Oleh M. Guntur Romli
Ketika kita membaca beberapa literatur Islam klasik dalam masalah jihad, makna peperangan merupakan makna yang baku bagi jihad. Mulai dari para ulama tafsir, hadis, dan fikih, yang telah sedemikian kuatnya “mengunci” jihad dalam makna peperangan saja. Ahli tafsir menyamakan ayat-ayat jihad dengan ayat-ayat pedang dan perang. Pertanyaannya kemudian, benarkah jihad identik dengan peperangan sebagaimana pendapat ulama-ulama di atas?
Pidato Paus Benediktus XIV beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa konsep jihad dalam Islam identik dengan pedang dan kekerasan, ditanggapi kemarahan yang tak wajar oleh umat Islam. Saya katakan tak wajar, karena seolah-olah umat Islam memandang bahwa menyamakan jihad dengan peperangan merupakan sebuah kesalahan yang fatal dan tidak dikenal dalam Islam.
Padahal kalau mau sedikit jujur, pemahaman tersebut berasal dari pandangan mayoritas umat Islam dari dulu hingga sekarang. Bahkan, bagi kalangan Islam radikal makna jihad yang sebenar-benarnya hanyalah satu: peperangan. Demikianlah Usamah Bin Ladin bersama kelompoknya Tandzim al-Qaidah ”membumikan” doktrin jihad. Pun bagi mereka yang menebarkan aksi-aksi teror di Indonesia. Hingga peristiwa yang terbaru. Muhammad Nuh ”berjihad” di Restoran A & W Kramat Jati bulan kemaren.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam buletin rutinnya, al-Islam edisi 280 (25/11/2005) mengutip pendapat tokoh pendirinya, Taqiyudin al-Nabhani. Menurut dia, jihad adalah upaya mengerahkan segenap kekuatan dalam perang fi sabilillah (di jalan Allah). Demikian juga menurut kelompok Salafi-jihadi, jihad bermakna peperangan (al-qitâl) dan pembunuhan (al-ightiyâl). Kita bisa menyidik ideologi kelompok ini dalam karya-karya yang ditulis oleh para ideolog mereka di beberapa website seperti abu-qatada.com, tawhed.ws, dan almaqdese.net.
Membaca buku-buku mereka membuat bulu kuduk saya berdiri. Misalnya sebuah buku berjudul Tahrîdlu-l Mujâhidîn-al Abthâl ‘Alâ Ihyâ’i Sunnati-l Ightiyâl (Mengobarkan Semangat Para Pahlawan-Pejuang untuk Menghidupkan Tradisi Pembunuhan). Karya dari seorang ideolog kelompok Tandzim al-Qaidah bernama, Abu Jandal al-Azdi. Menurut pengakuannya sendiri, judul buku ini terinspirasi dari sepotong ayat 65 dari Surat al-Anfâl (Harta Rampasan Perang) yang berbunyi, ”Ya ayyuha al-nabî harridli-l mu’minîn ’ala-l qitâl”(Hai Nabi, kobarkan semangat orang-orang mukmin untuk berperang).
Abu Jandal adalah nama samaran. Nama aslinya Ali Faris al-Syuwail al-Zahrani. Ia alumnus Fakultas Syariah Islamiyah di Universitas Islam Saudi Arabia. Dalam buku ini, Abu Jandal membenarkan praktik-praktik pembunuhan terhadap musuh Islam: orang kafir, musyrik, dan murtad. Ia mengutip sepotong ayat 5 dari Surat al-Tawbah, ”waq’udû lahum kulla marshad”(dan tunggulah mereka pada tiap tempat pengintaian). Baginya ayat ini adalah dalil yang menghalalkan pembunuhan terhadap musuh Islam. Meskipun mereka belum disuguhkan dakwah dan peringatan (h. 8-9). Untuk memperkuat pendapatnya, ia mengutip sejumlah pendapat para ahli tafsir klasik seperti al-Qurthubi, Ibn Katsir, Ibn al-‘Arabi, dan seorang tokoh panutan mujahidin Afghanistan Abdullah Azzam.
Khazanah Klasik Islam
Ketika kita membaca beberapa literatur Islam klasik dalam masalah jihad, makna peperangan merupakan makna yang baku bagi jihad. Mulai dari para ulama tafsir, hadis, dan fikih, yang telah sedemikian kuatnya “mengunci” jihad dalam makna peperangan saja. Ahli tafsir menyamakan ayat-ayat jihad dengan ayat-ayat pedang dan perang. Para ulama hadis meriwayatkan hadis-hadis Nabi yang dominan memantulkan konteks peperangan. Selanjutnya ulama fikih menyudahi bahwa jihad dalam makna syariat Islam adalah peperangan melawan musuh Islam.
Seorang ulama hadis yang ternama, Ibnu Hajar Al-Asqalani (2000: 77) yang juga komentator (al-syârih) terhadap hadis-hadis yang dikumpulkan oleh al-Bukhari memberikan definisi jihad sebagai badzl al-juhd fi qitâl al-kuffâr (mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir). Demikian juga Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, pengarang kitab Subul al-Salâm komentar atas kitab Bulûgh al-Marâm karya Ibnu Hajar Al-Asqalani—dua kitab ini sangat terkenal di dunia pesantren di Indonesia—memaknai jihad sebagai badzl al-juhd fi qitâl al-kuffâr aw al-bughât (mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang kafir dan pemberontak).
Mayoritas ulama fikih juga sepakat dengan definisi itu. Fikih madzhab Hanafî memaknai jihad sebagai ajakan pada agama yang benar, jika orang yang diajak enggan, maka mereka diperangi dengan harta dan jiwa (al-du‘â ilâ al-dîn al-haq wa qitâl man lam yaqbalhu bi al-mâl wa al-nafs). Adapun definisi madzhab-madzhab lain kurang lebih seirama dengan definisi madzhab Syâfi’î, yaitu; memerangi orang-orang kafir untuk memenangkan Islam (qitâl al-kuffâr li nashr al-Islâm).
Tidak hanya mayoritas ulama fikih klasik yang membakukan makna jihad pada peperangan, ulama fikih kontemporer juga berpendapat sama. Prof. Wahbah al-Zuhaylî dalam bukunya, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu (1989: 413-414) mendefinisikan jihad sebagai berikut: mengerahkan kemampuan dan kekuatan untuk memerangi dan melawan orang-orang kafir dengan jiwa, harta dan lisan (badzl al-wus’i wa al-thâqah fi qitâl al-kuffâr wa mudâfa’atihim bi al-nafs, wal mâl, wal lisân).
Perbedaan Ayat-ayat Jihad dan Qital
Pertanyaannya kemudian, benarkah jihad identik dengan peperangan sebagaimana pendapat ulama-ulama di atas? Jika kita mau merujuk kembali pada ayat-ayat Al-Quran jawabannya adalah tidak. Setelah saya lacak, Al-Quran menggunakan dua istilah yang berbeda namun maksudnya sering disamakan yaitu: jihâd dan qitâl. Jihâd berarti perjuangan dalam arti yang umum, sementara qitâl berarti peperangan. Maka, apabila Al-Quran menggunakan âyât al-jihâd (ayat-ayat jihad) artinya adalah perjuangan dalam makna yang umum, sementara bila menggunakan âyât al-qitâl wa al-sayf (ayat-ayat perang dan pedang) artinya sudah khusus yaitu peperangan.
Perbedaan dua istilah yang digunakan oleh Al-Quran tadi berpulang pada dua sebab. Pertama, ayat-ayat jihad telah turun semenjak periode Islam Makkah yang dikenal pada periode itu tidak pernah terjadi satupun peperangan. Jihad dalam periode Islam Makkah adalah “jihad non-perang”, dan sangat mustahil bila jihad pada periode itu dimaknai dengan peperangan. Jihad yang bukan qital ini bisa kita temukan di Surat al-Furqan ayat 52, al-Nahl ayat 110, Luqman ayat 15, dan al-Ankabut ayat 69. Sementara ayat-ayat qital hanya turun pada periode Madinah yang penuh dengan gemuruh peperangan.
Kedua, lisensi peperangan menggunakan ayat-ayat qital secara jelas (sharih), bukan dengan ayat jihad. Dalam surat al-Hajj ayat 39 disebutkan, telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi (li al-ladzîna “yuqâtalûna”). Demikian juga, dalam surat al-Baqarah ayat 190, dan perangilah (qâtilû) orang-orang yang memerangimu (al-ladzîna yuqâtalûnakum). Nah, ketika ayat-ayat jihad kembali turun pada periode Madinah, tidak terelakkan muncul makna kontekstual “jihad” waktu itu; yaitu peperangan. Dari sinilah sumber masalah muncul: menyamakan atau menafsirkan ayat jihad dengan ayat qital.
Bisa saja kita memaklumi apabila ada yang menafsirkan ayat-ayat jihad sebagai peperangan, karena, penafsiran tersebut berdasarkan pada konteksnya. Lazimnya sebuah penafsiran tidak akan bisa bebas dari subjektifitas penafsir khususnya konteks dimana penafsir itu berada. Namun yang tidak bisa dibenarkan sama sekali adalah “mengunci” jihad dalam makna peperangan saja.
Oleh sebab itu, menurut Gamal al-Banna—adik bungsu pendiri Ikhwanul Muslimin: Hasan al-Banna—dalam bukunya al-Jihâd, dua istilah ini: jihad dan qital harus dibedakan secara jelas dan tegas. Jihad tidak identik dengan qital, meskipun qitalpara zaman Nabi merupakan salah satu bentuk dari jihad. Baginya jihad adalah mabda’ (prinsip) yang abadi dalam arti dan bentuk yang umum dan seluas-luasnya, sedangkan perang hanyalah wasilah, yang tidak prinsipil, dan sangat situasional.
Hadis-hadis Nabi yang sejumlah besar mengisahkan jihad dalam bentuk peperangan saja disebabkan problem konteks juga. Hadis-hadis Nabi yang sampai pada kita adalah kumpulan riwayat pada periode Madinah. Maka dapat dipastikan makna jihad pun identik dengan konteks itu. Sebuah babak yang dipenuhi dengan kecamuk peperangan. Dalam beberapa literatur hadis Nabi, kita tidak akan pernah menemukan hadis-hadis jihad yang bersumber dari periode Makkah. Hilangnya satu periode dari dua periode tersebut menyebabkan pemahaman terhadap doktrin jihad ini “timpang”. Tidak ada jihad non perang sebagai karakter Islam Makkah seperti yang ditujukkan oleh ayat-ayat Al-Quran di atas.
Betapa mudahnya kita akan menjumpai hadis-hadis Nabi yang bisa merangsang dan memerintahkan peperangan. Seperti sebuah hadis riwayat Al-Bukhari nomor 2818, “Ketahuilah sesungguhnya sorga (terletak) di bawah kilatan pedang (al-jannah tahta dzilâl al-suyûf).” Demikian juga hadis-hadis lain yang acap kali dijadikan sebagai kekuatan ideologi kelompok Islam garis keras. Misalnya sebuah kitab yang ditulis oleh Ibn Baththah al-Hanbali, Sab’ûn Hadîtsan fi al-Jihâd (Tujuh puluh Hadis tentang Jihad). Buku ini memuat tentang keutamaan, tatacara, dan sejarah jihad dalam arti peperangan.
Di samping hadis-hadis jihad yang bernafaskan kekerasan seperti di atas, memang ada beberapa hadis Nabi yang berusaha memberikan bentuk jihad non-perang. Tapi jumlah hadis jenis ini bisa dihitung dengan jari. Seperti hadis riwayat Ibn Majah: haji dan umrah adalah jihad yang tidak ada peperangan (jihâd lâ qitâla fîhi). Hadis lain riwayat al-Bukhari dan Muslim, berbakti pada orang tua merupakan jihad. Hadis riwayat Abu Dawud, al-Tirmidzi dan Ibn Majah: kritik yang benar terhadap pemimpin yang zalim termasuk jihad. Hadis riwayat al-Daylami dari Abu Dzar Al-Ghifari, Sebaik-baiknya jihad adalah berjuang melawan hawa nafsu karena Allah. Namun, kumpulan hadis jenis ini, seolah-olah tenggelam dalam timbunan hadis-hadis perang.
Adapun kekurangan ulama klasik Islam, menurut hemat saya, tidak melakukan penelitian secara seksama dan menyeluruh terhadap sejarah dan makna jihad. Mereka lebih menekankan pada konteks “jihad” di Madinah. Sehingga setiap ulama fikih yang mengulas bab jihad dalam karya mereka tidak lebih sebagai pembahasan terhadap peperangan (qitâl) dan harta rampasan perang (ghanîmah) bukan pembahasan yang sempurna tentang jihad.
Tidak ayal lagi, ghanîmah dan hasil-hasil lain yang diperoleh dari wilayah-wilayah yang ditaklukkan setelah peperangan seperti upeti, dan pajak (kharâj) menjadi fokus pembahasan pada ulama fikih. Menurut Muhammad Abid al-Jabiri hal ini disebabkan al-ghanîmah merupakan instrumen ekonomis bagi nalar politik Islam klasik di samping dua instrumen penting lainnya: kabilah dan akidah (2000: 16).
Melawan “Penguncian” Al-Quran
Dari pemaparan di atas, saya hendak menegaskan bahwa arti jihad adalah perjuangan bukan peperangan. Ia bisa mengalami evolusi sesuai dengan konteksnya. Qitalhanyalah salah satu corak dari model jihad yang beragam. Sementara “penguncian” jihad pada makna peperangan merupakan modus penggerusan terhadap keragaman model jihad yang mesti dilawan.
Adapun mengenai ayat-ayat qital, sebagaimana menurut Gamal Al-Banna di atas, merupakan ayat-ayat “situasional”. Maksudnya adalah ayat-ayat sejenis ini tidak bisa dipisahkan dari situasi: sebab-musabab dan tujuan yang melahirkannya. Perang adalah keterpaksaan untuk mempertahankan diri (difâ’ an al-nafs), bukan kebringasan untuk melakukan penyerangan (al-hujûm).
Justeru perang pada era Rasulullah dilegalkan untuk mempertahankan prinsip kebebasan beragama (hurriyah al-‘aqîdah) yang dirongrong oleh kekuatan bersenjata. Bukan seperti dalih para kawanan teroris saat ini yang menggunakan jihad untuk memberhangus prinsip kebebasan beragama ataupun usaha untuk menebarkan bibit-bibit kebencian.
Sudah seharusnya kita melakukan pembebasan untuk melawan modus “penguncian” yang terjadi pada sebagian besar doktrin agama Islam khususnya doktrin jihad ini. Lebih-lebih lagi, doktrin ini sering dijadikan sebagai kekuatan dan penghalalan ideologi terorisme. Adapun “mengunci” jihad hanya pada makna peperangan, ataupun melayangkan sederet cap; kafir, musyrik, murtad, dan sesat secara membabi-buta hanya pada golongan non-muslim atau pada musuh politiknya, merupakan penafsiran yang sewenang-wenang atas nama Tuhan dan Al-Quran. Tuhan tidak butuh jihad ataupun qital agar Dia menjadi Mahakuasa. Pun Al-Quran adalah “kitab terbuka”. Siapapun berhak untuk memahami dan menafsirkan Al-Quran—tidak hanya sekedar membaca dan melagukannya saja. Namun tidak seorang pun memiliki hak dan sedikitpun otoritas untuk “mengunci” makna Al-Quran hanya pada penafsirannya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar