganut Syi'ah. Dan, golongan non-Islam akan sangat merasa aman karena pandangan Kiai Aqil Siradj yang sama pluralisnya dengan Gus Dur di bidang ini.

(-)

etum Asbisindo: Dalam Kasus Bunga Bank, Jauhi yang Syubhat

Ketum Asbisindo: Dalam Kasus Bunga Bank, Jauhi yang Syubhat
Ahmad Riawan Amien

JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Seluruh Indonesia (Asbisindo), Ahmad Riawan Amin menyatakan perbedaan pendapat ulama mengenai bunga bank tak perlu dibahas terlalu jauh lagi. Pasalnya, tambah dia, dalam perintah agama umat diminta untuk menjauhi yang syubhat.

Ia menanggapi pernyataan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj, mengenai perbedaan pendapat antarulama yang menghasilkan tiga sikap dalam muktamar NU pada 1989 silam. Riawan menuturkan jika suatu perbuatan haram, maka kaidah suka sama suka tentunya harus gugur. "Apakah berzina yang suka sama suka, sepakat dan tanpa paksaan juga tidak apa-apa? Kalau perbuatannya haram maka kaidah suka sama suka tentunya harus gugur. Masalah ini khilafiyah? furuiyah? Tidak prinsip? Ini lebih berat dari zina, urusan akidah kita berurusan dengan Allah," kata Riawan kepada Republika.

Pada muktamar NU ke-28 di Yogyakarta menelurkan tiga buah sikap mengenai bunga bank. Sebagian ulama menyatakan bunga bank adalah haram karena ada unsur spekulasi. Sedangkan sebagian lainnya berpendapat, bunga bank halal karena adanya kesepakatan di antara dua pihak dan dilakukan dengan kerelaan hati tanpa paksaan. Sementara hukum lainnya mengungkapkan bahwa bunga bank bisa menjadi syubhat, yaitu tak jelas halal dan haramnya.

Penghianatan yang Menjijikkan

Penghianatan yang Menjijikkan
Potret kemiskinan
Oleh KH Didin Hafidhuddin


Zakat berarti bersih, berkah, tumbuh, dan berkembang. Artinya, setiap orang yang berzakat dari harta yang didapatkannya secara halal dan benar, dipastikan akan bersih, berkah, tumbuh, dan berkembang. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS Attaubah: 103.

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan serta menyucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Juga, firman-Nya dalam QS Arruum: 39. "Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)."

Zakat ditetapkan berdasarkan nas-nas Alquran dan Hadis Nabi yang bersifat qath'i sehingga kewajibannya bersifat mutlak dan sepanjang masa. Yusuf al-Qaradhawi menyatakan, zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus-menerus. Ia akan berjalan terus selama Islam dan kaum Muslimin ada di muka bumi ini. Kewajiban tersebut tidak dapat dihapuskan oleh siapa pun.

Seperti halnya shalat, zakat merupakan tiang agama dan pokok ajaran Islam. Ia merupakan ibadah taqarrub kepada Allah. Maka itu, diperlukan keikhlasan saat menunaikannya. Zakat juga merupakan ibadah utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat.

Sementara itu, pajak keberadaannya sangat bergantung pada kebijakan pemerintah. Di negara kita, hukum pajak bersumber pada UUD 1945 dan undang-undang turunannya, seperti UU No 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Tentu saja, selain memiliki kewajiban membayar zakat, setiap Muslimin juga berkewajiban membayar pajak. Seperti dikemukakan dalam UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Bab IV Pasal 14 ayat (3) bahwa zakat yang telah dibayarkan kepada badan atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba (pendapatan) sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun antara zakat dan pajak terdapat perbedaan yang bersifat prinsip, keduanya merupakan harta amanah yang harus disalurkan tepat sasaran dan sesuai ketentuan.

Amil zakat yang menyelewengkan dana zakat, berdosa besar kepada Allah SWT dan khianat kepada sesama manusia. Dan, petugas pajak yang menyelewengkan dana pajak untuk memperkaya diri sendiri merupakan orang yang berbuat dosa besar di sisi Allah SWT. Hal tersebut adalah pengkhianatan yang sangat menjijikkan.

Kasus manipulasi pajak yang melibatkan oknum para penegak hukum merupakan sebuah bentuk pengkhianatan yang pelakunya harus dihukum sangat berat. Sehingga, hukuman itu memiliki efek jera agar pelakunya tidak melakukannya kembali. Wa Allahu A'lam.

Potret Gemilang Islam di Era Abbasiyah



Potret Gemilang Islam di Era Abbasiyah

Tak hanya terobosan dalam tata pemerintahan, pada masa Abbasiyah, tradisi keilmuan berkembang pula. Salah satu yang terlihat jelas adalah metode penulisan sejarah. Philip K Hitti dalam History of the Arabs menyatakan, pada masa Abbasiyah, metode penulisan sejarah telah matang untuk melahirkan karya sejarah formal.

Pada masa sebelumnya, penulisan sejarah dilakukan berdasarkan legenda dan anekdot pada masa pra-Islam. Pun, didasarkan pada tradisi keagamaan yang berkisar pada nama dan kehidupan Nabi. Namun, saat Dinasti Abbasiyah berkuasa, penulisan sejarah mengalami kemajuan. Penulisan dilekatkan pada legenda, tradisi, biografi, geneologi, dan narasi.

Sejarah juga diriwayatkan melalui penuturan para saksi atau orang yang sezaman dengan penulis. Ini dilakukan melalui sejumlah mata rantai para saksi sejarah. Metode ini dinilai telah menjamin keakuratan data bahkan hingga penanggalan kejadian, meliputi bulan dan hari kejadian.

Sejarawan formal pertama pada masa itu adalah Ibn Qutaybah yang bernama lengkap Muhammad ibn Muslim Al Dinawari. Ibn Qutaybah meninggal dunia di Baghdad pada 889 Masehi setelah menuntaskan penulisan bukunya, Kitab Al Maarif atau Buku Pengetahuan.

Sejarawan ternama lainnya yang sezaman dengannya adalah Abu Hanifah Ahmad ibn Dawud Al Dinawari. Ia tinggal di Isfahan. Karya utama Al Dinawari adalah Al Akhbar Al Thiwal (Cerita Panjang), yang merupakan sejarah dunia dari sudut pandang Persia. Di kemudian hari, muncul nama Abu Al Hasan Ali Al Mas’udi.

Di kalangan sejarawan Muslim, ia mendapat julukan Herodotus bangsa Arab. Sebab, Al Mas’udi dianggap sekelas dengan sejarawan Yunani, Herodotus yang hidup pada abad ke-5 Masehi. Al Mas’udi oleh para pemikir dianggap telah memprakarsai metode tematis dalam penulisan karya-karya sejarah.

Metode yang Al Mas’udi gunakan tidak seperti metode yang digunakan sejarawan ternama, Al Thabari, yang dalam menyusun karya sejarah berdasarkan tahun kejadian. Dalam menulis, ia mengelompokkan berbagai peristiwa sejarah berdasarkan dinasti, raja, serta masyarakatnya.

Metode tersebut kemudian diikuti oleh para ahli sejarah lain, seperti Ibn Khaldun. Al Mas’udi juga merupakan orang yang pertama kali menggunakan anekdot-anekdot sejarah. Ia berkelana mencari ilmu hingga ke Baghdad, Asia, dan Zanzibar. Pada dekade terakhir kehidupannya, Al Mas’udi berada di Suriah dan Mesir untuk menulis 30 jilid buku yang berjudul Muruj al Dzahab wa Ma’adin al Jawhar (Padang Emas dan Tambang Batu Mulia). Ini karya geografis bergaya ensiklopedia.

Pada bagian awal karyanya, Al Mas’udi mengatakan daerah-daerah yang tandus pada mulanya adalah lautan dan daerah yang sekarang lautan pada mulanya adalah daerah tandus. Menurut dia, hal tersebut terjadi karena kekuatan alam. Sedangkan dalam karyanya yang berjudul Al Tanbih wa Al Isyraf, Al Mas’udi mengungkapkan pemikirannya tentang filsafat sejarah dan alam. Ia juga mengutip sejumlah pendapat ahli filsafat pada masa itu.

