Kamis, 17 Desember 2009

Inomara-San dan Dubai

Oleh: Azyumardi Azra


Inomara-san; ini adalah nama Jepang yang mengalami Arabisasi, supaya kedengaran lebih Islami karena mencakup nama 'omar', tetapi tetap bernuansa Jepang. Namun, dia adalah orang asli Jepang yang saya kenal sudah hampir 15 tahun lalu dalam sebuah konferensi di Tokyo. Dalam perjumpaan pertama itu, dia memperkenalkan diri sambil mengucapkan 'assalamu `alaykum', yang dia susul dengan pengakuan bahwa dia sudah memeluk Islam sejak 1991.

Saya berjumpa lagi dengan Inomara-san menjelang akhir November 2009 lalu di Osaka, di sela-sela pertemuan tentang program Asia Public Intellectual (API) yang diselenggarakan Nippon Foundation. Inomara-san yang memakai peci haji terlihat sedikit agak kurus, walaupun jelas tampak sangat sehat.

Berbincang dengan Inomara-san terlihat dia memiliki pengetahuan yang kian mendalam tentang berbagai aspek ajaran Islam. Menurut pengakuannya, di sela-sela kesibukannya sebagai dosen, dia terus memperbanyak bacaannya tentang Islam, yang cukup tersedia dalam bahasa Jepang dan bahasa Inggris. Selain itu, dia juga membaca banyak literatur tentang masyarakat-masyarakat Muslim di berbagai wilayah, yang memungkinkannya mempunyai perspektif sosiologis-komparatif tentang keragaman masyarakat Muslim.

Dalam konteks terakhir ini, Inomara-san sering bersikap kritis. Ia, misalnya, melihat kepincangan-kepincangan yang ada di antara masyarakat Muslim. Pada satu segi, terdapat masyarakat dan negara Muslim yang kaya di Timur Tengah, seperti Arab Saudi dan negara-negara Teluk, terutama berkat minyak; tetapi pada saat yang sama banyak masyarakat dan negara Muslim di Afrika, misalnya, yang berada dalam kemiskinan absolut karena ketiadaan sumber daya alam memadai. Meski negara-negara Muslim miskin ini telah mencapai kemerdekaannya selama puluhan tahun, tidak terlihat banyak perbaikan dalam kehidupan masyarakatnya, karena juga konflik politik yang seolah tidak pernah berakhir.

''Menurut ajaran Islam, kekayaan yang dimiliki negara-negara Muslim yang kaya tersebut semestinya juga disalurkan untuk membantu kaum Muslimin miskin di banyak belahan dunia lain,'' ujar Inomara-san. Menurut dia, bantuan itu tidak mesti dalam bentuk pemberian bahan makanan; tetapi dapat berupa proyek-proyek pembangunan yang dapat memungkinkan terjadinya perkembangan ekonomi. Bahkan, bantuan tersebut juga tidak mesti diwujudkan dalam pemberian hibah (grant), tetapi bisa berupa pinjaman lunak jangka panjang. Dengan begitu, negara-negara Muslim miskin dapat terhindar dari jeratan World Bank, IMF, dan semacamnya. Atau, tergantung hampir sepenuhnya kepada negara dan donor Barat.

''Tapi, dalam kenyataannya, kekayaan tersebut lebih banyak dihabiskan untuk proyek-proyek mercusuar demi menandingi negara-negara yang lebih maju.'' Ia kemudian menunjuk proyek-proyek mercusuar di Dubai guna menciptakan 'dunia fantasi Dubai', yang dapat menyaingi Singapura, misalnya, sebagai pusat keuangan dan jasa dunia. Ambisi dan obsesi ini pada gilirannya mendorong terjadinya 'perlombaan' untuk mewujudkan proyek yang serba 'wah' di kawasan ini.

Bukan hanya itu, perkembangan semacam itu juga menyebabkan terjadinya ekonomi gelembung (bubble economy), yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya 'krisis keuangan' Dubai sejak beberapa pekan terakhir. Hasilnya, meski dibantu dana darurat Abu Dhabi, Dubai tetap harus menjadwal kembali pembayaran pendanaan yang telah dihabiskan untuk berbagai proyek mercusuar, yang sebagian sudah hampir selesai dan sebagian lagi mesti dibengkalaikan, jika tidak dihentikan sama sekali.

Dengan begitu, krisis lebih jauh bisa dihindari sehingga sejauh ini tidak atau belum menjalar ke negara-negara lain, seperti pernah terjadi pada krisis finansial dunia 1997-1998, juga 2008. Inomara-san kemudian bercerita banyak tentang Jepang yang pernah mengalami 'ekonomi gelembung' pada 1990-an. Meski ekonomi Jepang bertahan, sisa bubble economy masih berlanjut sampai sekarang; menimbulkan kesulitan keuangan bagi kelas bawah dan kelas menengah.

Bagi Inomara-san, negara-negara Muslim kaya mestilah memetik pelajaran dan hikmah dari krisis Dubai dan krisis finansial dunia lainnya; dan sebaliknya membangun orientasi baru guna memperbaiki keadaan ekonomi umat Islam di berbagai wilayah dunia. ''Kekayaan alam yang menghasilkan begitu banyak revenue semestinya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk tujuan-tujuan kemanusiaan yang lebih mulia; bukan untuk ambisi dan obsesi yang tidak pernah terpuaskan. Jika tidak, bukan tidak mungkin kekayaan itu menjadi semacam kutukan.
Pandangan-pandangan Inomara-san bagi saya mencerahkan; dan sekaligus merupakan kritisme internal di antara sesama Muslim. Suara semacam itu sebenarnya sudah sering kita dengar dari kalangan Muslim lainnya, termasuk di Indonesia. Sudah waktunya pandangan seperti itu menjadi pertimbangan dan dapat membuka nurani para penguasa negara-negara Muslim kaya.

Tidak ada komentar:

Al Quran On Line