Senin, 27 Juli 2009

Memaknai Kembali Jihad

Oleh M. Guntur Romli

Ketika kita membaca beberapa literatur Islam klasik dalam masalah jihad, makna peperangan merupakan makna yang baku bagi jihad. Mulai dari para ulama tafsir, hadis, dan fikih, yang telah sedemikian kuatnya “mengunci” jihad dalam makna peperangan saja. Ahli tafsir menyamakan ayat-ayat jihad dengan ayat-ayat pedang dan perang. Pertanyaannya kemudian, benarkah jihad identik dengan peperangan sebagaimana pendapat ulama-ulama di atas?

Pidato Paus Benediktus XIV beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa konsep jihad dalam Islam identik dengan pedang dan kekerasan, ditanggapi kemarahan yang tak wajar oleh umat Islam. Saya katakan tak wajar, karena seolah-olah umat Islam memandang bahwa menyamakan jihad dengan peperangan merupakan sebuah kesalahan yang fatal dan tidak dikenal dalam Islam.

Padahal kalau mau sedikit jujur, pemahaman tersebut berasal dari pandangan mayoritas umat Islam dari dulu hingga sekarang. Bahkan, bagi kalangan Islam radikal makna jihad yang sebenar-benarnya hanyalah satu: peperangan. Demikianlah Usamah Bin Ladin bersama kelompoknya Tandzim al-Qaidah ”membumikan” doktrin jihad. Pun bagi mereka yang menebarkan aksi-aksi teror di Indonesia. Hingga peristiwa yang terbaru. Muhammad Nuh ”berjihad” di Restoran A & W Kramat Jati bulan kemaren.

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam buletin rutinnya, al-Islam edisi 280 (25/11/2005) mengutip pendapat tokoh pendirinya, Taqiyudin al-Nabhani. Menurut dia, jihad adalah upaya mengerahkan segenap kekuatan dalam perang fi sabilillah (di jalan Allah). Demikian juga menurut kelompok Salafi-jihadi, jihad bermakna peperangan (al-qitâl) dan pembunuhan (al-ightiyâl). Kita bisa menyidik ideologi kelompok ini dalam karya-karya yang ditulis oleh para ideolog mereka di beberapa website seperti abu-qatada.com, tawhed.ws, dan almaqdese.net.

Membaca buku-buku mereka membuat bulu kuduk saya berdiri. Misalnya sebuah buku berjudul Tahrîdlu-l Mujâhidîn-al Abthâl ‘Alâ Ihyâ’i Sunnati-l Ightiyâl (Mengobarkan Semangat Para Pahlawan-Pejuang untuk Menghidupkan Tradisi Pembunuhan). Karya dari seorang ideolog kelompok Tandzim al-Qaidah bernama, Abu Jandal al-Azdi. Menurut pengakuannya sendiri, judul buku ini terinspirasi dari sepotong ayat 65 dari Surat al-Anfâl (Harta Rampasan Perang) yang berbunyi, ”Ya ayyuha al-nabî harridli-l mu’minîn ’ala-l qitâl”(Hai Nabi, kobarkan semangat orang-orang mukmin untuk berperang).

Abu Jandal adalah nama samaran. Nama aslinya Ali Faris al-Syuwail al-Zahrani. Ia alumnus Fakultas Syariah Islamiyah di Universitas Islam Saudi Arabia. Dalam buku ini, Abu Jandal membenarkan praktik-praktik pembunuhan terhadap musuh Islam: orang kafir, musyrik, dan murtad. Ia mengutip sepotong ayat 5 dari Surat al-Tawbah, ”waq’udû lahum kulla marshad”(dan tunggulah mereka pada tiap tempat pengintaian). Baginya ayat ini adalah dalil yang menghalalkan pembunuhan terhadap musuh Islam. Meskipun mereka belum disuguhkan dakwah dan peringatan (h. 8-9). Untuk memperkuat pendapatnya, ia mengutip sejumlah pendapat para ahli tafsir klasik seperti al-Qurthubi, Ibn Katsir, Ibn al-‘Arabi, dan seorang tokoh panutan mujahidin Afghanistan Abdullah Azzam.

Khazanah Klasik Islam

Ketika kita membaca beberapa literatur Islam klasik dalam masalah jihad, makna peperangan merupakan makna yang baku bagi jihad. Mulai dari para ulama tafsir, hadis, dan fikih, yang telah sedemikian kuatnya “mengunci” jihad dalam makna peperangan saja. Ahli tafsir menyamakan ayat-ayat jihad dengan ayat-ayat pedang dan perang. Para ulama hadis meriwayatkan hadis-hadis Nabi yang dominan memantulkan konteks peperangan. Selanjutnya ulama fikih menyudahi bahwa jihad dalam makna syariat Islam adalah peperangan melawan musuh Islam.

Seorang ulama hadis yang ternama, Ibnu Hajar Al-Asqalani (2000: 77) yang juga komentator (al-syârih) terhadap hadis-hadis yang dikumpulkan oleh al-Bukhari memberikan definisi jihad sebagai badzl al-juhd fi qitâl al-kuffâr (mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir). Demikian juga Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, pengarang kitab Subul al-Salâm komentar atas kitab Bulûgh al-Marâm karya Ibnu Hajar Al-Asqalani—dua kitab ini sangat terkenal di dunia pesantren di Indonesia—memaknai jihad sebagai badzl al-juhd fi qitâl al-kuffâr aw al-bughât (mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang kafir dan pemberontak).

Mayoritas ulama fikih juga sepakat dengan definisi itu. Fikih madzhab Hanafî memaknai jihad sebagai ajakan pada agama yang benar, jika orang yang diajak enggan, maka mereka diperangi dengan harta dan jiwa (al-du‘â ilâ al-dîn al-haq wa qitâl man lam yaqbalhu bi al-mâl wa al-nafs). Adapun definisi madzhab-madzhab lain kurang lebih seirama dengan definisi madzhab Syâfi’î, yaitu; memerangi orang-orang kafir untuk memenangkan Islam (qitâl al-kuffâr li nashr al-Islâm).

Tidak hanya mayoritas ulama fikih klasik yang membakukan makna jihad pada peperangan, ulama fikih kontemporer juga berpendapat sama. Prof. Wahbah al-Zuhaylî dalam bukunya, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu (1989: 413-414) mendefinisikan jihad sebagai berikut: mengerahkan kemampuan dan kekuatan untuk memerangi dan melawan orang-orang kafir dengan jiwa, harta dan lisan (badzl al-wus’i wa al-thâqah fi qitâl al-kuffâr wa mudâfa’atihim bi al-nafs, wal mâl, wal lisân).

Perbedaan Ayat-ayat Jihad dan Qital

Pertanyaannya kemudian, benarkah jihad identik dengan peperangan sebagaimana pendapat ulama-ulama di atas? Jika kita mau merujuk kembali pada ayat-ayat Al-Quran jawabannya adalah tidak. Setelah saya lacak, Al-Quran menggunakan dua istilah yang berbeda namun maksudnya sering disamakan yaitu: jihâd dan qitâl. Jihâd berarti perjuangan dalam arti yang umum, sementara qitâl berarti peperangan. Maka, apabila Al-Quran menggunakan âyât al-jihâd (ayat-ayat jihad) artinya adalah perjuangan dalam makna yang umum, sementara bila menggunakan âyât al-qitâl wa al-sayf (ayat-ayat perang dan pedang) artinya sudah khusus yaitu peperangan.

Perbedaan dua istilah yang digunakan oleh Al-Quran tadi berpulang pada dua sebab. Pertama, ayat-ayat jihad telah turun semenjak periode Islam Makkah yang dikenal pada periode itu tidak pernah terjadi satupun peperangan. Jihad dalam periode Islam Makkah adalah “jihad non-perang”, dan sangat mustahil bila jihad pada periode itu dimaknai dengan peperangan. Jihad yang bukan qital ini bisa kita temukan di Surat al-Furqan ayat 52, al-Nahl ayat 110, Luqman ayat 15, dan al-Ankabut ayat 69. Sementara ayat-ayat qital hanya turun pada periode Madinah yang penuh dengan gemuruh peperangan.

Kedua, lisensi peperangan menggunakan ayat-ayat qital secara jelas (sharih), bukan dengan ayat jihad. Dalam surat al-Hajj ayat 39 disebutkan, telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi (li al-ladzîna “yuqâtalûna”). Demikian juga, dalam surat al-Baqarah ayat 190, dan perangilah (qâtilû) orang-orang yang memerangimu (al-ladzîna yuqâtalûnakum). Nah, ketika ayat-ayat jihad kembali turun pada periode Madinah, tidak terelakkan muncul makna kontekstual “jihad” waktu itu; yaitu peperangan. Dari sinilah sumber masalah muncul: menyamakan atau menafsirkan ayat jihad dengan ayat qital.

Bisa saja kita memaklumi apabila ada yang menafsirkan ayat-ayat jihad sebagai peperangan, karena, penafsiran tersebut berdasarkan pada konteksnya. Lazimnya sebuah penafsiran tidak akan bisa bebas dari subjektifitas penafsir khususnya konteks dimana penafsir itu berada. Namun yang tidak bisa dibenarkan sama sekali adalah “mengunci” jihad dalam makna peperangan saja.

Oleh sebab itu, menurut Gamal al-Banna—adik bungsu pendiri Ikhwanul Muslimin: Hasan al-Banna—dalam bukunya al-Jihâd, dua istilah ini: jihad dan qital harus dibedakan secara jelas dan tegas. Jihad tidak identik dengan qital, meskipun qitalpara zaman Nabi merupakan salah satu bentuk dari jihad. Baginya jihad adalah mabda’ (prinsip) yang abadi dalam arti dan bentuk yang umum dan seluas-luasnya, sedangkan perang hanyalah wasilah, yang tidak prinsipil, dan sangat situasional.

Hadis-hadis Nabi yang sejumlah besar mengisahkan jihad dalam bentuk peperangan saja disebabkan problem konteks juga. Hadis-hadis Nabi yang sampai pada kita adalah kumpulan riwayat pada periode Madinah. Maka dapat dipastikan makna jihad pun identik dengan konteks itu. Sebuah babak yang dipenuhi dengan kecamuk peperangan. Dalam beberapa literatur hadis Nabi, kita tidak akan pernah menemukan hadis-hadis jihad yang bersumber dari periode Makkah. Hilangnya satu periode dari dua periode tersebut menyebabkan pemahaman terhadap doktrin jihad ini “timpang”. Tidak ada jihad non perang sebagai karakter Islam Makkah seperti yang ditujukkan oleh ayat-ayat Al-Quran di atas.

Betapa mudahnya kita akan menjumpai hadis-hadis Nabi yang bisa merangsang dan memerintahkan peperangan. Seperti sebuah hadis riwayat Al-Bukhari nomor 2818, “Ketahuilah sesungguhnya sorga (terletak) di bawah kilatan pedang (al-jannah tahta dzilâl al-suyûf).” Demikian juga hadis-hadis lain yang acap kali dijadikan sebagai kekuatan ideologi kelompok Islam garis keras. Misalnya sebuah kitab yang ditulis oleh Ibn Baththah al-Hanbali, Sab’ûn Hadîtsan fi al-Jihâd (Tujuh puluh Hadis tentang Jihad). Buku ini memuat tentang keutamaan, tatacara, dan sejarah jihad dalam arti peperangan.

Di samping hadis-hadis jihad yang bernafaskan kekerasan seperti di atas, memang ada beberapa hadis Nabi yang berusaha memberikan bentuk jihad non-perang. Tapi jumlah hadis jenis ini bisa dihitung dengan jari. Seperti hadis riwayat Ibn Majah: haji dan umrah adalah jihad yang tidak ada peperangan (jihâd lâ qitâla fîhi). Hadis lain riwayat al-Bukhari dan Muslim, berbakti pada orang tua merupakan jihad. Hadis riwayat Abu Dawud, al-Tirmidzi dan Ibn Majah: kritik yang benar terhadap pemimpin yang zalim termasuk jihad. Hadis riwayat al-Daylami dari Abu Dzar Al-Ghifari, Sebaik-baiknya jihad adalah berjuang melawan hawa nafsu karena Allah. Namun, kumpulan hadis jenis ini, seolah-olah tenggelam dalam timbunan hadis-hadis perang.

