Minggu, 28 Februari 2010

Pemimpin yang Memiliki Hikmah

Oleh KH Didin Hafidhuddin

Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah [2]: 269, ''Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).''

Hikmah dalam ayat tersebut berarti kebaikan yang banyak, yang dianugerahkan Allah SWT kepada seseorang sehingga dirasakan manfaatnya, baik oleh diri, keluarga, masyarakat dan bangsa, juga alam semesta. Ayat tersebut menjelaskan pula bahwa orang yang banyak kebaikannya itu termasuk kelompok cendekiawan Muslim (ulil albaab ).

Ternyata kecendekiaan seseorang bukan hanya ditentukan oleh ilmunya yang banyak, tetapi oleh kebaikan-kebaikan dari ilmu tersebut. Demikian pula halnya dengan pemimpin yang memiliki hikmah. Dari kepemimpinannya itu, dapat dirasakan kebaikan, kemaslahatan, dan keadilan oleh masyarakat yang dipimpinnya.

Paling tidak terdapat tiga ciri pemimpin yang memiliki hikmah, sebagaimana dijelaskan para ulama ketika menafsirkan ayat di atas, yaitu: Pertama, kasrotun 'ilmi , atau memiliki berbagai macam pengetahuan. Di antaranya, ilmu yang berkaitan dengan keahlian tertentu; juga ilmu-ilmu humaniora, seperti teknik berkomunikasi dan psikologi massa. Ia menolak hidup mewah, atau memberikan kemewahan pada pembantunya di saat masyarakat sedang mengalami berbagai macam kesulitan hidup.

Kedua, kasrotul hilmi , atau memiliki kesabaran dan kedewasaan yang matang, tidak mudah mengeluh dan tidak mudah menyalahkan orang lain. Pemimpin yang memiliki hikmah justru akan menjawab dan membalas setiap ketidakbaikan dengan kebaikan. Cemoohan dibalas dengan introspeksi diri dan kerja keras untuk membuktikan ketidakbenaran cemoohan tersebut. Itulah pula yang digambarkan Allah SWT pada surah Fussilat [41]: 34-35.

Ketiga, kasrotul unah , atau memiliki kehati-hatian dan kewaspadaan, baik dalam ucapan apalagi tindakan. Ucapannya terukur, jelas, dan gamblang, tidak sembarangan. Demikian pula, tindakannya selalu memerhatikan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Tidak ada jarak antara ucapan dan tindakannya. Semuanya larut dan menyatu dalam kepribadiannya yang utuh dan tangguh.

Pada saat bangsa kita sekarang ini sedang menghadapi berbagai persoalan kehidupan yang kompleks dan berat, keberadaan pemimpin yang memiliki hikmah merupakan sebuah kebutuhan dan keniscayaan, agar harmonisasi kehidupan yang melahirkan ketenangan akan segera bisa diwujudkan. Semoga.

Selasa, 23 Februari 2010

Islam

WORDPRESS

Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Mengapa Tuhan menamai agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW dengan agama Islam? Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari akar kata salima yang berarti selamat, damai, dan bebas. Akar kata yang sama melahirkan beberapa kata yang amat penting dalam Islam, seperti salam (damai), Islam (kedamaian), istislam (pembawa kedamaian), dan taslim (ketundukan, kepasrahan, dan ketenangan).

Allah SWT memberi nama agama yang dibawa oleh Nabi SAW itu dengan agama Islam. Bukan agama salam (kepasrahan tanpa konsep) atau agama istislam (yang lebih mengutamakan kecepatan dan ketegasan dalam memperjuangkan kedamaian dan kepasrahan). Kata Islam itu sendiri mengisyaratkan jalan tengah atau moderat. Dari segi bahasa saja, Islam sudah mengisyaratkan jalan tengah, moderat, dan tentu menolak kekerasan.

Seorang Muslim sejatinya mengedepankan kedamaian, ketundukan, kepasrahan, dan pada akhirnya mengejawantahkan ketenangan lahir batin. Agaknya kurang pas jika panji-panji Islam dibawa-bawa untuk sesuatu yang menyebabkan lahirnya kekacauan dan ketidaknyamanan. Apalagi jika nama Islam digunakan untuk melayangkan nyawa-nyawa orang yang tak berdosa.

Sesuai dengan namanya, Islam adalah agama kedamaian dan agama kemanusiaan. Penggunaan kata Islam dalam Alquran dan hadis sesungguhnya lebih dominan sebagai feminine word ketimbang masculine word. Alquran sendiri lebih menonjol sebagai the feminine book ketimbang the masculine book.

Bahkan, Alquran melukiskan Allah lebih menonjol sebagai The Mother God ketimbang sebagai The Father God. Perhatikan, Alquran selalu mengawali surah dengan kalimat Bismillah al-Rahman al-Rahim yang berarti Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini menggambarkan bahwa Allah lebih menonjolkan Dirinya sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Kini, yang menjadi masalah, mengapa kelompok minoritas Muslim begitu leluasa mengklaim diri dan gerakannya sebagai gerakan Islam, sementara kelompok mainstream Muslim tidak berani menyuarakan kelompok mayoritas. Kini, sudah saatnya mayoritas Muslim bicara dalam upaya menciptakan stabilitas dunia dan umat manusia.

Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah minoritas Islam liberal lebih menekankan Islam dalam konteks salam, yang lebih bersifat substansial dan universal. Sementara itu, kelompok minoritas Islam radikal lebih menekankan Islam dalam konteks istislam yang menuntut adanya intensitas dan semangat akseleratif dalam mewujudkan nilai-nilai dasar Islam. Kelompok mayoritas Islam lebih menekankan Islam konteks Islam yang menekankan aspek kemanusiaan manusia.

