Minggu, 28 Maret 2010

Islam dan Ilmu Pengetahuan


Azhari
|

Krisis nuklir Iran hingga kini belum berakhir, Barat dengan didalangi AS menekan agar Iran tidak mengembangkan teknologi nuklirnya karena membahayakan perdamaian dunia. Inilah standar ganda AS, satu sisi membiarkan Israel mengembangkan nuklirnya dan mengancam negara-negara Arab dan Timur Tengah, sisi lain menekan Iran untuk tidak memiliki nuklir. Sebetulnya perdamaian apa yang dimaksudkan AS?, tentu saja perdamaian untuk dirinya dan sekutu-sekutunya.

Belum lagi, lemahnya penguasaan kaum muslimin terhadap sains dan teknologi, sehingga kita menjadi konsumen terbesar dari produk kapitalis Barat. Hal ini tentu disengaja oleh mereka agar negeri-negeri Islam selalu tertinggal dalam menguasai sains dan teknologi, sehingga kita selalu tergantung kepada mereka dan tidak pernah bisa mandiri. Kita bisa saksikan lemahnya kekuatan TNI ketika AS memboikot persenjataan militer, karena TNI di anggap melanggar HAM dalam beberapa kasus di tanah air.

Kita tidak akan membahas krisis nuklir Iran dan ketergantungan sains dan teknologi ini, tetapi kita akan fokus kepada sumbangsih Islam terhadap kemajuan sains dan teknologi Barat khususnya dan dunia umumnya. Bahkan beberapa pengamat Barat sendiri menyatakan bahwa tanpa Islam maka Barat tidak akan mengalami kemajuan hebat dalam sains dan teknologi seperti saat ini (Making of Humanity, Robert Briffault). Lihat 4, hal 69-72

Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan

Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan, Al-Quran menganjurkan manusia agar menggunakan akalnya sehingga bertambah keimanannya dan maju dalam kehidupannya. Tidak ada pertentangan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan, bahkan penemuan-penemuan baru memperkuat kemu’jizatan Al-Quran.

Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya (An-Nisa’ 82).

Bertolak belakang dengan Injil (bible) yang sering bertentangan dengan ilmu pengetahuan, gereja bahkan menghukum mati ilmuwan seperti Galileo yang mendukung teori Helisentris dari Copernicus bahwa matahari pusat tata surya. Sebaliknya, gereja mempertahankan teori geosentris bahwa bumi pusat tata surya. Lihat 4, hal 5 Inilah masa kegelapan Eropa yan terjadi sebelum abad ke 18 M. Al-Quran adalah wahyu Allah dan tidak ada pertentangan didalamnya, sedangkan injil yang di tulis 60-70 tahun setelah kematian Yesus telah dipengaruhi oleh campur tangan para pengikutnya dan bisa di revisi kapan saja dikehendakinya.

Salah satu bukti ilmiah Al-Quran adalah adanya batas yang jelas antara air tawar dan air asin (laut), meskipun keduanya bercampur. Hasil penelitian ilmuwan, pertemuan antara air tawar dengan air asin (laut) tidak akan menyebabkan percampuran keduanya karena adanya efek listrik dan magnetik yang saling berlawanan sehingga terciptanya sekat di bagian tengah kedua perairan tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Alah swt:

Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing (Ar-Rahman 19-20). Lihat 1, hal 41

Belum lagi penemuan ilmiah di bidang: matematik, optik, astronomi, geologi, biologi, farmasi, kedokteran dan lain-lain, yang semuanya tidak ada pertentangan dengan Al-Quran, padahal Al-Quran diturunkan 1.400 tahun yang lalu.

Islam memberikan kesempatan kepada akal manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan seluas-luasnya, selama tidak bertentangan dengan syari’at. Landasan yang digunakan adalah ketika para sahabat gagal panen kurma karena mengikuti anjuran Rasulullah saw dengan menggoyang-goyangkan pohon kurma. Rasulullah saw bersabda: ”Antum a’lamu biumuridunyaakum” (Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian-HR Muslim). Sedangkan yang berhubungan dengan hadharah (budaya/peradaban) maka harus terikat dengan syari’at, seperti hukum-hukum yang berhubungan dengan aqidah, ibadah, mu’amalah, ’uqubat dan lain-lain. Sehingga teknologi automotive misalnya tidak terkait dengan agama seseorang, kita bisa saja mengembangkan teknologi yang sudah ada di AS atau Jepang karena ini murni sains dan teknologi. Sedangkan budaya (hadharah) berpakaian adalah sesuatu yang terikat dengan Islam dan harus mengacu kepada syari’at Islam, dilarang (diharamkan) kaum muslimin meniru budaya berpakaian ala Barat yang membuka aurat.

Ahli dan Penemu Islam Di Berbagai Bidang

Di zaman keemasan kekhilafahan Islam ilmu pengetahuan berkembang demikian pesatnya, untuk mengembangkan ilmu pengetahuan para Khalifah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian. Salah satunya Khalifah Harun Al-Rasyid (169-194 H) yang mendirikan sekolah farmasi dan kimia.

Dengan kondisi seperti itu maka bermunculan para ahli dan penemu di berbagai bidang, antara lain: Ibnu Sina ahli kedokteran dan matematika; Jabir Ibnu Hayyan ahli kimia dan kedokteran (penemu teori sulfur merkuri dari logam); Al-Kindi seorang ahli fisika, astronomi dan optik; Al-Baitar ahli botani (tumbuh-tumbuhan) dan farmasi; Muhammad, Ahmad dan Hasan tiga serangkai di bidang teknik dan mekanik; Ibnu Hazen ahli optik, fisika dan matematik; Al-Qirafi ahli optik; Khuwarizmi ahli matematika, astronomi dan geografi (penemu logaritma); Abul Wafa ahli triginometri (penemu sinus dalam bangun segi tiga) dan sederetan panjang para ahli muslim di berbagai bidang. Bahkan Thomas Alfa Edison bukanlah penemu listrik, karena listrik telah ditemukan terlebih dahulu oleh Al-Jazzar. Penemuan kertas dengan bubur kayu berasal dari Islam abad 10 M, dimana sebelumnya China hanya membuat kertas dari kepompong ulat sutera. Lihat 2, hal 12; lihat juga 3, hal 63-64

Barat Belajar dari Islam

Para pelajar barat (terutama Eropa) berburu ilmu ke negeri-negeri Islam seperti Barcelona, Toledo, Cordova, Baghdad, Kairo, Damaskus, Mosul, Teheran dan lain-lain, untuk itu mereka harus menguasai bahasa Arab terlebih dahulu. Mereka juga menerjemahkan buku-buku bahasa Arab ke dalam bahasa mereka agar mampu mengembangkan ilmu pengetahuan sejajar dengan Islam. Diantaranya Sylvester yang belajar ke Spanyol, kemudian hari menjadi Paus Sylvester II (abad 10 M), Frederich II penguasa Italia yang akhirnya menjadi Kaisar di Jerman. Lihat 3, hal 61-63

Nama-nama yang diberikan oleh Barat terhadap ahli-ahli muslim di berbagai bidang mungkin aneh di telinga kita dan kita menyangka bahwa mereka para ahli Barat yang beragama Kristen. Nama-nama mereka antara lain Avicena, Geber, Rezhes, Abulcassis, Haly Rodoam, Averroes, Albetinius dan lain-lain, padahal mereka adalah para ahli muslim. Ibnu Sina menjadi Avicena, Jabir Ibnu Hayyan menjadi Geber, Abul Qosim Zahrawi menjadi Abulcassis, Ar-Rozi menjadi Rezhes, Ibnu Rusyd menjadi Averroes atau Al-Battani menjadi Abetinius Lihat 4, hal 21; lihat juga 3, hal 67

Pemutarbalikkan fakta kemajuan ilmu pengetahuan Islam tidak cukup dengan mengganti nama-nama Islam di atas, tetapi istilah-istilah Islam juga digantikan dengan istilah Barat sehingga mengaburkan bahwa penemuan itu berasal dari Islam. Istilah-istilah itu antara lain Algebra (Al-Jabr), Algorithm (Al-Khuwarizmi), Average (Awariya), Cipher/Zero (Sifr), Zenith (Janit), Alchemiy/Chemistry (Al-Kimiya), Antimony (Antimun), Zircon (Azraq), Admiral (Amir al-Bahr), Adobe (Al-Tub), Alkali (Al-Qali), Cable (Habl), Calibre (Qalaba), Camel (Jamal), Canon (Qanun), Checkmate (Shah Mat), Coffe (Qahwa), Cotton (Qutun), Earth (Ardh), Hazard (Al-Zahr), Jasmine (Yasmin), Lemon (Limun), Magazine (Makhazin), Orange (Naranj), Rice (Ruzz), Sugar (Sukkar), Cornea (Qarnia), Pancreas (Bankras) dan lain-lain. Lihat 4, hal 80-84

Kejayaan Islam Akan Kembali

Negara Islam pernah menjadi adi daya (super power) dengan menguasai dunia yang membentang seluruh negara Arab dan Timur Tengah (Saudi Arabia, Suriah Palestina, Yordania, Libanon, Yaman, Mesir, dll.), Persia (Iran), Mesopotamia (Iraq), Kaukasus, Afrika (Al-Jazair, Maroko, Tunisia, Libya, Nigeria, Somalia, Sudan, dll.), Spanyol (Andalusia), Semenanjung Balkan (Bulgaria, Rumania, Albania, Moldovia, Hungaria, Polandia), Perancis (Tuolouse, Narbonne, Perpigna, Lyon), Kepulauan Sisilia (Italia), Yunani, Bizantium (Turki), Asia Tengah (India, Pakistan). Lihat 5, hal 56, 78-84

Negara Islam juga menjadi ahli dan penemu di berbagai bidang sains dan teknologi, dengan semua fakta dan data di atas maka bukan mustahil umat Islam akan kembali bangkit menjadi adi daya dan menguasai dunia. Tentu saja, ketika umat Islam kembali kepada Al-Quran dan as-sunnah, bukannya malah mencampakkannya. Karena ketika Al-Quran dan as-sunnah tidak dijadikan sebagai aturan kehidupan ini maka umat Islam terpuruk, terhina dan terkebalakang seperti saat ini.

Wallahua’lam

Maraji’:

1. Ensiklopedia ilmiah dalam Al-Quran dan sunnah, DR. Abdul Basith Al-Jamal dan DR. Daliya Shiddiq Al-Jamal, Pustaka Al-Kautsar, cet. I, April 2003.

2. Pemuda muslim pembebek ataukah pemimpin?, Abdul Hamid Jassat, Pustaka Thariqul Izzah, cet. I, 2003

3. Refleksi sejarah terhadap dakwah masa kini, DR. Abdurrahman Al-Baghdady, Al-Azhar Press, cet. I, Februari 2002

4. Warisan peradaban Islam, Shahih Al-Kutb, Pustaka Thariqul Izzah, cet. I, 2002

5. Jihad dan kebijakan kuar negeri Daulah Khilafah, Pustaka Thariqul Izah, cet. I, September 2003

Kamis, 25 Maret 2010

Siapa Pendusta Agama



Oleh Anang Rikza Masyhadi

"Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Yaitu, orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka, celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan memberikan bantuan." (QS Almaun [107]: 1-7)

Dalam surah tersebut, Allah SWT demikian lugas mengaitkan agama dengan keberpihakan kepada kaum dhuafa. Seseorang dikategorikan telah berdusta atau berkhianat kepada agamanya manakala ia mengabaikan anak yatim dan orang miskin.

Surah Almaun diawali dengan pertanyaan, "Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?" Menurut banyak ahli tafsir, hal itu dimaksudkan untuk menggugah hati pendengarnya agar memberikan perhatian lebih kepada apa yang selanjutnya akan ditunjukkan pada ayat-ayat berikutnya.

Anak yatim dan orang miskin adalah dua kelompok yang paling rentan di masyarakat. Mereka digolongkan orang-orang yang lemah. Itulah mengapa Islam mewajibkan kita menolong mereka. Islam mendorong umatnya agar dalam beragama tidak selalu mementingkan aspek ibadah mahdhoh yang bersifat vertikal saja.

Islam juga menganjurkan ibadah sosial, seperti memerhatikan nasib orang-orang lemah. Jadi, surah Almaun seolah ingin menegaskan bahwa pendusta agama bukan hanya orang yang mengaku Muslim, tetapi tidak mau shalat. Lebih dari itu, orang yang mengaku Muslim, tetapi tidak punya kepekaan sosial dan tidak peduli pada lingkungan sekitar.

Ayat selanjutnya bertutur tentang orang-orang yang lalai dalam shalatnya dan riya. Lalai dalam shalat berarti bahwa orang itu fisiknya shalat; tetapi hati, jiwa, dan perilakunya tidak ikut shalat. Yaitu, yang shalatnya tidak berdampak pada perilaku sosialnya sehari-hari. Dalam shalat, banyak hikmah yang terkandung. Ada yang berpendapat, ketika shalat dibuka dengan takbiratulihram, itu berarti kita menyapa Allah. Kemudian, diakhiri dengan salam, yang artinya menyapa manusia.

Menengok ke kanan dan kiri sebagai tanda akhir shalat menunjukkan bahwa kita peduli pada kondisi lingkungan sekitar atau tetangga di kanan dan kiri. Dengan demikian, salah satu pesan fundamental shalat adalah kepedulian pada orang lain.

Kisah berikut menarik untuk disimak. KH Ahmad Dahlan, konon pada tahun 1912-an, mengajarkan santri-santrinya surah Almaun selama beberapa bulan. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab bahwa selama mereka belum ada yang elaksanakannya, ia tetap akan mengajari Almaun itu. Baru, setelah diketahui ada salah seorang santrinya yang memelihara anak yatim di rumahnya, beliau melanjutkan pelajaran ke surah-surah lainnya.

Senin, 22 Maret 2010

Surga Ibu

Oleh Wiyanto Suud


Syahdan, seorang laki-laki suatu ketika bertanya kepada Ibn Abbas RA, ''Saya meminang seorang wanita, tetapi dia menolak pinangan saya. Setelah itu, datang orang lain meminangnya, lalu dia menerimanya. Saya menjadi cemburu dan membunuhnya. Apakah tobat saya diterima?''

Ibn Abbas bertanya, ''Apakah ibumu masih hidup?'' Dia menjawab, ''Tidak.'' Ibn Abbas berkata, "Bertobatlah kepada Allah dan mendekatlah kepada-Nya semampumu." Atha' bin Yasar yang hadir ketika itu bertanya kepada Ibn Abbas, "Mengapa engkau bertanya kepada lelaki itu, apakah ibunya masih hidup?" Ibn Abbas menjawab, "Saya tidak tahu perbuatan yang paling mendekatkan (seseorang) kepada Allah SWT, melainkan berbakti kepada ibu." (HR Bukhari).

Demikian mulia kedudukan seorang ibu. Di antara bapak dan ibu, ibulah yang lebih berhak untuk menerima perhatian dari seorang anak. Tidak hanya itu, dalam sebuah sabda Nabi Muhammad SAW yang masyhur, ibu memiliki hak tiga kali lipat lebih besar daripada seorang bapak.

Ada beberapa alasan mengapa seorang ibu memiliki hak tiga kali lipat lebih besar daripada seorang bapak. Pertama, seorang ibu menanggung berbagai kesusahan, baik ketika mengandung maupun melahirkan. Bahkan, ketika anaknya sudah berumur empat puluh tahun pun, perhatian seorang ibu tidak pernah berhenti, ia terus mendoakan anaknya (QS Al-Ahqaf [46]: 15).

Kedua, kesusahan ketika mengandung itu bertambah dan semakin bertambah (QS Luqman [31]: 14).

Ketiga, kesusahan seorang ibu mencapai puncaknya ketika hendak melahirkan. Alquran memberi gambaran betapa sakit waktu melahirkan dengan ungkapan bahwa Maryam binti Imran menginginkan kematian atau menjadi barang yang tidak berarti (QS Maryam [19]: 23).

Keempat, setelah melahirkan, kewajiban ibu belum selesai. Ia harus menyusui dan merawat anaknya. Ia tidak akan pernah merasa tenang jika keselamatan dan kenyamanan sang anak terancam. Hal ini seperti ibu dari Nabi Musa AS ketika ia diperintahkan Allah untuk menghanyutkan anaknya di sungai (QS Alqashash [28]: 7-13).

Empat perkara ini cukup menjelaskan mengapa Allah dan Rasul-Nya menempatkan derajat ibu lebih tinggi daripada bapak. Bahkan, surga--sebagai sebaik-baik tempat kembali bagi manusia sesudah mati--diasosiasikan berada di bawah telapak kaki seorang ibu.

Sabtu, 20 Maret 2010

Buah dari Musibah




Oleh Imam Nur Suharno MPdI

Allah SWT akan senantiasa menguji hamba-Nya dengan dua bentuk ujian, yaitu berupa nikmat (kesenangan) dan bencana (keburukan). Sayyid Quthb mengatakan, banyak orang yang bisa tabah saat menghadapi ujian berupa kesulitan. Tetapi, banyak orang yang terlena dan lalai saat diuji berupa kesenangan.

Karena itu, bersabar dan bersyukur adalah kunci keberhasilan bagi seorang Mukmin dalam menghadapi kedua ujian itu. Rasulullah SAW bersabda, ''Orang Mukmin memiliki keunikan sehingga seluruh urusannya itu baik untuknya, dan keunikan ini tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin, yaitu: apabila ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur, hal ini baik baginya, dan apabila ia mendapatkan musibah, ia bersabar, hal ini juga baik baginya.'' (HR Muslim).

Untuk mencapai pemahaman yang baik tentang hakikat ujian yang datang, seseorang harus mengetahui rahasia di balik setiap ujian. Rahasia tersebut adalah:

Pertama, kemuliaan Allah dan kekuatan kehendak-Nya. Ibnu al-Qayyim berkata tentang rahasia Perang Uhud, ''Di antara buah (dari kesusahan yang dialami dalam Perang Uhud) adalah memunculkan status kehambaan para wali-Nya dan para pengikut agama-Nya dalam kondisi senang ataupun susah, terhadap hal yang mereka sukai dan yang mereka benci, atau pada saat mereka harus kalah dan musuhnya yang menang. Jika pada semua kondisi tersebut mereka mampu tetap teguh di atas ketaatan dan beribadah kepada Allah maka mereka adalah hamba-hamba Allah sejati.''

Kedua, ujian menghapus dosa. Sabda Rasulullah, ''Tidaklah sesuatu yang menimpa seorang Muslim, baik itu penyakit biasa maupun penyakit menahun, kegundahan dan kesedihan, atau hanya duri yang menusuknya, kecuali Allah akan menghapus semua kesalahannya dengan semua penderitaan yang telah ia alami.'' (HR Bukhari).

Ketiga, mengangkat derajat. Diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah bersabda, ''Jika Allah menginginkan atas diri hamba-Nya suatu kebaikan maka Allah akan mempercepat baginya cobaan di dunia. Dan, jika Allah menginginkan atas diri hamba-Nya keburukan, maka Dia akan menahan cobaan tersebut dengan semua dosanya hingga dia menebusnya pada hari kiamat.''

Sungguh Allah telah menjanjikan sesuatu yang agung bagi mereka yang mampu bersabar atas ujian yang menimpanya. ''Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, 'Innalillahi wa Inna Ilaihi Rajiun'. Mereka itulah orang yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.'' (QS Albaqarah [2]: 155-157).

Rabu, 17 Maret 2010

Antara Jihad dan Teror


Oleh A Ilyas Ismail

Banyak orang yang kurang mengerti tentang makna jihad yang sebenarnya. Bahkan, tidak sedikit pula orang yang salah paham dengan menyamakan begitu saja antara jihad dan teror. Pandangan semacam ini tentu bukan hanya sesat, melainkan juga menyesatkan.

Jihad dari akar kata al-juhd, menurut pakar bahasa, al-Ishfahani, berarti sesuatu yang sulit atau daya upaya secara maksimal. Ulama yang lain memahami jihad sebagai badzl-u al-juhd li nayl- al-mathlub (mengerahkan segala usaha untuk mencapai cita-cita).

Jihad, yang dapat dipahami sebagai konsep perjuangan, merupakan jalan panjang yang harus ditempuh untuk mencapai cita-cita (kemuliaan). Sebagai konsep dan jalan perjuangan, jihad tentu harus diaktualisasikan melalui kerja keras dan kerja cerdas, tanpa kenal lelah, dengan mengoptimalkan penggunaan segenap potensi dan kekuatan yang dimiliki, tak hanya kekuatan fisik, tapi juga kekuatan moral, intelektual, dan spiritual.

Dalam pengertian ini, jihad tak pelak lagi merupakan doktrin pokok Islam dan jalan hidup kaum Muslim menuju kesuksesan dan kemuliaan. Inilah sesungguhnya makna firman Allah SWT, "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami." (QS Al-Ankabut [29]: 69).

Jihad bila merujuk pada ayat di atas, menurut Zamahsyari, juga al-Nasafi, bersifat umum, tak hanya jihad fisik, tapi juga jihad batin dalam segala bentuknya. Ibn `Asyur memahaminya dalam arti moral (penguatan akhlak), sementara al-Razi memahaminya dalam arti pemikiran (penguatan intelektual).

Dalam maknanya yang umum, jihad memiliki cakupan dan spektrum yang luas, menyangkut setidak-tidaknya tiga bidang, yaitu jihad dalam lingkup sendiri jihad al-nafs (QS Al-Ankabut [29]: 6), lalu jihad dalam lingkup keluarga (QS Alfurqan [25]: 74), serta jihad dalam lingkup sosial. Dalam lingkup yang terakhir ini, jihad dilakukan dengan mengembangkan masyarakat Islam menuju kualitas "Khaira Ummah" (QS Ali Imran [3]: 110).

Jadi, jihad bukan teror, dan teror bukan pula jihad. Jihad adalah satu hal, dan teror adalah hal yang lain. Teror adalah tindakan pengecut yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mampu bersaing secara sehat. Pelaku teror mengalami gangguan kejiwaan atau setidak-tidaknya mengalami kesalahan dalam membuat kategori.

Dikatakan demikian, karena faktanya, mereka merasa benar, tetapi sesat; merasa berbuat baik (shalih), tetapi buruk (thalih); merasa jihad, tetapi jahat; berharap mendapat rahmat, tetapi memperoleh laknat.

Kamis, 11 Maret 2010

Mengakui Kekurangan Diri

Oleh Fauzi Bahreisy

Awal malapetaka dan kehancuran seseorang terjadi ketika penyakit sombong dan merasa diri paling benar bersemayam dalam hatinya. Inilah sifat yang melekat pada iblis. Sifat inilah yang berusaha ditransfer iblis kepada manusia yang bersedia menjadi sekutunya.

Sifat ini ditandai dengan ketidaksiapan untuk menerima kebenaran yang datang dari pihak lain; keengganan melakukan introspeksi (muhasabah); serta sibuk melihat aib dan kesalahan orang lain tanpa mau melihat aib dan kekurangan diri sendiri.

Padahal, kebaikan hanya bisa terwujud manakala seseorang bersikap rendah hati (tawadu); mau menyadari dan mengakui kekurangan diri; melakukan introspeksi; serta siap menerima kebenaran dari siapa pun dan dari mana pun. Sikap seperti ini sebagaimana dicontohkan oleh orang-orang mulia dari para nabi dan rasul.

Nabi Adam AS dan Siti Hawa saat melakukan kesalahan dengan melanggar larangan Tuhan, alih-alih sibuk menyalahkan iblis yang telah menggoda dan memberikan janji dusta, mereka malah langsung bersimpuh mengakui segala kealpaan seraya berkata, "Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi." (QS Al-A'raf [7]: 23).

Demikian pula dengan Nabi Yunus AS saat berada dalam gelapnya perut ikan di tengah lautan. Ia tidak menyalahkan siapa pun, kecuali dirinya sendiri, seraya terus bertasbih menyucikan Tuhan-Nya. Ia berkata, "Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau. Sesunguhnya, aku termasuk orang-orang yang zalim." (QS Al-Anbiya [21]: 87).

Bahkan, Nabi Muhammad SAW selalu membaca istigfar dan meminta ampunan kepada Allah SWT sebagai bentuk kesadaran yang paling tinggi bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Karena itu, ia harus selalu melakukan introspeksi. Beliau bersabda, "Wahai, manusia, bertobatlah dan mintalah ampunan kepada-Nya. Sebab, aku bertobat sehari semalam sebanyak seratus kali." (HR Muslim).

Begitulah sikap arif para nabi yang patut dijadikan teladan. Mereka tidak merasa diri mereka sudah sempurna, bersih, dan suci. Allah SWT berfirman, "Janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui orang yang bertakwa." (QS Annajm [53]: 32).

Karena itu, daripada mengarahkan telunjuk kepada orang, lebih baik mengarahkan telunjuk kepada diri sendiri. Daripada sibuk melihat aib orang, alangkah bijaknya kalau kita sibuk melihat aib sendiri. Dalam Musnad Anas ibn Malik RA, Nabi SAW bersabda, "Beruntunglah orang yang sibuk melihat aib dirinya sehingga tidak sibuk dengan aib orang lain."

Rabu, 10 Maret 2010

Hikayat Gerakan Feminisme


Oleh: Najanuddin Muhammad (Peneliti CDIE UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.)

Pada 8 Maret 2010 ini berlangsung peringatan hari perempuan internasional. Hajatan rutin ini adalah upaya mengenang perjuangan gigih perempuan di tingkat internasional yang saat itu menuntut agar perempuan dibolehkan mengikuti pemilihan umum, diberlakukannya jam kerja yang pendek, serta tuntutan agar diberhentikan adanya pekerja di bawah umur.

Tuntutan-tuntutan semacam itulah yang berlangsung di sepanjang jalan Kota New York dengan diiringi 15 ribu demonstran yang terdiri atas perempuan, menurut Nurdaningsih (2005), menjadi idealitas dari para kalangan perempuan sehingga dalam rangka mengenang kegigihan perempuan tersebut, PBB sebagai organisasi internasional menetapkan 8 Maret sejak tahun 1978 sebagai hari perempuan internasional.

Memperingati hari perempuan internasional dalam konteks keindonesiaan, cukup tepat untuk menengok ulang kilasan perjalanan perempuan yang hingga kini belum menemukan titik terang. Memang, gelombang feminisme yang bermula di Barat pada tahun 1880-an cukup banyak berpengaruh terhadap munculnya gerakan feminis di Indonesia, tapi menjamurnya gerakan feminisme yang berupaya untuk lepas dari supordinasi, ketimpangan gender, dan penindasan belum juga mengantarkan perempuan pada posisi yang merdeka.

Arus feminisme
Gadis Arivia Feminimisme Sebuah Kata Hati, 2006) memetakan gelombang feminisme yang berada di Indonesia menjadi empat fase. Mulai dari gerakan awal, sebelum kemerdekaan yang menuntut agar perempuan mendapatkan hak pendidikan yang dikemukakan pada zaman Belanda, kemudian pada masa orde lama yang menyuarakan agar perempuan terlibat langsung dalam kebijakan elite politik, serta pada masa orde baru yang menuntut domestifikasi; perempuan diupayakan tidak hanya lekat dengan wilayah domestik, tetapi wilayah publik juga menjadi ruang gerak perempuan untuk terlibat secara langsung. Dan, yang terakhir pada era reformasi yang gerakannya lebih bertemakan liberal dengan tuntutan antikekerasan terhadap perempuan, baik di wilayah privat maupun wilayah publik.

Dari sekian fase menelisiknya gelombang feminisme yang bergulir di Indonesia, untuk menemukan titik terang perihal kemerdekaan perempuan belum tercapai secara konferehensif. Bahkan, secara kontraproduktif gerakan feminisme yang telah bergulir justru menjebak perempuan pada ranah yang dilematis. Gerakan perempuan yang mengupayakan kemerdekaan perempuan dengan tuntutan agar domestifikasi perempuan dihapus, ternyata ketika terjun dalam ranah publik, perempuan terjebak dalam sangkar kapitalis industrialis yang lebih memarginalkan hak-haknya sebagai manusia merdeka.

Gugatan para feminis perihal domestifikasi kaum perempuan secara konseptual menjadi cikal bakal menculnya diskriminasi baru di Indonesia. Gelombang feminisme pada fase ini menjadi titik terang terangkatnya perempuan dalam wilayah domestik, yang justru beringsut pada titik yang lebih hitam pada wilayah publik. Karena, sebagaimana dikatakan Warto (1997) bahwa interaksi desa kota yang kian intensif para migran (perempuan) telah membuka peluang masuknya nilai baru.

Transisi dari agraria ke industrialis atau dari privat ke publik membawa ekses moral yang tak terhindarkan. Kasus terjadinya pelecehan seksual terhadap wanita pabrik, perkosaan, kebebasan seks, minuman keras, dan berbagai fenomena sosial yang merenggut kehormatan perempuan merupakan contoh konkret bahwa perempuan yang lepas sari wilayah domestik dengan lari ke publik, ternyata bertemu dengan persoalan-persoalan yang sangat dilematis.

Di samping implikasi sosial tersebut, penghargaan perempuan dalam wilayah internal pabrik masih mengalami diskriminasi. Profesionalitas seorang perempuan seakan tidak menjadi pertimbangan dasar dalam sebuah industri-industri publik. Yang terjadi adalah standar ketelatenan, ketabahan, dan kesabaran seorang perempuan dalam melakukan pekerjaan. Tidak heran, apabila perempuan dalam kerja praksisnya kerapkali ditempatkan pada posisi yang marginal ketimbang laki-laki. Karena, memang stigma negatif perihal kemampuan perempuan masih menjangkit. Anita Van Velsen (1988) berkata, ihwal perempuan yang ada di sektor industri lebih banyak dipekerjakan pada bidang-bidang yang tidak membutuhkan keterampilan atau pekerjaan dengan produktivitas rendah.

Maka, pada momentum hari perempuan internasional ini, cukup tepat bagi kita bersama untuk memantapkan kembali gerakan feminisme. Gerakan feminis yang oleh Budi Wahyuni (2005) dikonotasikan sebagai gerakan yang mengedepankan ideologi perlawanan untuk anti dan bebas dari penindasan, dominasi, hegemoni, dan ketidakadilan dengan membongkar pengalaman ketertindasan, mempertanyakan relasi kekuasaan yang berlangsung pada perempuan dan berbuat sesuatu untuk mengubahnya harus lebih dimantapkan gerak praksisnya.

Selama ini, gerakan feminisme lebih terjebak pada keberingsutan dari wilayah privat ke publik, yang berujung pada titik diskriminasi yang lebih tajam karena jebakan para kapitalis-industrialis, harus direkonstruksi pada ranah pemahaman yang lebih relevan. Untuk menjadi seorang yang merdeka, bebas dari penindasan dan hegemoni para penguasa ataupun para kapitalis, perempuan tidak harus meniti karier dengan hanya terjun langsung pada wilayah publik, tetapi yang lebih penting adalah mengubah pola pemahaman tentang perempuan. Pemahaman yang bersifat diskriminatif serta stigma negatif yang memojokkan perempuan, seharusnya diseret pada pola pemahaman kesetaraan gender.

Di samping itu, gerakan feminisme juga selayaknya lebih menitikberatkan pada penegakan hak-hak bagi kaum perempuan. Dalam wilayah domestik, seperti mendapat pengakuan yang sama di wilayah publik, hak kesehatan reproduksi, dan hak mendapat keamanan serta perlindungan dari suami dan segala bentuk ancaman merupakan hak dasar seorang perempuan yang selama ini masih belum sepenuhnya terabaikan. Pola perjuangan semacam inilah yang seharusnya lebih mendapat perhatian dari para feminis yang ada di Indonesia.

Membedakan Negarawan dan Politikus


Oleh Ahmad Syafii Maarif



Seorang negarawan pastilah piawai dalam memahami politik di mana pun sepanjang sejarah dengan tetap menjaga dirinya agar tidak terseret oleh praktik-praktik kotor, tetapi seorang politikus lebih tertarik kepada politik yang menguntungkan untuk jangka pendek.

Negarawan memikirkan masalah-masalah besar bangsa dan negara yang dapat menembus lintasan abad, politikus umumnya lebih terpaku dan terpukau oleh ancang-ancang pemilu demi pemilu.

Namun, politikus yang serius dan berwawasan luas punya potensi untuk meningkatkan posisinya sebagai negarawan. Saya mengamati beberapa anggota DPR yang berusia muda dalam Pansus Bank Century punya bakat dan talenta untuk menjadi negarawan masa depan, asal mereka tetap setia memelihara idealismenya bagi kepentingan yang lebih besar: bangsa dan negara, apa pun partai dan subkultur mereka.

Sudah hampir 65 tahun kita merdeka, sedikit sekali rahim bangsa ini yang sempat melahirkan negarawan dalam maknanya yang autentik. Jika politikus jumlahnya berjibun-jibun, dari Sabang sampai Merauke. Kita kebanjiran politikus di tengah-tengah langkanya negarawan di tingkat pusat dan daerah.

Seorang negarawan tentu bukan manusia sempurna, pasti ada daftar tetapinya. Secara keseluruhan, daftar tetapinya itu larut dalam serbakelebihannya, diukur dengan standar apa pun. Denyutan nadi politikus yang sudah mencapai maqam negarawan pastilah terasa oleh publik, karena seluruh kiprahnya semata-mata untuk kepentingan rakyat banyak yang beragam. Negarawan tidak bisa dan tidak biasa berpura-pura, ucapan dan tindakannya adalah suara hati nuraninya. Antara otak, hati, dan perbuatan tidak diberi peluang untuk pecah kongsi. Otak berpikir jernih, hati memancarkan kearifan, perbuatan hanyalah mengaktualisasikan kejernihan dan kearifan itu dalam mengurus masalah-masalah negara dan bangsa. Seorang negarawan tidak pandai 'bertanam tebu di bibir', mulut manis hati busuk dan culas.

Optimisme kita akan tampilnya calon-calon negarawan seperti yang terlihat dalam pansus, menjadi semakin kuat karena mereka mewakili berbagai subkultur Indonesia. Dengan kata lain, berbagai suku di Nusantara ternyata punya potensi yang luar biasa untuk memunculkan para negarawan, mudah-mudahan dalam tempo yang tidak terlalu lama. Dalam kaitan ini, kita sungguh berharap dalam berbagai pemilihan umum tingkat nasional dan daerah, politik uang harus diusir sampai ke batas-batas yang jauh. Sebab, praktik itu pasti akan mencederai harapan bagi tampilnya tunas-tunas negarawan yang andal. Kondisi Indonesia yang sarat masalah ini hanya mungkin diatasi oleh anak-anak bangsa yang negarawan.

Indonesia sebenarnya cukup punya dasar-dasar filosofi dan ungkapan kearifan untuk menjadi bangsa dan negara besar dalam arti kualitatif, bukan semata-mata karena penduduknya yang berjumlah hampir seperempat miliar. Kita punya Pancasila sebagai dasar negara yang mempersatukan dan memberi inspirasi, punya ungkapan bhinneka tunggal ika untuk meredam kecenderungan politik yang serbasentralistis, dan punya kearifan lokal yang sangat kaya. Musuhnya memang belum berhasil dihalau secara tuntas, yakni berupa sisa-sisa feodalisme yang masih membelintang di tengah jalan sebagai sandungan utama bagi tegaknya sebuah masyarakat egalitarian yang sejati.

Sistem demokrasi yang kuat dan sehat adalah buah dari doktrin egalitarianisme yang menempatkan manusia setara di depan hukum dan sejarah. Saya berharap calon-calon negarawan yang mulai kelihatan ini benar-benar meresapi pesan-pesan egalitarian ini, demi tertancapnya sebuah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang sudah disuarakan sejak puluhan tahun oleh para pendiri bangsa dan negara kita.

Janganlah kita berlama-lama berada dalam iklim ketidakpastian masa depan, sebab itu berarti kita membiarkan bangsa ini berkubang dalam proses pembusukan sejarah. Sungguh memalukan dan melelahkan!

Hakikat Hijrah

Rasulullah Saw bersabda: “Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah atasnya “ (HR. Bukhari dan Muslim)

Berangkat dari sabda Rasulullah Saw seperti dalam hadits di atas, tentu sebagai mu’min akan senantiasa berusaha menjaga dirinya dari ucap, sikap dan perilaku yang menyimpang dari aturan dan hukum-Nya yang selanjutnya tetap istiqomah dalam meniti jalan menuju ridha Allah.

Berbicara tentang “Hijrah” dalam konteks kekinian, layaklah kiranya kita simak dan renungkan seruan Allah SWT yang tertuju kepada Rasulullah Saw yang hakikatnya tertuju pula kepada kita sebagai pengikutnya. Seruan Allah SWT lewat firman-Nya: “Ya ayyuhal muddatstsir, qum fa andzir, wa rabbaka fa kabbir, wa tsiyaabaka fa thahhir, war rujza fahjur, wa laa tamnun tastaktsir, wa li rabbika fash bir” (QS. Al Muddatstsir, 74:1-7)

Kalau kita membaca risalah turunnya wahyu, tidak lama setelah turunnya ayat “Nubuwah” (lima ayat pertama dalam Surat Al ‘Alaq) yang secara resmi menobatkan Muhammad sebagai Nabi Allah. Maka, tidak lama kemudian disusul dengan turunnya “tujuh” ayat pertama Surat Al Muddatstsir, yang secara resmi mengangkat Muhammad sebagai Rasul Allah, pengemban risalah melalui “tujuh” ayat risalah tersebut.

Inilah awal diri Rasulullah Saw berfungsi sebagai Rasul Allah, membawa risalah Allah SWT untuk “mengislamkan” manusia yang saat itu dalam kondisi “Jahiliyyah”. Firman-Nya diawali, “Ya ayyuhal muddatstsir” (Wahai orang yang berselimut). Kalau kita baca dalam “Asbabul Nuzul” ayat ini diriwayatkan, Rasulullah Saw pada waktu itu sedang berselimut. Saat itu Beliau memohon kepada istrinya, Khadijah Ra. untuk menyelimuti tubuh Beliau setelah menerima wahyu “lima” ayat pertama dalam Surat Al ‘Alaq di Gua Hira yang pulang ke rumah kondisi badannya menggigil.

Tetapi para ahli tafsir tidak ingin berhenti hanya pada pengertian “harfiah”nya dari kata “selimut”, yang arti “harfiah”nya adalah, orang yang berselimut atau mempergunakan selimut untuk menghangatkan badanya sendiri. Sehingga para ahli tafsir mengartikan “selimut” dengan arti “maknawi”, wahai orang yang menyelimuti dirinya dengan tidak mau peduil dengan kondisi lingkungannya. Karena orang yang berselimut identik dengan tanda-tanda orang yang terkesan hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak mau peduli terhadap sesuatu yang terjadi di sekitarnya.

Bukankah Rasulullah Saw pergi ke Gua Hira itu hanya ingin mendapatkan petunjuk dari Allah SWT tentang bagaimana membimbing ummat manusia yang sudah sangat sesat pada waktu itu. Kenapa setelah beliau mendapat wahyu malah menyelimuti dirinya ? Konteksnya kemudian Allah SWT berfirman, “Qum” (bangkitlah,bangunlah), lemparkan selimut ketidakpedulianmu itu. Persoalan ummat tidak akan selesai hanya dengan menyelimuti diri, seakan-akan kita hanya ingin menyelamatkan diri kita masing-masing lalu kita tidak mau peduli dengan apa yang terjadi di lingkungan kita.

Bangkit atau bangun tidak sekadar bangkit. Lalu apa yang harus dilakukan ? Tugas yang harus dilakukan adalah, “fa andzir” (memberi pertingatan). Lemparkan “selimut ketidakpedulian”, segeralah bangkit dan laksanakan tugas untuk memberikan peringatan agar mereka yang sesat segera meninggalkan jalan sesat kehidupan mereka, yang lalai agar cepat sadar atas kelalaiannya. Tidak dibenarkan sama sekali kita menyelimuti diri dengan tidak mau peduli atas kondisi yang terjadi di sekitar kita. Tetapi kita harus siap bangkit dan segera memberikan peringatan kepada masyarakat yang berada dalam jangkauan kemampuan kita. Karena tugas dakwah “bukan hanya” tugas para da’i, ulama atau kiai saja, melainkan merupakan tugas setiap orang muslim. Salah satu keterlambatan dakwah Islam selama ini adalah kemungkinan kesalahan persepsi atas tugas dakwah ini yang seolah-olah tugas dakwah hanya tugasnya para da’i, ‘ulama atau para kiai saja.

Tugas setiap orang mu’min atau muslim tidak hanya sekadar bisa menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi harus “saling mengingatkan” dalam kebenaran. Maka digunakanlah bahasa, “wa tawaashau”, bukan “taushiyah”. Makna kata “taushiyah” adalah nasihat dari satu fihak kepada fihak yang lain, tapi kalau “tawaashau” sifatnya adalah “saling menasihati”. Karena perlu disadari bahwa semua manusia sangat berpotensi untuk berbuat kesalahan atau lalai.

Pada umumnya, nasihat orangtua kepada anaknya, guru kepada muridnya, pimpinan kepada bawahannya, ‘ulama kepada ummatnya. Namun orangtua, guru, pimpinan atau ‘ulama itu semua adalah manusia yang sangat mungkin berbuat salah. Oleh karena itu di dalam Islam anak harus siap dengan santun mengingatkan orangtua yang berbuat kesalahan, demikian pula murid kepada gurunya, bawahan kepada pimpinannya atau ummat kepada ‘ulamanya. Kalau ada ‘ulama keliru atau berprinsip salah dan pernyataannya “sangat menyesatkan”, maka ummat pun “harus berani” segera mengingatkannya. Jangan dia dibiarkan dalam kesesatannya karena akan membawa akibat penyesatan terhadapo ummat yang lebih luas lagi.

Hal inilah yang selama ini terkesan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Semua harus kita benahi dengan kita mau bangkit memberi peringatan. Maka dari itu, “amar ma’ruf nahyi munkar” ini adalah kewajiban setiap orang mu’min (QS. Ali Imran, 3 : 104 & 110). Ini pula seperti apa yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw, “Sampaikan oleh kalian apa yang telah kalian terima dariku walaupun hanya satu ayat”.

Lalu apa yang harus kita dakwahkan ? Paling tidak, ada “Lima” konsep dakwah yang harus ditempuh. Konsep Pertama, kita simak lanjutan ayatnya, “wa rabbaka fa kabbir” (Allah Tuhanmu itu Akbar-kan). Yang harus kita dakwahkan kepada masyarakat adalah menyadarkan atau mengajak ummat sehingga mereka hanya mau meng-“Akbar”-kan Allah dalam semua aspek kehidupannya. Tidak ada yang “Akbar” kecuali Allah. “Allahu Akbar” dari segi Dzat juga dalam sisi aturan dan hukum-Nya. Dan, kalau kita sudah menyatakan bahwa “Allahu Akbar”, maka semua selain Allah tidaklah ada yang Akbar. Baik hawa nafsu maupun akal kita itu kecil. Alam jagad raya ini dengan segala isinya semuanya kecil di hadapan-Nya. Oleh karena itu semua harus tunduk kepada Allah yang Akbar.

Konsep Kedua, “Wa tsiyaabaka fa thahhir” (Bersihkanlah pakaianmu). Kita harus sudah mulai mengupayakan mensucikan pakaian lahir terutama bathin kita. Membersihkan diri kita dari dosa dan kemaksiatan. Kita mulai mau membersihkan mental atau akhlak-akhlak yang kotor dari kehidupan masyarakat.

Sedangkan konsep Ketiga, “war rujza fah jur” (segala perbuatan dosa dan maksiat itu harus segera dijauhi). Kalau kita perhatikan bahasa Al Qur’an selalu menggunakan kata “jauhi” atau “jangan dekati” bila berbicara tentang larangan (QS. Al Baqarah, 2 : 35; Al A’raaf, 7:19, Al An’aam, 6:151-152; Al Israa’,17:34). Larangan-larangan semacam ini dimaksudkan untuk mendidik manusia agar tidak melakukan pelanggaran. Selain itu memberikan pendidikan pula kepada manusia bahwa semua sarana dan prasarana yang bisa menimbulkan kemaksiatan pun terkena larangannya.

Konsep Keempat, “Wa laa tamnun tastaktsir” (Dan janganlah kamu memberi dengan maksud ingin memperoleh balasan yang banyak). Karena tugas dakwah ini adalah tugas yang mesti didasari ikhlas semata-mata karena Allah, maka janganlah kita senantiasa berharap imbalan yang lebih banyak dari apa yang telah kita lakukan. Bukan berarti manusia tidak boleh memetik hasil dari jerih payah perjuangannya, tetapi tetap harus sewajarnya saja kita layak berharap.

Adapun konsep dakwah Kelima, “Wa li rabbika fash bir” (Maka bersabarlah (taat) bagi Tuhanmu). Oleh karena tugas dakwah ini adalah tugas yang tidak ringan, maka tentunya sangat diperlukan kesabaran dan ketahanan diri kita untuk tetap istiqomah dalam medan perjuangan. Kita mesti tanamkan dalam diri kita sebuah kesabaran, karena tidak mustahil kita akan berhadapan dengan orang-orang yang sangat terusik dengan dakwah kita.

Ini semua risiko yang mesti kita hadapi bukan malah kita lari meninggalkannya. Tidaklah pantas bila kondisi “medan dakwah” telah mengundang kita untuk terjun langsung dalam kancah perjuangan, lantas tiba-tiba kita lari meninggalkannya. Kita sadari, sungguh tidaklah mudah kita mengajak orang untuk senantiasa meng-“Akbar”-kan Allah dalam setiap aspek kehidupannnya. Tidaklah ringan kita memberikan teladan tentang kebersihan lahir terutama bathin kita sehingga tatanan kehidupan masyarakat kita bisa bersih dari yang munkar.

Tidak gampang pula kita memberikan arahan kepada orang untuk senantiasa mau menjauhi atau tidak mendekati perbuatan dosa, apalagi terhadap orang yang selama ini hidupnya telah bergelimang dengan dosa dan maksiat sehingga dosa dan kemaksiatan yang dilakukannya telah dianggap bukanlah dosa lagi.

Walaupun terlihat betapa beratnya “medan dakwah” kita, tentunya harus tetap kita jalani dengan hanya semata-mata didasari keikhlasan untuk mencapai ridha Allah. Kesabaran dan ketahanan diri serta istiqomah dalam “medan dakwah” inilah memang menjadi syarat penting dari semua ini.

Semoga kita semua dapat meng-“hijrah”-kan diri kita dari hal-hal yang dapat mengundang murka-Nya ke arah jalan yang lurus menuju ridha Allah SWT.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Selasa, 09 Maret 2010

Menyikapi Musibah


“Disadari atau tidak, ternyata tidak sedikit orang yang hancur luluh keimanannya hanya karena ketidakmampuannya menghadapi musibah dalam hidup. Salah satu penyebabnya karena salah dalam memahami makna musibah dan salah pula dalam menyikapinya. Kesalahan seseorang dalam memaknai dan menyikapi musibah akibatnya bisa sangat fatal terhadap keimanannya.”

Bagi seorang mu’min tentu meyakini bahwa, segala sesuatu hanya akan terjadi di dunia ini karena, “Kun Fayakun” Allah, sehingga segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini terutama yang tidak kita inginkan harusnya menjadi bahan “muhasabah” (introspeksi) atau “tazkirah” (peringatan) apa yang sebenarnya sedang Allah rencanakan untuk kita.

Berbicara masalah musibah, sebenarnya musibah adalah sesuatu yang mutlak akan dialami oleh manusia dalam menjalani kehidupannya, baik seseorang itu yang kafir maupun mu'min. Jika musibah menimpa orang yang kafir, pasti itu adalah azab. Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia), sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. As Sajdah, 32 : 21).

Namun, jika menimpa orang yang mu'min, pasti itu adalah bentuk kasih-sayang Allah SWT. Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw pernah menyatakan, "Jika Allah sudah mencintai suatu kaum maka Allah SWT akan memberikan bala, ujian atau cobaan". Ini semakin mempertegas kepada kita bahwa musibah bagi orang-orang yang mu'min itu sebagai bentuk kasih-sayang.

Paling tidak, ada "tiga" kemungkinan yang mendasari terjadinya musibah yang menurut Al Qur'an sebagai bentuk kasih-sayang Allah SWT kepada orang-orang mu'min. Pertama, sebagai ujian keimanan bagi orang mu'min. Kasih-sayang Allah kepada hamba-Nya yang mu'min di antaranya ditunjukkan-Nya dengan menurunkan musibah dengan memberikan peluang kepada hamba-hamba-Nya yang mu'min untuk mengikuti ujian dalam proses peningkatan keimanannya. Allah SWT berfirman: "Adakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan saja oleh Allah untuk menyatakan, "aamannaa" (kami telah beriman) padahal Kami belum lagi memberikan ujian kepada mereka. Sungguh telah Kami uji umat sebelum mereka, dengan ujian itu jelaslah oleh Kami siapa yang benar pengakuan keimanannya itu dan siapa pula yang dusta" (Al Ankabuut, 29 : 2-3).

Hakikatnya ujian itu sendiri sebenarnya adalah sesuatu hal yang sangat positif, yang tidak positif adalah jika seseorang yang telah diberi peluang untuk mengikuti ujian lalu ia tidak memanfaatkan peluang tersebut secara optimal sehingga tidak lulus. Betapa ruginya seseorang jika tidak diberi kesempatan untuk mengikuti ujian. Sebaliknya, alangkah beruntung dan bahagianya seseorang yang telah diberi peluang mengikuti ujian dan berhasil lulus dalam ujiannya.

Disadari atau tidak, selama ini kita mungkin telah banyak melakukan kekeliruan dalam memaknai dan menyikapi musibah yang terjadi. Kadang pandangan kita selama ini dalam memaknai dan menyikapi musibah terlalu cenderung pada nilai duniawi. Kemudian kita menganggap ujian itu sebagai bentuk musibah yang sebenarnya sesuatu yang tidak diharapkan. Sehingga ukuran keshalehan seseorang pun kadang dilihat dari kurangnya musibah dalam hidupnya. Ini pandangan yang keliru terhadap makna musibah yang sebenarnya.

Kedua, boleh jadi musibah sebagai bentuk kasih-sayang Allah SWT kepada orang-orang mu'min "bukan" sebagai ujian keimanan, tetapi justru karena Allah SWT sedang memilihkan hal yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya. Namun, karena ketidakmampuan untuk bisa memahami hikmah di balik dari suatu peristiwa, lantas kita akhirnya menganggap peristiwa yang terjadi itu sebagai musibah.

Karena ketidakmungkinan manusia “memastikan” apa yang akan terjadi (QS. Lukman : 34) maka acapkali kita tidak bisa memahami hikmah di balik peristiwa yang sedang terjadi. Terkadang kita baru bisa merasakan hikmahnya setelah sekian lama mengalaminya. Pada saat peristiwa boleh jadi kita menganggapnya sebagai musibah, tapi setelah berlalu beberapa waktu mungkin seminggu, sebulan bahkan mungkin setelah beberapa tahun, barulah kita menyatakan rasa syukur setelah menyadari hikmahnya.

Sebagai contoh, seseorang sudah berniat bahkan telah melakukan berbagai macam persiapan untuk menghadiri suatu acara penting yang tempatnya jauh dari domisilinya di antaranya dengan memesan tiket pesawat. Pada saat pemberangkatan, atas takdir-Nya ternyata ia terlambat hanya beberapa menit. Ungkapan perasaan yang muncul saat itu mungkin ungkapan dalam bentuk cacian, makian atau dan lain sebagainya. Setelah beberapa saat kemudian melalui berita yang bersangkutan mendengar bahwa pesawat yang semula akan ditumpanginya jatuh. Barulah saat itu dia sadar dan bersyukur karena tertinggal pesawat.

Karena ketidakmampuan membaca hikmah dari suatu peristiwa, maka sering terjadi orang yang semestinya bersyukur malah mencaci-maki, yang semestinya tertawa malah menangis. Sebaliknya, dia tertawa pada saat seharusnya dia menangis. Semua ini terjadi oleh sebab ketidakmampuan manusia memastikan apa yang akan terjadi, Allah SWT berfirman: "Tidak ada satu jiwa pun yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi besok"(Luqman, 31 : 34).

Di lain sisi Allah SWT juga mengingatkan, "Boleh jadi kamu sangat tidak menyukai peristiwa yang menimpa diri kamu, padahal itu sangat baik sekali bagimu. Boleh jadi sesuatu itu yang sangat kamu sukai, padahal sesuatu itu yang sangat tidak baik bagi kamu. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui, kalian tidak tahu apa-apa" (Al Baqarah, 2 : 216). Oleh karena ketidakmampuan kita dalam memahami hikmah dari satu peristiwa yang menimpa kehidupan kita, maka kita menganggap sesuatu itu tidak baik padahal ia sangat baik. Sebaliknya, kita menganggap sesuatu itu tidak baik, padahal ia sangat baik bagi kita. Jadi, sangat mungkin sekali bahwa musibah yang menimpa diri kita saat ini sebenarnya bentuk kasih-sayang-Nya, karena Allah sedang memilihkan sesuatu yang terbaik bagi kita dunia dan akhirat.

Ketiga, bisa juga musibah yang menimpa kehidupan seorang mu'min "bukan" sebagai ujian keimanan dan "bukan" pula pilihan Allah yang terbaik, tetapi semata-mata azab dari Allah SWT bagi seorang mu’min masih dalam konteks kasih-sayang-Nya. Karena menurut Allah SWT hamba-Nya yang mu'min itu sudah mulai jauh meninggalkan syari’at-Nya di mana yang bersangkutan baru akan sadar jika diturunkan azab sebagai peringatan kepadanya agar ia segera kembali hidup di jalan yang diridhai-Nya.

Kalau musibah itu merupakan ujian keimanan, maka kita harus bersyukur. Lebih bersyukur lagi kalau musibah itu adalah pilihan Allah yang terbaik, berarti Allah sedang sangat sayang kepada kita, sedang membimbing dan menunjukkan apa yang terbaik bagi kita. Bahkan, kalau pun musibah itu sebagai azab, tetap saja kita harus bersyukur kepada-Nya karena Allah masih mau mengingatkan agar segera bertaubat dan memperbaiki diri sebelum ajal menjemput kita.

Sebelum tulisan ini saya akhiri, saya mengajak sidang pembaca untuk merenung sejenak terhadap sebuah kisah yang layak kita jadikan "ibrah" (pelajaran) bagi kita, di mana betapa luar biasanya buah keimanan dapat mengecilkan arti musibah duniawi. Dikisahkan salah seorang tabi'in bernama Urwah bin Zabir, yang Allah takdirkan salah satu kakinya dari lutut ke bawah sakit hingga membusuk. Tak lama kemudian didatangkan 4 orang Tabib sebagai upaya penyembuhan. Ternyata hasil diagnosa 4 Tabib menyimpulkan bahwa tidak ada cara lain kecuali harus diamputasi kaki yang membusuk tersebut. Jika tidak, maka dikhawatirkan penyakitnya akan menjalar ke seluruh tubuh.

Ketika berita ini disampaikan kepada Urwah, dengan tenang dia mengatakan, kalau memang itu adalah keputusan para Tabib, kenapa tidak segera dilakukan ? Sebelum pelaksanaan operasi, disodorkanlah oleh Tabib minuman kepada Urwah sambil mengatakan, silakan anda minum terlebih dahulu. Ketika Urwah mau meminumnya terciumlah aroma lain, maka dia bertanya, minuman apa ini ? “Arak”, kata Tabib. Maksudnya apa, tanya Urwah. Jawab Tabib: “supaya anda mabuk agar mengurangi sedikit rasa sakit karena sebentar lagi kaki anda akan kami gergaji mulai dari kulit, daging hingga tulang. Dan, tentu saja akan terjadi pendarahan yang luar biasa. Supaya darah tidak terus mengalir, maka sudah kami siapkan "kuali" dengan minyak goreng yang sudah mendidih. Setelah kaki anda dipotong agar jangan terus mengeluarkan darah maka kaki anda itu akan kami masukkan ke dalam kuali agar cepat kering.

Jawab Urwah, “Sungguh sulit diterima akal sehat jika ada seorang mu'min yang beriman kepada Allah lantas dia meminum sesuatu untuk menghilangkan akalnya. Sehingga dia sudah tidak ingat lagi siapa Tuhannya? Betapa saya meragukan keimanan seseorang yang sampai mau meminum khamr sehingga dia tidak sadar bahwa Allah itu ada, bagaimana bisa diyakini keimanan seperti itu. Saya tidak ingin sedikit pun termasuk orang seperti itu, untuk itu buanglah jauh-jauh khamr dari depan mukaku”.

“Lantas apa yang mesti kami lakukan?”, kata Tabib. Urwah berkata: “setelah saya memberi isyarat dengan tangan saya, silakan laksanakan tugas kalian, gergaji kaki saya dan masukkan ke dalam kuali”. Lalu Urwah pun asyik khusyu’ berzikir sampai kemudian dia angkat tangannya sambil terus berzikir memejamkan mata pertanda dia sudah siap untuk digergaji kakinya. Maka digergajilah kaki Urwah dan langsung dimasukkan dalam kuali. Konon, dia sempat pingsan. Setelah siuman, sambil tetap berbaring di tempat tidur, dia meminta kepada orang di sekelilingnya agar potongan kakinya tersebut setelah dimandikan dan dikafani dan sebelum dikuburkan dapat dihadirkan kepadanya.

Dibawakanlah potongan kakinya dan sambil berbaring dia angkat potongan kaki itu sambil mengatakan, Ya Allah, Alhamdulillah, selama ini Engkau telah karuniakan saya dua kaki, kelak kaki ini akan menjadi saksi di akhirat nanti. Ya Allah, Demi Allah, saya tidak pernah membawa dia melangkah ke jalan yang tidak Engkau ridhai. Kini, Engkau ambil yang hakikatnya adalah milik-Mu Ya Allah, innalillaahi wa inna ilaihi rajiuun, mudah-mudahan saya masih bisa memanfaatkan kaki yang tersisa ini. Lantas potongan kaki pun diberikan sambil ia meminta dikuburkan.

Nyaris tidak ada kesedihan, tapi tiba-tiba Urwah menangis. Orang yang menyaksikan sejak awal itu berkomentar: “kami semula begitu merasa bangga dengan ketegaran anda, lalu kenapa engkau kini menangis, wahai Urwah ?” Beliau menjawab: “Demi Allah, hanya Allah yang Mahatahu, saya bukan menangis karena hilangnya satu kaki saya, yang hakikatnya milik Allah, tapi yang membuat saya menangis hanyalah kekhawatiran, apakah dengan kaki yang hanya tinggal satu ini saya masih bisa beribadah dengan sempurna kepada Allah ?

Allahu Akbar! Luar biasa keimanan Urwah, dunia menjadi kecil di mata orang mukmin seperti Urwah ini. Siang hari dia menjalani operasi amputasi, malamnya salah satu dari tujuh orang anaknya meninggal dunia. Ketika berita duka ini disampaikan, beliau berkata, saya belum bisa bangkit dari tempat tidur ini, karenanya tolong urus jenazahnya, mandikan, kafani dan shalatkan. Sebelum dikuburkan ijinkan saya memegang sejenak jenazah anak saya. Ketika jenazah putranya disodorkan kepadanya, ia pun memegang jenazah anaknya sambil mengusap kepalanya dan bardoa, “Ya Allah, Alhamdulillah, Engkau telah karuniai saya tujuh anak. Mudah-mudahan sebagai ayah mereka sudah saya laksanakan kewajiban mendidik mereka di jalan yang Engkau ridhai. Ya Allah, sekarang Engkau ambil salah seorang di antara mereka, milik-Mu Ya Allah, bukan milikku. Innalillaahi wa inna ilaihi rajiuun, mudah-mudahan Engkau masih memberikan manfaat untuk 6 anak yang masih tersisa. Allahu Akbar, bagi orang mukmin hanya Allah yang “Akbar” dunia dan segala isinya “kecil” di mata seorang yang mencintai Allah di atas cinta kepada selain Allah SWT.

Wallahu a’lam bish-shawab


Hikmah Isra Mi’raj


Subhaanalladzii asraa bi ‘abdihii lailam minal masjidil haraami ilal masjidil aqshalladzii baaraknaa haulahuu li nuriyahuu min aayaatinaa innahuu huwas samii’ul bashiir

“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Al Israa’, 17 : 1)

Momen peringatan hari-hari besar Islam seringkali diperingati, namun terkadang karena kurang pada tempatnya dalam menempatkan posisi akal untuk memahami hal yang bersifat ghaib, maka seringkali kita akhirnya tidak bisa memetik hikmahnya. Padahal, masalah keimanan itu selalu berkaitan dengan hal yang ghaib. Allah SWT berfirman: “Alladziina yu’minuuna bil ghaib” (Al Baqarah, 2 : 3)

Dinamakan sesuatu itu ghaib manakala tidak bisa direkam oleh indra kita, yang karenanya tidak bisa diolah oleh akal. Sebab fungsi akal adalah mengolah data-data yang sempat direkam oleh indra kita. Sesuatu yang tidak bisa dilihat, didengar dan tidak bisa dirasa, tentu tidak akan bisa dimengerti oleh akal.

Maka dari itu, peristiwa Isra Mi’raj ini termasuk dalam perkara yang ghaib yang harus diterima oleh keimanan terlebih dahulu sebelum akal. Ketika peristiwa Isra Mi’raj terjadi, maka pada saat itu sempat menghebohkan, bahkan sempat pula melahirkan tuduhan orang-orang musyrikin yang semakin gencar yang menuduh Nabi Muhammad Saw itu adalah orang gila.

Hal ini juga sempat mempengaruhi orang-orang Islam pada saat itu. Ketika berita ini sampai kepada Abu Bakar Ash Shidiq Ra dan ummat meminta bagaimana pandangan Beliau, maka hanya satu pertanyaan yang Beliau ajukan kepada para sahabat, “dari mana kalian mendengar terjadinya peristiwa ini ? Kata para sahabat, kami mendengar dari Rasulullah Saw. Lalu Abu Bakar Ra mengatakan, kalau dalam hal ini yang mengatakan Rasulullah Saw, maka kalian tinggal meyakininya saja.

Kendati sudah jelas masalah Isra Mi’raj ini berkaitan dengan masalah keimanan, namun kita tetap masih saja bisa menyaksikan tidak sedikit di antara saudara-saudara kita yang tertarik untuk tetap mempersoalkan peristiwa Isra Mi’raj ini dengan pendekatan akal. Sebenarnya tidaklah salah sepenuhnya, tetapi karena kurang tepatnya kita dalam menempatkan posisi akal. Maka seringkali diskusi-diskusi atau seminar-seminar yang diselenggarakan ini tidak mencapai yang diharapkan.

Sebagai contoh, masih sering dipersoalkan oleh sebagian orang, apakah peristiwa Isra Mi’raj Rasulullah Saw itu hanya sekadar ruh Beliau, ataukah ruh sekaligus jasadnya ? Kalau dikatakan kepada mereka bahwa peristiwa ini hanya ruh Nabi Muhammad Saw, maka biasanya mereka akan mengatakan di mana letak kebesaran peristiwa itu karena terkesan hampir tidak jauh berbeda dengan mimpi. Tapi kalau dikatakan kepada mereka, bahwa peristiwa itu terjadi bukan hanya ruh Nabi Muhammad Saw saja, tapi ruh sekaligus dengan jasadnya, maka mereka akan mengatakan, bagaimana hal itu bisa terjadi ?

Pertanyaan ini terjadi semata-mata karena merupakan pendekatan akal belaka yang diutamakan. Menurut mereka, bagaimana mungkin Nabi Muhammad Saw itu bisa pergi-pulang Isra dari Masjidil Haram (Mekah) ke Masjidil Aqsha (Yerusalem) yang kemudian mi’raj melewati sekian lapis langit untuk sampai ke Sidratul Muntaha hanya ditempuh dalam waktu satu malam ? Padahal menurut penelitian, bila saja manusia keluar dari perut bumi ini tidak mungkin bisa hidup jika tidak dibekali oksigen. Sementara tidak ada keterangan yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw itu dalam Isra Mi’raj-nya dibekali tabung yang berisi oksigen.

Kalau kemudian dikatakan kepada mereka bahwa hendaknya ini tidak diukur dengan kemampuan manusia bernama Muhammad, tetapi hendaknya diukur dengan pendampingnya adalah Malaikat Jibril yang notabene malaikat yang diciptakan dari cahaya, maka mereka masih akan berdalih lagi dengan mengatakan, kecepatan cahaya saat ini sudah bisa diukur oleh manusia. Hal ini pun menurut mereka tidak mungkin karena perjalanan sejauh itu hanya ditempuh dalam satu malam. Maka tambah hangatlah diskusi mereka. Inilah merupakan penyakit kronis dari sebagian kehidupan masyarakat kita manakala ada suatu perintah dan larangan dari Allah SWT yang sudah jelas perintah dan larangan-Nya, mereka tidaklah segera melaksanakan perintah dan meninggalkan larangannya, malah disibukkan hanya mendiskusikannya.

Sementara pendapat sebagian besar ulama menyatakan, bahwa peristiwa ini terjadi sekaligus ruh dan jasad Nabi Muhammad Saw. Alasan yang mendasarinya karena memang sangat jelas ayatnya menyatakan, Subhaanalladzii asraa bi ‘abdihii. Pengertian Abdun pada ayat ini adalah hamba. Adapun yang dinamakan seorang hamba Allah berarti termasuk ruh dan jasadnya. Demikian pula, diri kita ini termasuk hamba Allah yang tentunya termasuk juga di dalamnya ruh dan jasad kita. Andaikata yang di-Isra Mi’raj-kan itu hanya ruh Nabi Muhammad Saw saja, maka ayatnya akan berbunyi, subhanaalladzii asraa bi ruuhi ‘abdihii, Mahasuci Allah yang telah meng-Isra-kan ruh hambanya yang berarti tidak dengan jasadnya.

Dan, seandainya memang yang di-Isra Mi’raj-kan oleh Allah itu hanya sekadar ruh Nabi Muhammad Saw saja, maka tidak akan terasa pernyataan Allah SWT dalam lanjutan ayat-Nya yang menyatakan, “li nuriyahuu min aayaatinaa” (Untuk Kami tunjukkan kepada manusia tanda-tanda kekuasaan Kami).

Kini, yang terpenting bagi kita, adakah yang bisa kita petik hikmahnya di balik peristiwa Isra Mi’raj ini ? Sebenarnya ada sesuatu yang bisa kita petik hikmahnya dari peristiwa ini. Bagi kita sebagai seorang mu’min adalah, kita yakin bahwa segala sesuatu yang mustahil menurut akal kita, itu tidak mustahil menurut Allah Yang Mahakuasa. Hikmahnya bagi kita adalah, rasa optimis mesti selalu ada pada diri kita. Sehingga kalau kita dihadapkan pada suatu masalah yang sudah buntu atau tidak mungkin menurut akal kita, tetap saja kita “tidak akan” pesimis, “tidak akan” sampai putus asa.

Allah SWT telah mengingatkan kita melalui firman-Nya: “Jangan sekali-kali kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir” (QS. Yusuf, 12:87). Dalam ayat ini rasa putus asa itu identik dengan kekafiran. Sebab orang yang putus asa itu berarti dia sudah tidak beriman atau tidak meyakini lagi bahwa Allah Yang Mahakuasa dapat mengubah segala sesuatunya. Padahal, tidak ada yang mustahil jika Allah SWT menghendakinya. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanya berkata kepadanya “kun”(jadilah) maka jadilah ia”(QS. Yaasiin, 36:82).

Paling tidak, ada ”tiga” hal yang bisa kita petik hikmahnya dari peristiwa ini. Hikmah pertama adalah masalah keimanan, yakni menambah keyakinan kita kepada Allah SWT bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Hikmah kedua, kita mesti memahami “hasil” yang dibawa dari perjalanan peristiwa ini adalah diperintahkannya kita menegakkan shalat fardlu lima waktu. Manakala Allah memerintahkan ibadah lain selain shalat, maka Allah cukup berfirman kepada Rasulullah Saw baik itu langsung wahyu atau pun melalui perantara Malaikat Jibril. Tapi, ketika Allah SWT akan memerintahkan shalat, Rasululah Saw terlebih dahulu harus di-mi’raj-kan untuk langsung bertemu dengan-Nya dan menerima perintah-Nya. Ini bermakna betapa pentingnya perintah shalat lima waktu bagi kehidupan kita.

Maka Rasulullah Saw dalam sebuah haditsnya pernah menyatakan, shalat itu adalah mi’rajnya orang-orang mu’min. Artinya shalat yang kemudian diperintahkan oleh Allah SWT kepada kita ummat Islam melalui Rasulullah SAW dengan peristiwa Isra Mi’raj itu dijadikan sarana untuk kita bisa mi’raj sehari lima kali untuk menghadap Allah SWT.

Adapun hikmah ketiga, adalah hendaknya kita semua mesti mau memperbaiki diri dan berkaca kepada setiap musibah dan bencana yang sering terjadi. Bukan hanya bencana alam saja yang bisa kita resapi dan kita maknai, melainkan bencana moral yang telah banyak melenceng baik dari tata kehidupan para pejabat eksekutif, yudikatif maupun legislatif hingga masyarakat biasa telah banyak terefleksi dan sungguh telah jauh berpijak dari rel-rel kehidupan yang baik dan hakiki sesuai syariat Islam.

Semoga ketiga hikmah di atas menjadi pijakan kita untuk melangkah ke depan yang penuh makna dalam menjalani sisa-sisa hidup kita yang semakin hari tanpa disadari jatah usia kita semakin berkurang.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Hakikat Hijrah

Rasulullah Saw bersabda: “Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah atasnya “ (HR. Bukhari dan Muslim)

Berangkat dari sabda Rasulullah Saw seperti dalam hadits di atas, tentu sebagai mu’min akan senantiasa berusaha menjaga dirinya dari ucap, sikap dan perilaku yang menyimpang dari aturan dan hukum-Nya yang selanjutnya tetap istiqomah dalam meniti jalan menuju ridha Allah.

Berbicara tentang “Hijrah” dalam konteks kekinian, layaklah kiranya kita simak dan renungkan seruan Allah SWT yang tertuju kepada Rasulullah Saw yang hakikatnya tertuju pula kepada kita sebagai pengikutnya. Seruan Allah SWT lewat firman-Nya: “Ya ayyuhal muddatstsir, qum fa andzir, wa rabbaka fa kabbir, wa tsiyaabaka fa thahhir, war rujza fahjur, wa laa tamnun tastaktsir, wa li rabbika fash bir” (QS. Al Muddatstsir, 74:1-7)

Kalau kita membaca risalah turunnya wahyu, tidak lama setelah turunnya ayat “Nubuwah” (lima ayat pertama dalam Surat Al ‘Alaq) yang secara resmi menobatkan Muhammad sebagai Nabi Allah. Maka, tidak lama kemudian disusul dengan turunnya “tujuh” ayat pertama Surat Al Muddatstsir, yang secara resmi mengangkat Muhammad sebagai Rasul Allah, pengemban risalah melalui “tujuh” ayat risalah tersebut.

Inilah awal diri Rasulullah Saw berfungsi sebagai Rasul Allah, membawa risalah Allah SWT untuk “mengislamkan” manusia yang saat itu dalam kondisi “Jahiliyyah”. Firman-Nya diawali, “Ya ayyuhal muddatstsir” (Wahai orang yang berselimut). Kalau kita baca dalam “Asbabul Nuzul” ayat ini diriwayatkan, Rasulullah Saw pada waktu itu sedang berselimut. Saat itu Beliau memohon kepada istrinya, Khadijah Ra. untuk menyelimuti tubuh Beliau setelah menerima wahyu “lima” ayat pertama dalam Surat Al ‘Alaq di Gua Hira yang pulang ke rumah kondisi badannya menggigil.

Tetapi para ahli tafsir tidak ingin berhenti hanya pada pengertian “harfiah”nya dari kata “selimut”, yang arti “harfiah”nya adalah, orang yang berselimut atau mempergunakan selimut untuk menghangatkan badanya sendiri. Sehingga para ahli tafsir mengartikan “selimut” dengan arti “maknawi”, wahai orang yang menyelimuti dirinya dengan tidak mau peduil dengan kondisi lingkungannya. Karena orang yang berselimut identik dengan tanda-tanda orang yang terkesan hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak mau peduli terhadap sesuatu yang terjadi di sekitarnya.

Bukankah Rasulullah Saw pergi ke Gua Hira itu hanya ingin mendapatkan petunjuk dari Allah SWT tentang bagaimana membimbing ummat manusia yang sudah sangat sesat pada waktu itu. Kenapa setelah beliau mendapat wahyu malah menyelimuti dirinya ? Konteksnya kemudian Allah SWT berfirman, “Qum” (bangkitlah,bangunlah), lemparkan selimut ketidakpedulianmu itu. Persoalan ummat tidak akan selesai hanya dengan menyelimuti diri, seakan-akan kita hanya ingin menyelamatkan diri kita masing-masing lalu kita tidak mau peduli dengan apa yang terjadi di lingkungan kita.

Bangkit atau bangun tidak sekadar bangkit. Lalu apa yang harus dilakukan ? Tugas yang harus dilakukan adalah, “fa andzir” (memberi pertingatan). Lemparkan “selimut ketidakpedulian”, segeralah bangkit dan laksanakan tugas untuk memberikan peringatan agar mereka yang sesat segera meninggalkan jalan sesat kehidupan mereka, yang lalai agar cepat sadar atas kelalaiannya. Tidak dibenarkan sama sekali kita menyelimuti diri dengan tidak mau peduli atas kondisi yang terjadi di sekitar kita. Tetapi kita harus siap bangkit dan segera memberikan peringatan kepada masyarakat yang berada dalam jangkauan kemampuan kita. Karena tugas dakwah “bukan hanya” tugas para da’i, ulama atau kiai saja, melainkan merupakan tugas setiap orang muslim. Salah satu keterlambatan dakwah Islam selama ini adalah kemungkinan kesalahan persepsi atas tugas dakwah ini yang seolah-olah tugas dakwah hanya tugasnya para da’i, ‘ulama atau para kiai saja.

Tugas setiap orang mu’min atau muslim tidak hanya sekadar bisa menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi harus “saling mengingatkan” dalam kebenaran. Maka digunakanlah bahasa, “wa tawaashau”, bukan “taushiyah”. Makna kata “taushiyah” adalah nasihat dari satu fihak kepada fihak yang lain, tapi kalau “tawaashau” sifatnya adalah “saling menasihati”. Karena perlu disadari bahwa semua manusia sangat berpotensi untuk berbuat kesalahan atau lalai.

Pada umumnya, nasihat orangtua kepada anaknya, guru kepada muridnya, pimpinan kepada bawahannya, ‘ulama kepada ummatnya. Namun orangtua, guru, pimpinan atau ‘ulama itu semua adalah manusia yang sangat mungkin berbuat salah. Oleh karena itu di dalam Islam anak harus siap dengan santun mengingatkan orangtua yang berbuat kesalahan, demikian pula murid kepada gurunya, bawahan kepada pimpinannya atau ummat kepada ‘ulamanya. Kalau ada ‘ulama keliru atau berprinsip salah dan pernyataannya “sangat menyesatkan”, maka ummat pun “harus berani” segera mengingatkannya. Jangan dia dibiarkan dalam kesesatannya karena akan membawa akibat penyesatan terhadapo ummat yang lebih luas lagi.

Hal inilah yang selama ini terkesan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Semua harus kita benahi dengan kita mau bangkit memberi peringatan. Maka dari itu, “amar ma’ruf nahyi munkar” ini adalah kewajiban setiap orang mu’min (QS. Ali Imran, 3 : 104 & 110). Ini pula seperti apa yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw, “Sampaikan oleh kalian apa yang telah kalian terima dariku walaupun hanya satu ayat”.

Lalu apa yang harus kita dakwahkan ? Paling tidak, ada “Lima” konsep dakwah yang harus ditempuh. Konsep Pertama, kita simak lanjutan ayatnya, “wa rabbaka fa kabbir” (Allah Tuhanmu itu Akbar-kan). Yang harus kita dakwahkan kepada masyarakat adalah menyadarkan atau mengajak ummat sehingga mereka hanya mau meng-“Akbar”-kan Allah dalam semua aspek kehidupannya. Tidak ada yang “Akbar” kecuali Allah. “Allahu Akbar” dari segi Dzat juga dalam sisi aturan dan hukum-Nya. Dan, kalau kita sudah menyatakan bahwa “Allahu Akbar”, maka semua selain Allah tidaklah ada yang Akbar. Baik hawa nafsu maupun akal kita itu kecil. Alam jagad raya ini dengan segala isinya semuanya kecil di hadapan-Nya. Oleh karena itu semua harus tunduk kepada Allah yang Akbar.

Konsep Kedua, “Wa tsiyaabaka fa thahhir” (Bersihkanlah pakaianmu). Kita harus sudah mulai mengupayakan mensucikan pakaian lahir terutama bathin kita. Membersihkan diri kita dari dosa dan kemaksiatan. Kita mulai mau membersihkan mental atau akhlak-akhlak yang kotor dari kehidupan masyarakat.

Sedangkan konsep Ketiga, “war rujza fah jur” (segala perbuatan dosa dan maksiat itu harus segera dijauhi). Kalau kita perhatikan bahasa Al Qur’an selalu menggunakan kata “jauhi” atau “jangan dekati” bila berbicara tentang larangan (QS. Al Baqarah, 2 : 35; Al A’raaf, 7:19, Al An’aam, 6:151-152; Al Israa’,17:34). Larangan-larangan semacam ini dimaksudkan untuk mendidik manusia agar tidak melakukan pelanggaran. Selain itu memberikan pendidikan pula kepada manusia bahwa semua sarana dan prasarana yang bisa menimbulkan kemaksiatan pun terkena larangannya.

Konsep Keempat, “Wa laa tamnun tastaktsir” (Dan janganlah kamu memberi dengan maksud ingin memperoleh balasan yang banyak). Karena tugas dakwah ini adalah tugas yang mesti didasari ikhlas semata-mata karena Allah, maka janganlah kita senantiasa berharap imbalan yang lebih banyak dari apa yang telah kita lakukan. Bukan berarti manusia tidak boleh memetik hasil dari jerih payah perjuangannya, tetapi tetap harus sewajarnya saja kita layak berharap.

Adapun konsep dakwah Kelima, “Wa li rabbika fash bir” (Maka bersabarlah (taat) bagi Tuhanmu). Oleh karena tugas dakwah ini adalah tugas yang tidak ringan, maka tentunya sangat diperlukan kesabaran dan ketahanan diri kita untuk tetap istiqomah dalam medan perjuangan. Kita mesti tanamkan dalam diri kita sebuah kesabaran, karena tidak mustahil kita akan berhadapan dengan orang-orang yang sangat terusik dengan dakwah kita.

Ini semua risiko yang mesti kita hadapi bukan malah kita lari meninggalkannya. Tidaklah pantas bila kondisi “medan dakwah” telah mengundang kita untuk terjun langsung dalam kancah perjuangan, lantas tiba-tiba kita lari meninggalkannya. Kita sadari, sungguh tidaklah mudah kita mengajak orang untuk senantiasa meng-“Akbar”-kan Allah dalam setiap aspek kehidupannnya. Tidaklah ringan kita memberikan teladan tentang kebersihan lahir terutama bathin kita sehingga tatanan kehidupan masyarakat kita bisa bersih dari yang munkar.

Tidak gampang pula kita memberikan arahan kepada orang untuk senantiasa mau menjauhi atau tidak mendekati perbuatan dosa, apalagi terhadap orang yang selama ini hidupnya telah bergelimang dengan dosa dan maksiat sehingga dosa dan kemaksiatan yang dilakukannya telah dianggap bukanlah dosa lagi.

Walaupun terlihat betapa beratnya “medan dakwah” kita, tentunya harus tetap kita jalani dengan hanya semata-mata didasari keikhlasan untuk mencapai ridha Allah. Kesabaran dan ketahanan diri serta istiqomah dalam “medan dakwah” inilah memang menjadi syarat penting dari semua ini.

Semoga kita semua dapat meng-“hijrah”-kan diri kita dari hal-hal yang dapat mengundang murka-Nya ke arah jalan yang lurus menuju ridha Allah SWT.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Senin, 08 Maret 2010

Islam dan Kesejahteraan Dunia Muslim


Yuslam Fauzi
(praktisi perbankan syariah/Dirut Bank Syariah Mandiri)


Dalam beberapa hari ini, tepatnya pada tanggal 1 s.d. 4 Maret 2009, Indonesia menjadi tuan rumah World Islamic Economic Forum (WIEF) ke-5. WIEF biasanya dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai negara untuk membahas ekonomi dan keuangan Islam, dengan pendekatan ilmiah dan empiris-praktis. Pertemuan terakhir digelar tahun lalu di Kuwait.

Forum kali ini memiliki arti yang sangat penting sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, karena ia diselenggarakan di tengah situasi ekonomi global yang semakin menunjukkan arah yang buruk. Dari forum ini diharapkan lahir tawaran-tawaran yang kongkret untuk membantu mengatasi situasi itu. Mungkin karena alasan inilah 5th WIEF ini mengambil tema, ''Food and Energy Security & Stemming the Tide of Global Financial Crisis.''

Kedua, karena kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan dunia Muslim, jika kita ukur dengan tingkat kesejahteraan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, dengan ukuran Indeks Perkembangan Manusia (Human Development Index), saat ini tetap berada pada posisi yang sangat rendah, walaupun negara-negara Muslim Timur Tengah selama bertahun-tahun menikmati kemakmuran ekonomi akibat kekayaan alam yang melimpah, terutama minyak dan gas. Forum ini dapat dijadikan ajang untuk introspeksi tentang apa saja yang benar dan yang salah yang selama ini telah dilakukan oleh bangsa-bangsa Muslim itu.

Dengan tulisan ini, saya akan mengingatkan tentang tujuan dari syariah Islam yang tetap harus menjadi kerangka dasar sekaligus menjadi cita-cita utama dalam setiap kali kita berusaha mengembangkan ekonomi Islam. Dalam tulisan ini juga, saya akan mengungkapkan fakta-fakta penting tentang keadaan dan permasalahan yang berhubungan dengan kesejahteraan dunia Muslim, termasuk Indonesia, dan menawarkan solusi yang paling sesuai dengan tujuan dari syariah itu.

Tujuan Syariah
Imam Al-Syathibi (Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa Al-Syathibi, wafat 790 Hijriah), seorang pemikir Islam yang memelopori lahirnya ilmu maqaashid al-syarii'ah (tujuan-tujuan syariah) melalui karya monumentalnya, Al-Muwafaqaat, menjelaskan bahwa tujuan utama syariah Islam adalah meningkatkan kesejahteraan manusia. Syariah, menurut Al-Syathibi, adalah sesuatu yang berimplikasi pada kebaikan, seperti kejujuran, keadilan, keterbukaan, toleransi, dan kasih sayang, sebagaimana bahwa tujuan utama syariah itu ialah untuk menciptakan kesejahteraan manusia.

Jika kita menoleh ke Alquran, kita akan melihat betapa besarnya perhatian Tuhan pada kesejahteraan ini. Di dalam Alquran, sedikitnya ada 69 ayat yang secara khusus menyebut kemiskinan. Di samping itu, masih ada puluhan lagi ayat-ayat yang menyebut kata sejenis dengan kemiskinan, seperti kata faqir, fuqara, ba's, saa'il, qani', mu'tarr, dhaa'if, dan mustadh'afiin. Selain itu, sedikitnya ada 42 ayat tentang zakat yang korelasinya dengan kemiskinan juga amat erat. Jika dijumlah, kita akan menemukan lebih dari 150 ayat Alquran yang berkorelasi dengan kemiskinan.

Sekadar untuk perbandingan, yang terkait dengan riba, yang tentu saja juga merupakan prinsip penting di dalam ekonomi Islam, hanya ada 7 ayat. Besarnya perhatian Islam pada kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan manusia bisa juga dilihat dari banyaknya hadis Nabi Muhammad tentang hal itu. Di dalam salah satu hadis dikatakan bahwa kefakiran amat dekat pada kekafiran. Jadi, sejalan dengan tujuan diutusnya Muhammad SAW untuk menjadi 'tanda' bagi kasih sayang Tuhan bagi alam semesta (lihat Alquran surah Al Anbiyaa ayat 107), syariah yang dibawanya pun mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

Mengukur Kesejahteraan
Kamus Wikipedia menyatakan, sejahtera adalah kondisi atau keadaan yang baik di mana manusia dalam keadaan makmur, sehat, dan damai. Welfare (sejahtera) juga berarti well being (healthy, happy, and prosperous). Selama beberapa tahun setelah Perang Dunia II, pengukuran tingkat kesejahteraan manusia mengalami perubahan. Pada 1950-an, sejahtera diukur dari aspek fisik, seperti gizi, tinggi dan berat badan, harapan hidup, serta income. Pada 1980-an, ada perubahan di mana sejahtera diukur dari income, tenaga kerja, dan hak-hak sipil. Pada 1990-an, Mahbub Ul-Haq, sarjana keturunan Pakistan, merumuskan ukuran kesejahteraan dengan yang disebut Human Development Index (HDI). Dengan HDI, kesejahteraan tidak lagi ditekankan pada aspek kualitas ekonomi-material saja, tetapi juga pada aspek kualitas sosial suatu masyarakat.

HDI merupakan gabungan dari tiga komponen (subindeks), yaitu: 1. Life Expectancy Index (Indeks Harapan Hidup), 2. Education Index (Indeks Pendidikan) yang diukur dari Enrolment Index (indeks yang mencerminkan tingkat keterdaftaran penduduk di sekolah formal) dan Adult Literacy Index (indeks melek huruf di kalangan penduduk dewasa), dan 3. Per capita GDP at Purchasing Power Parity Index (Indeks Pendapatan Per kapita yang disesuaikan dengan paritas daya beli), yang dengan singkat disebut GDP Index. Ketiga sub indeks itu masing-masing mengambil porsi sepertiga di dalam menetapkan HDI.

HDI setiap tahun diukur dan dipublikasikan oleh United Nation Development Program (UNDP). Pada November 2008, UNDP memublikasikan ranking HDI tahun 2006 atas 179 negara. Dalam analisis ini, yang saya maksud dengan negara Muslim adalah negara dengan populasi Muslim 60 persen atau lebih dari total populasi penduduk negara itu. Dari 30 negara dengan HDI tertinggi diperoleh fakta-fakta terkait dengan dunia Muslim sebagai berikut:

Hanya ada dua negara Muslim, yaitu Brunei Darussalam (ranking 27) dan Kuwait (ranking 29), yang masuk di dalam jajaran 30 negara dengan HDI tertinggi. Dua negara tersebut memiliki HDI tinggi karena ditopang oleh GDP Index. Tanpa harus kita buktikan, tingginya GDP Index kedua negara tersebut adalah karena tingginya pendapatan dari kekayaan alam yang tidak terbarukan (minyak dan gas).

Sebaliknya, negara-negara Eropa dan Asia yang mendominasi urutan 30 negara dengan HDI tertinggi itu adalah umumnya negara-negara yang unggul di pengembangan teknologi (knowledge-based economy). Padahal, negara-negara tersebut tidak memiliki sumber daya alam yang dapat diunggulkan. Sekadar informasi tambahan, apabila kita susun 30 negara dengan Education Index tertinggi, kita tidak menemukan satu pun di antaranya yang merupakan negara Muslim.

Penduduk kedua negara Muslim itu hanya tidak lebih dari 2,77 juta jiwa, yaitu Brunei Darussalam 343.653 jiwa dan Kuwait 2.418.393 jiwa. Total penduduk kedua negara itu mewakili hanya 0,3 persen dari total penduduk negara di jajaran 30 negara dengan HDI tertinggi, yang jumlahnya mencapai kira-kira 913 juta jiwa, atau hanya 0,15 persen dari total Muslim dunia (appr. 1,5 miliar jiwa), dan 0,04 persen dari total penduduk dunia (appr. 6,3 miliar jiwa).

Sebagai negara dengan populasi yang sangat besar, ekonomi Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan karakteristik negara-negara Muslim di Timur Tengah. Fokus peningkatan GDP per kapita dan pendidikan di Indonesia harus dilakukan dengan memberdayakan sektor-sektor yang memiliki banyak pelaku (the bottom of the pyramid, meminjam istilah Prahalad). Yaitu, sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang jumlahnya mencapai hampir 50 juta unit dan menyerap hampir 92 juta tenaga kerja. Dengan menempatkan UMKM dalam prioritas utama pembangunan ekonomi Indonesia, sesungguhnya kita juga sedang melaksanakan pesan Islam: Hendaknya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. [QS Al-Hasyr (59): 7].

Berharap Solusi dari Ekonomi Islam

Forum Ekonomi Islam Dunia Ke-5 di Jakarta membicarakan pengembangan keuangan islami, sistem yang sesuai syariat Islam, bebas dari spekulasi dan riba.

Termasuk juga dibicarakan peran negara-negara Islam dan negara-negara berpenduduk Muslim lain yang memiliki dana begitu besar untuk secara bersama-sama mengatasi krisis keuangan dan resesi ekonomi global. Wajar dan tepat karena ekonomi syariah berpotensi besar menjadi solusi krisis itu. Sifatnya yang menekankan etika, keadilan, menjauhi unsur spekulasi, dan terkait erat sektor riil sangat dibutuhkan untuk terciptanya sistem perekonomian berkelanjutan yang tidak mudah bergejolak.

Salah satu ide muncul dari Indonesia, agar ada semacam dana himpunan bersama negara-negara yang menganut sistem ekonomi syariah untuk mendukung investasi di suatu negara. Dengan demikian, seperti diutarakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, negara Muslim yang tidak memiliki kemampuan maksimal untuk membangun negerinya akan mendapatkan manfaat dari dana yang kini dipegang oleh negara Muslim pengekspor minyak.

Ide itu menarik karena menonjolkan aspek keadilan. Negara-negara Islam di Timur Tengah, penghasil dan pengekspor minyak mentah, misalnya, memiliki dana setidaknya 4 triliun dollar AS. Mereka menikmatinya akibat melonjaknya harga minyak dari 60 dollar menjadi 147 dollar AS per barrel. Sementara begitu banyak negara yang tak punya sumber, bahkan akses ke sumber minyak bumi, kian miskin dengan melonjaknya harga tersebut.

Jumlah dana ”syariah” itu lebih besar lagi jika dikalkulasi bersama dana negara berpenduduk Muslim, atau negara non-Muslim tetapi sudah menerapkan dan mengembangkan sistem keuangan syariah. Tentu saja dana sebesar itu akan senantiasa mencari tempat pengembangbiakan yang kondusif, aman, dan sesuai syariat. Potensi penanaman modal itu banyak terdapat di negara yang masih tergolong miskin, dalam tahap berkembang, tidak punya sumber daya finansial, tetapi memiliki sumber alam luar biasa kaya.

Dengan mempertemukan dua kepentingan itu melalui kendaraan sistem ekonomi dan keuangan syariah, sistem yang lebih adil dan transparan tersebut, setidaknya sebagian persoalan dunia, yakni kemiskinan dan keadilan, telah coba diatasi bersama. Apalagi sistem ekonomi dan keuangan yang kapitalistis sedang digugat di mana-mana, bahkan banyak yang menilai telah ambruk. Sistem syariah diharapkan tampil sebagai solusi.

Kita berpendapat, tujuan itu bisa dicapai manakala ada keserasian dan keselarasan aturan yang berlaku di negara-negara yang menerapkan prinsip ekonomi syariah. Dan yang paling penting, aturan itu berlaku universal, global, dan tidak multitafsir. Apalagi, ekonomi syariah bukan sistem eksklusif untuk orang Islam saja, tetapi bisa juga digunakan oleh semua insan pelaku ekonomi.

Al Quran On Line