Rabu, 07 April 2010

Manajemen Syukur Nikmat

Oleh : Ustaz Hilmi Aminuddin


''Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan ingkar kepada Allah dan menjatuhkan kaumnya ke negeri kebinasaan?'' (QS Ibrahim: 28).

Setiap anak bangsa, terutama para dai, semestinya menjunjung tinggi idealisme dan cita-cita bagi perbaikan negeri Indonesia ini dengan sesuatu yang bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Kenyataannya, hampir setiap hari, kita disuguhkan dengan peristiwa-peristiwa yang mencoreng negeri ini.

Pertunjukan drama abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), yang dilakukan oleh aparat pemerintah dan para penegak hukum, sangat menyesakkan dada. Mulai dari kriminalisasi KPK, kasus Century, makelar kasus dalam penggelapan pajak yang melibatkan aparat penegak hukum, hingga tertangkapnya sejumlah pengacara dan hakim PTUN oleh KPK.

Bangsa ini benar-benar tertinggal dalam persaingan dunia, bahkan oleh negara tetangganya. Kondisi negeri ini sangat memprihatinkan, menghinakan, dan menjadi bahan tertawaan negara-negara tetangga karena korupsi dan kemiskinan.

Kenyataan tersebut seakan mencerminkan firman Allah dalam QS 14:28 di atas, yakni negeri yang terancam menjadi daarul bawaar (negeri yang binasa) karena kesalahan dalam manajemen nikmat (baddallu ni'matallahi kufran).

Bila tak ingin negeri ini menjadi daarul bawar , terpuruk dalam kebinasaan, para dai sebagai kekuatan moral (force of power) harus memiliki peran konstruktif dan mengoreksi langkah-langkah salah para pemimpin negeri ini, temasuk para penegak hukumnya.

Tugas para dai adalah mengajak segenap anak negeri untuk melakukan harakatul inqadz (gerakan penyelamatan), dengan langkah awalnya adalah melakukan perubahan dalam memperlakukan nikmat Allah.

Rasulullah mengingatkan para dai agar memberikan peringatan kepada para pemimpin yang berada di pusat-pusat kedaulatan, kekuasaan, regulasi, serta perubahan agar rahmatan lil alamin menyebar lebih cepat. Karena, konsep perubahan tidak bisa dilepaskan dari upaya membuka kunci-kunci keberkahan dari Allah SWT untuk membawa masyarakat negeri ini ke arah yang lebih baik. (QS 7:96).

Jika para pemimpin negeri ini yang memiliki tanggung jawab mau bergerak dengan alur kehendak Allah, dukungan-Nya dalam segala aspek pasti akan datang. Selama ini, manajemen kufur nikmat yang dilakukan, telah menyebabkan kekayaan negeri ini digerogoti bangsa lain juga para pemimpinnya yang khianat.

Akibatnya, bangsa ini tidak memiliki izzah karena mengemis dan mengharap belas kasihan bangsa lain untuk mendapatkan kredit atau hibah. Padahal, bila bangsa ini makin bersyukur (QS 14:7), Allah akan melipatgandakan potensi nikmat bagi rakyatnya sehingga dapat menyebarkan kebajikan bagi bangsa lain di muka bumi.

Puncak Pengabdian Seorang Hamba



Puncak Pengabdian Seorang Hamba
ilustrasi
Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar


Kata mujahadah tidak lebih populer daripada kata jihad atau ijtihad. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ijtihad lebih utama daripada jihad. Rasulullah SAW bersabda, ''Goresan tinta para ulama lebih utama daripada tumpahan darah para syuhada.''

Namun, masih ada yang lebih utama dari ijtihad, yakni mujahadah. Mujahadah ialah perjuangan yang mengandalkan unsur batin atau kalbu. Seusai sebuah peperangan yang amat dahsyat, Rasulullah SAW menyampaikan kepada para sahabatnya, ''Kita baru saja pulang dari peperangan yang kecil ke peperangan yang lebih besar.''

Lalu beliau menjelaskan bahwa peperangan terbesar ialah melawan diri sendiri, yakni melawan hawa nafsu. Dalam buku Ihya Ulum al-Din, Imam Al-Gazali mengungkapkan, mujahadah satu jam lebih utama daripada beribadah (formalitas) setahun. Ini artinya, mujahadah merupakan puncak pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya.

Jihad, ijtihad, dan mujahadah, berasal dari satu akar kata yang sama, yaitu jahada yang berarti bersungguh-sungguh. Jihad adalah perjuangan sungguh-sungguh secara fisik; ijtihad perjuangan sungguh-sungguh melalui pikiran dan logika; dan mujahadah merupakan perjuangan sungguh-sungguh melalui kalbu. Bagi masyarakat awam, jihad itulah ibadah yang paling tinggi. Namun dalam perspektif tasawuf, mujahadah menempati posisi yang lebih utama.

Mujahadah bisa mengantar manusia meraih predikat tertinggi sebagai manusia paripurna (insan kamil). Dan ia merupakan kelanjutan dari jihad dan ijtihad. Seseorang yang mendambakan kualitas hidup paripurna tidak bisa hanya mengandalkan salah satu dari ketiga perjuangan tadi. Tetapi, ketiganya harus sinergi di dalam diri.

Rasulullah SAW adalah contoh yang sempurna. Beliau dikenal sangat terampil dalam perjuangan fisik. Hal itu terbukti dengan keterlibatannya dalam beberapa peperangan. Dan beliau sendiri tampil sebagai panglima perang. Beliau juga seorang yang cerdas pikirannya, dan panjang tahajudnya.

Dalam konteks kekinian, komposisi ketiga unsur perjuangan di atas sebaiknya diatur sesuai dengan kapasitas setiap orang. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Muslim terbaik (khaira ummah).

Seseorang yang hanya memiliki kemampuan fisik, maka jihad fisik baginya adalah perjuangan yang tepat. Bagi seorang ulama, jihad paling utama baginya ialah menulis secara produktif untuk mencerahkan dan mencerdaskan umat. Namun, untuk mujahadah, sesungguhnya dapat diakses setiap orang dari golongan manapun. Mari memopulerkan mujahadah di samping jihad dan ijtihad dalam masyarakat.

Tiga Kiat Menaklukkan Penjilat


Tiga Kiat Menaklukkan Penjilat
ilustrasi
Oleh Abdullah Hakam Shah MA


Pujian merupakan fenomena umum yang sering kita temui sehari-hari. Secara garis besar, pujian bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori: pujian yang diucapkan untuk menjilat, pujian yang sifatnya basa-basi, serta pujian yang dilontarkan sebagai ekspresi kekaguman.

Bila disikapi secara sehat dan proporsional, pujian bisa memotivasi kita untuk meraih pencapaian-pencapaian baru. Namun, kenyataannya, pujian justru lebih sering membuat kita lupa daratan. Semakin sering orang lain memuji, semakin besar potensi kita untuk terlena dan besar kepala. Sebab itulah, Ali RA berkata, "Kalau ada yang memujimu di hadapanmu, akan lebih baik bila kamu melumuri mulutnya dengan debu daripada terbuai oleh ucapannya."

Agar dapat menyikapi pujian secara sehat, Rasulullah SAW memberikan tiga kiat yang menarik untuk diteladani. Pertama, selalu mawas diri supaya tidak terbuai oleh pujian orang lain. Oleh karena itu, setiap kali ada yang memuji beliau, Rasulullah SAW menanggapinya dengan doa, "Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu." (HR Bukhari).

Lewat doa ini, Rasulullah SAW mengajarkan bahwa pujian adalah perkataan orang lain yang potensial menjerumuskan kita. Ibaratnya, orang lain yang mengupas nangka, tapi kita yang kena getahnya.

Kedua, menyadari hakikat pujian sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain. Karena, ketika ada yang memuji kita, itu lebih karena ketidaktahuannya akan sisi gelap kita. Oleh sebab itu, kiat kedua Rasulullah SAW dalam menanggapi pujian adalah dengan berdoa, "Ya Allah, ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku)." (HR Bukhari).

Dan ketiga, kalaupun sisi baik yang dikatakan orang lain memang benar ada dalam diri kita, Rasulullah SAW mengajarkan agar memohon kepada Allah SWT untuk dijadikan lebih baik lagi. Maka, kalau mendengar pujian seperti ini, Rasulullah SAW kemudian berdoa, "Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira." (HR Bukhari).

Tiga kiat yang dicontohkan Rasulullah SAW di atas, hakikatnya mengisyaratkan betapa hati manusia sangat rentan terhadap provokasi dari luar. Alih-alih pujian yang dilontarkan dengan tulus, pujian yang tujuannya untuk menjilat pun bisa dengan mudah membuat manusia terbuai.

"Namun, bagi orang-orang yang menjaga kebeningan hati, setiap pujian akan membuatnya sadar bahwa hanya secuil itulah kelebihan yang dimilikinya, di antara sekian banyak kekurangan yang tidak Allah tampakkan kepada orang lain," kata Ibnu al-Mubarak sebagaimana dinukil al-Ghazali dalam Ihya 'Ulumiddin.

Minggu, 04 April 2010

Puncak Pengabdian Seorang Hamba



Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar


Kata mujahadah tidak lebih populer daripada kata jihad atau ijtihad. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ijtihad lebih utama daripada jihad. Rasulullah SAW bersabda, ''Goresan tinta para ulama lebih utama daripada tumpahan darah para syuhada.''

Namun, masih ada yang lebih utama dari ijtihad, yakni mujahadah. Mujahadah ialah perjuangan yang mengandalkan unsur batin atau kalbu. Seusai sebuah peperangan yang amat dahsyat, Rasulullah SAW menyampaikan kepada para sahabatnya, ''Kita baru saja pulang dari peperangan yang kecil ke peperangan yang lebih besar.''

Lalu beliau menjelaskan bahwa peperangan terbesar ialah melawan diri sendiri, yakni melawan hawa nafsu. Dalam buku Ihya Ulum al-Din, Imam Al-Gazali mengungkapkan, mujahadah satu jam lebih utama daripada beribadah (formalitas) setahun. Ini artinya, mujahadah merupakan puncak pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya.

Jihad, ijtihad, dan mujahadah, berasal dari satu akar kata yang sama, yaitu jahada yang berarti bersungguh-sungguh. Jihad adalah perjuangan sungguh-sungguh secara fisik; ijtihad perjuangan sungguh-sungguh melalui pikiran dan logika; dan mujahadah merupakan perjuangan sungguh-sungguh melalui kalbu. Bagi masyarakat awam, jihad itulah ibadah yang paling tinggi. Namun dalam perspektif tasawuf, mujahadah menempati posisi yang lebih utama.

Mujahadah bisa mengantar manusia meraih predikat tertinggi sebagai manusia paripurna (insan kamil). Dan ia merupakan kelanjutan dari jihad dan ijtihad. Seseorang yang mendambakan kualitas hidup paripurna tidak bisa hanya mengandalkan salah satu dari ketiga perjuangan tadi. Tetapi, ketiganya harus sinergi di dalam diri.

Rasulullah SAW adalah contoh yang sempurna. Beliau dikenal sangat terampil dalam perjuangan fisik. Hal itu terbukti dengan keterlibatannya dalam beberapa peperangan. Dan beliau sendiri tampil sebagai panglima perang. Beliau juga seorang yang cerdas pikirannya, dan panjang tahajudnya.

Dalam konteks kekinian, komposisi ketiga unsur perjuangan di atas sebaiknya diatur sesuai dengan kapasitas setiap orang. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Muslim terbaik (khaira ummah).

Seseorang yang hanya memiliki kemampuan fisik, maka jihad fisik baginya adalah perjuangan yang tepat. Bagi seorang ulama, jihad paling utama baginya ialah menulis secara produktif untuk mencerahkan dan mencerdaskan umat. Namun, untuk mujahadah, sesungguhnya dapat diakses setiap orang dari golongan manapun. Mari memopulerkan mujahadah di samping jihad dan ijtihad dalam masyarakat.

Sabtu, 03 April 2010

Kaidah Menggapai Kejujuran



ilustrasi
Oleh Muhammad Sulthoni Yusuf MA


Kejujuran menempati kedudukan istimewa dalam ajaran Islam, karena ia merupakan penopang jalan kebaikan bagi manusia. Menurut Al-Qusyairi, kejujuran menempati kedudukan setingkat di bawah kenabian, sebagaimana firman Allah SWT, ''Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dan orang-orang yang menetapi kebenaran.'' (QS An-Nisa [4]: 69).

Alquran memuji orang-orang yang jujur lebih dari lima puluh kali. Salah satunya yang termaktub dalam surah al-Ahzab [33] ayat 24, ''Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang-orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka.''

Kejujuran yang bagaimanakah yang dimaksud oleh Alquran itu? Salah satu cirinya adalah jika batin seseorang serasi dengan perbuatan lahirnya. Sebagaimana diriwayatkan Abu Qilabah bahwa Umar bin Khathab RA melarang umat Islam menilai dan melihat puasa atau shalat seseorang, tetapi hendaknya melihat kejujuran ucapan seseorang jika ia berbicara, amanahnya jika ia diberi tanggung jawab, dan kemampuannya meninggalkan apa pun yang meragukan jika mendapat kenikmatan dunia.

Sementara itu, Al-Junayd menyatakan bahwa inti kejujuran adalah jika seseorang berkata benar dalam situasi-situasi di mana hanya dusta yang bisa menyelamatkannya. Pernyataan senada juga diutarakan Imam Thabari. Ia menekankan pentingya seseorang berkata dan berbuat jujur dalam kehidupan sehari-hari, walaupun kejujuran itu akan membunuh atau membinasakannya.

Contoh ideal dalam hal ini tentunya Rasulullah SAW. Kejujuran beliau yang mencerminkan ketinggian akhlak dipuji oleh Alquran, ''Dan engkau sungguh mempunyai akhlak yang agung.'' (QS al-Qalam [68]: 4). Berlaku jujur sama halnya membangun keluhuran moral dan mental untuk menciptakan suasana sosial yang lebih harmonis dan tenteram.

Oleh karena itu, kejujuran mesti tertanam dalam jiwa semua orang yang beriman. Berkata bohong, berkomentar kontroversial, justru akan menyebabkan fitnah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selayaknyalah kita sama-sama menjaga kebersamaan dengan menjunjung tinggi kejujuran demi terciptanya bangsa yang bermartabat.

Manusia yang Menyukai Neraka



Oleh: Prof Dr Ali Mustafa Yaqub


Ketua sebuah pengajian meminta maaf kepada penceramah karena jamaah yang hadir dalam pengajian tersebut tidak banyak. Ia semula mengharapkan agar jamaah yang datang dapat mencapai ribuan orang, tetapi ternyata hanya ratusan orang. Ia khawatir apabila penceramah kecewa dengan jumlah yang sedikit itu.

Apa komentar penceramah tersebut? Ia justru bersyukur dan tidak merasa kecewa. Katanya, ''Memang calon penghuni surga itu jumlahnya lebih sedikit dibandingkan calon penghuni neraka.'' Ia pernah membaca koran bahwa di Ancol diadakan pagelaran maksiat. Yang hadir dalam pesta kemungkaran itu mencapai 700 ribu orang. Kendati pesta itu dimulai jam delapan malam, pengunjung sudah mulai datang sejak jam satu siang.

Penceramah kemudian bertanya kepada para hadirin, ''Apakah ada pengajian yang dihadiri oleh 700 ribu orang?'' Hadirin pun serentak menjawab, ''Tidak ada.'' Ia kemudian bertanya lagi, ''Apakah ada pengajian yang dimulai jam delapan malam, tetapi jamaahnya sudah datang jam satu siang?'' Hadirin kembali serentak menjawab, ''Tidak ada.'' Penceramah kemudian berkata, ''Itulah maksiat, dan inilah pengajian. Kalau ada pengajian dihadiri oleh ratusan ribu orang, boleh jadi pengajian itu bermasalah.''

Ia juga mencontohkan dakwah Nabi Nuh AS. Beliau berdakwah selama hampir seribu tahun, tetapi pengikut beliau hanya 40 orang. ''Karena itu, kalau yang datang di pengajian ini mencapai ratusan orang, itu sungguh sudah bagus. Dan, begitulah calon-calon penghuni surga,'' tambahnya.

Lebih jauh, ustaz yang masih muda itu menyampaikan sebuah hadis tentang apa yang akan terjadi pada hari kiamat. Dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa nanti pada hari kiamat, Nabi Adam AS akan dipanggil oleh Allah SWT. Beliau diperintahkan oleh Allah SWT untuk memisahkan anak-cucunya, mana yang akan masuk surga dan mana yang akan masuk neraka. ''Ternyata,'' kata Nabi Muhammad SAW selanjutnya, ''Dari seribu anak-cucu Adam, 999 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan) masuk neraka, dan hanya satu yang masuk surga.''

Ia kemudian mengajak jamaah untuk mengamati perilaku manusia setiap hari. ''Coba kita amati kehidupan manusia sehari-hari. Kita lihat mereka di pasar, pusat perbelanjaan modern atau mal, televisi, dan di mana saja. Ternyata lebih banyak yang senang bermaksiat daripada yang taat kepada Allah SWT. Orang bohong, penipu, ada di mana-mana, sementara yang shalat di masjid sepi-sepi saja. Ternyata manusia itu lebih menyukai neraka daripada surga.''

Kamis, 01 April 2010

Mengapa Ingin Jadi Pemimpin




Oleh Prof Dr Imam Suprayogo


Banyak orang yang ingin jadi pemimpin. Motif mereka pun bermacam-macam. Ada yang sebatas ingin mendapatkan prestise, fasilitas, kehormatan, dan nama besar. Ada pula yang benar-benar tulus, ingin membuat perubahan agar masyarakatnya menjadi lebih baik.

Konsekuensinya, beragam motivasi tersebut melahirkan model dan gaya kepemimpinan yang bermacam-macam. Model pemimpin yang pertama biasanya sangat hati-hati, tidak banyak mengambil keputusan yang berisiko, agar posisinya tetap aman.

Dia menginginkan suasana stabil dan tenang; perlu anak buah loyal dan menuruti perintahnya, sekalipun tidak pintar. Orang pintar dan orang yang beroposisi diwaspadai dan dilemahkan, bahkan dibuang jauh.

Secara sederhana, hebat (tidak)-nya seorang pemimpin dapat dilihat dari orang-orang yang mengitarinya. Jika mereka miskin prestasi, maka kualitas pemimpin itu pasti rendah dan tidak bermutu, begitu pula sebaliknya.

Dalam berbagai kesempatan, saya bertanya kepada kepala-kepala daerah, mengapa mereka tidak memilih orang yang cakap dan pintar. Mereka pun berdalih, jika tidak loyal, orang cakap dan pintar malah merepotkan dan bikin birokrasi tidak jalan. Alhasil, orang bodoh pun masih beruntung dan tetap laku, asal loyal. Model kepemimpinan tersebut pasti melahirkan sikap munafik, loyalitas semu, stagnasi, bahkan mental korup.

Lain halnya dengan pemimpin revolusioner. Dia adalah pemimpin yang kaya ide, mau berjuang untuk mewujudkan idenya, dan yang terpenting, dia selalu berani mengambil risiko atas pelaksanaan idenya itu.

Pemimpin revolusioner menyukai orang-orang yang memiliki kelebihan, bahkan kalau perlu melebihi kapabilitas dirinya. Dia tidak memikirkan kedudukan. Dia melihat bahwa keberhasilan kepemimpinannya akan terjadi jika ditopang oleh orang-orang yang berkualitas tinggi, dan bukan sebatas orang-orang yang berbekal loyalitas. Kalaupun loyalitas dianggap perlu, maka bukan loyalitas terhadap pemimpinnya, tetapi terhadap visi atau cita-cita besarnya.

Di bawah pemimpin revolusioner, orang pintar dan orang yang memiliki keahlian tinggi sangat beruntung. Mereka terhormat dan diberi ruang untuk mengekspresikan kepintaran dan keahliannya. Bahkan, diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya.

Sayang sekali, model pemimpin revolusioner tidak muncul di banyak tempat. Yang banyak bermunculan justru pemimpin yang ingin mendapatkan fasilitas, prestise, kehormatan, dan berbagai kenikmatan. Namun, kita tetap merindukan dan menunggu kehadiran pemimpin revolusioner itu.

Al Quran On Line