Adapun kekurangan ulama klasik Islam, menurut hemat saya, tidak melakukan penelitian secara seksama dan menyeluruh terhadap sejarah dan makna jihad. Mereka lebih menekankan pada konteks “jihad” di Madinah. Sehingga setiap ulama fikih yang mengulas bab jihad dalam karya mereka tidak lebih sebagai pembahasan terhadap peperangan (qitâl) dan harta rampasan perang (ghanîmah) bukan pembahasan yang sempurna tentang jihad.

Tidak ayal lagi, ghanîmah dan hasil-hasil lain yang diperoleh dari wilayah-wilayah yang ditaklukkan setelah peperangan seperti upeti, dan pajak (kharâj) menjadi fokus pembahasan pada ulama fikih. Menurut Muhammad Abid al-Jabiri hal ini disebabkan al-ghanîmah merupakan instrumen ekonomis bagi nalar politik Islam klasik di samping dua instrumen penting lainnya: kabilah dan akidah (2000: 16).

Melawan “Penguncian” Al-Quran

Dari pemaparan di atas, saya hendak menegaskan bahwa arti jihad adalah perjuangan bukan peperangan. Ia bisa mengalami evolusi sesuai dengan konteksnya. Qitalhanyalah salah satu corak dari model jihad yang beragam. Sementara “penguncian” jihad pada makna peperangan merupakan modus penggerusan terhadap keragaman model jihad yang mesti dilawan.

Adapun mengenai ayat-ayat qital, sebagaimana menurut Gamal Al-Banna di atas, merupakan ayat-ayat “situasional”. Maksudnya adalah ayat-ayat sejenis ini tidak bisa dipisahkan dari situasi: sebab-musabab dan tujuan yang melahirkannya. Perang adalah keterpaksaan untuk mempertahankan diri (difâ’ an al-nafs), bukan kebringasan untuk melakukan penyerangan (al-hujûm).

Justeru perang pada era Rasulullah dilegalkan untuk mempertahankan prinsip kebebasan beragama (hurriyah al-‘aqîdah) yang dirongrong oleh kekuatan bersenjata. Bukan seperti dalih para kawanan teroris saat ini yang menggunakan jihad untuk memberhangus prinsip kebebasan beragama ataupun usaha untuk menebarkan bibit-bibit kebencian.

Sudah seharusnya kita melakukan pembebasan untuk melawan modus “penguncian” yang terjadi pada sebagian besar doktrin agama Islam khususnya doktrin jihad ini. Lebih-lebih lagi, doktrin ini sering dijadikan sebagai kekuatan dan penghalalan ideologi terorisme. Adapun “mengunci” jihad hanya pada makna peperangan, ataupun melayangkan sederet cap; kafir, musyrik, murtad, dan sesat secara membabi-buta hanya pada golongan non-muslim atau pada musuh politiknya, merupakan penafsiran yang sewenang-wenang atas nama Tuhan dan Al-Quran. Tuhan tidak butuh jihad ataupun qital agar Dia menjadi Mahakuasa. Pun Al-Quran adalah “kitab terbuka”. Siapapun berhak untuk memahami dan menafsirkan Al-Quran—tidak hanya sekedar membaca dan melagukannya saja. Namun tidak seorang pun memiliki hak dan sedikitpun otoritas untuk “mengunci” makna Al-Quran hanya pada penafsirannya saja.

Terorisme

Oleh: Azyumardi Azra


Bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta pada 17 Juli lalu menyentakkan kesadaran kita bahwa terorisme masih ada di sekitar kita. Selama empat tahun, setelah bom bunuh diri terjadi di Bali pada 2005, negeri kita terhindar dari kenestapaan akibat aksi terorisme pengeboman bunuh diri. Meski dalam kurun waktu itu aparat kepolisian telah membongkar berbagai jaringan kelompok teror di Semarang, Palembang, dan Cilacap belum lama ini, ternyata sel-sel terorisme masih aktif.

Rentetan pengeboman di negeri kita sudah cukup panjang. Bermula, khususnya dengan ledakan bom di depan kediaman Dubes Filipina (1 Agustus 2000); Bursa Saham Jakarta (13 September 2000); serangkaian pengeboman menjelang Hari Natal (Desember 2000); bom Bali I (12 Oktober 2002); ledakan di restoran McDonald, Makassar (5 Desember 2002); bom di depan Hotel JW Marriott, Kuningan, Jakarta (5 Agustus 2004); bom di kafe karaoke di Poso (10 Januari 2004); bom di depan Kedutaan Besar Australia (9 September 2004); bom di Pasar Tentena (28 Mei 2005); dan bom bunuh diri Bali II (2 Oktober 2005).

Rentetan pengeboman menunjukkan, modus aksi terorisme mengalami pergeseran dan peningkatan sehingga kian sulit terdeteksi intelijen dan aparat keamanan lainnya. Jika pada beberapa kasus bom bunuh diri pelaku memakai mobil atau datang dari luar lokasi pengeboman dengan menggendong bomnya, kini dalam kasus terakhir di Marriott dan Ritz Carlton dilakukan dari dalam hotel itu sendiri. Jika sebelumnya bom yang sudah siap meledak dirakit di luar, kini justru dibuat di dalam hotel itu sendiri. Ini sebuah modus baru yang belum terantisipasi sekuritas hotel ataupun aparat kepolisian dan bukan tidak mungkin muncul pula modus-modus baru usai Marriot dan Ritz Carlton.

Sementara itu, sel-sel teroris yang 'tersisa' kian mempercanggih modus dan metode terornya, tetapi pengamanan untuk mengantisipasi dan mencegah terorisme hampir tidak berubah sejak pengamanan ketat diberlakukan dalam beberapa tahun terakhir ini di hotel-hotel, mal-mal, gedung publik, dan tempat strategis lainnya. Pemeriksaan nyaris telah menjadi kerutinan belaka. Kita semua bisa menyaksikan dan mengalami rutinitas pemeriksaan seperti itu sehingga patut dipertanyakan efektivitasnya. Aparat pengamanan pun tidak bisa terlalu berani melakukan pemeriksaan menyeluruh karena ada resistensi dari yang diperiksa.

Karena itu, pemberantasan terorisme memerlukan kerja sama semua pihak, bukan hanya aparat keamanan. Menghadapi terorisme tidak bisa dengan saling mencurigai, apalagi dengan memercayai 'teori konspirasi' bahwa ada pihak tertentu yang merekayasa aksi-aksi teror untuk kepentingan tertentu. Mencurigai pihak tertentu tanpa ada bukti yang dapat diuji dan dipertanggungjawabkan hanyalah berujung pada friksi dan konflik politik dan sosial. Jika ini terjadi, para teroris berhasil mencapai salah satu tujuannya, yaitu konflik di antara berbagai pihak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada tingkat masyarakat akar rumput, peran dalam pencegahan terorisme juga tidak kalah penting. Jika kepemimpinan kelompok teroris sering dikatakan telah tercerai-berai, bisa dipastikan masih terdapat sel-sel yang sangat boleh jadi terus berkecambah. Kecambah tersebut boleh jadi menjadi kian canggih dan radikal. Karena sudah mengetahui cara kerja aparat kepolisian, mereka dapat mengadopsi cara-cara dan modus-modus baru. Dan, sel-sel dan kecambah-kecambah baru kelompok teroris ini juga kelihatannya kian sulit dideteksi. Karena, sangat boleh jadi mereka adalah orang-orang baru yang belum terdapat dalam daftar kepolisian.

Pertumbuhan sel dan kecambah itu tampaknya hanya mungkin terjadi karena adanya orang-orang dalam masyarakat yang tidak mau peduli atau bahkan dalam satu dan lain hal melindungi para teroris tersebut. Bahkan, ada kalangan masyarakat yang mengambil mereka sebagai menantu dan sebagainya. Tidak heran kalau kemudian mereka sangat sulit ditemukan.

Karena itu, sekali lagi, kerja sama seluruh lapisan masyarakat, pemerintah, aparat keamanan, ormas, dan kepemimpinan sosial sangat mutlak dalam pemberantasan terorisme. Terorisme atas alasan apa pun tidak bisa dibenarkan dan terorisme adalah salah satu bentuk paling telanjang dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Bersama-sama bahu-membahu memberantas terorisme merupakan usaha mulia untuk melindungi kemanusiaan.

Rasionalisme Puasa Senin Kamis

Dyna Rochmyaningsih
(Penulis sains independen)


Selama ribuan tahun, puasa adalah suatu bentuk ibadah yang lazim dilakukan oleh manusia. Kita bisa melihat catatan sejarah yang merekam praktik puasa sebagai ritual yang dipercaya, bisa memberi kesehatan bahkan keabadian. Orang Mesir Kuno percaya bahwa kelebihan makan bisa mendatangkan penyakit sehingga perlu dilakukan pengurangan asupan makanan ke dalam tubuh, yaitu dengan praktik puasa. Selain itu, Phytagoras, seorang filsuf Yunani Kuno, percaya bahwa berpuasa bisa memurnikan pikiran manusia karena puasa bisa menghilangkan racun dari tubuh. Belum lagi, kepercayaan orang-orang Inca di Peru dan suku-suku asli Amerika lainnya yang melakukan puasa sebagai bentuk penebusan dosa.
Pada kehidupan modern, puasa sebagai bentuk ibadah dapat ditemukan pada empat agama besar dunia, yaitu Islam, Kristen, Yahudi, dan Buddha.

Setiap agama memiliki bentuk puasa yang khas, baik dalam metode maupun hari pelaksanaannya. Sebagai contoh, saat ini sekitar lebih dari satu miliar Muslim melakukan puasa Ramadhan setiap tahun, begitu juga dengan jutaan orang Yahudi yang berpuasa di hari Yom Kippur. Belum lagi puluhan jutaan orang Hindhu yang berpuasa di hari Ekadashi. Dari berbagai bentuk puasa ini, dalam pandangan saya, puasa Senin Kamis yang disunahkan oleh Rasulullah SAW merupakan bentuk puasa yang paling baik untuk gaya hidup sehat seorang Muslim. Berikut akan saya jelaskan mengapa demikian.

Secara umum, puasa Senin Kamis adalah keadaan di mana tubuh tidak mendapatkan asupan makanan dan minuman, dari waktu fajar sampai waktu terbenamnya matahari. Hal ini berarti tidak ada asupan senyawa glukosa dalam tubuh kita selama berpuasa. Sebagai bahan bakar utama otak, absennya senyawa glukosa ini diduga menyebabkan berkurangnya daya atau kinerja otak dalam berpikir selama berpuasa. Benarkah demikian?
Dunia sains mengartikan akal budi sebagai kognisi yang meliputi berbagai proses mental untuk mendapatkan pengetahuan. Contohnya adalah berpikir, mengingat, memutuskan sesuatu, dan memecahkan masalah. Semua contoh itu adalah fungsi yang membentuk bahasa, imajinasi, persepsi, dan perencanaan (Wagner 2009). Fungsi-fungsi tersebut diproses dalam otak yang memiliki jutaan sel saraf. Nah, sel saraf inilah yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan proses mental.

Seperti sel-sel tubuh lainnya, sel saraf memerlukan energi yang cukup untuk bekerja dengan baik dan benar. Energi ini hanya datang dari glukosa. Oleh karena itu, untuk menjalankan fungsi mental, otak manusia memerlukan glukosa yang cukup. Dengan asumsi ini, puasa sebagai kondisi di mana makanan tidak masuk ke dalam tubuh dalam waktu tertentu, diduga dapat menurunkan kualitas proses mental yang ada di dalam otak.

