Oleh A Ilyas Ismail
Rekonsiliasi dipahami sebagai usaha mendamaikan atau membuat harmonisasi antara dua atau beberapa pihak yang berselisih. Rekonsiliasi menjadi penting dan merupakan suatu keharusan untuk menghidari dan mencegah konflik berkepanjangan yang sangat berbahaya bagi keutuhan dan kemajuan bangsa.
Rekonsiliasi dalam bahasa Alquran dinamai ishlah, dari akar kata shalaha yang secara harfiah berarti baik atau membawa manfaat dan kebaikan. Dalam Alquran, kata shalah selalu dilawankan dengan fasad atau kerusakan, (QS Al-A`raf [8]: 56) dan sayyi'ah atau keburukan (QS Al-Taubah [9]: 102).
Menurut Ibn `Asyur, ishlah berarti, ja`l al-syay'i shalihan, yakni usaha memperbaiki sesuatu (yang rusak) agar kembali menjadi baik. Jadi, dalam kata ishlah terkandung makna mencegah kerusakan dan meningkatkan kualitas, sehingga sesuatu kembali menjadi baik dalam arti berfungsi dan mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi manusia.
Kaum Muslim diperintahkan agar melakukan ishlah, baik menyangkut konflik dalam keluarga (QS al-Nisa [4]: 128), konflik internal umat Islam (QS al-Hujurat [49]: 9), maupun konflik pada tataran yang lebih luas. Firman-Nya, ''Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.'' (QS Al-Anfal [8]: 61).
Rasulullah bahkan mengapresiasi upaya rekonsiliasi itu sebagai kebaikan yang bobotnya lebih besar ketimbang shalat dan sedekah. ''Maukah kalian kuberi tahu sesuatu yang nilainya jauh lebih tinggi dari shalat dan sedekah?'' tanya Nabi. ''Mau,'' jawab mereka. Nabi bersabda, ''Ishlah Dzat al-Bayn,'' yaitu mendamaikan pihak-pihak yang bertikai. (HR Malik dari Yahya ibn Sa`id).
Ishlah yang disebut dalam hadis di atas, menurut pengarang kitab al-Muntaqa, Syarh Muwaththa', haruslah merupakan usaha yang sungguh-sungguh untuk menumbuhkan rasa cinta (mahabbah) dan kasih sayang (ulfah), sehingga timbul hubungan yang baik (husn al-mu`asyarah), lalu saling memberi dan menerima saran (al-munashahah), dan puncaknya adalah bahu membahu untuk kemajuan bangsa.
Jika gagal melakukan ishlah dalam pertikaian yang makin tak terkendali, maka kita akan menghadapi suasana kekacauan yang dalam hadis riwayat Malik tadi, juga riwayat Abu Daud dan Ahmad, disebut ''al-haliqah'', yaitu kehancuran yang diibaratkan seperti pisau pencukur yang dapat menggunduli rambut di kepala.
Ini berarti, tanpa rekonsiliasi, kita terancam musnah atau setidak-tidaknya, kita tidak akan memperoleh kemajuan apa pun lantaran semua tenaga dan energi terbuang percuma alias habis secara sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar