Kamis, 31 Desember 2009

Selamat Menikmati Hidangan Allah


Oleh Muhammad Arifin Ilham


Subhanallah , waktu berlalu demikian cepat. Tahun 2009 segera kita tinggalkan dan kita akan jelang tahun 2010. Sungguh manusia dalam keadaan merugi. Hanya orang beriman yang beruntung. Tapi, beriman saja tidaklah cukup kecuali disertai dengannya amal saleh. Iman dan amal saleh juga tidak cukup, melainkan disertai upaya saling mengingatkan tentang kebaikan dan kesabaran.

Supaya kita termasuk golongan yang beruntung, maka berbagai upaya harus terus dilakukan. Keprihatinan demi keprihatinan dari anak bangsa di republik ini mengharuskan kita untuk melakukan sebuah amal yang bisa menemukan kesejatian nilai dari keberuntungan itu. Dan amal itu tidak lain adalah ajakan untuk berzikir kepada Allah.

Ada banyak hidangan Allah yang akan tersaji untuk mereka yang berzikir. Sajian hidangan Allah ini akan kita nikmati tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat, sebagaimana beberapa dalil berikut. Pertama, ada perintah langsung dari Allah. ''Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dengan sebanyak-banyaknya zikir. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.'' (QS al-Ahzab [33]: 41-42).

Kedua, tergantikannya citra keburukan dengan aneka kebaikan. Sabda Rasulullah SAW, ''Suatu kaum tidak berkumpul di rumah-rumah Allah dan berzikir kepada Allah dengan mengharapkan keridhaan-Nya, melainkan Allah mengampuni segala dosa mereka dan akan mengubah semua kejahatan mereka menjadi kebaikan.'' (HR Imam Ahmad).

Ketiga, orang yang berzikir akan dibersamakan dan selalu mendapat perhatian-Nya dalam kondisi apa pun. Dalam Hadis Qudsi Allah berfirman, ''Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Dan Aku bersamanya selama ia berzikir (mengingat)-Ku.

Jika ia berzikir kepada-Ku secara sembunyi-sembunyi (hanya dalam hatinya saja), maka Aku berzikir tentangnya seperti itu; jika ia berzikir (mengingat)-Ku dalam sebuah majlis, maka Aku pun mengingatnya dalam sebuah mejlis yang lebih baik dari itu (yaitu majelis para malaikat).'' (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Di samping itu, orang yang berzikir dijanjikan ampunan dan pahala besar dari Allah. Rasulullah pun mempersonifikasikan mereka seperti duduk dalam taman surga-Nya, dikelilingi oleh para malaikat, mendapatkan rahmat, dan diberi ketenangan. Bahkan, kelak para penghuni surga dibuat iri karena muka ahli zikir sangat bercahaya.

Allahu akbar, beruntung untuk mereka yang mau menghabiskan di penghujung akhir tahunnya dengan banyak menyebut dan mengingat Allah. Insya Allah di hari-hari berikutnya, di tahun yang segera kita jelang nanti, kita dalam ingatan dan sebutan Allah SWT. Selamat menikmati hidangan Allah SWT

Rabu, 30 Desember 2009

Keutamaan Khudzaifah ibn Al-Yaman



Oleh A Ilyas Ismail


Sahabat Nabi Muhammad SAW yang satu ini, Khudzaifah ibn al-Yaman, memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki sahabat-sahabat yang lain. Diceritakan, kalau duduk di samping orang munafik, Khudzaifah bisa mengendus bau dan aromanya. Oleh sebab itu, Nabi memercayakan kepada Khudzaifah, untuk mengidentifikasi dan mengenali rahasia-rahasia kaum munafik.

Setiap bertemu Khudzaifah, Umar ibn al-Khathab selalu bertanya, ''He, Khudzaifah, apakah engkau mencium aroma kemunafikan pada diriku?'' ''Tidak, ya Umar,'' jawabnya. ''Engkau termasuk salah seorang yang dijamin masuk surga,'' sambungnya lagi. Seakan tak pernah puas, Umar selalu mengajukan pertanyaan yang sama setiap kali berjumpa Khudzaifah, dan Khudzaifah pun menyatakan jawaban yang sama (HR Muslim).

Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari keutamaan Khudzaifah dan kewaspadaan Umar dalam soal ini. Pertama, kita menjadi tahu bahwa iman itu jelas, dan kafir pun jelas, tetapi nifaq (kemunafikan) tidak terlalu jelas alias samar-samar. Terbukti dalam surah al-Baqarah, Allah SWT mengemukakan ciri-ciri orang Mukmin cukup dengan 3 ayat, orang kafir 2 ayat, dan orang-orang munafik 13 ayat (QS al-Baqarah [2]: 1-28).

Kedua, kita merasa kagum dan patut belajar kepada Umar soal kewaspadaannya yang sangat tinggi. Bayangkan, orang sekelas Umar yang mendapat bisyarah (berita gembira) bakal masuk surga, ia masih risau dan khawatir kalau-kalau terserang penyakit nifaq . Kewaspadaan ini penting dan mesti menjadi sikap dan kebiasaan kaum Muslim.

Firman-Nya, ''Dan orang-orang yang telah memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.'' (QS Al-Mu'minun [23]: 60).

Ketika ayat ini turun, Aisyah RA bertanya kepada Nabi, apakah orang yang dimaksud penjahat dan pendosa besar, sehingga merasa ketakutan? Rasul menjelaskan bahwa ia bukan penjahat dan bukan pula pendosa besar. Ia justru orang Muslim yang baik, rajin shalat, puasa, zakat, dan rajin melakukan kebaikan. Ia hanya khawatir kalau-kalau amal dan kebaikannya ditolak oleh Allah. (Ibn Jarir dari Aisyah).

Ketiga, belajar dari keutamaan Khudzaifah dan juga Umar, kita merasa perlu mengasah potensi dan kekuatan ruhani (spiritualitas) kita. Sensitivitas keislaman yang instinktif seperti Khudzaifah dan ketajaman visi dan estimasi seperti dimiliki Umar, sesungguhnya berpangkal pada kekuatan ruhani ini. Kekuatan ruhani sejatinya tidak terbatas, tetapi kita belum mampu menumbuhkan dan mengembangkannya

Berinfak sebagai Gaya Hidup


Oleh KH Didin Hafidhuddin

Salah satu gaya hidup orang yang beriman dan bertakwa, yang membedakannya dengan orang lain, adalah kesediaannya untuk selalu berinfak, mengeluarkan sebagian harta yang dimilikinya bagi kebaikan dan kemaslahatan bersama, dalam segala kondisi dan situasi.

Allah SWT berfirman dalam QS Ali Imran [3]: 133-134, ''Dan bersegeralah dalam mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.''

Orang yang selalu berinfak tidak akan pernah merugi dalam kehidupannya. Allah SWT berfirman dalam QS Faathir [35]: 29-30, ''Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Alquran) dan melaksanakan shalat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi. Agar Allah menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karunia-Nya. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.''

Orang yang selalu berinfak akan memiliki etos kerja sekaligus etika kerja yang tinggi. Artinya, ia hanya akan berusaha untuk mendapatkan rezeki yang halal dan bersih, meskipun menghadapi berbagai macam godaan dan tantangan yang berat.

Berinfak dan bersedekah bukanlah memberikan harta yang jelas-jelas didapatkan dengan cara yang tidak benar, seperti korupsi dan menipu. Akan tetapi, membersihkan harta yang jelas-jelas didapatkan dengan cara halal, agar hak orang lain yang melekat pada setiap harta yang dimilikinya dapat disalurkan kepada yang berhak menerimanya. Allah SWT berfirman, ''Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta.'' (QS Adz-Dzaariyaat [51]: 19).

Infak dari harta yang jelas-jelas didapatkan dengan cara yang tidak benar, tidak akan diterima oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, ''Allah tidak akan menerima sedekah dari harta yang didapatkan dengan cara-cara yang ghulul, seperti menipu.'' (HR Imam Muslim).

Karena itu, menjadikan berinfak sebagai gaya hidup, pada hakikatnya adalah menumbuhkembangkan semangat bekerja yang tinggi di kalangan umat, menjauhkan diri dari kemalasan, sekaligus menghindari perilaku yang merusak kehidupan masyarakat dalam mencari rezeki, seperti korupsi, yang pemberantasannya sekarang sedang digalakkan.

(-)

Memanfaatkan Usia



Oleh Fauzi Bahreisy

Di antara karunia Allah yang paling berharga bagi manusia adalah usia, waktu, dan kesempatan hidup. Dengan ketiga hal itu manusia bisa berkarya, mengukir prestasi, beribadah, dan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Jika orang Barat berkata bahwa waktu adalah uang (time is money ), lalu bangsa Arab mengibaratkan waktu laksana pedang yang jika tidak ditebas ia akan menebas, Islam mengajarkan waktu adalah kehidupan. Menyia-nyiakan waktu berarti menyia-nyiakan kehidupan.

Sumpah Allah dengan keseluruhan waktu menjadi petunjuk atas hal itu. Dalam Alquran Allah bersumpah dengan waktu fajar, Subuh, dhuha, siang, asar, dan malam. Di samping untuk menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya, sumpah Allah dengan waktu merupakan isyarat agar manusia mempergunakan waktu yang dimiliki secara optimal.

Allah berfirman, ''Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, nasihat-menasihati dengan kebenaran, serta nasihat-menasihati dalam kesabaran (QS al-Ashr [103]: 1-3).

Ketika Rasulullah SAW ditanya, ''Siapa manusia terbaik?'' Beliau menjawab, ''Orang yang panjang usianya dan baik amalnya.'' Beliau kembali ditanya, ''Lalu siapa manusia terburuk?'' Jawab Rasul, ''Orang yang panjang usianya tetapi jelek amalnya.'' (HR at-Tirmidzi).

Karena itu, generasi saleh terdahulu begitu menghargai waktu. Usia singkat yang Allah karuniakan pada mereka benar-benar dimanfaatkan untuk amal-amal positif, hingga melahirkan banyak karya yang monumental.

Misalnya, sahabat yang bernama Sa'ad ibn Mu'adz. Ia masuk Islam pada usia 30 tahun dan meninggal pada usia 37 tahun. ''Singgasana Tuhan berguncang karena kematian Sa'ad ibn Mu'adz,'' begitu komentar Rasulullah atas kematian Sa'ad. Meski hanya tujuh tahun bersama Islam, ia telah memberikan kontribusi besar dalam jihad dan dakwah Islam.

Contoh lainnya, Imam Nawawi yang berusia tidak lebih dari 40 tahun, tetapi berhasil menulis sekitar 500 buku. Salah satunya kitab Riyadhus Shalihin yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Lewat karya-karya dan jasa yang ditorehkan itu, hidup mereka membentang hingga akhir zaman, jauh melampaui usia biologisnya.

Mereka itulah teladan umat yang mampu meresapi keluhuran ajaran Nabi SAW dalam sabdanya, ''Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti sehingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa dipergunakan, hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan, serta ilmunya dalam hal apa ia amalkan.'' (Hadis Shahih Riwayat At Tirmidzi dan Ad Darimi)

Senin, 28 Desember 2009

Keutamaan Khudzaifah ibn Al-Yaman


Oleh A Ilyas Ismail


Sahabat Nabi Muhammad SAW yang satu ini, Khudzaifah ibn al-Yaman, memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki sahabat-sahabat yang lain. Diceritakan, kalau duduk di samping orang munafik, Khudzaifah bisa mengendus bau dan aromanya. Oleh sebab itu, Nabi memercayakan kepada Khudzaifah, untuk mengidentifikasi dan mengenali rahasia-rahasia kaum munafik.

Setiap bertemu Khudzaifah, Umar ibn al-Khathab selalu bertanya, ''He, Khudzaifah, apakah engkau mencium aroma kemunafikan pada diriku?'' ''Tidak, ya Umar,'' jawabnya. ''Engkau termasuk salah seorang yang dijamin masuk surga,'' sambungnya lagi. Seakan tak pernah puas, Umar selalu mengajukan pertanyaan yang sama setiap kali berjumpa Khudzaifah, dan Khudzaifah pun menyatakan jawaban yang sama (HR Muslim).

Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari keutamaan Khudzaifah dan kewaspadaan Umar dalam soal ini. Pertama, kita menjadi tahu bahwa iman itu jelas, dan kafir pun jelas, tetapi nifaq (kemunafikan) tidak terlalu jelas alias samar-samar. Terbukti dalam surah al-Baqarah, Allah SWT mengemukakan ciri-ciri orang Mukmin cukup dengan 3 ayat, orang kafir 2 ayat, dan orang-orang munafik 13 ayat (QS al-Baqarah [2]: 1-28).

Kedua, kita merasa kagum dan patut belajar kepada Umar soal kewaspadaannya yang sangat tinggi. Bayangkan, orang sekelas Umar yang mendapat bisyarah (berita gembira) bakal masuk surga, ia masih risau dan khawatir kalau-kalau terserang penyakit nifaq . Kewaspadaan ini penting dan mesti menjadi sikap dan kebiasaan kaum Muslim.

Firman-Nya, ''Dan orang-orang yang telah memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.'' (QS Al-Mu'minun [23]: 60).

Ketika ayat ini turun, Aisyah RA bertanya kepada Nabi, apakah orang yang dimaksud penjahat dan pendosa besar, sehingga merasa ketakutan? Rasul menjelaskan bahwa ia bukan penjahat dan bukan pula pendosa besar. Ia justru orang Muslim yang baik, rajin shalat, puasa, zakat, dan rajin melakukan kebaikan. Ia hanya khawatir kalau-kalau amal dan kebaikannya ditolak oleh Allah. (Ibn Jarir dari Aisyah).

Ketiga, belajar dari keutamaan Khudzaifah dan juga Umar, kita merasa perlu mengasah potensi dan kekuatan ruhani (spiritualitas) kita. Sensitivitas keislaman yang instinktif seperti Khudzaifah dan ketajaman visi dan estimasi seperti dimiliki Umar, sesungguhnya berpangkal pada kekuatan ruhani ini. Kekuatan ruhani sejatinya tidak terbatas, tetapi kita belum mampu menumbuhkan dan mengembangkannya.

Minggu, 27 Desember 2009

Menangislah



Oleh Ali Rif'an

Dalam suatu kesempatan, Rasulullah SAW bersabda, ''Wahai manusia, menangislah! Jika kalian tidak mampu menangis, pura-puralah kalian menangis. Karena sesungguhnya penduduk neraka akan menangis di neraka, hingga air mata tersebut seolah-olah terbentuk aliran sungai di wajah mereka.'' (HR Abu Ya'la).

Secara simplistis, hadis di atas dapat ditafsirkan bahwa menangis di dunia lebih baik daripada menangis di neraka kelak. Menangis merupakan hal yang sering kita jumpai dalam kehidupan ini, bahkan sering kita alami sendiri. Menangis adalah ekspresi seseorang yang menggambarkan suasana hatinya, bisa berupa ekspresi kesedihan ataupun kebahagiaan.

Lantas, menangis seperti apa yang disukai oleh Allah SWT dan memberikan manfaat kelak di akhirat? Tentu menangis karena Allah dan untuk-Nya semata. Rasulullah SAW bersabda, ''Siapa saja yang berzikir kepada Allah kemudian mengalir air matanya hingga menetes ke tanah disebabkan oleh rasa takutnya kepada Allah, niscaya Allah tidak akan menyiksanya pada hari kiamat.'' (HR Al-Hakim).

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali menangis diidentikkan dengan sifat cengeng, rapuh, ataupun lebai. Orang menangis tak jarang dianggap sebagai orang yang lemah pribadi ataupun imannya. Padahal, menangis dalam Islam dapat diartikan sebagai proses ataupun bentuk penghayatan dan pendalaman ibadah yang sedang dilakukan.

Menangis semacam itulah yang sering dipraktikkan oleh para Nabi dan Rasul, serta para ulama dalam mendekatkan diri kepada Sang Khaliq. Jika tangisan tumpah karena Allah, maka ia termasuk perbuatan mulia, sebagaimana sabda Rasul, ''Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah pada saat tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.''

Apa itu? Rasulullah menyebutkan salah satunya adalah seseorang yang berzikir kepada Allah dalam keadaan sunyi dan tiba-tiba meneteskan air mata. Artinya, menangis dalam kesunyian lebih memungkinkan timbulnya keikhlasan dalam diri.

Lain halnya ketika tangisan tumpah di tempat keramaian, atau ketika mendengarkan lagu cengeng, tentu saja tangisan tersebut tidak ditujukan kepada Allah SWT, melainkan lebih disebabkan oleh suasana sedih. Untuk itu, mari kita hiasi mata ini dengan tangisan mesra karena Allah. Tangisan yang akan membawa pada kebahagiaan di akhirat kelak.

Jumat, 25 Desember 2009

Becermin pada Sungai


Oleh Andri Rosadi Lc MA

Adalah suatu fakta sejarah bahwa sebagian besar pusat peradaban kuno berada di tepi atau di antara sungai. Sebagai contoh, peradaban Mesir kuno berkembang di tepi Sungai Nil, dan Mesopotamia berada di antara Sungai Eufrat dan Tigris.

Pun demikian dengan peradaban modern saat ini. Kota-kota besar dunia banyak yang berada di tepian sungai, seperti London yang berada di tepi Thames, Paris di Sungai Seine, dan Jakarta dengan Kali Ciliwungnya.

Sungai adalah faktor penting yang menunjang peradaban manusia. Tak salah jika Alquran menggambarkan keindahan dan kenyamanan surga dengan sungai-sungai yang mengalir (QS Muhammad [47]: 15). Oleh karena itu, kita juga bisa beranalogi bahwa negeri kita yang dialiri oleh ratusan sungai besar dan kecil merupakan gambaran surga dunia.

Sungai yang jernih merupakan tanda dari sehatnya lingkungan dan masyarakat. Sebaliknya, kerusakan sungai menunjukkan terjadinya kerusakan lingkungan akibat perilaku warga masyarakat maupun kebijakan pemerintah yang tidak ramah lingkungan.

Jika sungai merupakan indikator ketenteraman di surga, maka kita juga harus kembali merenung apakah sungai yang ada di sekitar kita berada dalam kondisi terbaik, mengalir lancar, dan jernih seperti gambaran di surga? Jika tidak, apakah hal itu disebabkan oleh perubahan alam atau lebih karena perilaku kita?

Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa sungai yang sehat merupakan indikator dari terjaganya keseimbangan alam di sekitarnya. Jika sungai tidak lagi mampu menampung volume air yang mengalir, itu menandakan telah terjadi ketimpangan di sekitarnya, baik karena penggundulan hutan maupun karena banyaknya volume sampah yang dibuang masyarakat ke dalamnya.

Ketidakseimbangan tidak akan pernah mampu melahirkan ketenteraman dan kebahagiaan, sebab ketidakseimbangan berlawanan dengan hukum kosmos yang berdiri di atas keseimbangan. Alquran secara tegas menyatakan bahwa langit didirikan atas dasar prinsip keseimbangan tersebut seraya memperingatkan manusia agar tidak melanggar asas keseimbangan tersebut (QS Ar-Rahman [55]: 7-8).

Dari langit hingga timbangan seorang pedagang kecil didasarkan pada asas keseimbangan. Siapa pun yang mencoba melawan hukum keseimbangan itu, apa pun alasannya, termasuk demi pembangunan, akan menuai akibatnya.

Ketidakseimbangan alam yang tecermin dari kondisi sungai akan mendatangkan bencana tidak hanya bagi warga sekitarnya, tapi juga seluruh makhluk hidup yang ada di kawasan tersebut. Sungai adalah cermin, maka hadapkanlah hati dan pikiran yang jernih pada cermin tersebut agar keseimbangannya tetap te

Rabu, 23 Desember 2009

Becermin pada Sungai


Oleh Andri Rosadi Lc MA

Adalah suatu fakta sejarah bahwa sebagian besar pusat peradaban kuno berada di tepi atau di antara sungai. Sebagai contoh, peradaban Mesir kuno berkembang di tepi Sungai Nil, dan Mesopotamia berada di antara Sungai Eufrat dan Tigris.

Pun demikian dengan peradaban modern saat ini. Kota-kota besar dunia banyak yang berada di tepian sungai, seperti London yang berada di tepi Thames, Paris di Sungai Seine, dan Jakarta dengan Kali Ciliwungnya.

Sungai adalah faktor penting yang menunjang peradaban manusia. Tak salah jika Alquran menggambarkan keindahan dan kenyamanan surga dengan sungai-sungai yang mengalir (QS Muhammad [47]: 15). Oleh karena itu, kita juga bisa beranalogi bahwa negeri kita yang dialiri oleh ratusan sungai besar dan kecil merupakan gambaran surga dunia.

Sungai yang jernih merupakan tanda dari sehatnya lingkungan dan masyarakat. Sebaliknya, kerusakan sungai menunjukkan terjadinya kerusakan lingkungan akibat perilaku warga masyarakat maupun kebijakan pemerintah yang tidak ramah lingkungan.

Jika sungai merupakan indikator ketenteraman di surga, maka kita juga harus kembali merenung apakah sungai yang ada di sekitar kita berada dalam kondisi terbaik, mengalir lancar, dan jernih seperti gambaran di surga? Jika tidak, apakah hal itu disebabkan oleh perubahan alam atau lebih karena perilaku kita?

Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa sungai yang sehat merupakan indikator dari terjaganya keseimbangan alam di sekitarnya. Jika sungai tidak lagi mampu menampung volume air yang mengalir, itu menandakan telah terjadi ketimpangan di sekitarnya, baik karena penggundulan hutan maupun karena banyaknya volume sampah yang dibuang masyarakat ke dalamnya.

Ketidakseimbangan tidak akan pernah mampu melahirkan ketenteraman dan kebahagiaan, sebab ketidakseimbangan berlawanan dengan hukum kosmos yang berdiri di atas keseimbangan. Alquran secara tegas menyatakan bahwa langit didirikan atas dasar prinsip keseimbangan tersebut seraya memperingatkan manusia agar tidak melanggar asas keseimbangan tersebut (QS Ar-Rahman [55]: 7-8).

Dari langit hingga timbangan seorang pedagang kecil didasarkan pada asas keseimbangan. Siapa pun yang mencoba melawan hukum keseimbangan itu, apa pun alasannya, termasuk demi pembangunan, akan menuai akibatnya.

Ketidakseimbangan alam yang tecermin dari kondisi sungai akan mendatangkan bencana tidak hanya bagi warga sekitarnya, tapi juga seluruh makhluk hidup yang ada di kawasan tersebut. Sungai adalah cermin, maka hadapkanlah hati dan pikiran yang jernih pada cermin tersebut agar keseimbangannya tetap terjaga.

Senin, 21 Desember 2009

Hijrah

Oleh Ahmad Soleh

Hijrah bermakna pindah atau berubah. Secara historis, hijrah merupakan perpindahan Nabi SAW dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah.

Hal ini digambarkan oleh Alquran, ''Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.'' (QS Al-Anfal [8]: 30).

Prof Dr H Djamaluddin Darwis mengungkapkan, hijrah Rasul ini menggambarkan penyatuan teori dan praktik dalam Islam; antara akidah dan amal, batin dan lahir, langit dan bumi, sebagaimana telah disatukannya periode Makkah yang menanamkan nilai-nilai tauhid, dan Madinah yang menekankan amal dan praktik Islam.

Dengan demikian, hijrah bukan hanya peristiwa perpindahan individu atau kelompok dari tempat yang tidak aman ke tempat yang lebih aman. Lebih dari itu, hijrah memiliki dimensi penjabaran yang luas dan dahsyat, yakni meliputi hijrah i'tiqadiyyah , hijrah fikriyah , hijrah syu'uriyah , dan hijrah sulukiyah .

Hijrah i'tiqadiyyah adalah perpindahan dari keyakinan yang salah, rapuh, dan sesat kepada keyakinan yang benar, kokoh, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Hijrah i'tiqadiyah menjadi sebuah keharusan bagi tiap Muslim, sehingga ia terbebas dari unsur-unsur syirik.

Hijrah fikriyyah adalah perpindahan pemikiran yang menyimpang dan kufur kepada pemikiran sehat, lurus, dan Islami. Dunia ini sebenarnya merupakan tempat berlangsungnya perang pemikiran, antara pemikiran yang berpihak pada kebenaran melawan kebatilan.

Hijrah fikriyah menemukan relevansinya pada saat ini mengingat derasnya arus pemikiran modern yang cenderung materialistis yang mampu menyeret orang Muslim ke jalan yang menyimpang dari ajaran agama. Cukuplah bagi seorang Muslim apa yang diarahkan Alquran dan Rasulullah SAW.

Sementara itu, hijrah syu'uriyyah adalah perpindahan cita rasa dan hobi yang melalaikan Allah SWT kepada cita rasa dan hobi yang selalu terpaut dengan-Nya. Hobi yang dapat menjauhkan diri dari Allah misalnya nyanyian-nyanyian yang mengekploitasi keputusasaan, dan pemujaan terhadap materi secara berlebihan.

Dan terakhir adalah hijrah sulukiyyah , yaitu perpindahan tingkah laku, kepribadian (akhlak) yang buruk kepada akhlak yang mulia dan terpuji. Orang yang benar-benar hijrah tidak akan melakukan berbagai tindak amoral dan asusila di masyarakat.

Pendek kata, hijrah terangkum dalam kalimat padat berikut ini, ''Seorang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa saja yang dilarang oleh Allah.'' (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa'i, Ahmad, dan Ibn Hibban).

Minggu, 20 Desember 2009

Spirit Kosmopolitanisme

Oleh: Muhammad Qorib
(Staf Pengajar FAI UMSU Medan)

Pada empat belas abad yang lalu, telah terjadi sebuah peristiwa besar, yaitu hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah. Momen tersebut dinilai sebagai tonggak kebangkitan Islam dan eksistensi agama ini dalam bingkai sejarah baru. Telah banyak kajian yang dilakukan berkenaan dengan peristiwa penting ini.

Tujuannya untuk mengungkap rahasia dan hikmah (wisdom ) yang dapat dijadikan ibrah (pelajaran dan pengalaman) oleh umat Islam dalam upaya meraih kembali kejayaan dan peradaban. Disadari bersama bahwa bereuforia dengan zaman keemasan dan kejayaan masa lalu hanya merupakan pelipur keterpurukan dan penabur mimpi saja bila hal itu tidak disertai dengan upaya melestarikan spirit hijrah.

Oleh karena itu, dalam memperingati, mengenang, dan mengkaji peristiwa ini, hendaklah perhatian setiap Muslim tertuju dan terfokus kepada hikmah dan spirit yang tersirat. Sebisa mungkin, perayaan yang hanya sebatas seremonial formal perlu dihindari.

Hijrah Nabi SAW itu merupakan peristiwa sangat heroik dan fenomenal. Dalam hijrah, Nabi SAW yang ditemani sahabatnya, Abu Bakar, tampil sebagai pemimpin yang sukses menciptakan strategi pemikiran dalam memecahkan situasi yang sangat sulit.

Bahkan, Muhammad Husain Haikal dalam bukunya Hayatu Muhammad melihat hijrah sebagai kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya demi kebenaran dan keyakinan. Adegan demi adegan yang dilakoni Nabi SAW dan Abu Bakar menyiratkan sebuah kosmopolitanisme peradaban yang sedang diletakkan Nabi SAW di Semenanjung Arabia.

Kosmopolitanisme tersebut dipoles dengan nilai-nilai universal yang tertancap dalam seluruh ajaran Islam. Peristiwa hijrah, yang oleh Umar bin Khattab dijadikan sebagai titik awal tahun Islam, telah melompatkan ruang kesadaran umat Islam dalam menciptakan peradaban agung.

Kalau di Makkah Nabi SAW lebih banyak disibukkan oleh berbagai konflik dengan kaum Quraisy Makkah; di Madinah Nabi SAW memulai babakan kehidupan baru dalam menata kehidupan sosial, politik, dan kenegaraan. Nabi SAW membuat persaudaraan antarumat Islam, mencipta Piagam Madinah ( Miytsaq al-Madinah ) untuk membangun harmoni sosial dengan seluruh suku dan agama di Madinah, dan mengubah nama Yatsrib (agraris) menjadi Madinah (peradaban).

Seluruh adegan sejarah yang dijalankan Nabi SAW mencerminkan sebuah kosmopolitanisme peradaban tercanggih yang oleh Robert N Bellah dalam bukunya Beyond Belief dikatakan modern, bahkan terlalu modern untuk ukuran Timur Tengah waktu itu.

Kosmopolitanisme peradaban Islam muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas politik. Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yakni kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad.

Dalam konteks inilah, warisan Nabi SAW dalam penciptaan peradaban Madinah menjadi dasar utama lahirnya kosmopolitanisme peradaban Islam. Pernyataan Bellah yang menyebut Madinah sebagai kota modern, bahkan sangat modern untuk ukuran zaman waktu itu, karena kondisi sosiologis-geografis waktu itu, struktur Timur Tengah belum mampu menopang struktur kosmopolitan Madinah yang ditampilkan Nabi Muhammad.

Tak salah juga kalau sejarawan agung Arnold J Toynbee menyebut peradaban Islam kala itu sebagai oikumene (peradilan dunia) Islam. Oikumene Islam ini, lanjut Toynbee, adalah salah satu di antara enam belas oikumene yang menguasai dunia. Jejak kosmopolitanisme peradaban Islam dalam membentuk pencerahan di Timur Tengah menjadi jejak utama lahirnya pencerahan di Barat kemudian.

Watak-watak Islam yang terbuka, toleran, moderat, dan menghargai keragaman umat manusia menjadi ciri utama umat Islam dalam merumuskan sebuah peradaban agung. Lahirlah para arsitek masa depan Islam yang menciptakan ragam keilmuan yang terbentang lebar: ada fisikawan, astronom, dokter, filosof, dan sebagainya.

Uniknya, di samping mereka menguasai ragam keilmuan yang terbentang luas, para inteligensia Muslim juga menjadi agamawan yang hafal Alquran dan hadis, ahli tafsir, ahli fikih, dan bahkan ahli tasawuf, seperti al-Ghazali, al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusd, dan sebagainya. Perkawinan kuat antara tradisi ilmuwan dan ulama melahirkan para sosok cerdas yang selalu mencerahkan.

Kontekstualisasi semangat hijrah
Jalan kosmopolitanisme peradaban Islam yang diwariskan Nabi Muhammad dan para pemikir Islam harus diteruskan sepanjang masa dan di mana saja, termasuk di Indonesia. Umat Islam Indonesia harus berperan aktif mewujudkan jejak kosmopolit tersebut, yakni dengan mengusung spirit keterbukaan lintas peradaban.

Dalam spirit inilah, akan lahir sebuah pemahaman baru yang kritis, progresif, dan visioner. Spirit tersebut dapat menjadi energi positif bagi bangsa ini untuk perbaikan menuju negeri yang baldatun thayyibatun warabbun ghofuur . Belajar dari kasus pembangunan masyarakat Madinah oleh Nabi Muhammad, kita pun dapat mencontohnya untuk memperbaiki bangsa dan negara ini di masa mendatang. Setidaknya, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian kita bersama.

Pertama, usai reformasi, dengan tumbuhnya sistem politik multipartai, ada fenomena yang harus diwaspadai, yaitu retaknya rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa dan negara. Ini karena semangat berpartai yang eksesif akan mengarah pada lahirnya virus primordialisme dan sikap partisan.

Jika kecenderungan ini terus menguat, kita akan sulit untuk fokus dan bersatu menghadapi problem bangsa yang lebih besar. Kedua, timbulnya sikap keberagamaan yang eksklusif. Dalam konteks ini, agama tidak bisa menjadi instrumen perekat persaudaraan, apalagi mempererat rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Karena, sikap seperti ini menganggap agama lain adalah rival, bukan sahabat di dalam proses pembangunan.

Ketiga, tumbuhnya sikap-sikap kedaerahan atau sukuisme. Kita melihat, suasana otonomi daerah (otda) seperti sekarang ini justru bisa menjadi kendala tersendiri bagi terciptanya persatuan bangsa dan negara ini. Sikap-sikap seperti ini juga menimbulkan tumbuhnya KKN dan beragam deviasi sosial lainnya.

Untuk itu, selayaknya semangat otda yang berlebihan ini mulai ditinjau ulang atau mungkin sudah dianggap cukup, terutama untuk pemekaran daerah. Keempat, solidaritas sosial. Masyarakat yang dibangun Nabi SAW di Madinah mencerminkan perhatian yang begitu besar terhadap nasib rakyatnya.

Tanpa pandang bulu, Nabi SAW memberikan santunan secara fisik material dan mental spiritual kepada setiap penganut agama dan etnik Madinah. Dalam konteks kehidupan kita, semangat ini perlu untuk kita pertahankan, di mana kebijakan-kebijakan yang ada harus berpihak kepada wong cilik , dalam bahasa Murtadha Muthahhari disebut kaum Mustadh'afini .

Spirit kosmopolitanisme peradaban yang ditancapkan Nabi SAW di Madinah harus kita jadikan modal penting dalam mencipta babak baru kebudayaan dan peradaban di Indonesia. Karena, Indonesia sekarang sedang kehilangan jangkar nilai yang dapat dijadikan sandaran dalam penciptaan kreasi kebudayaan dan peradaban sehingga bangsa Indonesia mampu menapaki jalan pencerahan di masa depan. Dengan demikian, Indonesia diharapkan bisa bersaing dan sejajar dengan negara-negara modern di dunia. Wallahualam .

Krisis Dubai dan Keuangan Syariah

Oleh Adiwarman A Karim


Dubai memang bukan Indonesia. Menyamakan krisis yang terjadi di Dubai dengan krisis yang terjadi di Amerika Serikat tentu sangat tidak tepat. Memprediksi krisis Dubai akan menjadi fenomena umum pada industri keuangan syariah atau menganggapnya sebagai awal dari gagalnya industri syariah adalah sama salahnya.

Dubai hanya sebuah kota kecil di Uni Emirat Arab dan skala ekonominya pun jauh lebih kecil dibandingkan Amerika Serikat. Oleh karena itu, menyamakan krisis Dubai dengan krisis Amerika Serikat sungguh jauh api dari panggang.

Instrumen syariah hanya merupakan bagian kecil, bahkan sangat kecil, dari keseluruhan utang Dubai World. Oleh karena itu, menyimpulkan krisis Dubai sebagai awal gagalnya industri syariah juga keliru besar. Bila Indonesia secara umum dan secara khusus industri keuangan syariah Indonesia tidak banyak terpengaruh akibat krisis Amerika Serikat beberapa waktu lalu; memprediksi krisis Dubai akan banyak memengaruhi industri keuangan syariah Indonesia, jelas terasa berlebihan.

Ketika harga minyak melonjak, Dubai dan banyak negara Timur Tengah tiba-tiba kebanjiran likuiditas. Ekses likuiditas inilah yang mendorong pembangunan properti secara ambisius di Dubai. Dalam pelaksanaannya, Dubai ternyata dapat melakukan pembangunan itu tanpa harus menghabiskan ekses likuiditasnya karena pembangunan itu dapat dilakukan dengan menerbitkan surat berharga, sebagian besar surat berharga konvensional, dan sebagian kecilnya syariah. Sehingga, dari sisi penawaran, ekses likuiditas belum terserap habis.

Properti yang memang menjadi landmark dunia itu banyak dibeli oleh investor domestik dan terutama oleh investor asing. Dalam pelaksanaannya, para pembeli properti ini tidak membayarnya secara tunai karena memang lazimnya pembelian properti dilakukan secara cicilan. Sehingga, dari sisi permintaan, ekses likuiditas juga belum terserap.

Adanya kelebihan likuiditas dari sisi penawaran dan sisi permintaan ini telah mendorong pemilik dana mencari instrumen investasi lain. Naiknya harga minyak ternyata mendorong mereka untuk membeli minyak secara forward , yaitu membeli minyak dengan membayar saat ini dan akan diserahkan pada masa mendatang. Pada praktiknya, minyak itu akan dijual lagi sebelum jatuh tempo masa penyerahannya.

Fenomena baru ini telah mengubah penentuan harga minyak dunia. Sebelumnya, harga minyak mengikuti siklus sektor riil, ketika musim dingin harga minyak naik, ketika perang harga minyak naik. Jadi, harga minyak ditentukan oleh faktor-faktor di sektor riil. Pasar forward minyak memang telah ada. Namun, karena volumenya jauh lebih kecil, harga forward minyak menggunakan harga minyak riil sebagai benchmark .

Dengan banjirnya kelebihan likuiditas ke pasar forward minyak, harga minyak forward menjadi lebih dominan dalam penentuan harga minyak dunia. Ketika harga minyak forward telah jauh di atas harga minyak riil, pasar melakukan koreksi. Koreksi ini ikut memperparah krisis Amerika Serikat dan sekarang imbasnya terasa di Dubai.

Investor Dubai sebagian besar investor besar dan instrumennya relatif sophisticated . Sangat berbeda dengan nasabah Indonesia yang sebagian besar nasabah kecil, bahkan sangat kecil dan instrumennya sangat sederhana.

Bank syariah terbesar di Indonesia memiliki nasabah simpanan sejumlah 1,35 juta dan enam puluh persen di antaranya mempunyai saldo simpanan di bawah satu juta rupiah. Nasabah debitur bank itu hanya 75 ribu dan sebagian besar bersaldo di atas satu juta rupiah. Hampir seluruh dana disalurkan di dalam negeri. Profil nasabah ini menjadi profil umum di seluruh bank syariah di Indonesia.

Perbedaan yang sangat mendasar antara Dubai dan Indonesia ini yang menyebabkan kita tidak perlu khawatir berlebihan bahwa apa yang terjadi di Dubai akan terjadi pula di Indonesia. Mengharapkan kelebihan likuiditas di Dubai dan Timur Tengah akan mengalir deras ke Indonesia sebagai reaksi krisis Dubai, juga berlebihan. Dubai mempunyai country risk yang berbeda dengan country risk Indonesia.

Investor dengan visi investasi jangka panjang akan lebih memilih Indonesia atau Cina atau India karena kekuatan konsumsi domestik dan sumber daya alamnya. Investor dengan visi investasi jangka pendek akan lebih memilih investasi dalam instrumen keuangan karena sifatnya yang likuid dan imbal hasil yang tinggi.

Ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, pertumbuhan ekonomi Madinah memang tidak sebesar ekonomi Makkah yang memang sejak lama menjadi pusat dagang. Namun, dalam waktu singkat, ekonomi Madinah tumbuh sangat cepat. Pertama, karena meningkatnya populasi sehingga naik pula konsumsi penduduk Madinah. Kedua, karena banyaknya tanah kosong yang digarap oleh kaum Muhajirin sehingga produksi pun naik signifikan.

Banyak pihak mengharapkan Indonesia menjadi contoh keberhasilan ekonomi syariah sebagaimana bangkitnya ekonomi Madinah. Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Pemimpin masa depan akan datang dari Timur,'' dan bukankah Indonesia terletak di timur Makkah serta bukankah kita bangsa yang dipilih Allah menjadi umat Islam terbesar di dunia?

(-)

SDM Unggulan

Oleh Fauzi Bahreisy

Suatu ketika, khalifah Umar bin Khathab RA duduk bersama para sahabatnya. Ia berkata kepada mereka, ''Berangan-anganlah kalian!'' Salah seorang dari mereka berkata, ''Aku berangan-angan seandainya rumah ini dipenuhi oleh emas untuk aku infakkan di jalan Allah.'' Umar lalu berkata, ''Berangan-anganlah (lagi) kalian!'' Yang lain berkata, ''Aku berangan-angan sekiranya rumah ini dipenuhi dengan permata agar bisa ku infakkan di jalan Allah dan bersedekah dengannya.''

Lalu Umar berkata lagi, ''Berangan-anganlah (lagi) kalian!'' Mereka lalu berkata, ''Kami tidak tahu lagi apa yang harus kami katakan wahai Amirul Mukminin.'' Umar berkata, ''Aku justru berangan-angan andaikan ada orang-orang seperti Abu 'Ubaidah bin Al-Jarrah, Mu'adz ibn Jabal, dan Salim Mawla Abu Hudzaifah, agar aku dapat meninggikan kalimat Allah dengan bantuan mereka.''

Apa yang dikatakan oleh Khalifah Umar sangat tepat dan bijak. Ia memahami apa yang paling dibutuhkan oleh umat Islam pada saat itu. Kekayaan alam dan kekuatan finansial memang sangat dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran. Namun, semua itu menjadi kurang berarti manakala tidak didukung oleh sumber daya manusia (SDM) unggulan.

Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa umat Islam diberikan karunia oleh Allah berupa sumber daya alam yang luar biasa melimpah. Paul Schmid berkata dalam bukunya bahwa Islam berpotensi menjadi kekuatan masa depan lantaran memiliki tiga hal: (1) Ideologi dan ajaran yang dimilikinya, (2) potensi kekayaan alam (hewani, nabati, dan mineral) yang demikian berlimpah; (3) fertilitas pemeluknya atau jumlah umat Islam yang terus-menerus mengalami peningkatan signifikan.

Namun, sampai saat ini potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal lantaran masih minimnya jumlah SDM. Kekayaan tambang, mineral, nabati, dan hewani belum tertangani secara baik sehingga dimanfaatkan dan dieksploitasi oleh bangsa lain. Jumlah umat Islam yang besar pun belum terlalu diperhitungkan oleh umat lain.

Dari sini, perkataan Umar bin al-Khathab di atas menemukan relevansinya. Sekarang yang dibutuhkan oleh umat Islam adalah SDM berkualitas yang dalam istilah agama disebut dengan rijl. Yaitu SDM yang memiliki keimanan kuat, berakhlak mulia, intelek, serta memiliki tekad kuat dan keberanian untuk menegakkan kebenaran.

(-)

Kamis, 17 Desember 2009

Inomara-San dan Dubai

Oleh: Azyumardi Azra


Inomara-san; ini adalah nama Jepang yang mengalami Arabisasi, supaya kedengaran lebih Islami karena mencakup nama 'omar', tetapi tetap bernuansa Jepang. Namun, dia adalah orang asli Jepang yang saya kenal sudah hampir 15 tahun lalu dalam sebuah konferensi di Tokyo. Dalam perjumpaan pertama itu, dia memperkenalkan diri sambil mengucapkan 'assalamu `alaykum', yang dia susul dengan pengakuan bahwa dia sudah memeluk Islam sejak 1991.

Saya berjumpa lagi dengan Inomara-san menjelang akhir November 2009 lalu di Osaka, di sela-sela pertemuan tentang program Asia Public Intellectual (API) yang diselenggarakan Nippon Foundation. Inomara-san yang memakai peci haji terlihat sedikit agak kurus, walaupun jelas tampak sangat sehat.

Berbincang dengan Inomara-san terlihat dia memiliki pengetahuan yang kian mendalam tentang berbagai aspek ajaran Islam. Menurut pengakuannya, di sela-sela kesibukannya sebagai dosen, dia terus memperbanyak bacaannya tentang Islam, yang cukup tersedia dalam bahasa Jepang dan bahasa Inggris. Selain itu, dia juga membaca banyak literatur tentang masyarakat-masyarakat Muslim di berbagai wilayah, yang memungkinkannya mempunyai perspektif sosiologis-komparatif tentang keragaman masyarakat Muslim.

Dalam konteks terakhir ini, Inomara-san sering bersikap kritis. Ia, misalnya, melihat kepincangan-kepincangan yang ada di antara masyarakat Muslim. Pada satu segi, terdapat masyarakat dan negara Muslim yang kaya di Timur Tengah, seperti Arab Saudi dan negara-negara Teluk, terutama berkat minyak; tetapi pada saat yang sama banyak masyarakat dan negara Muslim di Afrika, misalnya, yang berada dalam kemiskinan absolut karena ketiadaan sumber daya alam memadai. Meski negara-negara Muslim miskin ini telah mencapai kemerdekaannya selama puluhan tahun, tidak terlihat banyak perbaikan dalam kehidupan masyarakatnya, karena juga konflik politik yang seolah tidak pernah berakhir.

''Menurut ajaran Islam, kekayaan yang dimiliki negara-negara Muslim yang kaya tersebut semestinya juga disalurkan untuk membantu kaum Muslimin miskin di banyak belahan dunia lain,'' ujar Inomara-san. Menurut dia, bantuan itu tidak mesti dalam bentuk pemberian bahan makanan; tetapi dapat berupa proyek-proyek pembangunan yang dapat memungkinkan terjadinya perkembangan ekonomi. Bahkan, bantuan tersebut juga tidak mesti diwujudkan dalam pemberian hibah (grant), tetapi bisa berupa pinjaman lunak jangka panjang. Dengan begitu, negara-negara Muslim miskin dapat terhindar dari jeratan World Bank, IMF, dan semacamnya. Atau, tergantung hampir sepenuhnya kepada negara dan donor Barat.

''Tapi, dalam kenyataannya, kekayaan tersebut lebih banyak dihabiskan untuk proyek-proyek mercusuar demi menandingi negara-negara yang lebih maju.'' Ia kemudian menunjuk proyek-proyek mercusuar di Dubai guna menciptakan 'dunia fantasi Dubai', yang dapat menyaingi Singapura, misalnya, sebagai pusat keuangan dan jasa dunia. Ambisi dan obsesi ini pada gilirannya mendorong terjadinya 'perlombaan' untuk mewujudkan proyek yang serba 'wah' di kawasan ini.

Bukan hanya itu, perkembangan semacam itu juga menyebabkan terjadinya ekonomi gelembung (bubble economy), yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya 'krisis keuangan' Dubai sejak beberapa pekan terakhir. Hasilnya, meski dibantu dana darurat Abu Dhabi, Dubai tetap harus menjadwal kembali pembayaran pendanaan yang telah dihabiskan untuk berbagai proyek mercusuar, yang sebagian sudah hampir selesai dan sebagian lagi mesti dibengkalaikan, jika tidak dihentikan sama sekali.

Dengan begitu, krisis lebih jauh bisa dihindari sehingga sejauh ini tidak atau belum menjalar ke negara-negara lain, seperti pernah terjadi pada krisis finansial dunia 1997-1998, juga 2008. Inomara-san kemudian bercerita banyak tentang Jepang yang pernah mengalami 'ekonomi gelembung' pada 1990-an. Meski ekonomi Jepang bertahan, sisa bubble economy masih berlanjut sampai sekarang; menimbulkan kesulitan keuangan bagi kelas bawah dan kelas menengah.

Bagi Inomara-san, negara-negara Muslim kaya mestilah memetik pelajaran dan hikmah dari krisis Dubai dan krisis finansial dunia lainnya; dan sebaliknya membangun orientasi baru guna memperbaiki keadaan ekonomi umat Islam di berbagai wilayah dunia. ''Kekayaan alam yang menghasilkan begitu banyak revenue semestinya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk tujuan-tujuan kemanusiaan yang lebih mulia; bukan untuk ambisi dan obsesi yang tidak pernah terpuaskan. Jika tidak, bukan tidak mungkin kekayaan itu menjadi semacam kutukan.
Pandangan-pandangan Inomara-san bagi saya mencerahkan; dan sekaligus merupakan kritisme internal di antara sesama Muslim. Suara semacam itu sebenarnya sudah sering kita dengar dari kalangan Muslim lainnya, termasuk di Indonesia. Sudah waktunya pandangan seperti itu menjadi pertimbangan dan dapat membuka nurani para penguasa negara-negara Muslim kaya.

Hijrah dan Pendidikan Nilai

Oleh: Muhbib Abdul Wahab

(Dosen Pascasarjana UIN Jakarta)


Hijrah secara bahasa artinya meninggalkan dan pindah, baik fisik maupun mental-spiritual. Berpindah menunjukkan adanya dinamika dan transformasi. Manusia perlu hijrah karena perbaikan kualitas hidup menuntut adanya transformasi fisik dan mental-spiritual. Oleh karena itu, di antara ayat yang turun kepada Nabi Muhammad SAW pada awal kenabiannya adalah perintah hijrah. ''Dan, hendaklah engkau hijrah (tinggalkan) dosa besar.'' (QS Almudatstsir [74]: 5).

Bagi Nabi SAW, hijrah bukan hanya merupakan strategi dakwah Islam, tapi juga merupakan pengembangan kecerdasan spiritual dan pendidikan nilai. Sungguh luar biasa kesabaran jiwa Nabi SAW dan para sahabatnya dalam menghadapi berbagai intimidasi, cercaan, makian, boikot, bahkan ancaman pembunuhan terhadap dirinya dari kaum kafir Quraisy.

Sesuai dengan hasil 'permufakatan jahat' di Darun Nadwah tempat berkumpulnya para petinggi Quraisy Abu Jahal telah mengerahkan ratusan pasukan untuk mengepung rumah Muhammad SAW untuk menangkap hidup-hidup atau membunuhnya.

Rencana jahat itu disampaikan oleh Jibril AS kepada Nabi SAW agar pada malam hijrah itu Ali bin Abi Thalib menempati tempat tidur Nabi SAW dan beliau diizinkan untuk berhijrah. Kata Nabi SAW kepada Ali, ''Tidurlah di atas ranjangku dan berselimutlah dengan selimutku yang berwarna hijau ini.''

Pada saat itu, Allah juga menurunkan ayat kepada Nabi Muhammad SAW, ''Dan, ketika orang-orang kafir itu membuat rencana jahat terhadapmu untuk dapat menangkapmu, membunuhmu, atau mengusirmu; mereka merencanakan jahat dan Allah pun membuat rencana serupa. Allah itu Maha Pembuat Rencana.'' (QS Al-Anfal [8]:30).

Pendidikan nilai
Ketika menerima ayat tersebut, Nabi SAW sama sekali tidak panik dan berkecil hati. Nabi SAW meninggalkan kota kelahirannya menuju Yatsrib (Madinah) dengan terlebih dahulu transit selama tiga malam di gua Tsur. Peristiwa transitnya Nabi SAW dalam gua Tsur ini memberi pelajaran bahwa dakwah dan pendidikan Islam harus dikawal dengan penuh perencanaan dan strategi.

Kalau saja Nabi SAW tidak transit, boleh jadi beliau dan Abu Bakar Ash-Shiddiq dapat dikejar dan ditangkap oleh pasukan bayaran Quraisy. Strategi Nabi SAW sangat efektif. Dengan transit ini, beliau dapat melakukan apa yang dalam bahasa militer disebut 'operasi intelijen' melalui Abdullah dan Asma' binti Abu Bakar terhadap pergerakan musuh, sekaligus dapat menambah pasokan logistik karena perjalanan yang ditempuh masih jauh.

Di gua tersebut, sahabat Abu Bakar sempat menangis karena dua hal. Pertama, ketakutan lantaran melihat musuh yang mengintip dari mulut gua. Kedua, kesakitan karena menahan gigitan ular yang ada di salah satu lubang gua. Nabi SAW kemudian membacakan ayat, Jangan engkau bersedih hati. Sesungguhnya, Allah bersama kita. Lalu, Allah memberikan ketenangan kepadanya dan memberikan dukungan berupa tentara yang tidak dapat dilihat. Dan, Allah menjadikan "misi" orang-orang kafir itu rendah (gagal), sementara kalimah Allah itu paling tinggi (unggul) (QS Attaubah [9]: 40).

Dengan demikian, hijrah spiritual mendidik kita untuk tidak takut kepada musuh Islam sebab yang harus dan hanya ditakuti adalah Allah SWT. Pendidikan nilai spiritual semacam ini sangat penting karena sering kali manusia lebih takut kehilangan kedudukan, jabatan, dan kekuasaan daripada takut kepada azab Allah SWT.

Nabi SAW berhijrah bukan untuk melarikan diri, tetapi menyelamatkan visi dan misi Islam sebagai rahmat untuk semua. Oleh karena itu, pesan moral hijrah yang terpenting adalah pendidikan mental spiritual dengan memurnikan tauhid kepada Allah dan sekaligus pembebasan umat manusia dari ketertindasan, kezaliman, dan penjajahan, terutama penjajahan hawa nafsu. Selama prosesi hijrah, Nabi SAW sungguh menampilkan figur teladan dalam mengawal dan menyelamatkan visi dan misi suci Islam dengan penuh amanah dan kecerdasan intelektual, emosional, ataupun spiritual.

Hijrah mendidik umat Islam agar selalu berkomitmen terhadap nilai-nilai heroik. Menjadi Muslim harus siap menjadi pejuang serta penegak kebenaran dan keadilan, di mana pun dan kapan pun. Nilai-nilai heroik dari hijrah tidak hanya tercermin dalam hijrah pertama umat Islam ke Habsyi (yang waktu itu tidak diikuti langsung oleh Nabi SAW), tapi juga terlihat dengan jelas dalam peristiwa hijrah Nabi SAW dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah. Mereka semua rela mengorbankan harta, raga, dan bahkan jiwanya demi kejayaan Islam. Nilai heroik semacam ini sangat penting karena tidak jarang sebagian orang, ketika dihadapkan kepada pilihan perjuangan, yang dicari adalah 'menyelamatkan diri' lebih dulu dan mencari keuntungan (duniawi) yang sebesar-besarnya.

Pendidikan nilai spiritual dan sosial dari hijrah juga tampak dalam regulasi Nabi SAW terhadap masyarakat plural Yatsrib (Madinah). Dengan membangun masjid, sebagai pusat pendidikan nilai dan pemeradaban umat, Nabi SAW melakukan transformasi nilai-nilai spiritual dan sosial. Dengan pembuatan traktat (mitsaq) Madinah, Nabi SAW mengonsolidasikan dan menyatukan potensi dan kekuatan masyarakat. Nabi SAW dan para Muhajirin datang ke Madinah bukan untuk mengekspansi, tetapi memberikan pendidikan nilai berupa pentingnya integrasi berbagai elemen masyarakat sehingga dapat diwujudkan sistem masyarakat dan bangsa yang berperadaban.

integrasi ini terbukti sangat efektif dilakukan oleh Nabi SAW sehingga dalam waktu yang relatif singkat Islam menjelma menjadi sebuah kekuatan politik yang mampu mendamaikan berbagai faksi, etnis, dan suku bangsa yang bertikai serta mewujudkan masyarakat madani yang berkeadilan dan berkesejahteraan.

Peristiwa hijrah juga sarat dengan nilai tauhid dan kemanusiaan. Khalifah Umar ibn al-Khattab memaknai peristiwa ini, antara lain, dengan penetapan kalender Islam (Hijriyyah). Kalender Hijriyyah ini mengandung pesan tauhid yang sangat dalam bahwa nama-nama hari dalam kalender ini dimulai dengan Ahad (Esa),Itsnain (Senin, dua), dan seterusnya. Penamaan hari dalam kalender ini tidak lagi dipengaruhi oleh mitologi Yunani atau Romawi yang sarat dengan kemusyrikan, seperti dalam penamaan Sunday (dewa matahari) untuk hari pertama, Monday (dewa bulan) untuk hari kedua, dan seterusnya.

Hari keenam dinamai Jumat yang berarti pertemuan, konsolidasi, dan persatuan karena umat Islam (lelaki) wajib melakukan shalat berjamaah di masjid. Sedangkan, hari ketujuh dinamai Sabt yang berarti istirahat karena umat Islam diharapkan tidak meniru tradisi Yahudi yang pada hari itu melakukan 'ibadah' dan berdoa di tembok ratapan. Dengan demikian, peristiwa hijrah merupakan proses reformasi tauhid (iman) dan sekaligus transformasi sosial dan kultural kemanusiaan.

Dalam konteks ini, Hannan al-Lahham dalam bukunya, Hadyu as-Sirah al-Nabawiyyah fi al-Taghyir al-Ijtima'i (2002), menyatakan bahwa hijrah yang selalu aktual dan kontekstual adalah hijrah spiritual. Setiap Muslim dituntut mampu melakukan perubahan menuju peningkatan kualitas iman dan takwa: ketakwaan personal dan sekaligus ketakwaan sosial-kultural.

Momentum pergantian tahun baru 1431 Hijriyah sudah semestinya menjadi tonggak perubahan atau transformasi. Sudah saatnya bangsa kita berubah (mengubah diri) dari pemalas menjadi pejuang; dari pecundang menjadi pemenang; dari perusak alam menjadi pemelihara; dari mental dan budaya korup menjadi bermental amanah, jujur, dan bersih. Yang sangat dibutuhkan oleh bangsa kita ke depan adalah membangun karakter (character building) yang tangguh.

Hijrah, menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah, mendidik kita semua untuk tidak menghambakan diri kepada semua tujuan dengan menghalalkan segala cara. Namun, yang menjadi orientasi dan tujuan hidup kita adalah cinta dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Perubahan besar hanya dapat terjadi jika kita telah dengan serius 'menghijrahkan' diri kita dari kondisi 'Jahiliyah' (syirik, termasuk syirik politik, dan kebiadaban) menuju sistem nilai 'Madinah' yang berperadaban dan berkeadaban. Selamat tahun baru Hijriyah 1431 H. Wallahualam.

Hijrah

Oleh Ahmad Soleh

Hijrah bermakna pindah atau berubah. Secara historis, hijrah merupakan perpindahan Nabi SAW dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah.

Hal ini digambarkan oleh Alquran, ''Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.'' (QS Al-Anfal [8]: 30).

Prof Dr H Djamaluddin Darwis mengungkapkan, hijrah Rasul ini menggambarkan penyatuan teori dan praktik dalam Islam; antara akidah dan amal, batin dan lahir, langit dan bumi, sebagaimana telah disatukannya periode Makkah yang menanamkan nilai-nilai tauhid, dan Madinah yang menekankan amal dan praktik Islam.

Dengan demikian, hijrah bukan hanya peristiwa perpindahan individu atau kelompok dari tempat yang tidak aman ke tempat yang lebih aman. Lebih dari itu, hijrah memiliki dimensi penjabaran yang luas dan dahsyat, yakni meliputi hijrah i'tiqadiyyah , hijrah fikriyah , hijrah syu'uriyah , dan hijrah sulukiyah .

Hijrah i'tiqadiyyah adalah perpindahan dari keyakinan yang salah, rapuh, dan sesat kepada keyakinan yang benar, kokoh, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Hijrah i'tiqadiyah menjadi sebuah keharusan bagi tiap Muslim, sehingga ia terbebas dari unsur-unsur syirik.

Hijrah fikriyyah adalah perpindahan pemikiran yang menyimpang dan kufur kepada pemikiran sehat, lurus, dan Islami. Dunia ini sebenarnya merupakan tempat berlangsungnya perang pemikiran, antara pemikiran yang berpihak pada kebenaran melawan kebatilan.

Hijrah fikriyah menemukan relevansinya pada saat ini mengingat derasnya arus pemikiran modern yang cenderung materialistis yang mampu menyeret orang Muslim ke jalan yang menyimpang dari ajaran agama. Cukuplah bagi seorang Muslim apa yang diarahkan Alquran dan Rasulullah SAW.

Sementara itu, hijrah syu'uriyyah adalah perpindahan cita rasa dan hobi yang melalaikan Allah SWT kepada cita rasa dan hobi yang selalu terpaut dengan-Nya. Hobi yang dapat menjauhkan diri dari Allah misalnya nyanyian-nyanyian yang mengekploitasi keputusasaan, dan pemujaan terhadap materi secara berlebihan.

Dan terakhir adalah hijrah sulukiyyah , yaitu perpindahan tingkah laku, kepribadian (akhlak) yang buruk kepada akhlak yang mulia dan terpuji. Orang yang benar-benar hijrah tidak akan melakukan berbagai tindak amoral dan asusila di masyarakat.

Pendek kata, hijrah terangkum dalam kalimat padat berikut ini, ''Seorang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa saja yang dilarang oleh Allah.'' (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa'i, Ahmad, dan Ibn Hibban).

19 Desember, 61 Tahun yang Lalu

Oleh: Ahmad Syafii Maarif


Setelah PKI (Partai Komunis Indonesia) menikam dari belakang Republik Indonesia yang masih sangat muda usia pada 18 September 1948, tiga bulan kemudian pada 19 Desember pasukan kolonial Belanda menghujani Ibu Kota Negara Yogyakarta dengan bom secara beruntun, dimulai dari lapangan terbang Maguo (sekarang Adisutjipto). Suasana sangat kritikal dan berbahaya, tetapi para pemimpin tidak panik.

Presiden Soekarno sekeluarga, beberapa menteri Kabinet Hatta, dan Sutan Sjahrir kemudian terkepung di Istana Negara. Hatta sendiri sebagai perdana menteri merangkap menteri pertahanan sedang beristirahat di Kaliurang.

Tanpa Hatta, sidang kabinet untuk menentukan sikap menghadapi situasi yang lagi gawat tidak bisa dilangsungkan. Bung Karno meminta agar Hatta segera dijemput. Maka, dengan sigap Menteri Negara HB IX (Sri Sultan Hamengkubuwono IX) disertai ajudan segera berangkat ke Kaliurang menjemput Hatta, sekalipun hanya sampai di bagian utara Kota Yogya (kini lokasi kampus UGM), sebab Hatta ternyata telah turun dari kaki Gunung Merapi.

Kemudian, para pemimpin ini langsung ke Istana Negara, tidak jauh dari Keraton Sultan. Sesampainya di istana, Hatta menulis surat kepada Jawaharlal Nehru, sahabat lamanya sewaktu masih di Eropa. Surat ini diantarkan oleh ajudan Arifin ke rumah Yunus, wakil India di Yogya. Kepada Nehru, Hatta menceritakan bahwa Belanda sudah mulai clash militer kedua. (Lih. Mohammad Hatta, Memoir. Jakarta: Yayasan Hatta, 2002, Hlm 541).

Tentang betapa gawatnya situasi ketika itu, kesaksian Ali Sastroamidjojo berikut ini perlu dicatat dan dikenang: 'Kami berkumpul di kepresidenan menunggu dengan kecemasan di dalam hati, apalagi ketika Sri Sultan belum saja kembali dengan Bung Hatta. Dalam pada itu, pesawat-pesawat terbang Belanda sudah mulai beterbangan di atasnya.

Akhirnya, Sri Sultan tiba kembali dengan Bung Hatta. Mereka menerangkan agak terlambat datangnya karena mobil harus dijalankan dengan hati-hati dan perlahan-lahan. Sebab, pesawat-pesawat terbang Belanda sudah berkeliaran di atas jalan Kaliurang ke Yogya.' (Lih. Ali Sastroamidjojo, Tonggak-Tonggak di Perjalananku. Jakarta: PT Kinta, 1974, Hlm 241-242).

Nyawa para pemimpin kita saat itu seolah-olah sudah berada di ujung tanduk dan nasib Indonesia merdeka sungguh dalam taruhan. Belanda yang tidak rela melepaskan Indonesia telah dan akan menempuh berbagai cara dan tipuan, untuk melumpuhkan Republik dalam usia yang baru setahun jagung ini.

Di tengah-tengah kecemasan yang sangat menghimpit, Anda lihat para pemimpin ketika itu sangat kompak. Presiden Soekarno tidak mau mengambil alih posisi Perdana Menteri Hatta dalam keadaan darurat sekalipun. Hatta harus dijemput untuk memimpin sidang kabinet. Dengan nyali seorang pemimpin sejati plus keberanian yang luar biasa, HB IX malah menawarkan diri untuk berjibaku ke Kaliurang dengan segala risiko yang mungkin saja berlaku.

Raja Yogya ini tidak banyak berteori, tetapi memberi contoh dan teladan melalui tindakan yang heroik. Amat disayangkan HB IX tidak pernah diberi peluang untuk menjadi orang pertama di Indonesia, sebagaimana juga Hatta tidak mendapatkan peluang serupa.

Sekiranya diberi kesempatan, siapa tahu Indonesia sekarang tidak lagi dirudung malang ibarat kampung tak bertuan karena pernah dipimpin oleh manusia berkarakter kuat, sigap ambil keputusan di saat-saat genting, dan jujur. Menonton keadaan yang tidak menentu seperti sekarang ini, tak usahlah anda menangis, karena jalan sejarah tidak pernah linear, banyak kelokan, dan korban.

Soekarno, Hatta, HB IX, dan sederetan pemimpin puncak yang lain telah berjuang keras untuk kemerdekaan Tanah Air yang kita warisi sampai hari ini. Tetapi, roh mereka akan meratap dengan suara parau jika warisan mereka berupa kemerdekaan bangsa kita sia-siakan, tidak dijaga dengan baik, demi syahwat kekuasaan dan pragmatisme politik yang tersesat jalan.

Kembali kepada drama 19 Desember 1948. Pagi itu di Istana Negara diadakan Sidang Kabinet untuk membuat keputusan-keputusan penting dalam suasana genting. Di antaranya, karena pasukan pengawal tidak cukup tersedia, Presiden dan Wakil Presiden tetap tinggal dalam kota, sementara Jenderal Sudirman dengan paru-paru satu memilih perang gerilya.

Dan, kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi, diperintahkan untuk membentuk Pemerintah Darurat yang dikenal dengan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dengan mengambil alih pemerintah pusat, yang ternyata berlangsung selama tujuh bulan berikutnya. Dan, pada hari itu juga Yogya jatuh, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, dan beberapa menteri menjadi tawanan Belanda untuk kemudian dibuang ke luar Jawa. Baru awal Juli 1949, mereka kembali ke Yogya dan Sjafruddin menyerahkan mandatnya kembali.

(-)

Dua Entitas yang Menyatu

Oleh KH Didin Hafidhuddin

Baru saja di bulan Dzulhijjah 1430 H ini, dua ratus ribuan kaum Muslimin Indonesia yang bergabung dengan jutaan kaum Muslimin lainnya dari berbagai belahan dunia, telah selesai melaksanakan rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah haji.

Tentu saja harapan mereka dan harapan kita semua, para jamaah haji, akan mendapat predikat ''haji mabrur'', haji yang baik dan bersih yang diterima Allah SWT, yang tidak ada balasannya selain kelak akan mendapatkan surga dari Allah SWT, sebagaimana dikemukakan dalam hadis Rasulullah SAW riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah (Fiqh Sunnah, juz 5 hlm 24).

Inti dari haji mabrur, sebagaimana diungkapkan para ulama, adalah adanya perubahan perilaku ke arah yang lebih positif dan lebih baik, dibandingkan dengan perilaku sebelum ibadah haji An-Yakuuna Ahsana min Qablu wa an Yakuuna Qudwata Ahli Baladihi (hendaknya menjadi lebih baik daripada sebelumnya, dan menjadi tauladan bagi orang-orang di sekelilingnya).

Para jamaah haji semakin taqarrub (dekat) kepada Allah SWT, dengan berbagai ibadah wajib dan sunah, dan semakin dekat serta akrab hubungannya dengan sesama manusia, dengan melakukan berbagai aktivitas sosial kemanusiaan, yang bermanfaat bagi lingkungannya. Berinfak, bersedekah, berwakaf, menolong sesama, bersinergi, dan berkoordinasi dalam kebaikan dan takwa demi kesejahteraan masyarakat, merupakan karakter dan perilaku kesehariannya.

Dalam sebuah hadis marfu' , Rasulullah SAW menyatakan bahwa haji mabrur selalu memberi makan pada orang yang lapar dan selalu berkata dengan perkataan yang baik. Karena itu, bisa dinyatakan bahwa perilaku para jamaah haji yang mabrur itu adalah rombongan kaum Muslimin yang berhijrah (berpindah) dari perilaku yang buruk menuju perilaku yang baik, dan bahkan lebih baik dari sebelumnya, sebagaimana tersebut di atas. Haji mabrur dan hijrah adalah dua entitas yang menyatu pada pribadi Muslim dan Mukmin, sama menyatunya antara iman dengan amal saleh.

Allah SWT berfirman dalam QS Al-Ashr [103] ayat 1-3: ''Demi masa (01) Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian (02) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran (03).''

Sungguh suatu anugerah Allah SWT yang sangat luar biasa, apabila para hujjaj (jamaah haji) tersebut adalah juga para muhajir (orang-orang yang berhijrah) yang memiliki keinginan kuat dan tindakan nyata untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Semoga harapan ini menjadi suatu kenyataan. Insya Allah.

(-)

Belajar dari Masjid


Oleh Amir Syuhada

Kata 'masjid' punya kesamaan akar kata dengan 'sujud', yaitu dari kata sajada-yasjudu. Masjid berarti tempat bersujud. Sujud merupakan rukun dalam shalat yang mencerminkan kekhusyukan dan ketundukan paling sempurna terhadap Allah SWT. Dalam sebuah hadis shahih disebutkan, ''Posisi seorang paling dekat dengan Tuhannya adalah ketika ia bersujud,'' (HR Muslim, Abu Daud, dan Nasa'i).

Dalam kehidupan sosial umat Islam, masjid tidak terbatas hanya untuk shalat, melainkan juga pusat kegiatan keagamaan seperti pengajian, pembelajaran, dakwah, dan distribusi zakat. Oleh karena itu, pembangunan masjid di setiap permukiman penduduk Muslim sangat dianjurkan. Rasulullah SAW bersabda, ''Barang siapa membangun masjid sekecil sarang burung (ikhlas) karena Allah SWT, maka Allah membangun untuknya rumah di surga.'' (HR At Thabrani dan Al-Bazzar).

Ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari masjid. Pertama, masjid mengajari kedisiplinan. Saat azan dikumandangkan, kita harus bersegera ke masjid, kemudian merapatkan shaf sebelum dimulainya shalat, serta mengikuti imam dari awal sampai akhir. Ini semua menyimbolkan budaya tepat waktu, kerja sama, dan taat kepada pemimpin.

Kedua, masjid mengajarkan kebebasan. Yaitu, kebebasan hati di mana kaum Muslimin hanya tunduk kepada Allah SWT, berdoa kepada-Nya, tanpa menyekutukan-Nya. Firman Allah, ''Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka, janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya kecuali menyembah Allah.'' (QS Al Jin [72]:18).

Ketiga, masjid mengajarkan persaudaraan. Lima kali dalam sehari umat Islam saling bertemu, berjabat tangan, mempertautkan hati berdasarkan kesamaan akidah, dan membincangkan beragam urusan. Dari sinilah tercipta ukhuwah Islamiah.

Keempat, masjid mengajari kesetaraan. Tidak ada kesetaraan yang mulia melebihi kaum Muslimin di masjid. Orang dewasa duduk dan berdiri bersama dengan remaja dan anak-anak; yang kaya bersebelahan dengan yang miskin; atasan di samping bawahan; kaum elite bersama orang awam. Semuanya sama derajatnya, hanya ketakwaan yang membedakaan mereka. ''Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.'' (QS Al Hujurat [49]:13).

Begitulah fungsi dan peran masjid dalam pembentukan akhlak dan mental kaum Muslimin. Keberadaannya menjembatani ancaman keretakan dalam ukhuwah dengan merekatkan jurang sosial akibat perbedaan kelas, ras, suku, afiliasi politik, dan sebagainya. Kesadaraan ukhuwah sangatlah penting mengingat modernitas cenderung mengajak semua orang bersikap individualis dan egois.

Sabtu, 12 Desember 2009

Mahma Tubaththin

Ahmad Syafii Maarif


Lengkapnya ungkapan Arab itu berbunyi: Mahma tubaththin tudzhirhu al-ayyam (Apa pun yang anda surukkan, sejarah pasti akan membongkarnya). Saya tak ingat apakah ungkapan ini didapat saat belajar di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Lintau (Sumbar), atau ketika belajar pada Madrasah Mu'allimin Yogyakarta, puluhan tahun yang lalu.

Esensi moral dari ungkapan itu adalah agar orang tidak menyembunyikan sesuatu dengan bungkus dusta atau curang. Sebab, cepat atau lambat, akan terbongkar juga. Jika tidak di dunia, di akhirat semuanya pasti akan digelar di depan Mahkamah Ilahi yang mahaadil, tanpa ada satu kekuatan pun yang mampu menghalanginya. Tetapi, kepercayaan tehadap yang terakhir ini hanya diyakini oleh orang yang beriman, sementara mereka yang berada di luar ranah iman itu tentu tidak hirau dengan serbaakhirat.

Jika ungkapan Arab itu dikaitkan dengan situasi Indonesia yang paling hangat, gambarannya dapat dilihat sebagai berikut. Enam hari setelah kabinet SBY-Boediono dilantik, pada 29 Oktober 2009, polisi menangkap Bibit-Chandra dengan tuduhan menerima suap, kemudian diubah lagi karena menyalahgunakan wewenang dan melakukan pemerasan. Tindakan kepolisian mendapat dukungan kuat dari kejaksaan agung: Bibit-Chandra harus pada akhirnya di bawa ke muka pengadilan, karena kata dua instansi penegak hukum ini buktinya cukup kuat untuk itu. Berminggu-minggu energi bangsa ini tersita oleh pertunjukan drama busuk ini.

Tetapi, yang mungkin berada di luar kalkulasi perekayasa adalah bangkitnya nurani masyarakat luas tanpa dikomando, untuk melakukan protes keras terhadap perlakuan zalim atas diri Bibit-Chandra.

Presiden yang melihat masyarakat menjadi terbelah dan dapat mengundang tindakan liar, membentuk Tim Delapan dengan tugas mengungkapkan fakta di belakang kasus Bibit-Chandra. Tim ini diberi waktu dua minggu sampai dengan 16 November 2009. Juga, di luar harapan perekayasa, tim yang dipimpin Adnan Buyung Nasution ini malah menguatkan simpul-simpul nurani rakyat, yang marah terhadap tindakan kepolisian dan kejaksaan agung.

Tim Delapan sangat dibantu oleh keberanian MK (Mahkamah Konstitusi) yang sebelumnya telah menggelar secara terbuka percakapan seorang super kuat Anggodo Widjojo, dengan para pihak yang disebut dalam rekaman sadapan KPK itu. Akibatnya, bola panas tidak bisa dibendung lagi. Pihak pemerintah yang hadir di forum MK itu seperti orang yang telah kehabisan amunisi untuk berkomentar melalui ucapan ini: ''Apa relevansinya MK menggelar sadapan ini?'' Akibat ucapan semacam ini, posisi pemerintah malah semakin tersudut, seolah-olah tidak rela agar segala kepalsuan dan kebusukan jangan sampai terbongkar. Sedangkan pembela Anggodo, masih memutar otak dengan mempertanyakan, apakah tindakan MK yang menggelar rekaman itu sah atau tidak sah. Adapun munculnya demo-demo yang membela tindakan rekayasa kepolisian, bahkan ada yang meminta agar KPK dibubarkan, tidak perlu dikomentari di sini, karena tidak ada bobotnya.

Kasus Bibit-Chandra ternyata punya ekor panjang yang juga melilit masalah penalangan BI atas Bank Century, yang sebenarnya sudah lama berada dalam kondisi sakit parah. Bukankah penahanan Bibit-Chandra sebenarnya adalah karena kedua pimpinan KPK ini telah mulai bergerak untuk membidik kasus Bank Century? Jusuf Kalla yang tahu persis apa yang sebenarnya terjadi atas penalangan BI terhadap Bank Century memberikan kata putus: ''Perampokan.''

Maka, atas perintah Wapres Kalla yang ketika itu menjalankan fungsi kepresidenan, Komjen SD (Susno Duadji) menangkap RT (Robert Tantular), komisaris utama bank yang sedang sekarat itu. Dalam pembicaraan langsung saya bersama seorang teman di suatu tempat pada 1 Desember 2009, SD dengan bangga mengatakan telah menangkap RT. Sebagai mantan kabareskrim yang kaya informasi, Pansus Angket DPR perlu secepatnya menemui SD dalam rangka membantu melengkapi pencarian fakta tentang perampokan yang memalukan itu.

Akhirnya, apa pun yang anda surukkan atau sembunyikan, cepat atau lambat, pasti akan terbongkar. Janganlah orang dengan mudah mencampuradukkan kebenaran dengan kepalsuan. Dan, mari kita semua jangan mau bersahabat dengan dusta. Aleksandr I Solzhenitsyn, novelis Rusia terkenal, pernah berwasiat: ''Untuk melawan kebobrokan kekuasaan komunisme di Uni Soviet, syaratnya hanya satu: tinggalkan dusta!''

(-)

Menjadi Musafir di Dunia

Oleh KH Ahmad Mukri Aji

Pesona dunia kerap membuat seseorang lupa akan hakikat hidup di dunia. Sehingga, menjadikannya lalai dalam melakukan tugas dan kewajiban sebagai seorang hamba, yaitu beribadah kepada Allah SWT. Padahal, kehidupan dunia tak lebih hanya permainan dan senda gurau belaka (QS Muhammad [47]: 36).

Tak heran bila kemudian Rasulullah SAW selalu mengingatkan umatnya untuk menyikapi hidup di dunia ini sebagai ladang berbekal, dan sebaik-baiknya bekal adalah takwa kepada Allah SWT. (QS Al-Baqarah [2]: 197).

Oleh karena itu, Ibnu Umar RA mengambil wasiat dari Rasulullah untuk menggunakan setiap kesempatan guna berbekal. ''Jika kamu berada di masa sore, jangan menunggu waktu pagi. Dan jika kamu berada di waktu pagi, jangan menunggu masa sore. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.'' (HR. Bukhari).

Menjadikan hidup di dunia hanya sebagai ladang berbekal akan menimbulkan perasaan bahwa hakikat diri adalah asing di dunia dan tidak mungkin menetap selamanya. Diri tidak lagi terpikat pada segala sesuatu yang menggoda di tempat persinggahan sementaranya itu. Hatinya hanya terpaut pada tujuan yang akan menjadi tempat kembalinya kelak. Bahkan, dia akan menganggap dirinya seperti 'musafir' yang ingin terus melanjutkan perjalanan hingga batas akhir tujuan, yaitu kehidupan abadi di akhirat.

Memahami kehidupan di dunia ini layaknya musafir, telah diajarkan oleh Rasulullah melalui sabdanya, ''Aku tidak memiliki kecenderungan (kecintaan) terhadap dunia. Keberadaanku di dalam dunia seperti seorang musafir yang berteduh di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkan pohon tersebut.'' (HR. Tirmidzi).

Oleh karena itu, wajib bagi seorang Mukmin untuk bersegera melakukan kebaikan sebelum dia tidak mampu lagi untuk melakukannya, baik karena menderita sakit atau karena kematian yang menjemput.

Dan di saat manusia terhalang untuk melakukan amal kebaikan, maka yang tersisa hanyalah penyesalan dan kesedihan. Dia hanya bisa berandai untuk kembali sehat atau hidup lagi, padahal harapan itu sia-sia belaka.

Firman-Nya: ''Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka (orang-orang kafir), dia berkata, 'Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal saleh terhadap apa yang telah aku tinggalkan'. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding hingga hari mereka dibangkitkan. (QS Al-Mukminun [23]: 99-100).

Muhasabah


Oleh Ahmad SM


Hari esok adalah hari setelah hari ini. Namun, tak seorang pun mampu menjamin bahwa dia akan sampai pada hari esok. Hari kemarin adalah hari yang sudah jauh meninggalkan kita dan tidak mungkin kembali ditemui. Sementara, perbekalan yang harus dibawa, kebaikan yang dilakukan, serta kelalaian yang dikerjakan harus dievaluasi agar mendatangkan keuntungan.

Muhasabah atau dalam manajemen modern dikenal dengan evaluasi merupakan poin penting dalam setiap hal dan pekerjaan. Lima belas abad yang silam, Islam telah mengingatkan penganutnya untuk selalu mengadakan evaluasi dalam setiap amalan dan perjalanan hidupnya.

''Hasibu anfusakum qabla an tuhasabu, wazzinu anfusakum qabla an tuwazanu'' (evaluasilah diri kalian sebelum kalian dievaluasi dan timbanglah ia sebelum engkau ditimbang). Demikian Amirul Mukminin, Umar bin Al-Khathab mengingatkan para sahabat dan orang-orang setelahnya.

Bahkan, Maimun bin Mahran sebagaimana dikutip Sa'id Hawwa mengatakan, ''Seorang hamba tidak termasuk golongan orang bertakwa sehingga dia menghisab dirinya lebih keras ketimbang muhasabah-nya terhadap mitra usahanya; sedangkan dua orang mitra usaha saling muhasabah setelah bekerja.''

Hisab di akhirat akan menjadi ringan bagi orang-orang yang melakukan muhasabah--mengevaluasi diri--di dunia, dan akan menjadi berat pada hari Kiamat bagi orang yang mengambil urusan ini tanpa muhasabah.

Dalam konteks hidup bermasyarakat, muhasabah jama'i atau evaluasi bersama merupakan tuntutan dan keniscayaan bagi seluruh anggota masyarakat. Karena perbaikan masyarakat tidak bisa dilakukan oleh perorangan atau dikerjakan sebagian kecil warganya, namun harus dilakukan seluruh elemen masyarakat.

''Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.'' (QS Ar-Ra'du [13] : 11).

Kata pengganti nama pada kata anfusihim (diri-diri mereka) dalam surat itu, tertuju kepada qaum/masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan suatu komunitas atau masyarakat tidak bisa terwujud sempurna, kecuali dilakukan oleh seluruh warga masyarakat secara bersama-sama.

(-)

Selasa, 01 Desember 2009

Memaknai (Gelar) Haji



Oleh: Fadly Rahman
(Dosen Sejarah di Unpad)

Di samping makna utamanya sebagai bagian dari rukun Islam yang dijalankan bagi mereka yang mampu secara spiritual, fisik, dan material; ibadah haji merupakan bagian tidak terpisahkan dalam sejarah dan tradisi masyarakat Islam Indonesia. Dalam >Hikayat Hasanuddin yang dikarang sekitar tahun 1700-an, dikisahkan ajakan naik haji Sunan Gunung Jati kepada putranya, Hasanuddin. Ajakan dalam hikayat tersebut menandakan bahwa berhaji sudah mentradisi sejak lampau di nusantara.

Kesan bahwa orang Indonesia yang lebih mementingkan haji daripada bangsa lain pun memang menjadi perhatian menarik sejak lama. Sebagaimana dicatat Martin van Bruinessen dari laporan The Haddj: Some of its Features and Functions in Indonesia -nya Jacob Vredenbregt (1962), pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, jumlah jamaah haji dari Hindia Belanda (baca: Indonesia masa kolonial) berkisar 10 dan 20 persen dari seluruh haji asing meski mereka datang dari wilayah yang secara geografis lebih jauh daripada jamaah haji lainnya.

Malah, pada dasawarsa kedua abad ke-20, jumlahnya mencapai sekitar 40 persen dari keseluruhan jumlah jamaah haji. Tingginya penghargaan masyarakat Indonesia terhadap ibadah haji tampaknya menjadi sebab besarnya angka peziarah ke Tanah Suci itu. Hal ini juga merujuk pada atribut sosial, berupa pencitraan status penunai haji sebagai pribadi lain sesudah dirinya menunaikan salah satu bagian dari rukun Islam itu. Mungkin, semacam pengakuan yang ingin diperoleh setelah menunaikannya. Dan, pandangan macam ini pun memang menggejala sejak lama.

Pada masa abad ke-17, berziarah ke Makkah bagi umat Islam nusantara adalah seperti dikatakan Bruinessen semacam 'pengakuan politis' dan 'sumber ngelmu '. Dibilang begitu sebab para penguasa, seperti dari Banten dan Mataram, punya tradisi unik berziarah atau mengirimkan utusan ke Makkah untuk mencari dukungan supranatural dan meminta gelar sultan dari penguasa Jazirah Arab. Meski sebenarnya tidak ada lembaga resmi yang memberikan pengakuan, apalagi memberikan gelar kepada para utusan dari kerajaan nusantara; tujuan mencari pengakuan ini benar adanya. Mereka memandang syarif besar penguasa wilayah Haramain (Makkah dan Madinah) sebagai penguasa Darul Islam yang dapat memberi berkah melalui pemberian gelar sultan.

Maka itu, para penguasa Islam nusantara menyematkan secara mantap gelar sultan (seperti Sultan Agung dari Mataram atau Sultan Ageng dan putranya Sultan Haji dari Banten). Penyematan gelar seusai menunaikan ibadah haji atau mengirimkan utusan ke Makkah tersebut adalah sebuah budaya yang saat itu melekat di nusantara. Hal semacam itu tidak pernah ditemukan dalam tradisi berhaji di Jazirah Arab sekalipun.

Dalam perkembangannya, pada masa kolonial, pandangan awam terhadap penunai ibadah haji juga memuat kesan agung itu, seperti didapati dari pengalaman Raden Adipati Aria Wiranatakoesoema dalam tulisannya Mijn Reis Naar Mekka (Perjalananku Menuju Makkah, 1925) sebagaimana disinggung Dien M Majid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008). Naik hajinya bupati Bandung itu adalah kesukacitaan tersendiri bagi rakyatnya yang tampak ketika mereka mengantar sang bupati hingga pintu kereta api. Rakyat memandang perjalanan(nya) ke Makkah sebagai perjuangan penuh tantangan dan bahaya, kecil harapan dapat bertemu lagi dengan si penunai ibadah haji apabila Sang Khalik berkehendak mengambilnya. Maka itu, kisah berhaji menjadi perjalanan yang penuh tantangan bagi penunainya.

Selain tantangan, nuansa berhaji masa kolonial sebagaimana dialami Adipati Aria kentara diliputi aspek dan prasangka politis pemerintah terhadap para haji. Sebabnya adalah gerakan Pan-Islamisme yang memunculkan kekhawatiran pemerintah atas berkembangnya pemikiran Islam modern di Hindia. Melalui andil segelintir haji, pemikiran Islam modern digunakan sebagai sarana melepaskan masyarakat dari jerat kolonialisme yang memiskinkan dan membodohkan.

Itulah mengapa, pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, fenomena gerakan sosial yang digerakkan para pemuka agama (haji atau kiai) merebak di berbagai daerah. Dengan penuh pertimbangan politis, pemerintah menerapkan Ordonansi 1859, sebuah pembatasan perjalanan dan monitoring aktivitas jamaah haji. Namun, meski ordonansi itu diterapkan, peran para haji tetap hidup dalam gerakan-gerakan sosial, seperti Arpan (Ciomas), Kasan Mukmin (Sidoarjo), Dermodjojo (Kediri), hingga Haji Misbach (Solo).

Wajar jika masa pergerakan nasional pada awal abad ke-20, atribut 'haji' seperti tersemat pada pelopor nasionalisme: Samanhudi, Agus Salim, dan Oemar Said Tjokroaminoto, sebenarnya lebih pada pengakuan bernuansa politis. Masyarakat masa itu memandang figur-figur haji itu sebagai penyumbang penting tumbuhnya nasionalisme.

Lalu, bagaimana dengan masa sekarang? Tentu, jika dibandingkan masa lalu, pemilik gelar haji masa kini betapa banyak jumlahnya. Namun, hal yang tetap mengakar adalah pencitraan terhadap ibadah haji sendiri secara sosial tetap beroperasi sebagai achieved status bagi si penunainya tentunya dengan konteks berbeda. Gelar haji dan hajjah dengan pencantuman inisial 'H' dan 'Hj' di awal nama seakan tradisi pengakuan yang terkonstruksi secara sosial (atau boleh jadi personal) memaknai haji sebagai serangkaian ibadah dengan gelar sebagai akhir dari pelaksanaannya. Ada yang, misalnya, nyaman membiarkan pencantuman gelar haji di awal nama pada kartu nama hingga kartu undangan pernikahan atau terselip di antara gelar-gelar akademik dan nama.

Barangkali, seperti halnya gelar akademik di mata orang Indonesia, yang dinilai Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya (2000, Jilid I), memuat hubungan dengan status sosial; begitupun gelar haji. Secara ajaib, seakan membuka jalan menuju status 'kebangsawanan' baru. Panggilan 'pak haji' dan 'bu haji' sungguh merupakan fenomena sosial yang unik dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Kebijakan pemerintah sekarang tentu memudahkan siapa pun yang mampu untuk menunaikan haji. Dan, jika berkaca pada figur haji masa silam, pengalaman berhaji masa kini akan lebih bermakna juga jika hakikatnya disalurkan secara sosial untuk membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Hal ini sesuai yang disyariatkan Islam sebagai wujud 'hubungan manusia dengan manusia' ( hablumminannas ) nilai universalitas yang disukai Allah di samping hubungan dengan-Nya ( hablumminallah ) sebagai yang utama. Hakikatnya, tentu saja jauh melebihi sebatas atribut gelar

Sabtu, 28 November 2009

Maslahat dalam Sedekah



Oleh Zaenal Arifin

Semua orang pasti ingin hartanya bertambah. Yang miskin ingin menjadi kaya, dan yang kaya ingin semakin kaya. Allah SWT berfirman, ''Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang.'' (QS Ali Imran [3]: 14).

Namun, keinginan tersebut menjadi negatif jika diwujudkan dengan menghalalkan segala cara, seperti korupsi, menyuap, dan tindakan-tindakan menyimpang lainnya. Untuk menghindari praktik penyimpangan itu, Islam telah menetapkan konsep pengembangan harta yang membawa kemaslahatan individu dan umat, yaitu sedekah.

Allah SWT berfirman, ''Allah akan menghapuskan riba dan meribakan (melipatgandakan) sedekah.'' (QS Al-Baqarah [2]: 276). Dalam ayat lain disebutkan, ''Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menyedekahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.'' (QS Al-Baqarah [2]: 245).

Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bersabda, ''Tidak akan berkurang harta karena sedekah.'' (HR Muslim) Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam dalam kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Muram, menjelaskan setidaknya ada tiga makna yang terkandung dalam hadis di atas.

Pertama, harta yang disedekahkan akan diberkahi Allah sehingga bersih dan berkembang. Kedua, Allah menyediakan pahala yang sangat besar, jauh melebihi nilai materilnya. Dan ketiga, Allah akan mengganti harta yang disedekahkan dengan sesuatu yang sepadan atau bahkan lebih baik dari itu.

Akan tetapi, keutamaan sedekah tidak akan tercapai jika tidak memenuhi beberapa persyaratan, di antaranya: harus dari harta yang halal, tidak menyakiti pihak yang diberi, tidak diungkit-ungkit, serta memberikannya dengan ikhlas.

Pelaksanaan sedekah yang memenuhi persyaratan tersebut akan meringankan beban penderitaan orang-orang yang membutuhkan. Di samping juga memperbaiki kondisi sosial masyarakat dengan cara yang bijaksana. Bukankah kesengsaraan yang terlampau lama seringkali memicu tindak kejahatan. Seperti kata pepatah, ''Bunyi perut yang keroncongan karena lapar lebih nyaring daripada suara hati nurani yang murni.''

(-)

Jumat, 27 November 2009

Solidaritas Idul Adha



H Shobahussurur MA
(Ketua Masjid Agung Al-Azhar)

''Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya, orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus (dari rahmat Allah).'' (QS AlKautsar [108]: 1-3).

Setiap tahun, Idul Adha dirayakan. Sebagian kaum Muslim merayakannya dalam rangkaian ibadah haji di Tanah Suci Makkah. Sebagian yang lain merayakannya di negeri ini dengan rangkaian ritual shalat sunah dua rakaat di tanah lapang atau masjid.

Mereka berduyun-duyun menunaikan ibadah haji hingga kuota yang diberikan Pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia habis, bahkan kurang. Yang berada di Tanah Air juga berduyun-duyun memadati tanah lapang dan masjid untuk melakukan shalat dan mendengarkan khotbah dengan khusyuk. Setelah shalat, mereka menyembelih binatang ternak, kambing, sapi, atau kerbau. Prosesi ritual itu dilakukan dalam rangka mengenang kembali nilai pengorbanan Khalil Allah, Ibrahim AS, dalam memperjuangkan kalimat tauhid dan menegakkan agama yang benar.

Gema takbir, tasbih, tahmid, dan tahlil dikumandangkan di manamana. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. La ilaha illallah, Allahu Akbar. Allahu Akbar wa lillahilhamd.

Ritual Idul Adha tidak dilakukan semata-mata sebagai sebuah rutinitas yang kosong tanpa nilai. Praktik ibadah haji, shalat Idul Adha, dan menyembelih binatang ternak tidak hanya dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun.

Hal itu karena dalam Islam, ritual dimaksudkan sebagai riya'dhah (latihan) yang akan menghasilkan pengaruh bagi kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat. Idul Adha ti-dak hanya dirayakan dan diperingati, tapi diharapkan agar kita dapat memetik makna yang lebih dalam guna memperkokoh aktivitas keberagamaan kita.

Setidaknya, ada dua dimensi yang dapat dimaknai dalam ritual Idul Adha, yaitu dimensi spiritual dan dimensi sosial. Pada dimensi spiritual, Idul Adha berfungsi memperkokoh tauhid, mempertebal iman, dan meningkatkan takwa kepada Allah SWT. Pada dimensi sosial, Idul Adha berfungsi meningkatkan solidaritas, mentradisikan diri untuk berbagi, dan memupuk rasa tolong-menolong.

Sayangnya, dalam kenyataan sosial, kita sering menjumpai umat Islam rajin menjalankan ibadah, tapi kejahatan dan kemaksiatan juga dilakukan. Sering terjadi paradoks yang begitu dalam antara ajaran ideal-normatif Islam dengan kenyataan kehidupan sosiohistoris kaum Muslim. Indonesia diakui sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia dengan ketaatan melakukan ritual yang tinggi. Ironisnya, Indonesia juga diakui sebagai salah satu negara paling korup di dunia.

Tauhid dan pengurbanan

Kalimat takbir, tasbih, tahmid, dan tahlil yang dikumandangkan berulang-ulang akan mempertebal iman kepada Allah SWT. Mengagungkan Allah dengan takbir akan meneguhkan diri bahwa tiada sesuatu yang dapat mengungguli Allah.

Tidak ada yang patut disembah, melainkan Allah. Semua adalah makhluk-Nya yang tidak layak untuk dipuja. Semua problem akan mampu dihadapi karena kebesaran Allah. Dalam tasbih, tahmid, dan tahlil, keimanan dan ketundukan kepada Allah ditingkatkan, dibuktikan, dan diwujudkan. Dialah Allah, Pencipta sekalian alam, Tuhan Yang Maha Esa. Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in (hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta tolong) (QS Alfatihah [1]: 5).

Al-Islam (ketundukan dan kepasrahan) diikuti dengan al-iman (keimanan dalam hati), kemudian di atas fondasi iman itu dibangun alshalihat (kesalihan pribadi dan sosial), dilaksanakan dengan al-ikhlash (ketulusan yang murni) dalam sebuah kesetiaan yang berujung pada al-mahabbah (rasa cinta) yang mendalam kepada Allah. Cinta kita kepada Allah membangkitkan kesadaran loyalitas kepada-Nya. Semakin besar rasa cinta kepada Allah, semakin besar loyalitas dan kesetiaan kepada-Nya.

Salah satu wujud loyalitas itu adalah kesediaan untuk berkurban. Umat Islam dituntut mewujudkannya dalam berbagai bentuk pengurbanan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

Semakin tinggi pengurbanan kepada Allah, semakin tinggi nilai loyalitas kepada-Nya. Sebaliknya, semakin rendah pengurbanan kepada-Nya, semakin rendah pula nilai loyalitas kepada-Nya.

Pengurbanan merupakan salah satu tolok ukur kualitas iman dan takwa kepada Allah. Pengurbanan yang rendah, tidak berkualitas, dan dilakukan dengan setengah-setengah dan asal-asalan menunjukkan rendahnya kualitas iman. Tapi, pengurbanan yang tinggi, berkualitas, dan di-lakukan dengan sungguhsungguh menunjukkan tingginya kualitas keimanan seseorang.

Berkurban sebuah keharusan

Tidak ada cita-cita tanpa pengurbanan. Semakin besar pengurbanan, semakin besar kemungkinan citacita itu dapat diraih.

Begitu pula kiranya makna simbolik perintah Allah kepada Nabi Ibrahim AS untuk mengurbankan putra tercintanya, Ismail. Pengurbanan yang tinggi kepada Allah mengalahkan segala bentuk egoisme. Nabi Ibrahim berhasil meraih citacita yang meneguhkan kalimat tauhid, meneguhkan al-din al-hanif (agama yang lurus), dan menyejahterakan manusia lahir dan batin.

Hakikat kurban bukan pada benda yang diberikan, tapi pada keikhlasan dan kepasrahan. Allah tidak menerima materi kurban yang kita persembahkan.

Nilai kurban bukan pada besar kecil barang yang dikurbankan, bukan pada materi kurban, tapi pada tingkat takwa yang dimiliki oleh orang yang berkurban.

Dalam simbolik kurban, Allah mengajari bagaimana seharusnya proses kurban itu dilakukan. Pertama, memilih binatang sembelihan yang terbaik, misalnya unta yang sehat dan gemuk, sapi, atau kambing. Kedua, memulai menyembelih dengan banyak menyebut nama Allah agar keikhlasan tertanam ke dalam jiwa. Kemudian, mengasah pisau untuk menyembelih agar tidak menyakiti binatang yang disembelih.

Bila kurban itu dalam syariatnya dilambangkan dalam bentuk menyembelih binatang ternak, seperti kambing, sapi, kerbau, atau unta; kurban itu seharusnya dikembangkan dalam pengertian yang lebih luas. Kurban tidak hanya dengan menyembelih binatang ternak dan tidak hanya dilakukan pada waktu Idul Adha.

Umat Islam dituntut untuk melatih diri agar mengurbankan apa saja yang dimiliki dalam rangka cinta dan kesetiaan kepada Allah guna membangun kepentingan agama, meningkatkan solidaritas umat, memperbaiki kehidupan sosial kemasyarakatan, dan menciptakan kesejahteraan seluruh manusia.

Hikmah Misteri Kiamat



Oleh Yusuf Burhanudin

Kiamat dalam tradisi Arab disebut dengan al-qiyamah atau as-sa'ah. Secara bahasa, kiamat adalah bagian waktu dari siang, malam, atau bisa berarti waktu dua puluh empat jam sehari semalam. Sedangkan, menurut syariat, kiamat adalah peristiwa dahsyat hari akhir kehidupan dunia yang mengagetkan semua makhluk karena terjadi secara tiba-tiba dalam satu waktu dan serentak sehingga mampu membinasakan semua makhluk yang ada di langit dan bumi.

Dalam akidah seorang Muslim, peristiwa kiamat termasuk rukun keimanan yang wajib diyakini. Namun, kapan terjadinya tidak ada seorang pun yang tahu, baik manusia biasa, nabi, rasul, maupun malaikat, selain Allah SWT. Bahkan, Rasulullah SAW sebagai orang yang paling dekat dengan Allah dan dibimbing melalui wahyu-Nya tidak tahu kapan kiamat terjadi. Ketika ditanya, beliau menjawab, "Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya."

Allah berfirman, "Mereka bertanya kepadamu tentang kiamat, 'Kapan terjadi?' Katakanlah, 'Sesungguhnya, pengetahuan kiamat ada di sisi Tuhanku. Tidak seorang pun dapat menjelaskan waktu tibanya, selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) di langit dan di bumi. Kiamat tidak akan datang kepadamu, melainkan secara tiba-tiba.' Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah, 'Sesungguhnya, pengetahuan hari kiamat ada di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui'." (QS Al-A'raf [7]: 187).

Dirahasiakannya hari kiamat bukan tanpa hikmah. Menurut Yusuf bin Abdullah Al-Wabil, salah satu hikmah terbesar misteri kiamat adalah munculnya rasa mawas diri dalam hidup seseorang karena meyakini bahwa setiap amal perbuatan, baik dan jahat atau besar dan kecil, akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah di akhirat kelak. Bahwa, kehidupan manusia tidak hanya berlangsung di dunia, melainkan berlanjut abadi hingga akhirat (Asyrath As-Sa'ah, hlm 28).

Firman-Nya, "Pada hari ketika setiap diri mendapati segala kebaikan dihadapkannya, begitu juga kejahatan yang telah dikerjakan, ia ingin kalau kiranya antara ia dan hari itu ada masa yang jauh. Dan, Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-Nya." (QS Ali Imran [3]: 30).

Dengan demikian, dalam akidah Islam, prediksi terjadinya kiamat pada 2012 yang marak dipergunjingkan bahkan menjadi kontroversi publik akhir-akhir ini jelas tidak sesuai dengan ajaran dasar Islam karena mendahului wahyu dan ilmu Allah. Wilayah kiamat adalah domain keimanan, bukan sekadar hiburan dan ramalan

Drama Qurban: Ismail atau Ishaq?


Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Alquran tidak tegas menyebutkan siapa putra Nabi Ibrahim yang disembelih, apakah Ismail atau Ishaq? Sementara dalam hadis dan pendapat sahabat dan tabiin ada yang menyebutkan Ismail ada pula menyebut Ishaq.

Dalam kitab-kitab tafsir juga ada yang menyebut Ismail dan lainnya menyebut Ishaq. Dalam dunia Islam yang masyhur disembelih ialah Ismail sedangkan di dunia Yahudi dan dalam Kitab Perjanjian Lama tegas-tegas disebutkan yang disembelih ialah Ishaq.

Ayat yang berbicara khusus tentang kasus penyembelihan putra nabi Ibrahim ialah QS Al-Shaffat [37]:102-105. Ayat ini mengisahkan bahwa ketika putranya telah mencapai umur baligh, Ibrahim AS bermimpi mendapat perintah untuk menyembelihnya. Ketika itu, anaknya belumlah menjadi seorang nabi. An-Nasafi dan Ibnu Katsir mencatat bahwa putranya kala itu berumur 13 tahun.

Setidaknya, ada beberapa nama sahabat yang meriwayatkan bahwa yang disembelih adalah Ismail. Sahabat-sahabat tersebut adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, dan Abu at-Thufail 'Amir bin Watsilah.

Adapun pendapat kedua yang menyebut Ishaq yang disembelih juga diriwayatkan oleh beberapa sahabat, yaitu: 'Umar bin Khathab, Jabir, al-'Abbas, dan Ka'ab al-Akhbar. Dalam hal ini, sederet mufassir seperti Wahbah az-Zuhaili, ar-Razi, at-Thabrisi, Thabathabai, al-Qurthubi, Ibnu Katsir, Thabathabai, an-Nasafi, Sa'id Hawa', Thahir ibnu 'Asyur dan selainnya menguatkan pendapat pertama.

Ada beberapa argumentasi yang dipaparkan untuk mendukung pendapat pertama itu, yaitu:

Pertama, anak yang menggembirakan Ibrahim untuk pertama kali atas kelahirannya adalah Ismail. Adapun Ishaq lahir setelah Ismail. Dengan demikian, Ismail adalah anak tertua dan yang disembelih. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Ismail dilahirkan, Ibrahim berumur 86 tahun, sedangkan sewaktu Ishaq lahir, Ibrahim berumur 99 tahun.

Kedua, riwayat dari al-Hakim dalam al-Manaqib yang menyebutkan bahwa Nabi SAW bersabda: saya adalah keturunan orang yang disembelih yaitu Ismail yang kemudian lahir Nabi Muhammad melalui jalur Abdullah.

Ketiga, riwayat dari al-Ashma'i bahwa Ismail yang berada di Makkah dan Ishaq tidak pernah di sana. Ismail membangun Ka'bah bersama ayahnya, Ibrahim.

Keempat, Allah menyifati Ismail dengan as-shabr (sabar), sedangkan Ishaq tidak demikian, sebagaimana tertera dalam QS Al-Anbiya' [21]:85, ''Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris, dan Zulkifli, semua mereka termasuk orang-orang sabar.''

Adapun pendukung pendapat kedua bahwa Ishaq yang disembelih mengajukan beberapa alasan, yaitu:

Pertama, pada ayat QS As-Shaffat [37]:99 disebutkan, ''Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.'' Maksudnya ialah Ibrahim berhijrah dari negeri kaum yang telah menyakitinya lantaran fanatik terhadap sesembahan-sesembahan yang berupa patung dan atas kekufuran kepada Allah dan kedustaan pada rasul-rasul-Nya.

Ibrahim hijrah ke Syam. Di sana ia berdoa agar dianugerahi seorang anak saleh yang dapat memotivasinya untuk senantiasa taat kepada Allah. Untuk itu, Allah menggembirakannya dengan seorang anak yang sangat sabar. Anak tersebut, menurut mereka, adalah Ishaq.

Kedua, tulisan Ya'qub ke Yusuf, ''Dari Ya'qub Israil Nabi Allah putra Ishaq yang disembelih Allah putra Ibrahim Khalilullah.''

Ketiga, sebuah riwayat shahih yang bersumber dari Abdullah bin Mas'ud bahwa seseorang berkata kepadanya: ''Wahai anak orang tua yang mulia.'' Abdullah bin Mas'ud berkata: Orang itu adalah Yusuf bin Ya'qub bin Ishaq sembelihan Allah bin Ibrahim Khalilullah 'alaihissalam. (Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, Juz XXIII, h. 126).

Perintah kepada Ibrahim untuk menyembelih anaknya adalah perintah ujian, bukan tasyri' yang dimaksudkan untuk dilihat kesungguhan orang yang diuji dan meneguhkan ketinggian martabatnya dalam menaati Allah. Perintah tersebut diperoleh melalui mimpi.

Lazim diketahui bahwa mimpi para nabi merupakan wahyu. Adapun hikmah adanya semacam 'musyawarah' yang dilakukan Ibrahim terhadap putranya seputar mimpinya itu adalah untuk melihat sejauh mana kesabaran dan ketabahan putranya tersebut dalam menaati perintah Allah.

Dan hikmah terjadinya perintah ini dalam mimpi dan tidak dalam keadaan tersadar atau terbangun bisa dijelaskan dari beberapa sudut pandang, yaitu:

Pertama, perintah ini sangatlah sulit di sisi si penyembelih dan yang disembelih, sehingga dihadirkan dalam mimpi selama tiga malam sebelum dikuatkan dalam kondisi sadar. Dengan demikian, perintah itu tidak langsung diyakini sekaligus tetapi sedikit demi sedikit.

Kedua, Allah menjadikan mimpi para nabi sebagai sebuah kebenaran, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Alquran seperti mimpi Yusuf, Ibrahim, dan Muhammad. Maksud dari mimpi tersebut adalah untuk menegaskan akan kebenaran mereka.

Pasalnya, kondisi yang dialami oleh setiap insan--pada umumnya--adalah tertidur atau tidak tertidur. Jika kedua kondisi tersebut menunjukkan kebenaran, maka itu menjadi bukti nyata bahwa mereka adalah benar dan jujur di setiap keadaannya.

Dari satu sudut pandang, referensi syariah terhadap penyembelihan adalah mimpi. Hanya saja mimpi para nabi pada umumnya benar, apalagi sudah dilegitimasi dalam bentuk wahyu Alquran. Yang dipegang adalah ayatnya, bukan asal-usulnya dari mimpi.

Ketika Nabi Ibrahim berusaha untuk menyembelih anak kesayangannya (Ismail atau Ishaq) akhirnya juga tidak bisa dilaksanakan karena ketajaman pisau tidak sanggup melukai kulit leher anaknya. Akhirnya, malaikat diutus untuk mengganti sembelihan Ibrahim dari putranya ke dalam bentuk seekor kambing.

Dengan demikian, peristiwa hari raya Idul Adha atau Idul Kurban merupakan simbol penghargaan jiwa manusia yang ditebus dengan seekor binatang. Makna simbolik lain yang bisa kita pahami dari peristiwa ini ialah kesediaan seseorang untuk mengurbankan sesuatu yang paling berharga baginya.

Bagi Nabi Ibrahim, putra gantengnya yang sudah lama didoakan keberadaannya diminta untuk dikorbankan pada jalan Allah dan dia pun bersedia dan sudah melaksanakan perintah itu. Bagi kita, boleh jadi sesuatu yang paling kita cintai adalah harta kekayaan, semisal deposito, rumah mewah, dan kekayaan lainnya. Sudahkah kita bersedia melepaskan itu semua ke jalan Allah?

(-)

Al Quran On Line