Akan tetapi, fakta membuktikan bahwa kurangnya glukosa pada saat puasa tidak menghambat pemenuhan kebutuhan glukosa di dalam otak. Bagaimana pun juga, tubuh kita adalah sistem pengatur energi yang canggih. Tubuh selalu bisa menjaga keseimbangan (homeostatis). Jadi, ketika tubuh mendeteksi adanya kekurangan glukosa maka glukosa tambahan, akan dibentuk dari sumber lainnya yang ada di dalam tubuh, seperti glikogen dan protein. Pembentukan glukosa yang baru ini (glukoneogenesis) membuat ketersediaan glukosa di dalam otak menjadi seimbang (Rochmyaningsih 2009). Dengan cara seperti itulah, otak manusia dapat bekerja normal pada saat puasa harian, seperti puasa Senin-Kamis dan juga puasa Ramadhan.

Di Indonesia, kebanyakan Muslim menyalahkan puasa sebagai hal yang membuat mereka kurang berkonsentrasi saat bekerja. Padahal, sebenarnya yang mengganggu mereka adalah sensasi lapar. Sensasi ini memang dapat mengganggu konsentrasi karena di proses dalam otak juga. Akan tetapi, kita dapat mengabaikan sensasi ini jika kita benar-benar berkonsentrasi penuh pada pekerjaan kita. Faktanya, belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa puasa harian menyebabkan berkurangnya kinerja otak dalam berpikir. Puasa Senin-Kamis aman untuk diamalkan. Tapi, apa yang menyebabkan puasa Senin-Kamis layak disebut gaya hidup yang sehat?
Dalam pandangan saya, apa yang menyebabkan puasa Senin-Kamis istimewa adalah waktu pelaksanaannya. Berbeda dengan puasa Ramadhan yang wajib ditunaikan selama satu bulan penuh oleh seorang Muslim, puasa Senin-Kamis merupakan puasa sunah yang dianjurkan untuk dilakukan setiap hari Senin dan hari Kamis. Perlu kita perhatikan bahwa terdapat selang dua hari dari Senin menuju Kamis, dan terdapat selang tiga hari dari Kamis menuju Senin. Bersama dengan puasa sunah Nabi Daud yang dilakukan berselang-seling satu hari, puasa Senin Kamis bisa diartikan sebagai bentuk puasa berselang-seling (alternate days fasting). Puasa berselang-seling merupakan salah satu bentuk pembatasan kalori (caloric restriction). Pembatasan kalori adalah usaha membatasi jumlah makanan yang masuk ke dalam tubuh.

Seperti yang kita ketahui, dewasa ini makanan sampah (junkfood) berlimpah. Banyak sekali kita temukan orang yang jarang berpuasa dan mengonsumsi makanan secara berlebihan, entah itu sering mengonsumsi mi instan, makanan manis, makanan cepat saji (fast food), makanan berlemak, dan lain sebagainya. Fenomena ini merupakan hal yang buruk bagi kesehatan orang bersangkutan. Tingginya konsumsi makanan yang tidak sehat, bisa mengakibatkan tingginya aktivitas sistem tubuh. Kita membuat sistem tubuh kita lelah dengan makanan-makanan yang kita masukkan secara berlebihan. Tidaklah heran, jika pola makan yang tidak sehat ini bisa mengakibatkan penyakit, seperti obesitas dan juga diabetes (Halberg 2005). Perlu kita ketahui di sini bahwa diabetes adalah penyakit yang bisa mengundang penyakit lainnya, seperti penyakit kardiovaskuler, stroke, dan juga karsinoma (Bartness et al 2002).

Nah, dengan puasa berselang-seling, sebagai bentuk pembatasan kalori, kita bisa mencegah penyakit-penyakit ini. Dengan asupan makanan yang berkurang, kita bisa membuat sistem pencernaan tubuh kita beristirahat, berhemat dalam menggunakan makanan yang masuk, dan mendapatkan fungsi metabolisme tubuh yang optimal (Haldberg et al 2005). Puasa berselang-seling juga dapat meningkatkan sensitivitas hormon insulin sehingga menguntungkan bagi pengaturan glukosa dalam tubuh (Anson 2003). Oleh karena itu, jelaslah bahwa puasa berselang-seling ini merupakan gaya hidup yang sehat di tengah budaya konsumerisme yang sudah menjamur di tengah umat Muslim.

Peran puasa Senin-Kamis sebagai gaya hidup yang sehat, menambah khazanah keselarasan rasionalisme dengan Islam. Tidak hanya mempunyai ayat-ayat Alquran yang mengandung banyak esensi ilmu pengetahuan, tetapi Islam juga mengajarkan Assunah yang selaras dengan perkembangan sains saat ini. Tidak hanya mengantarkan Anda untuk dekat pada-Nya, ibadah puasa Senin-Kamis yang kontinu juga menjaga Anda dengan gaya hidup yang sehat.

Saleh yang Celaka

Oleh Dendi Irfan

Dalam satu hadis qudsi dikisahkan, ketika Allah SWT memerintahkan kepada malaikat untuk mengazab suatu kaum, malaikat berkata, ''Ya Allah, di negeri itu ada seorang hamba yang selalu beribadah dan orang saleh (rajulun 'abidun shalih).'' Tapi kata Allah, ''Mulailah azabnya dari dia.''

Mengapa azab dimulai justru dari orang saleh itu? Allah SWT menjelaskan, karena orang tersebut tidak pernah memerah (marah wajahnya), tidak pernah marah karena Allah SWT. Melihat kemungkaran dan kezaliman, dia hanya berzikir saja.

Jelas sekali Allah SWT tak menyukai orang-orang yang saleh untuk dirinya sendiri, tanpa peduli kondisi sekelilingnya. Allah SWT lebih menyukai orang-orang saleh, lalu ia juga mengajak orang lain untuk menjadi saleh. Ada amar ma'ruf nahi munkar di dalamnya. Ia juga dinilai saleh karena bermanfaat untuk orang lain.

Dalam salah satu hadisnya, Nabi SAW menyatakan sebaik-baik Mukmin adalah yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya. Nabi SAW juga memerintahkan ketika menemukan kemungkaran, kita wajib mencegahnya, baik dengan teguran, tindakan, ataupun hati, dan ini selemah-lemahnya iman.

Begitu pula dalam perintah berzakat, infak, dan sedekah; menyantuni anak yatim, berbakti kepada orang tua; pergaulan dengan istri atau suami, dan lainnya. Semua itu mempertegas kesalehan tidak untuk diri sendiri, tapi akan lebih bermakna jika ada interaksi kebaikan dengan orang lain.

Ada beberapa kasus di mana Nabi SAW pernah menegur sahabat-sahabatnya untuk tidak memikirkan kesalehan diri sendiri. Nabi SAW misalnya, pernah menegur sahabat yang selalu shalat malam namun meninggalkan hak istrinya.

Supaya terhindar dari hal seperti itu, dan dapat masuk ke dalam surga-Nya, maka seorang Muslim harus melakukan pekerjaan ahli surga serta mengajak orang lain turut serta. Dengan begitu, kita akan terus bergerak melakukan kebaikan yang insya Allah bisa menutup keburukan kita.

Ketika kita hanya memikirkan diri sendiri dan berdiam dengan membiarkan keburukan di sekitar kita, maka tanpa sadar, kita pun telah menyiapkan kebaikan kita tertutupi oleh keburukan. Bila demikian, akan ada konsekuensi sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW dalam hadis qudsinya tadi, yakni berupa azab Allah SWT yang bakal menimpa manakala membiarkan keburukan dan kejahatan merajalela di sekitarnya.

Jumat, 24 Juli 2009

Pilihan Politik Kaum Santri



Fajar Riza Ul Haq
(Direktur Program MAARIF Institute for Culture and Humanity)

Terbitnya buku Buya Syafii Maarif yang berjudul Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Mizan dan MAARIF Institute, 2009) di tengah hiruk pikuk jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 terbilang tepat. Mengapa? Karena pertimbangan yang melatarbelakangi kehadiran buku ini, berhubungan secara kebetulan dengan fenomena politik mutakhir yang sedang memperebutkan takhta kepemimpinan nasional 2009-2014. Menurut Guru Besar Sejarah ini, salah satu tanggung jawab terbesar umat Islam Indonesia dewasa ini ialah berpikir dan bekerja keras, bagaimana cita-cita keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab segera menghampiri bumi Indonesia, mengingat kondisi bangsa yang masih berkubang di lembah kemiskinan. Meskipun demikian, umat Islam dituntut membuka diri, berkomunikasi, dan bergandengan tangan dengan sesama anak bangsa yang sangat majemuk seiring kian mencairnya pengaruh ideologi politik aliran, dalam lanskap sosiologis masyarakat.

Hasil pemilihan anggota legislatif April lalu menunjukkan dominasi Partai Demokrat, yang menyalip partai-partai yang selama ini diidentikkan sebagai representasi kekuatan politik kaum Nasionalis dan Santri. Beberapa pengamat meramalkan bahwa politik aliran sudah mati, bahkan kita sendirilah yang menguburnya seperti dilontarkan Saiful Mujani. Misalnya, ide koalisi strategis partai-partai Islam, yang dilemparkan Dien Syamsuddin jauh sebelum pemilu, membentur tembok ketika partai-partai berbasis massa Islam memutuskan berkoalisi dengan Partai Demokrat. Padahal, sedikit pihak mengharapkan partai-partai Islam membangun blok koalisi alternatif di tengah kutub Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDI-P. Sehingga, tidak relevan lagi memperbincangkan pasangan Nasionalis dan Santri sebagai duet ideal kepemimpinan nasional. Bisa jadi, atas dasar tesis ini, capres SBY begitu percaya diri untuk tidak mengambil pasangan cawapres dari figur santri, baik itu dari kalangan partai politik maupun ormas Islam, dan representasi luar Jawa. Tentu kondisi ini merupakan gejala menarik dalam tradisi politik kita, namun faktor determinasi popularitas SBY akan menguji validitas tesis berakhirnya politik aliran tersebut.

Pada konteks ini, Buya Syafii tidak membicarakan soal peta politik dan kepemimpinan nasional, karena bukunya lebih merupakan sebuah refleksi sejarah tentang Islam dalam koridor nasionalisme Indonesia, namun dentuman gagasan-gagasannya sepanjang ratusan halaman membidik ubun-ubun kesadaran kita, untuk tidak kembali terperosok memilih pemimpin yang mengkhianati amanat Pancasila. Keyakinan kokoh yang melandasi bangunan gagasan buku mantan ketua PP Muhammadiyah ini adalah hubungan Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan, haruslah ditempatkan dalam satu napas. Sehingga, Islam yang dikembangkan adalah Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan, dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di Nusantara ini, tanpa diskriminasi, apa pun agama yang diikutinya atau tidak diikutinya; sebuah Islam yang sepenuhnya berpihak kepada rakyat miskin mengingkat kemanusiaan tidak bisa dipisahkan dari kondisi ''yang adil dan beradab'', sebagaimana butir kedua Pancasila (lih Hal 3).

Masa depan kaum santri
Lalu, apakah ketiadaan representasi kekuatan politik santri di antara peserta kontestan pemimpin nasional 2009, membuat perjuangan umat Islam untuk membumikan keadilan dan kemanusiaan di tanah air Indonesia tersendat? Tentu tidak. Pada aras kultural sebagaimana domain Muhammadiyah, NU, dkk, pencapaian kondisi tatanan yang berkeadilan menuntut kerja-kerja dakwah dan kebudayaan yang berani menerobos kungkungan formalisme dan sekat-sekat sosial-budaya. Karena faktanya, kekuatan mayoritas umat Islam masih sebatas level jumlah, belum menukik pada kualitas kontribusi. Adapun partai politik merupakan salah satu instrumen modern yang bertujuan mengagregasi kepentingan politik warga negara pada tingkat negara. Pada kenyataannya, negara- bangsa Indonesia merupakan kesatuan politik yang memayungi kemajemukan anak bangsa, dari ujung utara Aceh hingga Papua.

Langkah PKS mendeklarasikan diri sebagai partai terbuka pada Mukernas 2008 di Denpasar dan kehadiran Baitul Muslimin Indonesia di tubuh PDI-P, merupakan sedikit contoh bagaimana partai politik mencoba beranjak dari kantung politik aliran dengan tujuan memperluas radius dukungan politik. Partai Demokrat sendiri, seperti pernah diungkapkan Wakil Ketua Umum DPP Ahmad Mubarok, sudah merambah dunia pesantren dan kiai yang selama ini menjadi basis utama partai-partai berbasis NU, utamanya PKB. Terlepas dari sejauh mana strategi perluasan basis konstituen partai-partai tersebut berhasil atau sebaliknya, adalah menjadi tidak menjadi relevan mempertentangkan kesinambungan perjuangan umat Islam Indonesia dengan ketiadaan representasi kaum Santri dari poros kepemimpinan nasional. Karena aspirasi politik umat Islam haruslah ditransendensikan menjadi kekuatan politik kebangsaan yang inklusif, melalui corong partai-partai politik di parlemen (DPR dan DPRD).

Memudarnya peran ideologi politik aliran bukanlah kemunduran, namun justru konsekuensi logis dari proses konvergensi sosial antaranggota masyarakat yang beragam latar belakang sosial-budayanya. Pada dekade 1980-an, Kuntowijoyo telah mengingatkan terjadinya gejala konvergensi sosial antara kaum abangan dan santri, serta tradisionalis dan modernis, sebagai dampak pemberian mata pelajaran pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Modernisasi pendidikan telah membawa perubahan terhadap peta sosiologis masyarakat. Budayawan Muhammadiyah ini juga menenggarai mulai menipisnya sekat-sekat identitas sosial pemilih Golkar dan PDI, sebagai kekuatan politik kaum Nasionalis kala itu. Hampir dua dasawarsa kemudian, kita menyaksikan kemenangan pasangan SBY-JK pada Pilpres 2004 dengan mengatasi perlawanan Megawati Soekarno Putri dan Hasyim Muzadi, yang dianggap mewakili kombinasi kubu Nasionalis (PDI-P) dan Santri (NU). Tidak bekerjanya sentimen ideologi politik Nasionalis dan Santri dalam kasus Pilpres 2004, khususnya pada putaran kedua, membuat seorang Indonesianis asal Amerika Lance Castle berani menyimpulkan bahwa era politik aliran telah berakhir.

Peta pertarungan capres dan cawapres pada 8 Juli mendatang, tampaknya masih belum sepenuhnya mewakili potret telah matinya politik aliran. Duet SBY-Boediono dan Mega-Prabowo merupakan pasangan yang tidak lagi memperhitungkan representasi Jawa-Luar Jawa dan Nasionalis-Santri, sebagai kekuatan elektoral yang strategis. Adapun Jusuf Kalla-Wiranto berasal dari representasi tradisional Jawa-Luar Jawa, bahkan disebut-sebut memiliki latarbelakang keluarga yang berafiliasi pada dua ormas Islam terbesar; orang tua JK adalah Haji Kalla, tokoh NU di Sulawesi Selatan dan kakek Wiranto merupakan aktivis Hizbul Watho, sayap kepanduan Muhammadiyah. Lalu, ke manakah arah pilihan politik kaum Santri akan bergerak? Yang pasti, jangan sampai kita memilih pemimpin nasional yang akan tetap membawa perahu bangsa menjauh dari cita-cita keadilan sosial para pendiri bangsa. Wallahu`alam.

Sujud



Oleh M Sinwani

Di antara sujud dan rukuk dalam shalat fardhu, akan kita dapatkan jumlah sujud jauh lebih banyak dua kali daripada rukuk. Begitu pula organ-organ tubuh yang menopang terciptanya kesempurnaan sujud, jelas lebih banyak.

Hal ini menegaskan kepada kita sebagai hamba Allah SWT bahwa dengan sujudlah seseorang dapat lebih memahami eksistensi diri yang tercipta dari tanah dan akan kembali ke tanah pula.

Di dalam Alquran, begitu banyak ayat yang menjelaskan bahwa makhluk yang ada di langit maupun di bumi seluruhnya bersujud dan bertasbih kepada Allah SWT. Bahkan, bayang-bayang pun bersujud. Padahal, secara kasat mata ia hanya dapat bergerak mengikuti benda aslinya.

Berkaitan dengan ini Allah SWT berfirman, ''Hanya kepada Allahlah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.'' (QS Arra'd [13]: 15).

Maka dari itu, sujud dalam shalat adalah sujud ibadah (penyembahan), dan merupakan salah satu dari rukun shalat yang tidak boleh ditinggalkan. Dengannya, Allah SWT mengajarkan kepada manusia satu-satunya bentuk pengagungan yang dikhususkan kepada yang Maha Agung (Al-Adziim), pemuliaan kepada yang Mahamulia (Alkariim), dan pendekatan kepada yang Maha Pencipta (Alkhaliq), serta pengakuan akan segala kelemahan dan keterbatasan yang melekat pada dirinya.

Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya sujud dengan cara memanjangkannya. ''Sesungguhnya waktu yang paling dekat dengan Allah SWT adalah di saat sujud, maka panjangkanlah sujudmu.''

Lalu, apakah sujud terhadap Nabi Adam yang Allah SWT perintahkan kepada para malaikat setelah penciptaannya sebagai khalifah merupakan sujud ibadah (penyembahan)? Tidak. Sujudnya para malaikat dan Iblis terhadap Nabi Adam dikategorikan sebagai sujud penghormatan.

Di samping itu, sujud juga dipahami sebagai salah satu sarana dan waktu yang utama untuk berdoa dan bermunajat. Saat sujud, seseorang dapat mengadu dan meminta hanya kepada Allah SWT semata, tanpa tendensi ingin dipuji oleh orang lain.

Imam Shadiq menegaskan dalam kitab Bihaarul Anwaar akan pentingnya waktu sujud demi terkabulnya doa. Beliau berkata, ''Hendaklah kalian berdoa di akhir-akhir shalat, sesungguhnya itu akan dikabulkan.'' Wallahu a'lam.

Kamis, 23 Juli 2009

Islam Versus Terorisme

TEMPO Interaktif, Jakarta -Hanya berselang empat hari menjelang digelarnya duel Manchester United versus Indonesia All Star, aksi terorisme kembali terjadi di Tanah Air, setelah empat tahun terakhir pemerintah SBY berhasil meningkatkan stabilitas keamanan dan membawa bangsa ini hidup nyaman tanpa dentuman bom. Kali ini sasarannya lagi-lagi Hotel JW Marriott plus The Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta. Korban tak berdosa pun berjatuhan.

Tragedi Jumat Kelabu itu mengindikasikan kepada kita bahwa saat ini tak ada satu pun negara di dunia yang bersih atau bebas dari ancaman terorisme. Maka, pertanyaan apakah terorisme itu tampaknya tidak layak lagi diungkapkan ke permukaan, karena sudah dijawab dengan fakta empiris bahwa terorisme adalah lawan kemanusiaan, keadaban, dan keragaman. Anggapan terorisme identik dengan kekerasan, pembunuhan, dan penindasan semakin tidak terbantahkan. Di mana terorisme singgah, di situlah korban berjatuhan.

Terorisme dan korban ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Karenanya, siapa pun akan resah, gelisah, dan gundah-gulana atas perilaku teroris yang mengerikan itu. Mempercayai, mendukung, dan mengesahkan terorisme sama halnya menyetujui adanya tragedi kemanusiaan dalam jumlah yang lebih besar. Lalu, akankah milenium ketiga menjadi era para teroris? Benarkah bahwa terorisme mendapat justifikasi dan legitimasi dari agama, demikian juga jihad?

Harus diakui, pasca-tragedi "9/11" yang menghancurkan gedung WTC, New York, Amerika Serikat, 11 September 2001, muncul suara-suara sumbang yang dialamatkan kepada agama tertentu, yakni Islam. Dengan kata lain, banyak pihak, terutama AS, yang menuduh bahwa aksi terorisme mendapat justifikasi atau legitimasi dari agama (Islam).

Menghadapi tudingan dan pandangan negatif tersebut, ada beberapa hal yang cukup signifikan dan mendesak untuk dilakukan. Pertama, perlunya menampilkan wajah agama dengan baik agar agama kita memiliki citra yang baik. Agama mesti dikembalikan ke posisinya sebagai spirit dan moralitas yang akan senantiasa mengusung panji-panji kemanusiaan, keadaban, kemaslahatan kesetaraan, dan keadilan. Sudah saatnya bagi kita untuk memperbaiki citra agama, terutama Islam, yang pada pasca-tragedi 11 September, serta bom London dan Mesir, direpresentasikan Al-Qaidah dan beberapa kelompok radikal lainnya.

Kedua, karena tidak sedikit elite dan masyarakat awam bersikap ekstrem dan eksesif dalam beragama, kini penting bagi kita untuk membangun sikap beragama yang human. Paradigma humanis dalam beragama adalah paradigma nilai, sikap, norma, dan praktek keberagamaan (religiosity) yang mendukung kehidupan tanpa kekerasan dan damai, meningkatkan keadilan masyarakat, menjunjung tinggi hak asasi manusia, memajukan harmoni antarbudaya, dan kelestarian ekologis.

Sikap utama dalam paradigma humanis ini adalah moderasi. Agamawan ataupun awam yang moderat akan cenderung santun dan seimbang. Santun dalam menjalankan agamanya dan interaksi sosial. Seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, individual dan sosial, serta dalam berhubungan dengan Tuhan, manusia, dan lingkungan alam. Mereka yang moderat akan menjunjung keadilan dan kearifan dalam bersikap, tidak gampang terhasut, marah, menuduh, ataupun memaksa (coercive).

Agama-agama jelas mengajarkan moderasi. Dalam Islam diajarkan, "Tuhan menginginkan kemudahan bagi manusia, bukan kesulitan" (QS.22:185). Islam mengajarkan rahmat dan salam, bukan teror dan perang. Yesus menekankan kasih dan damai. Buddha dan Konghucu mengutamakan keseimbangan antara Yin dan Yang, antara sifat-sifat maskulin dan feminin. Semua agama mengajarkan moderasi dan keseimbangan.

Ketiga, perlunya melakukan gerakan dakwah yang menyuguhkan semangat moderasi, toleran, dan damai. Hal ini dilakukan melalui gerakan kultural yang bisa menyadarkan kepada umat bahwa agama tidak pernah mengajarkan tindakan terorisme. Langkah kultural yang bersifat proaktif dan progresif semacam ini penting dilakukan untuk melahirkan citra baru yang lebih baik bagi agama-agama. Gerakan Moral Nasional yang diprakarsai tokoh-tokoh agama dari berbagai organisasi keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah, KWI, PGI, dan sebagainya, bisa dijadikan langkah kultural untuk mengkampanyekan wajah agama yang humanis, inklusif, dan antiterorisme. Bahwa agama selamanya tak pernah mengajarkan terorisme.

Jihad

Harus diakui, pemaknaan jihad selama ini cenderung pejoratif, dalam arti ia selalu diterjemahkan dan diaktualisasi sebagai use of force against non-muslim. Penerjemahan jihad menjadi “perang suci” ini bila dikombinasikan dengan pandangan Barat tentang Islam sebagai “agama pedang”, jelas telah mereduksi makna substansial dan spiritual dari jihad, serta mengubah konotasinya. Apalagi jika terminologi jihad yang semacam itu dihadapkan pada nilai-nilai HAM, tentu saja, akan kian menguatkan asumsi Barat bahwa Islam identik dengan “ketajaman pedang”.

Menurut Abdul Halim Mahmud, sebagaimana dikutip oleh KH Ali Yafie (1999), jihad bisa dikategorikan menjadi empat macam, yaitu jihad al-harb (jihad ke medan perang), jihad al-nafs (jihad melawan hawa nafsu), jihad al-usrah (jihad dalam keluarga), dan jihad al-mujtama' (jihad dalam masyarakat). Dari kategori ini, jihad bukanlah sekadar perang, bahkan lebih dari itu, jihad justru merupakan sebuah konsekuensi keimanan atau religiositas.

Karena itu, jihad tidak bisa dilepaskan dari sejumlah aturan etika atau moralitas. Kebrutalan, pelecehan kemanusiaan, ancaman terhadap kehidupan, dan berbagai pelanggaran HAM lainnya adalah hal-hal yang secara esensial bertentangan dengan term jihad. Sungguh sangat disayangkan jika kemudian sebagian orang menganggap jihad semata-mata sebagai bentuk ekspresi kemarahan yang tak terkendali yang berakhir pada use of force untuk menghantam musuh (non-muslim) secara membabi-buta.

Dari sinilah, tampaknya, makna jihad yang selama ini cenderung pejoratif dan distortif itu mesti didekonstruksi. Bahwa ideologi jihad bukanlah dendam kesumat dan pelampiasan kebencian, melainkan upaya sosialisasi dan internalisasi kebajikan (amar ma'ruf) serta pencegahan atau penghapusan terhadap kemungkaran (nahi munkar). Jihad adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan, melepaskannya dari setiap bentuk ketidakadilan, kezaliman, dan penindasan, serta mendorongnya ke posisi di mana ia seharusnya berada.

Dalam pemaknaan ini, maka upaya keras--atas nama Tuhan--untuk memberantas ketidakadilan, kejahatan, korupsi, kolusi, kemiskinan, dan kebodohan di kalangan saudara-saudara kita sendiri bisa dikategorikan sebagai jihad. Memang, melakukan perbaikan di sekitar kita itu, bisa jadi, jauh dari hiruk-pikuk publikasi dan heroisme yang meletup-letup.

Meski demikian, upaya memperbaiki keadaan di sekitar kita itu seharusnya menjadi perhatian utama bagi kita, orang-orang yang beragama dan bertuhan. Bukankah kita seharusnya malu bahwa bangsa kita menjadi juara korupsi, padahal rakyatnya beragama dan bertuhan? Bukankah kita seharusnya juga malu melihat kejahatan merajalela di sekitar kita? Begitu pula kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan yang masih mencengkeram jutaan wong cilik. Inilah seharusnya yang kini menjadi agenda kita dalam berjihad di era reformasi ini, sebagai pengamalan ajaran suci dari Tuhan. *

MAKSUN, Dosen Fikih Politik Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Semarang

Senin, 13 Juli 2009

Antara Andalusia dan Indonesia

Oleh Adiwarman A Karim

Selalu menarik untuk mengkaji masuknya Islam ke Andalusia dan Indonesia. Dilihat dari Makkah dan Madinah, Andalusia terletak di sebelah barat sedangkan Indonesia terletak di sebelah timur.

Islam masuk ke Andalusia dibawa oleh keturunan para petinggi dan panglima perang Bani Umayyah yang sempat berkuasa di jazirah Arab, sepeninggalnya Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin. Islam bukan saja masuk ke Eropa melalui Andalusia (711-1492 M), namun juga Sicilia (825-1091 M). Ketika para ilmuwan Muslim menggali kembali pustaka-pustaka Yunani, menerjemahkan, mengkaji, mengulas, dan menyebarluaskannya, Eropa seakan bangkit dari tidur panjangnya dan memulai gerakan Renaissance.

Ketika Islam mengenalkan pentingnya rasionalitas akal dalam memahami fenomena dunia, Eropa begitu terpesona dengan konsep ini dan mempopulerkan gerakan Rasionalitas oleh Rene Descrates dan John Locke. Rasionalitas Islam yang menempatkan kebenaran wahyu di atas akal, kemudian terdistorsi menjadi rasionalitas yang dipertentangkan dengan wahyu.

Ketika Islam mengenalkan ilmu hayat, kimia, dan falak yang menerangkan hukum alam secara objektif dengan metode ilmiah, Eropa tersentak dan menginspirasi gerakan Aufklarung yang dikembangkan oleh Voltaire, Diderot, Baron Montesquieu, dan Leibniz.

Singkat cerita, Islam masuk ke Andalusia dengan cepat, membawa perubahan besar dalam cara pandang Eropa, meninggalkan berbagai monumen sejarah, seperti istana, benteng, perpustakaan, dan pusat kebudayaan Islam. Namun, kemudian Islam seakan hilang ditelan bumi, tercerabut dari hati masyarakat Andalusia dan sekarang tinggallah Islam sebagai monumen sejarah di Andalusia.

Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang Yaman, India, juga belakangan Cina. Masuk perlahan-lahan, menarik simpati masyarakat dengan akhlak mereka dalam berdagang, Islam menyebar ke seluruh pelosok Indonesia. Tidak ada perubahan revolusioner seperti di Eropa yang menginspirasi gerakan Renaissance, Rasionalitas, atau Aufklarung. Tidak ada pula peninggalan sejarah, seperti istana, benteng, perpustakaan, dan pusat kebudayaan megah seperti di Andalusia. Perubahan demi perubahan seakan beringsut satu depa demi satu depa. Bahkan sampai abad 20, kita masih lazim mendengar Al-Fatihah dilafalkan Al-Patekah, Ismail menjadi Ismangil, Alhamdulillah menjadi Ngalkamdulillah.

Namun selanjutnya, seluruh dunia tercengang melihat perkembangan Islam di Indonesia yang sampai saat ini menjadi umat Islam terbesar di dunia. Pemikiran Islam di Indonesia juga merupakan yang paling dinamis dan variatif di dunia. Berbagai paham, mazhab, dan gerakan Islam berkembang subur di Indonesia, mulai dari yang sangat puritan sampai yang sangat liberal.

Andalusia dan Indonesia mempunyai kesamaan, dalam artian berkembangnya Islam dalam masyarakat yang sangat heterogen. Kristen, Katolik, Yahudi, dan Islam hidup bersama di Andalusia. Hindu, Buddha, Kristen, Katolik, dan Islam hidup bersama di Indonesia. Berbagai ras dan suku bangsa juga hidup damai sejahtera di Andalusia dan Indonesia.

Para pembawa Islam ke Andalusia kemudian menjadi raja-raja di Andalusia yang selanjutnya diteruskan oleh keturunannya. Sedangkan para pembawa Islam ke Indonesia tetap menjadi pedagang, pendakwah, dan penasihat raja.

Metode masuknya Islam ke Indonesia ini yang diyakini sebagai metode yang paling berhasil dalam sejarah. Metode ini pula diyakini merupakan metode paling tepat dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia.

Apa manfaatnya memilah-milah bangsa ini menjadi Muslim dan non-Muslim, bahkan memilah antara Islam santri dan Islam abangan, kalau mereka semua mendambakan kesejahteraan dan keadilan ekonomi yang ditawarkan oleh konsep ekonomi syariah. Apa manfaatnya menghujat mereka yang belum paham akan ekonomi syariah, apalagi memberikan label mereka sebagai penentang ekonomi syariah, kalau kita belum cukup sabar menerangkannya dengan bahasa yang dipahami.

Lihatlah kerugian besar yang dialami Eropa ketika Raja Gregorious II dan III, Germanius, Maharatu Irene, di satu pihak yang menolak penggunaan ikon-ikon (mozaik, patung) orang suci, dengan Raja Leo III, Konstantinus IV, Leo IV, di pihak lain yang menyukai penggunaan ikon-ikon tersebut.

Pertentangan tak berujung pangkal itu yang kemudian dibumbui ego dan emosi, telah membelokkan sebagian besar energi positif untuk membangun kesejahteraan Eropa menjadi energi negatif saling mengklaim kebenaran.
Kita harus belajar dari pengalaman itu. Biarlah ekonomi syariah berkembang di Indonesia dalam paradigma Bhinneka Tunggal Ika. Bukankah fikih memang memberikan kelenturan dalam menafsirkan syariah.

Menyederhanakan ekonomi syariah dan ekonomi konvensional, kemudian mempertentangkannya satu sama lain, bukanlah cara yang bijak. Apalagi, konsep utuh ekonomi syariah dikerdilkan menjadi ekonomi tanpa riba yang dihadapkan dengan ekonomi konvensional yang menggunakan bunga. Argumentasi ini tentu ada benarnya, namun tidak menggambarkan keindahan ekonomi syariah yang sebenarnya.

Dengan cara yang bijak gaya Indonesia, Islam masuk ke relung-relung hati bangsa ini selama berabad-abad. Dengan cara yang cerdas gaya Andalusia, Islam akan menjadi inspirasi bangkitnya ekonomi Indonesia, sebagaimana Islam telah menginspirasi berbagai gerakan kebangkitan Eropa di abad pertengahan.

(-)

Makhluk Pelupa

Oleh Nawawi Efendi

Di antara kelemahan manusia adalah sifat lupa. Sifat ini melekat padanya, sehingga ada yang berpendapat bahwa kata 'insan' (manusia) berasal dari kata nasiya-yansa yang berarti lupa atau melupakan.

Allah SWT kerap menyebut sifat lupa dalam Alquran dan dikaitkan kepada manusia. ''Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.'' (QS Thaahaa [20]: 115).

Di satu sisi, lupa adalah sifat positif, ketika seseorang lupa terhadap masa lalu buruk yang pernah dialami, sehingga menghadapi hidup ini dengan optimistis. Atau, lupa akan kesalahan orang lain, sehingga tak ada keinginan membalas dendam.

Di sisi lain, lupa merupakan awal kebinasaan seseorang, ketika lupa kepada Allah SWT. Allah SWT pun membuatnya lupa terhadap hakikat dirinya sendiri. ''Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.'' (QS Alhasyr [59]: 19).

Seseorang yang sudah lupa terhadap hakikat dirinya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT, ia akan berlaku sombong ketika mendapat kesuksesan dan akan frustrasi bila ditimpa kegagalan.

Untuk itu, Allah SWT seringkali memerintahkan kita untuk berzikir kepada-Nya. Zikir di sini tidak terbatas pada gerakan lisan semata, tapi juga kesadaran hati tentang kekuasaan Allah SWT dan keagungan-Nya.

Bahkan, secara khusus, Allah SWT menyebutkan, shalat adalah sarana paling tepat untuk berzikir kepada-Nya. ''Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.'' (QS Thaahaa [20]: 14).

Sebenarnya, melalui akal dan hatinya, manusia sudah bisa mengingat Allah SWT. Tapi, Allah SWT masih menurunkan kitab dan mengutus rasul-Nya sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan. Di hari kiamat nanti tidak ada alasan bagi seseorang mengelak dari hukum dan pengadilan Allah SWT.
Namun, bila manusia masih tetap lupa dan berpaling dari peringatan-Nya, ia akan merasakan kehidupan yang sempit, dan di akhirat akan dikumpulkan dalam keadaan buta.

''Berkatalah ia, 'Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?' Allah berfirman, 'Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan'.'' (QS Thaahaa [20]: 125-126).

Semoga sifat lupa yang sudah menjadi tabiat kita dapat menjadi pemicu untuk berzikir kepada Allah SWT. Bukan malah menjadikannya tameng dan alasan melupakan-Nya.

(-)
Index Koran

Belajar Mengukur Diri

Oleh Taufik Damas

Memilih sikap diam ternyata tak sesederhana yang dibayangkan. Status sosial, jabatan, dan gelar adalah bagian dari faktor yang menyebabkan orang sulit memilih diam.

Komentar tentu dibutuhkan dari orang yang menguasai masalah. Akurasi komentar sangat membantu menyelesaikan masalah. Selain akurasi, komentar harus didorong oleh semangat mencari jalan keluar yang tepat dan benar.
Tidak semua orang layak berkomentar dan tak ada orang yang memiliki kemampuan mengomentari semua masalah. Dibutuhkan kerendahan hati agar tak mengomentari sesuatu yang tidak dipahami secara pasti.

''Dan, janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak punya pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan, dan hati akan diminta pertanggungjawaban semuanya.'' (QS Al-Israa' [17]: 36).

Penglihatan dan pendengaran adalah pintu masuk ilmu pengetahuan. Dengan dua indra ini, manusia mampu memahami apa yang bergerak di sekitarnya.
Namun, untuk mengomentari masalah tertentu, manusia dituntut menggunakan hati (nurani) yang cenderung pada kejujuran. Tanpa bimbingan hati, kebenaran yang ditangkap oleh penglihatan dan pendengaran bisa jadi dibelokkan.

Melalui ayat di atas, secara eksplisit, Allah SWT menuntut manusia untuk tidak memberikan komentar terhadap sesuatu yang tak dipahami pasti. Ada implikasi negatif jika komentar hanya didasari dorongan nafsu.

Kehidupan akan semakin kacau karena komentar tak didasari sinaran ilmu pengetahuan dan hati nurani. ''Jika satu masalah diserahkan kepada orang yang tidak memiliki kompetensi, tunggu saat kehancurannya.'' (HR Bukhari).

Banyak orang yang tak menyadari bahwa dirinya tidak layak memberikan komentar untuk masalah tertentu. Perasaan gengsi dan ingin tampak menonjol menjadi faktor penyebabnya.

Ironisnya, fenomena seperti ini juga merambah ke dalam wilayah agama. Akibatnya, sebagai pelita kehidupan, kadang agama justru membuat masyarakat bimbang dan kebingungan karena disampaikan oleh mereka yang tak menguasai ilmu agama.

Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Akan datang tahun-tahun penuh penipuan pada manusia: pembohong dianggap benar dan orang benar dianggap pembohong; orang setia dianggap pengkhianat dan pengkhianat dianggap orang setia. Pada saat itu, akan ada banyak ruwaybidhah.''

Para sahabat bertanya, ''Apa yang dimaksud ruwaybidhah, wahai Rasulullah?'' Beliau menjawab, ''Orang pandir yang banyak bicara soal urusan masyarakat.'' (HR Ibnu Majah).

Kamis, 09 Juli 2009

Memimpin dengan Hati



Oleh Muhtadi Abdul Mun'im

Suatu pagi, Rasulullah SAW diberi semangkuk susu oleh tetangganya. Kemudian, beliau meminta Abu Hurairah memanggil para ahlus shuffah agar datang ke rumahnya untuk menikmati semangkuk susu yang diperolehnya itu.

Ahlus shuffah merupakan sekelompok orang miskin, tunawisma, dan belum mendapatkan pekerjaan. Satu per satu para ahlus shuffah dan Abu Hurairah mendapat giliran minum susu lebih awal dari Rasulullah SAW.
Setelah semua minum sepuasnya, baru kemudian beliau yang terakhir mendapat giliran menikmati susu tersebut. Kisah ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari melalui penuturan Abu Hurairah.

Bukan kali itu saja Rasulullah SAW menunjukkan kelembutan dan perhatiannya kepada rakyat miskin. Sekian banyak sabdanya mengajak kita untuk berbagi, bederma, dan melayani mereka yang membutuhkan.

''Berilah makan dan ucapkan salam kepada orang yang kau kenal dan belum dikenal,'' merupakan sabdanya ketika ditanya tentang Islam yang baik (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Perkataan Rasulullah SAW membela kepentingan wong cilik bukanlah sekadar orasi politik meraih simpati publik. Lebih dari itu, Nabi SAW menjadikan dirinya teladan atas apa yang diucapkannya.

Sangat berbeda dengan orang-orang yang cuma pandai berkata-kata, tapi jauh dari realita. Sungguh tercela orang yang mencoba meraih simpati dengan kata-kata manis, padahal dia sama sekali tak pernah melakukannya. Sifat semacam itu amat dibenci Allah (QS Ashshaf [61]: 3).

Kesungguhan membela rakyat kecil dapat dilihat pada kisah Rasulullah SAW di atas. Di antara keberhasilan Rasulullah SAW sebagai pemimpin adalah karena ketulusan hatinya.

Setidaknya, ada tiga hal penting yang harus dicontoh: memiliki empati, sanggup melayani, menjadikan dirinya teladan. Inilah ciri-ciri utama dari sifat kepemimpinan dengan hati.

Rasa empati diperlihatkan dengan cara kemampuan seorang pemimpin melihat dan merasakan kesulitan rakyat yang dipimpinnya. Dengan demikian, hatinya akan terpanggil untuk senantiasa melayani mereka yang membutuhkan pertolongan dan melakukan berbagai upaya mengangkat mereka dari jurang keterpurukan.

Seorang pemimpin yang baik akan menjadikan dirinya teladan bagi siapa pun untuk melakukan hal yang sama, yaitu melayani kebutuhan rakyat. Sayyidul qaumi khadimuhum--pemimpin sejati adalah yang sanggup melayani rakyatnya.

Ini jauh berbeda dengan sifat pemimpin yang justru meminta untuk dilayani, menuntut berbagai fasilitas, dan selalu minta diistimewakan. Sungguh beruntung, jika bangsa ini dipimpin oleh orang-orang yang menggunakan hatinya.

Makhluk Pelupa



Oleh Nawawi Efendi

Di antara kelemahan manusia adalah sifat lupa. Sifat ini melekat padanya, sehingga ada yang berpendapat bahwa kata 'insan' (manusia) berasal dari kata nasiya-yansa yang berarti lupa atau melupakan.

Allah SWT kerap menyebut sifat lupa dalam Alquran dan dikaitkan kepada manusia. ''Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.'' (QS Thaahaa [20]: 115).

Di satu sisi, lupa adalah sifat positif, ketika seseorang lupa terhadap masa lalu buruk yang pernah dialami, sehingga menghadapi hidup ini dengan optimistis. Atau, lupa akan kesalahan orang lain, sehingga tak ada keinginan membalas dendam.

Di sisi lain, lupa merupakan awal kebinasaan seseorang, ketika lupa kepada Allah SWT. Allah SWT pun membuatnya lupa terhadap hakikat dirinya sendiri. ''Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.'' (QS Alhasyr [59]: 19).

Seseorang yang sudah lupa terhadap hakikat dirinya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT, ia akan berlaku sombong ketika mendapat kesuksesan dan akan frustrasi bila ditimpa kegagalan.

Untuk itu, Allah SWT seringkali memerintahkan kita untuk berzikir kepada-Nya. Zikir di sini tidak terbatas pada gerakan lisan semata, tapi juga kesadaran hati tentang kekuasaan Allah SWT dan keagungan-Nya.

Bahkan, secara khusus, Allah SWT menyebutkan, shalat adalah sarana paling tepat untuk berzikir kepada-Nya. ''Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.'' (QS Thaahaa [20]: 14).

Sebenarnya, melalui akal dan hatinya, manusia sudah bisa mengingat Allah SWT. Tapi, Allah SWT masih menurunkan kitab dan mengutus rasul-Nya sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan. Di hari kiamat nanti tidak ada alasan bagi seseorang mengelak dari hukum dan pengadilan Allah SWT.
Namun, bila manusia masih tetap lupa dan berpaling dari peringatan-Nya, ia akan merasakan kehidupan yang sempit, dan di akhirat akan dikumpulkan dalam keadaan buta.

''Berkatalah ia, 'Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?' Allah berfirman, 'Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan'.'' (QS Thaahaa [20]: 125-126).

Semoga sifat lupa yang sudah menjadi tabiat kita dapat menjadi pemicu untuk berzikir kepada Allah SWT. Bukan malah menjadikannya tameng dan alasan melupakan-Nya.

(-)

Minggu, 05 Juli 2009

Pilpres 8 Juli 2009

Oleh: Azyumardi Azra


Pekan depan, 8 Juli 2009, rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih bakal memberikan suaranya dalam pemilihan umum presiden (pilpres). Sebuah momen yang ditunggu-ditunggu setelah musim kampanye yang cukup melelahkan dan juga ketegangan. Berbagai usaha dari ketiga pasangan capres-cawapres: Megawati-Prabowo, SBY-Boediono, dan JK-Wiranto, untuk mendapat dukungan dari para pemilih telah dilakukan. Hasil dari perjuangan mereka kini bakal diputuskan rakyat pada Pilpres 8 Juli tersebut.

Pilpres kedua secara langsung (pertama pada 2004) tidak ragu lagi merupakan salah satu tahap penting dan krusial dalam konsolidasi demokrasi lebih lanjut sehingga Indonesia dapat menjadi negara demokrasi terkonsolidasi. Tetapi, konsolidasi demokrasi tidak selalu berlangsung linear. Karena, dalam proses-proses demokrasi itu, di sana sini terjadi hal-hal yang tidak selalu sesuai dengan harapan. Salah satu contoh adalah menyangkut kekisruhan tentang DPT dalam Pemilu Legislatif 8 April lalu, di mana puluhan juta pemilih yang sebenarnya ingin memberikan suara gagal mewujudkan hak-hak demokrasinya, Kita tentu saja tidak mengharapkan terjadi lagi kekisruhan mengenai hal yang sama atau hal-hal lain yang dapat menimbulkan persoalan tentang proses dan bahkan keabsahan hasil pilpres tersebut. Kita bersyukur bahwa dalam pileg dan masa kampanye pilpres yang lalu tidak terjadi konflik fisik atau kekerasan dalam skala mencemaskan di antara para pendukung masing-masing pasangan capres-cawapres. Karena itulah, suasana yang telah kondusif tersebut mesti tetap dipelihara para capres-cawapres, tim sukses masing-masing, dan tentu pula pendukungnya pada berbagai lapisan massa.

Harus dikatakan, potensi bagi kemungkinan munculnya kekisruhan tetap ada. Misalnya, hal-hal yang biasa disebut dalam pemilu Orba sampai sekarang sebagai 'serangan fajar', yakni pemberian materi, kupon yang bisa ditukar dengan dana kontan, atau iming-iming tertentu kepada para pemilih menjelang mereka memberikan suara di TPS. Atau, boleh jadi, juga dalam bentuk pengerahan aparat birokrasi dan negara pada berbagai levelnya yang melakukan persuasi, penggiringan, dan mungkin intimidasi untuk memilih pasangan tertentu.
Potensi kekisruhan juga terdapat pada waktu pencontrengan. Misalnya, dalam bentuk pencontrengan yang 'diwakili' orang tertentu atau pencontrengan berulang kali oleh orang yang sama. Dan, yang juga krusial mengandung potensi kekisruhan adalah pada proses penghitungan dan rekapitulasi suara dari TPS dan seterusnya sampai ke tingkat nasional, yang bukan tidak mungkin melibatkan manipulasi seperti terlihat dalam beberapa kasus pada pileg yang lalu.

Karena itu, segala potensi itu mestilah diantisipasi. Pertama-tama, tentu saja penting ditekankan kepada para kandidat dan tim sukses agar tetap berpegang pada integritas dalam usaha mencapai kemenangan; tegasnya memegang prinsip; menang hanya dengan cara-cara yang jujur; fair ; adil; dan bermartabat. Sebaliknya, tidak menghalalkan segala cara. Siapa pun yang melakukan hal-hal ini bukan hanya merusak demokrasi, tetapi juga mengkhianati rakyat, bangsa, dan negara. 

Penekanan pada hal ini boleh jadi hanya tinggal sebagai imbauan moral yang cenderung tidak dipedulikan mereka-mereka yang terlibat. Bahkan, ketentuan-ketentuan hukum yang jelas-jelas memiliki sanksi pun cenderung diakal-akali dan bahkan dilanggar. Karena itu, masalahnya kemudian harus dikembalikan kepada lubuk hati yang paling dalam, yang tak mungkin berdusta.

Meski demikian, kita jelas tidak bisa hanya bersandar pada imbauan moral dan berbagai ketentuan hukum dan sanksinya. Di sinilah, kemudian pentingnya pengawasan dan pemantauan oleh para saksi pada berbagai tingkatannya, sejak dari TPS, ke tingkat lanjutan, sampai rekapitulasi suara dapat dihasilkan dan bisa diterima semua pihak. Dengan demikian, pilpres dapat berlangsung secara baik, damai, dan jujur sehingga tidak menimbulkan kekisruhan-kekisruhan yang bukan hanya dapat mengancam hasil-hasil pilpres itu sendiri, bahkan juga keutuhan politik dan sosial negara bangsa ini.

Dalam kaitan itu, penting kembali menekankan peran berbagai organisasi dan kelompok civil society (masyarakat madani, masyarakat sipil, atau masyarakat warga) untuk mengawal proses-proses pilpres. Mereka ini tidak hanya dapat menjadi kekuatan moral terhadap setiap mereka yang terlibat dalam kompetisi, tetapi juga bisa berperan memelihara keadaban ( civility ) masyarakat akar rumput. Berbagai penelitian ilmiah akademis menunjukkan, organisasi dan kelompok civil society dapat menanamkan keadaban di kalangan para anggota dan masyarakat serta mencegah terjadinya kekisruhan, konflik, dan kekerasan dalam masyarakat.

Dengan demikian jelas, itu adalah tanggung jawab setiap pihak para kandidat; tim sukses; massa pendukung; penyelenggara negara; KPU dan Bawaslu; mereka yang terlibat di TPS dan proses penghitungan dan rekapitulasi suara, baik secara manual maupun elektronik; serta civil society untuk mengawal proses-proses pilpres. Hanya dengan kesungguhan dan kemauan semua pihak, kita dapat menyelenggarakan pilpres dengan tenteram dan pada gilirannya menghasilkan kepemimpinan nasional pilihan 'mayoritas' rakyat.
(-)

Syahwat Politik

Oleh A Ilyas Ismail

Pada suatu hari, Abu Dzar al-Ghifari meminta kepada Rasulullah SAW agar diangkat menjadi pejabat. Tapi, Nabi SAW menolaknya.Sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu, kepadanya Nabi SAW berkata, ''Tidak, Abu Dzar, engkau orang lemah. Ketahuilah, jabatan itu amanah. Ia kelak di hari kiamat merupakan kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkannya dengan benar dan melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan benar pula.'' (HR Bukhari).

Imam Nawawi menyebut hadis di atas merupakan pedoman dasar dalam berpolitik. Politik dapat menjadi sumber petaka bagi orang yang tidak mampu dan tidak bertanggung jawab.Sebaliknya, kata Nawawi, politik dapat pula menjadi ladang pengabdian dan amal saleh yang subur bagi orang yang mampu dan bertanggung jawab. Politik (kekuasaan) bukan sesuatu yang buruk. Ia ibarat pisau bermata dua: bisa baik dan buruk.

Ia menjadi baik dengan tiga syarat, seperti disebut dalam hadis di atas, yaitu berada di tangan orang yang tepat (capable ), diperoleh dengan cara yang benar ( acceptable ), dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat ( responsible ).

Sayangnya, dalam percaturan politik, orang kerap hanya bicara satu hal, yaitu bagaimana merebut kekuasaan dan mencapai tahta, bukan bagaimana mempergunakan kekuasaan itu serta mempertanggungjawabkannya kepada rakyat, dan terlebih lagi kepada Tuhan, Allah SWT. Diakui, kuasa (tahta) memang menggiurkan. Sebab, dengan tahta, orang membayangkan dapat mencapai semua impian dan keinginannya. Menurut Imam Ghazali, dibanding harta, tahta jauh lebih menggoda.

Ada tiga alasan mengapa demikian. Pertama, kuasa (tahta) dapat menjadi alat ( wasilah ) untuk memperbanyak harta. Dengan tahta, seorang bisa memperkaya diri.
Tidak demikian sebaliknya. Orang yang telah menghabiskan seluruh hartanya, tidak dengan sendirinya ia bisa mencapai tahta.Kedua, pengaruh kekuasaan relatif lebih kuat dan lebih lama. Harta, kata Imam Ghazali, bisa hilang karena dicuri atau berkurang karena inflasi. 

Tidak demikian dengan kekuasaan. Kekuasaan dalam arti pengaruh seorang pemimpin di hati para pengikut dan pendukungnya, tak akan pernah hilang dan berkurang. Ketiga, kekuasaan menimbulkan dampak publikasi dan popularitas yang sangat luas. Begitu seorang memenangkan pemilihan umum, misalnya, maka namanya akan terkerek tinggi.Dalam sekejap, ia akan dikenal dan tersohor di seluruh negeri, bahkan di seluruh dunia. Tak heran bila kekuasaan terus diburu dan diperebutkan oleh manusia sepanjang masa.

Bicara Baik atau Diam

Oleh M Mahbubi Ali

Allah SWT menciptakan nikmat lisan sebagai sarana beribadah. Dengan lisan, manusia diperintahkan menyampaikan kebaikan, saling menasihati dalam kebenaran, dan memperbanyak zikir kepada Allah SWT.

Jika nikmat ini tak dapat difungsikan dengan baik, tapi justru digunakan untuk menggunjing, memfitnah, berkata kasar, memaki, memecah belah, dan lainnya, maka diam adalah pilihan paling tepat sebagaimana perintah Rasulullah SAW. ''Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah berbicara dengan baik atau diam.''

Lisan laksana pisau bermata dua. Ia bisa membawa manfaat yang besar, tapi juga bisa menimbulkan mafsadat sangat dahsyat. Ketika Rasulullah SAW ditanya apa yang paling ditakuti pada umatnya, Nabi SAW menunjuk lisannya seraya berkata, ''Inilah (yang paling aku takuti).''

Begitu besarnya bahaya yang ditimbulkan lisan, Rasulullah SAW mengajarkan umatnya agar menjaga lisan dengan cara diam, kecuali pembicaraan yang membawa maslahat. Diam adalah benteng bagi lidah manusia dari perkataan sia-sia.

Banyak hikmah yang dapat dipetik dari sikap diam. Diam adalah ibadah tanpa mengeluarkan tenaga, perhiasan tanpa harus berhias, kharisma tanpa diminta, kerajaan tanpa singgasana, benteng tanpa pagar, istirahat bagi kedua malaikat pencatat amal, dan penutup segala aib.

Rasulullah SAW pernah mengajarkan bahwa ada dua amal ibadah yang paling mudah dilakukan manusia, yaitu diam dan budi pekerti yang baik. Rasul SAW juga mengabarkan kebanyakan manusia masuk neraka disebabkan dua hal: lisan dan kemaluan.

Para sahabat dan ulama terdahulu telah memberikan teladan tentang bagaimana menjaga lisan dari perkataan sia-sia dengan diam. Abu Bakar RA sampai meletakkan kerikil di dalam lisannya karena khawatir telanjur mengeluarkan kata-kata tidak berguna.

Ketika ditanya, beliau menjawab sambil menunjuk lisannya, ''Inilah yang menjerumuskan aku pada jurang kecelakaan.'' Selama 40 tahun, Manshur bin Mu'taz tidak pernah berbicara setelah Isya. Rabi' bin al-Khaitsam tidak pernah melakukan pembicaraan tentang urusan dunia selama 20 tahun.

Setiap pagi, beliau selalu meletakkan pena dan kertas di sampingnya dan menulis setiap perkataan yang keluar dari lisannya. Sore harinya, beliau memeriksa tulisan itu, lalu melakukan introspeksi diri. Selanjutnya meminta ampun kepada Allah SWT.

Rabu, 01 Juli 2009

Utang Negara dalam Syariah

Oleh: Irfan Syauqi Beik (Dosen FEM IPB)

Beratnya beban utang yang harus dipikul Indonesia tampaknya akan tetap menjadi salah satu PR besar bagi ketiga pasangan capres-cawapres, baik SBY-Boediono, JK-Wiranto, maupun Mega-Prabowo, apabila mereka terpilih nantinya dalam pilpres mendatang. Dalam lima tahun terakhir, jumlah utang mengalami peningkatan secara signifikan, dari Rp 1.275 triliun pada 2004 menjadi Rp 1.704 triliun pada 2009. Dengan peningkatan sebesar itu, setiap tahunnya terdapat penambahan utang baru sebesar Rp 97 triliun. Akibatnya, setiap penduduk Indonesia harus menanggung beban utang Rp 7,4 juta.

Fakta ini kemudian dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk menyerang pasangan incumbent . Namun demikian, respons pemerintah via Menkeu Sri Mulyani mencoba menepis kekhawatiran akan bahaya utang bagi kedaulatan negara. Ia menegaskan bahwa meski secara nominal jumlah utang meningkat, berdasarkan rasio utang terhadap PDB, angkanya mengalami penurunan dari 54 persen pada tahun 2004 menjadi 32 persen pada 2009. Sebuah pernyataan yang kemudian mengundang reaksi karena beban APBN untuk membayar utang plus bunganya sangat besar. Tahun ini saja, APBN kita telah menganggarkan Rp 110 triliun untuk membayar bunga utang. Belum lagi ditambah dengan faktor kedaulatan dan kemandirian bangsa di mata dunia.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana strategi bangsa agar bisa keluar dari perangkap utang yang sangat memberatkan ini? Inilah yang harus dikritik dari ketiga pasangan capres dan cawapres yang ada. Hingga saat ini, ketiganya belum memberikan arah kebijakan yang tegas mengenai solusi terhadap utang negara. Artikel ini mencoba mengkaji secara singkat konsep utang berdasarkan perspektif ekonomi syariah.

Prinsip utang
Sesungguhnya, utang dalam ajaran Islam merupakan sesuatu yang biasa terjadi dalam kehidupan. Ia telah menjadi bagian dari sunnatullah sehingga Allah SWT pun mengizinkan adanya utang ini. Dalam QS Albaqarah: 282 misalnya, disebutkan di awal ayat bahwa jika seorang yang beriman ingin berutang kepada pihak lain dalam jangka waktu tertentu, hendaknya ia mencatatnya. Ini menunjukkan bahwa utang merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama memenuhi sejumlah prinsip dan etika pokok. Jika etika dan prinsip pokok ini dilanggar, itu akan menimbulkan kemudharatan yang sangat besar.

Pertama, harus disadari bahwa utang itu adalah alternatif terakhir ketika segala usaha untuk mendapatkan dana secara halal dan tunai mengalami kemandekan alias the last option . Ada unsur keterpaksaan di dalamnya dan bukan unsur kebiasaan. Ini adalah dua hal yang berbeda. "Keterpaksaan" mencerminkan semangat membangun kemandirian dan berusaha mengoptimalkan potensi yang ada semaksimal mungkin. Namun, karena keterbatasan yang tidak sanggup diatasi, akhirnya terpaksa memilih jalan utang. Sedangkan, 'kebiasaan' mencerminkan prinsip jalan pintas dengan cara termudah sehingga unsur kerja kerasnya menjadi sangat minimal. Belum apa-apa sudah berpikir akan berutang.

Dalam konteks negara, harus dilihat secara cermat, apakah kebijakan utang yang selama ini dilakukan telah memenuhi unsur 'keterpaksaan' atau justru menjadi 'kebiasaan'? Apakah tidak ada alternatif lain yang dapat dilakukan sebelum pemerintah terpaksa harus berutang? Harus diingat, ajaran Islam menegaskan bahwa orang berutang yang tidak mampu menunaikan kewajibannya diharamkan baginya untuk masuk surga sampai urusan utang piutangnya diselesaikan terlebih dahulu. Tidak hanya itu, mereka pun akan dibiarkan dalam keadaan terlunta-lunta di yaumil akhir nanti dan tidak akan ditanya oleh Allah SWT (Alhadis). Dalam konteks utang negara, siapa yang akan bertanggung jawab di akhirat nanti jika negara ini tidak mampu membayar utangnya hingga hari kiamat? Karena itu, berhati-hatilah wahai para pengambil kebijakan.

Prinsip kedua, jika terpaksa berutang, jangan berutang di luar kemampuan. Inilah yang dalam istilah syariah disebut dengan ghalabatid dayn atau terlilit utang. Ghalabatid dayn ini akan menimbulkan efek yang besar, yaitu qahrir rijal atau mudah dikendalikan pihak lain. Oleh karena itu, Rasulullah SAW selalu memanjatkan doa agar beliau senantiasa dilindungi dari penyakit ghalabatid dayn yang akan menyebabkan harga diri atau izzah menjadi hilang. Apalagi, jika yang mengendalikannya adalah musuh yang memiliki niat buruk dan kebencian yang luar biasa.

Dalam konteks negara, harus dianalisis apakah kebijakan utang selama ini dilakukan sesuai dengan kemampuan bangsa atau justru di luar kemampuan bangsa untuk mengembalikannya? Karena, jika tidak sesuai dengan kemampuan, efek berikutnya pastilah Indonesia akan dengan mudah dikendalikan oleh pihak kreditor. Jadi, jangan heran jika Barat melalui Bank Dunia dan IMF dapat mendikte sejumlah kebijakan ekonomi nasional. Apalagi, jika ternyata utang tersebut dikorupsi dan dikelola secara tidak efisien, bertambah besarlah kemudharatan yang diderita bangsa ini. Wajarlah jika Rasulullah SAW mengingatkan dalam sebuah hadisnya, "Barang siapa yang punya utang, ia akan bingung di malam hari dan akan hina di siang hari."

Prinsip ketiga, jika utang telah dilakukan, harus ada niat untuk membayarnya. Rasulullah SAW menyatakan, "Barang siapa yang memiliki utang dan punya niat membayar, sebesar apa pun utangnya akan mampu dibayarnya. Barang siapa berutang, namun tidak ada niat membayarnya, sekecil apa pun utangnya, dia tidak akan mampu membayarnya." Hadis ini mengisyaratkan bahwa komitmen untuk mengembalikan utang merupakan sebuah keniscayaan. Apalagi, dalam hadis lain, Rasulullah SAW menyatakan bahwa mathlul ghaniyyu dzulmun yuhillu hirdhahu , yaitu menelat-nelatkan utang bagi yang mampu merupakan sebuah kezaliman sehingga diperbolehkan untuk mempermalukannya.

Dalam konteks mikro, akan sangat mudah menerapkan prinsip ini. Misalnya, pengusaha yang mengemplang utang boleh saja dipermalukan dengan cara menyita asetnya, melarang bepergian ke luar negeri, atau menghukum dengan hukuman yang berat. Persoalannya, bagaimana pada tingkatan makro, apalagi terkait dengan hubungan antarnegara jika Indonesia berusaha melakukan upaya rescheduling utang atau bahkan penghapusan utang? Menurut penulis, upaya untuk meminta penghapusan utang merupakan hal yang sah-sah saja, apalagi jika ternyata manfaat utang tersebut justru lebih banyak dinikmati asing, sebagaimana yang dinyatakan oleh ekonom Dradjad H Wibowo bahwa 70 persen manfaat utang kembali ke negara kreditor. Negara tidak perlu malu untuk meminta penghapusan utang.

Solusi alternatif
Menyikapi kondisi di atas, paling tidak ada dua solusi pokok yang dapat dijadikan sebagai jalan keluar. Pertama, semangat kemandirian dan kerja keras harus terus-menerus ditumbuhkan, baik di kalangan pemerintahan, pengusaha, maupun rakyat, secara keseluruhan. Mental sebagai peminta-minta harus dihilangkan. Semangat kemandirian ini harus menjadi paradigma yang mendasari sebuah kebijakan, apalagi bangsa Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa oleh Allah SWT.

Kedua, sudah saatnya ekonomi syariah dijadikan sebagai dasar kebijakan ekonomi negara. Kekhawatiran akan isu sektarian adalah kekhawatiran yang sangat mengada-ada. Ekonomi syariah secara otomatis akan pro sektor riil dan pro rakyat. Ada banyak instrumen yang dapat digunakan untuk menyubstitusi utang, seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Potensi minimal zakat Rp 20 triliun yang bersumber dari kekuatan domestik rakyat merupakan pilihan yang tepat. Dengan syarat, dikelola secara amanah dan profesional. 

Belum lagi ditambah dengan potensi aset wakaf yang mencapai Rp 600 triliun dan wakaf tunai yang jumlahnya bisa mencapai angka puluhan triliun setiap tahunnya. Pertanyaannya, apakah ketiga pasangan capres-cawapres ini mau secara serius mengimplementasikan kebijakan berbasis ekonomi syariah? Sangat disayangkan jika masih ada pihak yang meragukan keampuhan ekonomi syariah. Wallahu'alam.

Agar Nikmat Bertambah

Oleh Yodi Indrayadi

''Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, ''Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'' (QS Ibrahim [14]: 7).

Begitu banyak nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita, bahkan syukur terhadap nikmat Allah itu pun termasuk nikmat dari Allah.

Syahdan, Daud bertanya kepada Allah, ''Bagaimana aku bisa mensyukuri nikmat-nikmat-Mu, sementara syukur itu sendiri adalah nikmat-Mu?'' Allah berkata, ''Sekarang, engkau sudah mengenal-Ku dan bersyukur kepada-Ku. Sebab, engkau sudah tahu bahwa syukur adalah nikmat dari-Ku.''

Daud berkata lagi, ''Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa menghindar dari nikmat-nikmat-Mu?'' Allah berkata, ''Hai Daud, bernapaslah!'' Maka, Daud pun bernapas. Allah lantas berkata, ''Siapa yang bisa menghitung berapa nikmat ini dalam sehari semalam?''

Allah berfirman, ''Dan, jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.'' (QS Ibrahim [14]: 34).

Dalam Ihya 'Ulumiddin, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa syukur adalah memanfaatkan nikmat-nikmat Allah untuk berbagai hal yang disukai-Nya. Sedangkan, kufur adalah memanfaatkan nikmat-nikmat Allah untuk berbagai hal yang dibenci-Nya.

Tapi, bagaimana kita bisa mengetahui apa saja yang disukai dan dibenci olah Allah? Kita bisa mengetahui itu semua. Pertama, melalui wahyu. Kedua, melalui hati nurani.

Pertama, dengan mengetahui seluruh ajaran Islam yang termaktub dalam Alquran dan yang dijelaskan Nabi dalam sunah. Kedua, dengan mengetahui hikmah di balik setiap penciptaan Allah.

Dengan demikian, ketika kita memanfaatkan dengan baik semua pemberian Tuhan sesuai ajaran Islam dan hikmah penciptaannya, nikmat itu akan bertambah.

Sebagai ilustrasi sederhana: Allah mengaruniakan mata untuk melihat hal-hal yang halal dan baik, termasuk di antaranya membaca buku-buku yang bermanfaat. Selama kita memanfaatkan mata ini dengan baik, ilmu kita bertambah. Dengan bertambahnya ilmu, kesempatan kerja pun lebih terbuka, termasuk kesempatan kerja di tempat yang akan menggaji kita dengan gaji besar.

Allah mengaruniakan kaki untuk dilangkahkan ke tempat-tempat yang halal dan baik, termasuk di antaranya untuk menjalin silaturahim. Selama kita memanfaatkan kaki ini untuk bersilaturahim, jaringan terbuka dan peluang rezeki pun semakin bertambah. Demikian pula halnya dengan nikmat-nikmat yang lain.

Oleh karena itu, kondisi kita sekarang ini, bernasib baik atau tidak, sejatinya merupakan tanda apakah kita telah mensyukuri nikmat-nikmat Allah atau tidak.

Memilih Orang yang Tepat

Oleh Anang Rikza Masyhadi

Dalam suatu majelis, terjadi dialog antara Rasulullah SAW dengan para sahabat. Rasulullah SAW menyampaikan, ''Jika amanah telah hilang (tidak dipegang lagi dengan teguh), tunggulah saat kehancurannya.''Sahabat bertanya, ''Ya Rasul, bagaimana seseorang bisa menghilangkan amanah itu?'' Rasul SAW menjawab, ''Bila suatu urusan (amanah) diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya.'' (HR Bukhari).

Hadis Rasulullah SAW itu menengarai hilangnya amanah, terutama disebabkan suatu urusan yang dipegang, ditangani atau dikelola oleh yang bukan ahlinya, yaitu yang tidak mengenal dan menguasai bidang pekerjaannya. Dalam sistem ajaran Islam, ini masalah fundamental, karena amanah menyangkut urusan dan nasib orang banyak.

Dalam manajemen modern, hadis Nabi SAW tadi mendorong kaum Muslimin agar dalam mengelola sesuatu, berorientasi pada asas profesionalitas. Ketika adagium Inggris mengisyaratkan perlunya the right man, in the right place, in the right time, sesungguhnya Islam telah jauh lebih dini menggariskannya, 14 abad yang lalu.

Persoalannya, di lapangan sering terjadi orang yang sebetulnya tepat mengemban amanah, justru tak dipilih dan dipercaya masyarakat. Dalam memilih dan menentukan orang untuk suatu urusan tertentu, nalar dan objektivitas kita justru sering digadaikan untuk mengabdi pada kepentingan jangka pendek. Ini biasanya lebih karena faktor-faktof askriptif, yaitu faktor kenisbatan. Misalnya, karena yang mau dipilih itu masih ada hubungan famili, satu suku, tetangga sekampung, satu almamater, sama-sama satu ormas atau satu partai.

Pada saat yang sama, faktor kompetensi, yaitu kecakapan, kemampuan, dan kejujuran, menjadi terabaikan. Islam mewajibkan kita agar dapat menciptakan dan membuka peluang hanya kepada mereka yang kompeten, kapabel, dan kredibel. ''Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.'' (QS Annisaa [4]: 58).

''Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.'' (QS Almaidah [5]: 8).

Kaum Muslimin Indonesia harus bersatu membuat barisan yang kokoh untuk memilih orang-orang yang diyakini mampu mengurus 220 juta manusia, dari Sabang sampai Merauke. Inilah kesempatan emas kita mengubah nasib bangsa sebagaimana diwasiatkan Alquran (QS ar Ra'd [13]: 11) agar menjadi lebih sejahtera.

Manifestasi Tauhid

Oleh Ma'ruf Mq

Naluri dan dambaan akan sesuatu yang ideal-material (harta dan kesenangan) adalah wajar. Bahkan, dianjurkan oleh ajaran Islam sepanjang harta dan kesenangan itu diperoleh dengan cara halal, digunakan sebagai sarana dan prasarana yang bermanfaat, dan sesuai tuntunan syariat.Tuntutan itu tak dimaksudkan untuk melarang manusia mencintai harta dan kesenangan. Melainkan untuk mencegah pengingkaran akan ketauhidan kepada Allah SWT sebagai pemilik alam semesta.

Mengapa? Karena kecintaan kepada harta dan kesenangan terkadang berubah wujud menjadi anarki kepemilikan. Ketertarikan akan harta dan kesenangan berlangsung hanya sebentar sebagai akibat hasrat kepemilikan yang tak pernah puas.Ada beberapa hal yang dapat dijelaskan dalam hubungan ini. Pertama, unsur depersonalisasi dalam hubungan pemilik dan hartanya.Harta dan kesenangan bukan lagi objek konkret yang disenangi pemilik, tapi sudah menjadi lambang status, suatu perluasan kekuasaan pembentuk ego. Setelah mendapatkannya, pemilik telah mendapatkan sepotong ego baru.

Kedua, memiliki harta atau kesenangan baru, akan menambah nafsu kepemilikan. Demikian cermin hubungan masyarakat modern, semuanya diukur oleh rasa kepemilikan materi semata. Dus, yang muncul kemudian adalah sebuah hubungan yang selalu ingin menguasai ntarsesama.Meningkatnya konflik kejiwaan secara personal, lalu berimbas pada tatanan masyarakat dengan soliditas yang minimalis dan miskin nilai.

Dalam Islam, harta haruslah difungsikan untuk kemaslahatan diri dan masyarakat. Karenanya, harta memiliki fungsi individual dan sosial sebagai manifestasi keimanan dan ketauhidan seseorang.Tauhid sebagai bentuk kepercayaan, berarti tak hanya dipahami sebatas penegasan keesaan Allah SWT. Artinya, tak adanya pemisahan antara spiritualitas dan keduniawian, seluruh aspek sosial diintegrasikan dalam satu wadah keesaan Allah SWT.

Untuk mengintegrasikan aspek-aspek itu, Alquran telah sangat jelas dan tegas memberikan batasan penggunaan harta, seperti larangan riba,ikhtikar, gharar, berlebih-lebihan (israf-itraf) dan penimbunan.Dengan penekanan fungsi sosial dan pembatasan itu, naluri kerakusan manusia pada harta akan terkendali, sehingga manusia tidak bertindak melampaui batas yang bisa menjerumuskannya.

''Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.'' (QS Ali Imran [3]: 14).

Al Quran On Line