Monopoli Penafsiran

BLOGSPOT

Oleh: Abdullah Hakam Shah MA

Banyak hal getir dalam sejarah umat Islam. Tapi, kalau kita bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, maka yang paling getir adalah monopoli penafsiran teks-teks agama oleh para penguasa.

Pada tahun 820-an M., khalifah ketujuh Dinasti Abbasiyah, al-Ma'mun, menganut pemikiran kelompok Mu'tazilah bahwa Alquran adalah makhluk; diciptakan dan tidak azali. Namun, Ahmad bin Hanbal berpandangan lain: Alquran adalah kalam Allah, yang menyatu dengan Zat-Nya. Karena itu, Alquran tidak sama dengan bumi atau ciptaan Allah yang lain. Ia adalah abadi dan azali.

Yang direkam oleh para sejarawan bukan soal Alquran makhluk atau kalam Allah. Perbedaan pandangan tersebut mungkin penting. Tapi, yang lebih penting untuk dicatat adalah betapa getir beban yang dipikul oleh Ahmad bin Hanbal akibat monopoli penafsiran teks-teks agama oleh penguasa.

Al-Thabari dan al-Dzahabi dalam karya mereka mencatat rentetan kegetiran Ahmad bin Hanbal dengan ''tinta merah'' dan air mata. Sementara al-Maqrizi menceritakan, ''Ketika masyarakat Baghdad merindukan fatwa-fatwa Ahmad bin Hanbal, al-Mu'tashim dan al-Watsiq (dua khalifah Abbasiyah pasca al-Ma'mun) justru memenjarakan dan menyiksanya di hadapan khalayak.''

Ahmad bin Hanbal adalah bintang kejora intelektual pada eranya. Tapi, al-Mu'tashim dan al-Watsiq tak bersikukuh. Atas nama penafsiran yang dianggap paling benar, siapa pun yang menyuarakan penafsiran berbeda harus disingkirkan. Para penguasa Abbasiyah itu barangkali lupa, bahwa penafsiran yang dipaksakan melalui pedang dan kekuasaan, maka itu adalah korupsi terhadap kebenaran.

Monopoli penafsiran seperti ini memiliki senarai panjang, dan bisa terulang kapan saja dan di mana saja. Pada kasus Ahmad bin Hanbal, khalifah ke-10 Dinasti Abbasiyah, al-Mutawakkil, akhirnya harus mengakui kesalahan pendahulu-pendahulunya dan menghapuskan monopoli penafsiran yang pernah mereka paksakan. Dan mayoritas kaum Muslim, selepas pertengahan abad ke-9 itu, memenangkan pandangan Ahmad bin Hanbal dan faksinya bahwa Alquran adalah kalam Allah, bukan makhluk.

Barangkali, bagi Ahmad bin Hanbal, pengakuan atas kesalahan masa lampau tersebut tidak berarti banyak. Betapa terlambat dan percuma. Tetapi, betapa hal itu tetap sangat berarti bagi kita, bahwa penafsiran atas teks-teks agama tak pernah boleh dimonopoli. ''Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendakinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.'' (QS Ali Imran [3]:13).

Rekonsiliasi

WORDPRESS

Oleh A Ilyas Ismail

Rekonsiliasi dipahami sebagai usaha mendamaikan atau membuat harmonisasi antara dua atau beberapa pihak yang berselisih. Rekonsiliasi menjadi penting dan merupakan suatu keharusan untuk menghidari dan mencegah konflik berkepanjangan yang sangat berbahaya bagi keutuhan dan kemajuan bangsa.

Rekonsiliasi dalam bahasa Alquran dinamai ishlah, dari akar kata shalaha yang secara harfiah berarti baik atau membawa manfaat dan kebaikan. Dalam Alquran, kata shalah selalu dilawankan dengan fasad atau kerusakan, (QS Al-A`raf [8]: 56) dan sayyi'ah atau keburukan (QS Al-Taubah [9]: 102).

Menurut Ibn `Asyur, ishlah berarti, ja`l al-syay'i shalihan, yakni usaha memperbaiki sesuatu (yang rusak) agar kembali menjadi baik. Jadi, dalam kata ishlah terkandung makna mencegah kerusakan dan meningkatkan kualitas, sehingga sesuatu kembali menjadi baik dalam arti berfungsi dan mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi manusia.

Kaum Muslim diperintahkan agar melakukan ishlah, baik menyangkut konflik dalam keluarga (QS al-Nisa [4]: 128), konflik internal umat Islam (QS al-Hujurat [49]: 9), maupun konflik pada tataran yang lebih luas. Firman-Nya, ''Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.'' (QS Al-Anfal [8]: 61).

Rasulullah bahkan mengapresiasi upaya rekonsiliasi itu sebagai kebaikan yang bobotnya lebih besar ketimbang shalat dan sedekah. ''Maukah kalian kuberi tahu sesuatu yang nilainya jauh lebih tinggi dari shalat dan sedekah?'' tanya Nabi. ''Mau,'' jawab mereka. Nabi bersabda, ''Ishlah Dzat al-Bayn,'' yaitu mendamaikan pihak-pihak yang bertikai. (HR Malik dari Yahya ibn Sa`id).

Ishlah yang disebut dalam hadis di atas, menurut pengarang kitab al-Muntaqa, Syarh Muwaththa', haruslah merupakan usaha yang sungguh-sungguh untuk menumbuhkan rasa cinta (mahabbah) dan kasih sayang (ulfah), sehingga timbul hubungan yang baik (husn al-mu`asyarah), lalu saling memberi dan menerima saran (al-munashahah), dan puncaknya adalah bahu membahu untuk kemajuan bangsa.

Jika gagal melakukan ishlah dalam pertikaian yang makin tak terkendali, maka kita akan menghadapi suasana kekacauan yang dalam hadis riwayat Malik tadi, juga riwayat Abu Daud dan Ahmad, disebut ''al-haliqah'', yaitu kehancuran yang diibaratkan seperti pisau pencukur yang dapat menggunduli rambut di kepala.

Ini berarti, tanpa rekonsiliasi, kita terancam musnah atau setidak-tidaknya, kita tidak akan memperoleh kemajuan apa pun lantaran semua tenaga dan energi terbuang percuma alias habis secara sia-sia.

Kekuatan Hasballah

flickr.com

Oleh Wiyanto Suud

Manusia tidak akan pernah mampu melawan setiap bencana, menaklukkan setiap derita, dan mencegah setiap malapetaka dengan kekuatannya sendiri. Mereka akan mampu menghadapi semua itu dengan baik, hanya jika menyerahkan semua perkara kepada Allah SWT.

Jika demikian halnya, maka kalimat hasbalah merupakan salah satu ucapan terbaik bagi yang senantiasa mengharapkan pertolongan-Nya. Kalimat hasbalah berbunyi Hasbunallah wa ni'mal wakil ni'mal maula wa ni'mal natsir (cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung).

Bacaan hasbalah itu pula yang diucapkan oleh Rasulullah SAW ketika sedang kesulitan akibat pengepungan selama beberapa minggu oleh pasukan Ahzab dalam perang Khandaq di Kota Madinah. Dengan bacaan tersebut, Rasul SAW dan umat Islam pun keluar sebagai pemenang.

Alquran mengabadikan peristiwa tersebut dalam surat Ali Imran [3]: 173, ''Yaitu orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, 'Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.' Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, 'Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung'.''

Syahdan, tatkala Nabi Ibrahim AS dilemparkan ke dalam lautan api oleh para pengikut Raja Namrud bin Kan'an, ia mengucapkan Hasbunallah wa ni'mal wakil , dan api pun tiba-tiba menjadi dingin. Ini diberitakan oleh Rasulullah SAW, ''Akhir kalimat yang diucapkan oleh Ibrahim ketika dicampakkan ke dalam api ialah hasbunallah wani'mal wakil. '' (HR Bukhari).

Dikisahkan, ketika Nabi Ibrahim AS mulai dimasukkan ke dalam kobaran api, Jibril datang dan berkata, ''Apakah engkau butuh aku?'' Ibrahim menjawab, ''Kalau kepadamu tidak, tapi kalau kepada Allah, ya.'' Kemudian Allah SWT berfirman, "Kami berfirman, 'Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim'." (QS Al-Anbiyaa' [21]: 69).

Menurut Ibnu Katsir, kalimat hasbalah juga diucapkan oleh 'Aisyah RA ketika ia mengharapkan pertolongan Allah, di saat kabar bohong ( haditsul ifqi ) tentang dirinya beredar. Hal itu direkam dalam surat An-Nur [24]: 11-26).

Sejarah telah memberitakan kekuatan hasbalah yang diucapkan oleh para nabi dan orang-orang saleh, ketika mereka menghadapi cobaan besar ataupun fitnah yang berat. Kekuatannya melebihi kekuatan apa pun di dunia ini, serta menegaskan semangat tauhid pada diri orang yang mengucapkan. Yaitu bahwa hanya kepada Allah sajalah ia berserah diri, dan bahwa semua makhluk di sisi-Nya adalah lemah.

Krisis Keteladanan

Oleh A Ilyas Ismail

Sudah sejak lama, disadari atau tidak, kita mengalami krisis keteladanan. Krisis ini sejatinya lebih berbahaya ketimbang krisis pangan, krisis energi, dan krisis keuangan. Berbagai krisis ini timbul justru karena tidak adanya pemimpin yang visioner dan tercerahkan, dalam arti mampu membawa umat kepada kehidupan yang mulia dan sejahtera lahir serta batin.

Kenyataan ini mendorong kita untuk merenungkan kembali posisi dan kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai suri teladan bagi umat manusia. Firman-Nya: ''Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.'' (QS Al-Ahzab [33]: 21).

Ayat ini menurut pakar tafsir, Ibn Katsir, merupakan pedoman dasar dalam penetapan Nabi SAW sebagai suri teladan. Meskipun turun dalam konteks perang (Khandaq), ayat ini bersifat umum dalam arti mengharuskan kaum Muslim meneladani Nabi SAW tak hanya dalam soal perang, tapi dalam segala hal.

Nabi SAW memang patut dijadikan teladan. Allah SWT memujinya sebagai manusia dengan pribadi yang agung (QS Alqalam [68]: 4). Keagungan ini pantas disandangnya karena beliau sebagai Nabi terakhir, yang mampu menempa dan mewarisi semua sifat serta keutamaan yang dimiliki nabi-nabi terdahulu. Firman-Nya: ''Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah maka ikutilah petunjuk mereka.'' (QS Al-An`am [6]: 90).

Makna meneladani Nabi itu dipahami oleh para ulama dalam beberapa pengertian. Pertama, wujub al-Iqtida' bahwa kaum Muslim mesti mengikuti Nabi dan menjadikannya sebagai tokoh identifikasi diri dalam segala hal, baik perkataan, sikap, maupun perilaku.

Kedua, mulazamat al-tha`ah bahwa kaum Muslim harus senantiasa patuh dan taat kepada Nabi. Kata 'meneladani' itu, menurut al-Alusi, hanya bisa dimengerti bila kaum Muslim taat kepadanya. ''Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.'' (QS Alhasyr [59]: 7).

Ketiga, `adam al-takhalluf `anh bahwa kaum Muslim tidak boleh menjauh dan berpaling dari Nabi, seperti halnya orang-orang munafik. Kaum Muslim tidak pantas berlaku demikian, karena Nabi, sang teladan, hadir di tengah-tengah mereka.

Krisis keteladanan yang selama ini terjadi dapat dicegah bila kita mampu meneladani Nabi. Sebagai suri teladan, Nabi mesti menempati 'ruang khusus' dalam kesadaran kaum Muslim. Sehingga, keberadaan beliau dapat menjadi sumber inspirasi bagi mereka sepanjang masa.

Supremasi Hukum

blogspot.com

Oleh Anang Rikza Masyhadi

Aisyah RA meriwayatkan, ada seorang perempuan bangsawan dari Bani Makhzum yang kedapatan mencuri. Kemudian, para sahabat menunjuk Usamah RA melaporkan hal ini kepada Rasulullah dan meminta keringanan hukuman dari beliau. Mendengar hal tersebut, Rasul SAW balik bertanya, ''Apakah kalian akan mengampuni apa yang seharusnya menjadi ketentuan Allah?''

Kemudian, Rasulullah bangkit dan menegaskan, ''Wahai manusia, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian itu binasa disebabkan jika orang terhormat yang mencuri, mereka membiarkannya, tetapi jika orang lemah yang mencuri, mereka menetapkan hukum atasnya. Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad yang mencuri, maka aku akan potong tangannya.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis ini memberi pelajaran yang sangat penting bagi kita. Bahwa hukum harus ditegakkan dengan seadil-adilnya. Para penegak hukum tidak boleh tebang pilih dalam menjalankan amanat ini. Bahkan, Rasulullah sampai menegaskan andaikata yang melanggar hukum adalah putrinya sendiri, Fatimah, hal itu tidak menghalangi Beliau untuk memberlakukan hukum atasnya. Inilah gambaran sebuah komitmen yang kuat dari seorang pemimpin untuk menegakkan good governance.

Ada sinyalemen bahwa penegakan good governance di negeri kita melemah, bahkan berada di titik nadir. Hal itu diakibatkan telah membudayanya praktik suap-menyuap, jual beli perkara, dan beroperasinya para mafia peradilan. Belum lagi berbagai ironi dalam hukum di mana para pengemplang uang negara bebas melenggang, sementara para pencuri kelas teri harus mendekam di penjara selama beberapa bulan.

Mafia peradilan dan praktik jual beli perkara yang dipertunjukkan kepada publik secara terang benderang itu, jelas mengindikasikan secara kuat bahwa di negeri ini banyak sekali tindakan kejahatan yang berlangsung dalam lindungan hukum. Ini bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban. Masyarakat yang tidak menjadikan hukum sebagai panglima, lawless society, adalah masyarakat yang tidak berkeadaban, dan sebagaimana diingatkan Nabi, akan menuju pada kehancuran.

Oleh karenanya, pemerintah harus memiliki kemauan yang kuat untuk menjunjung tinggi supremasi hukum tanpa pandang bulu agar kita tidak di ambang kehancuran. ''Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, dan menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa ....'' (QS Al-Maidah [5]: 8).

Minggu, 21 Februari 2010

Teladani Nabi dalam Keseharian'


JAKARTA -- Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW hendaknya tak hanya menjadi ajang seremonial belaka. Lebih dari itu, mengaplikasikan keteladanan Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari jauh lebih bernilai.

Ketua Majelis Pimpinan Badan Kerja Sama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI), KH Didin Hafidhuddin, menyatakan, inti Maulid Nabi bukan pada memperingati hari kelahirannya, tapi bagaimana umat Islam mempelajari sejarah dan keteladanan Nabi SAW. ''Kita harus mengikuti teladan Nabi, baik dalam kehidupan pribadi, masyarakat, maupun negara,'' kata KH Didin kepada Republika, Senin (9/3).

Ada empat sifat utama Rasulullah SAW yang harus diikuti umat Islam. Pertama,shiddiq yang berarti jujur. ''Saat ini kita membutuhkan tokoh dan masyarakat yang jujur karena akan melahirkan kemakmuran,'' ujarnya.

Kedua,fathonah yang berarti cerdas. Masyarakat kita yang mayoritas Islam, katanya, harus memilih pemimpin yang cerdas, yang berusaha meningkatkan pengetahuan. Ketiga, amanah yang berarti profesional. ''Nabi menjalankan tugasnya dengan baik sesuai kewajibannya. Tentu saja hal ini menimbulkan kepercayaan kepada beliau.''

Terakhir, tabligh yang berarti menyampaikan. ''Sebagai umat Islam, kita tak boleh menyimpan sendiri kebaikan atau kebenaran, tapi harus disampaikan.''Keempat sifat itu harusnya diterapkan di masyarakat, meski kesadaran umat Islam akan hal tersebut masih minim. ''Saat ini sebagian umat Islam yang memperingati Maulid penuh penghayatan. Tapi, ada pula yang sekadar mengingat, tak ada upaya mempertajam makna Maulid secara substansial.''

Ketua PBNU, KH Masykuri Abdillah, menyatakan, Maulid yang berarti mengenang peristiwa kelahiran Nabi Muhammad SAW mesti direnungkan kembali. Tak hanya sekadar perayaan, tapi bagaimana mengambil manfaat untuk membangun akhlak yang mulia.''Kelahiran Nabi itu juga sebagai bimbingan umat Islam untuk bangkit dari kegelapan menjadi bersinar,'' jelasnya. Ada dua dasar utama peringatan Maulid.

Pertama untuk membangun akidah, dan kedua menjalankan syariatnya. ''Kehadiran Nabi, telah membangun akhlak manusia, baik ke sesama maupun kepada Tuhan. Saat ini kita melihat kembali apa yang dilakukan Nabi ketika itu.''Dia menyayangkan sebagian umat Islam masih belum menyadari hal itu. Faktanya, masih ada umat Islam yang berakhlak tak baik. ''Memang, yang dilakukan Rasulullah tidak mudah, terutama untuk masalah akhlak. Banyak tantangannya.''

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma'ruf Amin, menambahkan, saat ini acara peringatan Maulid terkesan hanya pidato, tidak ada teladan konkret. ''Seharusnya umat Islam meneladani Nabi, membangun akhlak mulia. Sekaligus melakukan harakatul Islah (gerakan perbaikan), baik secara personal dan sosial kemasyarakatan di segala bidang.'' she

Rabu, 17 Februari 2010

Demonstrasi


printSend to friend

Oleh Prof Dr H Fauzul Iman MA

Demonstrasi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah muzhaharah. Kata dasarnya adalah zhaahara yang artinya menunjukkan fakta. Dilihat dari makna kata dasarnya, tersimpul pengertian bahwa demonstrasi adalah aksi untuk menunjukkan fakta dan data-data akurat yang disertai argumentasi yang kuat.

Dalam bahasa agama, demonstrasi seperti ini disebut dengan al-burhan. Ibnu Taimiyah memahami kata al-burhan dengan bukti-bukti yang didemonstrasikan secara empiris. Firman Allah SWT, "Katakanlah (hai Muhammad), tunjukkanlah bukti-bukti kebenaranmu jika kalian termasuk orang yang benar." (QS Albaqarah [2]: 111).

Ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang Yahudi dan Nasrani yang mendebat Nabi SAW. Orang-orang tersebut mengklaim dirinya yang paling baik dan akan masuk surga. Namun, mereka tidak mampu menunjukkan bukti-bukti yang kuat sehingga klaimnya dinilai Alquran sebagai angan-angan kosong (amani).

Berdasarkan ayat ini, kita boleh saja berdemonstrasi untuk menuntut hak, menyampaikan aspirasi, atau melontarkan kritik kepada pemerintah, baik melalui tulisan, turun di jalan, forum dialog, maupun seminar. Namun, semua itu harus disampaikan dengan cara-cara yang beradab.

Akhir-akhir ini, kita sering menyaksikan betapa maraknya aksi demonstrasi di negeri ini. Sebagian dilakukan dengan cara-cara elegan dan damai. Namun, sebagian lainnya dilakukan dengan kekerasan. Cara-cara kekerasan dalam berdemonstrasi jelas sangat berbahaya. Karena, selain mengancam persatuan bangsa, juga melanggar prinsip demokrasi itu sendiri. Bahkan, melanggar norma-norma agama.

Karena itu, mari kita mengambil pelajaran dari Allah SWT saat memerintah Musa AS untuk mencegah ulah Firaun yang membahayakan masyarakat di negerinya. Dalam misi besarnya itu, Musa diperintahkan untuk berkata lembut dan sopan. Firman-Nya, "Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Firaun. Sesungguhnya, dia telah melampaui batas. Maka, berkatalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." (QS Thaha [20]: 43-44).

Meskipun Firaun berulang kali mengancam Musa dan berniat akan membunuhnya, Nabi Musa tetap diperintahkan Allah untuk bersabar seraya menyampaikan pesan-pesan dakwah dengan cara-cara yang

Pertolongan Allah

Oleh Muhammad Arifin Ilham

Tidak ada satu pun masalah yang terjadi kecuali atas izin Allah SWT. Semuanya ada dalam genggaman-Nya. Jika demikian, alangkah mudahnya bagi Allah untuk membuka jalan keluar bagi siapa pun yang sedang dirundung masalah.

Saat ini ada banyak persoalan yang mendera kita. Entah itu masalah pribadi, keluarga, pekerjaan, ataupun yang lebih luas dari itu. Dan, masalah terbesar adalah saat kita tidak mendapatkan pertolongan Allah. Seberat apa pun persoalannya akan menjadi ringan bila ditolong Allah. Meskipun persoalannya kecil, jika tidak mendapat pertolongan Allah maka akan terasa berat. Lalu, kapan Allah menolong kita? Subhanallah, ternyata kuncinya adalah kapan saja kita menolong saudara kita. Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya.'' (HR Muslim).

Sebesar perhatian kita kepada yang papa, yatim piatu, fakir miskin, mereka yang tertindas, dan sebagainya maka sebesar itu perhatian Allah kepada kita. Kurangnya perhatian kita kepada mereka maka Allah juga akan kurang perhatian kepada kita.
Al-Iman al-ihtimam, iman itu adalah perhatian. Iman itu adalah kepedulian. Tidak perhatian dan tidak punya kepedulian maka akan kurang bahkan tidak sempurna iman kita. Nabi SAW bersabda, ''Barang siapa tidak ikut peduli dan tidak perhatian terhadap urusan orang Islam maka bukan termasuk golonganku.'' (HR Bukhari Muslim).

Dalam sabda lainnya dikatakan, ''Kasihi dan sayangi mereka yang ada di bumi, niscaya para penghuni langit akan turut mengasihi dan menyayangi kalian.'' (HR Bukhari). Di samping menumbuhkan semangat tolong-menolong kepada sesama, kita juga harus dapat mempraktikkan tuntunan Allah yang termaktub dalam surat Ath-Thalaaq [65]: 2-3, ''Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah yang menyampaikan urusan (yang dikehendaki)-Nya...''

Ayat tersebut mengajarkan bahwa semakin kita bertakwa, semakin terbuka lebar pintu-pintu pertolongan Allah. Sebaliknya, semakin kita ingkar, semakin tertutup rapat pintu-pintu pertolongan-Nya. Ibnu Atha'ilah as-Sakandary menegaskan, "Jangan menuntut Allah karena terlambatnya permintaan yang telah engkau panjatkan kepada-Nya. Namun, hendaknya engkau koreksi dirimu, tuntut dirimu agar tidak terlambat melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap Tuhanmu."

Tanggung Jawab

Oleh Prof Dr Achmad Satori Ismail

Orang yang cerdas tidak akan meremehkan perbuatan baik sekecil apa pun dan tidak gegabah berbuat dosa walau sekecil biji sawi. Ia tahu, perbuatan baik atau jahat itu mula-mula amat kecil ketika dilakukan, akan tetapi bila pengaruhnya terus berlangsung lama, akan amat besar pahala atau dosanya.

Allah SWT berfirman dalam Surah Yasin [36]: 12, ''Kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.'' Ayat ini menegaskan bahwa tanggung jawab itu bukan saja terhadap apa yang diperbuat seseorang, melainkan melebar sampai pada akibat dari perbuatan tersebut.

Artinya, perbuatan baik ataupun jahat akan diberikan pahala atau dosa ditambah dengan pahala atau dosa orang-orang yang meniru perbuatan itu. Orang yang meninggalkan ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah, atau anak yang shaleh, kesemuanya itu akan mengkibatkan kebaikan. Demikian pula sebaliknya.

Kemudian ada pertanyaan, apabila yang memerintah kejahatan itu seorang pemimpin, apakah dia saja yang akan menanggung dosanya dan dosa rakyatnya karena mereka dipaksa? Ataukah rakyat juga harus menanggung dosanya walau ia melakukannya karena ancaman?

Seorang penguasa dianggap tidak memaksa selama rakyat masih memiliki kehendak yang ada dalam dirinya. Perintah seorang pimpinan secara lisan ataupun tulisan tidak berarti melepaskan seorang bawahan dari tanggung jawab atas semua perbuatannya. Alquran mencela orang-orang yang melakukan dosa dengan alasan pimpinannya telah menyuruhnya.

Firman Allah, ''Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: 'Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul'. Dan mereka berkata: 'Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar.'' (QS Al-Ahzab [33]: 66-67).

Allah membantah mereka dengan tegas, ''Harapanmu itu sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu telah menganiaya dirimu sendiri. Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu.'' (QS Az Zukhruf [43]: 39).

Demikianlah bahwa pemimpin yang zalim tidak akan bisa memaksa hati seseorang kendati mampu memaksanya secara lahiriah. Oleh sebab itu, rakyat atau bawahan pun harus bertanggung jawab terhadap akidahnya dan perbuatannya, meskipun di sana ada perintah dan larangan pimpinan. Dalam keadaan demikian, seorang Mukmin sejati tidak akan menerima kepemimpinan seseorang kecuali dengan ekstra hati-hati, seraya memperbaiki dirinya, keluarganya, dan semua yang menjadi tanggungannya.

Sabtu, 13 Februari 2010

Kapan Muhammad SAW Lahir?


Oleh Abd. Moqsith Ghazali

Begitu tinggi kedudukan Muhammad di hadapan umat Islam, maka momen-momen penting dalam kehidupannya selalu dikenang, dirayakan, dan diperingati. Mulai dari kelahirannya, pengangkatannya sebagai nabi, pendakian spiritualnya yang tak tepermanai berupa isra’-mi`raj hingga migrasinya dari Mekah ke Madinah. Berbeda dengan kematian yang merupakan pertanda kesementaraan manusia dan juga keterbatasan seorang nabi, maka kelahiran Nabi Muhammad dianggap sebagai pertanda kehidupan baru, perubahan sosial.

Nabi Muhammad SAW adalah pusat keteladanan. Segala ucapan dan tindakannya menjadi rujukan umat Islam, dulu dan sekarang. Haditsnya menjadi sumber hukum (mashdar al-hukm) kedua setelah Alquran. Begitu tinggi kedudukan Muhammad di hadapan umat Islam, maka momen-momen penting dalam kehidupannya selalu dikenang, dirayakan, dan diperingati. Mulai dari kelahirannya, pengangkatannya sebagai nabi, pendakian spiritualnya yang tak tepermanai berupa isra’-mi`raj hingga migrasinya dari Mekah ke Madinah. Berbeda dengan kematian yang merupakan pertanda kesementaraan manusia dan juga keterbatasan seorang nabi, maka kelahiran Nabi Muhammad dianggap sebagai pertanda kehidupan baru, perubahan sosial. Itu sebabnya, jika waktu kelahirannya dirayakan, maka saat kematiannya tidak. Perihal kelahirannya, sebagian umat Islam percaya bahwa Nabi Muhammad lahir pada Senin pagi menjelang subuh, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah (`am al-fil). Disebut begitu karena bertepatan dengan tahun penyerangan “Pasukan Gajah” pimpinan Abrahah (Gubernur Abisinia) ke Kabah.

Namun, dengan merujuk pada buku-buku sejarah, kita akan mengerti bahwa tak ada kepastian tentang jam, hari, tanggal dan bulan kelahiran Muhammad SAW. Dalam al-Bidayah wa al-Nihayah (Juz II, 260-267), Ibnu Katsir menjelaskan keanekaragaman pandangan para ulama tentang kelahiran Nabi. Husain Haikal juga menjelaskan pluralitas pendapat tersebut dalam Hayat Muhammad (hlm. 102). Mengenai tahun kelahirannya misalnya terdapat beberapa pendapat. Menurut Ibnu Abbas, Muhammad lahir pada Tahun Gajah itu. Yang lain berpendapat, kelahirannya lima belas tahun sebelum peritiwa penyerangan Kabah itu. Ada yang memperkirakan beberapa hari (satu bulan, empat puluh hari, lima puluh hari), beberapa bulan, bahkan beberapa tahun setelah Tahun Gajah. Menurut Abi Ja`far al-Baqir, Muhammad lahir 55 hari setelah peristiwa pasukan bergajah itu. Yang lain menghitung sepuluh tahun, dua puluh tiga tahun, tiga puluh tahun hingga tujuh puluh tahun setelah Tahun Gajah. Abu Zakaria al-Ajalani berpendapat, Muhammad lahir empat puluh tahun setelah Tahun Gajah.

Begitu juga tentang bulan dan tanggal kelahirannya. Sebagian ulama berpendapat, Muhammad lahir pada bulan Rabiul Awal. Yang lain berpendapat, bulan Muharram, Safar, Rajab. Ibnu Abdil Birri mengutip pendapat al-Zubair ibn Bikar bahwa Nabi Muhammad lahir pada tanggal 12 Ramadan. Sementara tanggal kelahirannya diperkirakan sebagian ulama jatuh pada tanggal 2, 9, 17 Rabiul Awal. Ibnu Hazm berpendapat, kelahiran Muhammad jatuh pada 8 Rabiul Awal. Ibnu Ishaq berpendapat pada tanggal 12 Rabiul Awal. Ulama pun berbeda pendapat, tentang waktu kelahirannya; siang atau malam. Satu ulama berpendapat siang, yang lain mengatakan malam. Begitu juga dengan hari kelahirannya. Ada yang berpendapat Senin. Yang lain berpendapat Jumat. Seorang sahabat Nabi, Ibnu Abbas, berpendapat bahwa Nabi Muhammad lahir pada hari Senin, 18 Rabiul Awal.

Artikel ini hendak menegaskan bahwa di kalangan ulama Islam klasik sendiri tak ada konsensus (ijma`) tentang waktu kelahiran Nabi Muhammad. Ini terjadi karena tak ada tradisi pencatatan waktu kelahiran seorang bayi saat itu. Baik ibunda maupun kakek Nabi tak mencatat kelahiran anak atau cucunya itu sehingga wajar kalau terjadi kesimpangsiuran waktu kelahiran Muhammad. Jelas, ketepatan dan kepersisan tanggal kelahiran seorang tokoh sekian ribu tahun lalu tak mudah ditunaikan. Tak ada kepastian tentang waktu kelahiran Nabi Isa, Nabi Musa, apalagi Nabi Ibrahim lalu Nabi Adam. Semua tanggal dan tahun kelahiran mereka ditentukan kemudian, berdasar asumsi dan prakiraan dan akhirnya membentuk keimanan. Lalu siapa sesungguhnya yang lahir di Mekah pada Senin 12 Rabiul Awal 1500 tahun lalu itu? Kita tak tahu. Namun, karena di Indonesia sudah mentradisi, secara sosio-kultural saya tetap perlu mengucapkan selamat memperingati Maulid Nabi Muhammad 12 Rabiul Awal 1430 H. []

Refleksi Maulid Nabi SAW


Oleh Novriantoni

Apa reaksi kaum Quraisy sekiranya Nabi SAW hanya menganjurkan prinsip tauhid?

Apa reaksi kaum Quraisy sekiranya Nabi SAW hanya menganjurkan prinsip tauhid? Pertanyaan ini datang dari seorang pemikir Mesir, Thâha Husein dalam bukunya al-Fitnah al-Kubrâ (petaka besar). Menurut Thâhâ, andai tauhid saja, minus sistem sosial dan ekonomi, tentu banyak orang Quraisy menyambut seruan Muhammad dengan mudah. Thâhâ beralasan, bahwa orang Quraisy pada hakikatnya tidak secara penuh percaya berhala, juga tidak benar-benar mempertahankan “tuhan-tuhan” mereka itu. Berhala-berhala itu, hanya sekedar alat, bukan tujuan. Alat untuk mengelabui semua orang Arab agar mudah ditipu dan diperas.

Orang yang menilai Nabi semata menyeru Tauhîd, sebagai lawan tanding Ta‘addud (politeis) anutan Arab kala itu, tentu keberatan dengan pendapat Thâhâ. Tapi bila struktur sosial-budaya-politik-ekonomi Arab pra-Islam ditilik lebih cermat, tentulah pendapat itu tidak mengejutkan. Memang, konsep ketuhanan Quraisy terkesan konyol. Kekonyolah itu digambarkan dengan baik oleh Muhammad ‘Abduh. Menurutnya, masyarakat Arab pra-Islam sudah tidak waras/keblinger (sakhîf al-‘aql). Buktinya, sebagian memproduk berhala dari manisan (al-halawiy) untuk dijadikan sesembahan. Lucunya, ketika lapar menghantui, mereka tidak sungkan menyantap “tuhan-tuhan” mereka (Risâlat al-Tauhîd, hal 121).

Tapi, ketololan konsep ketuhanan Arab Jahili tidaklah penting. Ada yang lebih penting diungkap sebagai refleksi maulid nabi kali ini. Yaitu melacak pesan-pesan profetik yang terkadung di dalamnya. Yang terpenting dan sangat relevan untuk diungkap kini ada tiga hal: 1) persamaan (al-musâwât, equality), 2) kebebasan (al-hurriyyah, liberty), dan 3) keadilan (al-‘adâlah, justice). Ketiga prinsip yang menjadi nilai ideal orang modern ini sudah ditanamkan dengan kuat oleh Nabi kala itu. Karenanya, sosiolog yang sering dikutip Cak Nur, Robert N. Bellah, cukup cermat dan jujur ketika mengatakan bahwa sistim politik yang digariskan Nabi di Madinah dan dikembangkan khalifah-khalifah awal, khususnya Khalifah Umar adalah sesuatu yang terlampau maju bagi organisasi politik Arab yang ada sebelumnya.

Mungkin, karena terlampau modern bagi masyarakat yang sepenuhnya belum tercerabut dari nilai-nilai jahili Arab, utamanya masalah tribalisme (kesukuan, al-qabîliyyah), ketiga nilai tersebut akhirnya mengalami pasang surut. Terbukti, kecamuk politik bermotif fanatisme kesukuan yang merebak pada akhir masa khalifah ketiga, kembali merenggut sebagian nilai-nilai modern tersebut. Tapi biarlah, meratapi/memuja masa lalu bukanlah pekerjaan yang arif. Yang penting, bagaimana kembali menghidupkan pesan-pesan profetik yang pernah hidup itu untuk konteks kekinian dan kedisinian. Ini perlu dan mendesak, lebih-lebih karena nilai-nilai itu muncul tenggelam, untuk tidak mengatakannya terdistorsi, dianaktirikan, diplintir, dikangkangi ataupun dipandang sebelah mata. Padahal, esensi agama-agama terletak dalam nilai-nilai kebaikan universal itu. Wallahu ‘alam bissawab. []

Pertolongan Allah


Oleh Muhammad Arifin Ilham

Tidak ada satu pun masalah yang terjadi kecuali atas izin Allah SWT. Semuanya ada dalam genggaman-Nya. Jika demikian, alangkah mudahnya bagi Allah untuk membuka jalan keluar bagi siapa pun yang sedang dirundung masalah.

Saat ini ada banyak persoalan yang mendera kita. Entah itu masalah pribadi, keluarga, pekerjaan, ataupun yang lebih luas dari itu. Dan, masalah terbesar adalah saat kita tidak mendapatkan pertolongan Allah. Seberat apa pun persoalannya akan menjadi ringan bila ditolong Allah. Meskipun persoalannya kecil, jika tidak mendapat pertolongan Allah maka akan terasa berat. Lalu, kapan Allah menolong kita? Subhanallah, ternyata kuncinya adalah kapan saja kita menolong saudara kita. Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya.'' (HR Muslim).

Sebesar perhatian kita kepada yang papa, yatim piatu, fakir miskin, mereka yang tertindas, dan sebagainya maka sebesar itu perhatian Allah kepada kita. Kurangnya perhatian kita kepada mereka maka Allah juga akan kurang perhatian kepada kita.
Al-Iman al-ihtimam, iman itu adalah perhatian. Iman itu adalah kepedulian. Tidak perhatian dan tidak punya kepedulian maka akan kurang bahkan tidak sempurna iman kita. Nabi SAW bersabda, ''Barang siapa tidak ikut peduli dan tidak perhatian terhadap urusan orang Islam maka bukan termasuk golonganku.'' (HR Bukhari Muslim).

Dalam sabda lainnya dikatakan, ''Kasihi dan sayangi mereka yang ada di bumi, niscaya para penghuni langit akan turut mengasihi dan menyayangi kalian.'' (HR Bukhari). Di samping menumbuhkan semangat tolong-menolong kepada sesama, kita juga harus dapat mempraktikkan tuntunan Allah yang termaktub dalam surat Ath-Thalaaq [65]: 2-3, ''Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah yang menyampaikan urusan (yang dikehendaki)-Nya...''

Ayat tersebut mengajarkan bahwa semakin kita bertakwa, semakin terbuka lebar pintu-pintu pertolongan Allah. Sebaliknya, semakin kita ingkar, semakin tertutup rapat pintu-pintu pertolongan-Nya. Ibnu Atha'ilah as-Sakandary menegaskan, "Jangan menuntut Allah karena terlambatnya permintaan yang telah engkau panjatkan kepada-Nya. Namun, hendaknya engkau koreksi dirimu, tuntut dirimu agar tidak terlambat melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap Tuhanmu."

Keteladanan Pemimpin

Oleh Alwi Shahab

Kita mendambakan keteladanan para pemimpin, terutama dalam hal penegakan hukum dan keadilan. Tanpa keteladanan itu, perubahan dalam masyarakat sulit diwujudkan. Banyak ayat Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW yang menegaskan perlunya keteladanan tersebut.

Menurut Islam, seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban terhadap kepemimpinannya. Nabi SAW berulang kali menegaskan bahwa beliau tidak akan melarang suatu perbuatan sebelum beliau sendiri yang pertama mematuhinya. Sebaliknya, beliau juga tidak akan menyuruh umatnya melakukan suatu kebajikan sebelum beliau sendiri melakukannya.

Dalam kaitan ini, ada kisah menarik yang patut disimak. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, ada seorang raja dari sebuah negara kecil di Syam (Syria) yang baru masuk Islam. Namanya Jablah bin Aihmad Ghasani. Suatu saat, ketika ia tengah menunaikan ibadah haji, ujung jubahnya terinjak dengan tidak sengaja oleh seorang Arab miskin. Dalam amarahnya, Jablah menampar orang tersebut, tapi si miskin balik menamparnya.

Jablah lalu menemui Umar dan mendesaknya agar menghukum rakyat kecil itu. Namun, di luar dugaannya, sang Khalifah justru menyatakan bahwa Jablah telah menerima balasan dari perbuatannya.

Tentu saja, dia tidak bisa menerima pernyataan khalifah itu. "Kalaulah dia melakukan penghinaan ini di negeri saya, dia telah saya gantung," ujarnya. "Itulah praktik di sini sebelum Islam,'' jawab Khalifah Umar. "Tetapi, sekarang, orang miskin dan putra mahkota diperlakukan sama di hadapan Islam. Dalam menegakkan hukum, Islam tidak mengenal perbedaan antara yang miskin dan kaya," tegas Umar.

Prinsip keadilan dan persamaan di hadapan hukum itu pula yang selalu ditekankan empat Khulafaur Rasyidin ketika memilih seorang gubernur. "Tegakkanlah keadilan dalam pemerintahan dan dalam diri Anda sendiri," kata Khalifah Ali bin Abi Thalib kepada Malik Asytar ketika menunjuknya sebagai gubernur di Mesir. "Lindungilah hak-hak rakyat. Janganlah hanya karena segelintir orang, Anda mengorbankan kepentingan mereka," tegas Khalifah Ali.

Dengan demikian, jelaslah bahwa keteladanan dan kewajiban menegakkan keadilan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Karena, ia merupakan amanah Allah dan sendi pokok dari kewibawaan pemerintah. Menurut pendapat sejumlah pakar hukum, apabila keadilan diabaikan, pasti itu akan menimbulkan reaksi, bukan saja dari mereka yang menjadi korban ketidakadilan itu, tapi juga dari masyarakat luas yang mendambakan terciptanya tatanan masyarakat ideal.

Al Quran On Line