Sabtu, 28 November 2009

Maslahat dalam Sedekah



Oleh Zaenal Arifin

Semua orang pasti ingin hartanya bertambah. Yang miskin ingin menjadi kaya, dan yang kaya ingin semakin kaya. Allah SWT berfirman, ''Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang.'' (QS Ali Imran [3]: 14).

Namun, keinginan tersebut menjadi negatif jika diwujudkan dengan menghalalkan segala cara, seperti korupsi, menyuap, dan tindakan-tindakan menyimpang lainnya. Untuk menghindari praktik penyimpangan itu, Islam telah menetapkan konsep pengembangan harta yang membawa kemaslahatan individu dan umat, yaitu sedekah.

Allah SWT berfirman, ''Allah akan menghapuskan riba dan meribakan (melipatgandakan) sedekah.'' (QS Al-Baqarah [2]: 276). Dalam ayat lain disebutkan, ''Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menyedekahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.'' (QS Al-Baqarah [2]: 245).

Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bersabda, ''Tidak akan berkurang harta karena sedekah.'' (HR Muslim) Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam dalam kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Muram, menjelaskan setidaknya ada tiga makna yang terkandung dalam hadis di atas.

Pertama, harta yang disedekahkan akan diberkahi Allah sehingga bersih dan berkembang. Kedua, Allah menyediakan pahala yang sangat besar, jauh melebihi nilai materilnya. Dan ketiga, Allah akan mengganti harta yang disedekahkan dengan sesuatu yang sepadan atau bahkan lebih baik dari itu.

Akan tetapi, keutamaan sedekah tidak akan tercapai jika tidak memenuhi beberapa persyaratan, di antaranya: harus dari harta yang halal, tidak menyakiti pihak yang diberi, tidak diungkit-ungkit, serta memberikannya dengan ikhlas.

Pelaksanaan sedekah yang memenuhi persyaratan tersebut akan meringankan beban penderitaan orang-orang yang membutuhkan. Di samping juga memperbaiki kondisi sosial masyarakat dengan cara yang bijaksana. Bukankah kesengsaraan yang terlampau lama seringkali memicu tindak kejahatan. Seperti kata pepatah, ''Bunyi perut yang keroncongan karena lapar lebih nyaring daripada suara hati nurani yang murni.''

(-)

Jumat, 27 November 2009

Solidaritas Idul Adha



H Shobahussurur MA
(Ketua Masjid Agung Al-Azhar)

''Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya, orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus (dari rahmat Allah).'' (QS AlKautsar [108]: 1-3).

Setiap tahun, Idul Adha dirayakan. Sebagian kaum Muslim merayakannya dalam rangkaian ibadah haji di Tanah Suci Makkah. Sebagian yang lain merayakannya di negeri ini dengan rangkaian ritual shalat sunah dua rakaat di tanah lapang atau masjid.

Mereka berduyun-duyun menunaikan ibadah haji hingga kuota yang diberikan Pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia habis, bahkan kurang. Yang berada di Tanah Air juga berduyun-duyun memadati tanah lapang dan masjid untuk melakukan shalat dan mendengarkan khotbah dengan khusyuk. Setelah shalat, mereka menyembelih binatang ternak, kambing, sapi, atau kerbau. Prosesi ritual itu dilakukan dalam rangka mengenang kembali nilai pengorbanan Khalil Allah, Ibrahim AS, dalam memperjuangkan kalimat tauhid dan menegakkan agama yang benar.

Gema takbir, tasbih, tahmid, dan tahlil dikumandangkan di manamana. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. La ilaha illallah, Allahu Akbar. Allahu Akbar wa lillahilhamd.

Ritual Idul Adha tidak dilakukan semata-mata sebagai sebuah rutinitas yang kosong tanpa nilai. Praktik ibadah haji, shalat Idul Adha, dan menyembelih binatang ternak tidak hanya dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun.

Hal itu karena dalam Islam, ritual dimaksudkan sebagai riya'dhah (latihan) yang akan menghasilkan pengaruh bagi kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat. Idul Adha ti-dak hanya dirayakan dan diperingati, tapi diharapkan agar kita dapat memetik makna yang lebih dalam guna memperkokoh aktivitas keberagamaan kita.

Setidaknya, ada dua dimensi yang dapat dimaknai dalam ritual Idul Adha, yaitu dimensi spiritual dan dimensi sosial. Pada dimensi spiritual, Idul Adha berfungsi memperkokoh tauhid, mempertebal iman, dan meningkatkan takwa kepada Allah SWT. Pada dimensi sosial, Idul Adha berfungsi meningkatkan solidaritas, mentradisikan diri untuk berbagi, dan memupuk rasa tolong-menolong.

Sayangnya, dalam kenyataan sosial, kita sering menjumpai umat Islam rajin menjalankan ibadah, tapi kejahatan dan kemaksiatan juga dilakukan. Sering terjadi paradoks yang begitu dalam antara ajaran ideal-normatif Islam dengan kenyataan kehidupan sosiohistoris kaum Muslim. Indonesia diakui sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia dengan ketaatan melakukan ritual yang tinggi. Ironisnya, Indonesia juga diakui sebagai salah satu negara paling korup di dunia.

Tauhid dan pengurbanan

Kalimat takbir, tasbih, tahmid, dan tahlil yang dikumandangkan berulang-ulang akan mempertebal iman kepada Allah SWT. Mengagungkan Allah dengan takbir akan meneguhkan diri bahwa tiada sesuatu yang dapat mengungguli Allah.

Tidak ada yang patut disembah, melainkan Allah. Semua adalah makhluk-Nya yang tidak layak untuk dipuja. Semua problem akan mampu dihadapi karena kebesaran Allah. Dalam tasbih, tahmid, dan tahlil, keimanan dan ketundukan kepada Allah ditingkatkan, dibuktikan, dan diwujudkan. Dialah Allah, Pencipta sekalian alam, Tuhan Yang Maha Esa. Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in (hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta tolong) (QS Alfatihah [1]: 5).

Al-Islam (ketundukan dan kepasrahan) diikuti dengan al-iman (keimanan dalam hati), kemudian di atas fondasi iman itu dibangun alshalihat (kesalihan pribadi dan sosial), dilaksanakan dengan al-ikhlash (ketulusan yang murni) dalam sebuah kesetiaan yang berujung pada al-mahabbah (rasa cinta) yang mendalam kepada Allah. Cinta kita kepada Allah membangkitkan kesadaran loyalitas kepada-Nya. Semakin besar rasa cinta kepada Allah, semakin besar loyalitas dan kesetiaan kepada-Nya.

Salah satu wujud loyalitas itu adalah kesediaan untuk berkurban. Umat Islam dituntut mewujudkannya dalam berbagai bentuk pengurbanan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

Semakin tinggi pengurbanan kepada Allah, semakin tinggi nilai loyalitas kepada-Nya. Sebaliknya, semakin rendah pengurbanan kepada-Nya, semakin rendah pula nilai loyalitas kepada-Nya.

Pengurbanan merupakan salah satu tolok ukur kualitas iman dan takwa kepada Allah. Pengurbanan yang rendah, tidak berkualitas, dan dilakukan dengan setengah-setengah dan asal-asalan menunjukkan rendahnya kualitas iman. Tapi, pengurbanan yang tinggi, berkualitas, dan di-lakukan dengan sungguhsungguh menunjukkan tingginya kualitas keimanan seseorang.

Berkurban sebuah keharusan

Tidak ada cita-cita tanpa pengurbanan. Semakin besar pengurbanan, semakin besar kemungkinan citacita itu dapat diraih.

Begitu pula kiranya makna simbolik perintah Allah kepada Nabi Ibrahim AS untuk mengurbankan putra tercintanya, Ismail. Pengurbanan yang tinggi kepada Allah mengalahkan segala bentuk egoisme. Nabi Ibrahim berhasil meraih citacita yang meneguhkan kalimat tauhid, meneguhkan al-din al-hanif (agama yang lurus), dan menyejahterakan manusia lahir dan batin.

Hakikat kurban bukan pada benda yang diberikan, tapi pada keikhlasan dan kepasrahan. Allah tidak menerima materi kurban yang kita persembahkan.

Nilai kurban bukan pada besar kecil barang yang dikurbankan, bukan pada materi kurban, tapi pada tingkat takwa yang dimiliki oleh orang yang berkurban.

Dalam simbolik kurban, Allah mengajari bagaimana seharusnya proses kurban itu dilakukan. Pertama, memilih binatang sembelihan yang terbaik, misalnya unta yang sehat dan gemuk, sapi, atau kambing. Kedua, memulai menyembelih dengan banyak menyebut nama Allah agar keikhlasan tertanam ke dalam jiwa. Kemudian, mengasah pisau untuk menyembelih agar tidak menyakiti binatang yang disembelih.

Bila kurban itu dalam syariatnya dilambangkan dalam bentuk menyembelih binatang ternak, seperti kambing, sapi, kerbau, atau unta; kurban itu seharusnya dikembangkan dalam pengertian yang lebih luas. Kurban tidak hanya dengan menyembelih binatang ternak dan tidak hanya dilakukan pada waktu Idul Adha.

Umat Islam dituntut untuk melatih diri agar mengurbankan apa saja yang dimiliki dalam rangka cinta dan kesetiaan kepada Allah guna membangun kepentingan agama, meningkatkan solidaritas umat, memperbaiki kehidupan sosial kemasyarakatan, dan menciptakan kesejahteraan seluruh manusia.

Hikmah Misteri Kiamat



Oleh Yusuf Burhanudin

Kiamat dalam tradisi Arab disebut dengan al-qiyamah atau as-sa'ah. Secara bahasa, kiamat adalah bagian waktu dari siang, malam, atau bisa berarti waktu dua puluh empat jam sehari semalam. Sedangkan, menurut syariat, kiamat adalah peristiwa dahsyat hari akhir kehidupan dunia yang mengagetkan semua makhluk karena terjadi secara tiba-tiba dalam satu waktu dan serentak sehingga mampu membinasakan semua makhluk yang ada di langit dan bumi.

Dalam akidah seorang Muslim, peristiwa kiamat termasuk rukun keimanan yang wajib diyakini. Namun, kapan terjadinya tidak ada seorang pun yang tahu, baik manusia biasa, nabi, rasul, maupun malaikat, selain Allah SWT. Bahkan, Rasulullah SAW sebagai orang yang paling dekat dengan Allah dan dibimbing melalui wahyu-Nya tidak tahu kapan kiamat terjadi. Ketika ditanya, beliau menjawab, "Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya."

Allah berfirman, "Mereka bertanya kepadamu tentang kiamat, 'Kapan terjadi?' Katakanlah, 'Sesungguhnya, pengetahuan kiamat ada di sisi Tuhanku. Tidak seorang pun dapat menjelaskan waktu tibanya, selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) di langit dan di bumi. Kiamat tidak akan datang kepadamu, melainkan secara tiba-tiba.' Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah, 'Sesungguhnya, pengetahuan hari kiamat ada di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui'." (QS Al-A'raf [7]: 187).

Dirahasiakannya hari kiamat bukan tanpa hikmah. Menurut Yusuf bin Abdullah Al-Wabil, salah satu hikmah terbesar misteri kiamat adalah munculnya rasa mawas diri dalam hidup seseorang karena meyakini bahwa setiap amal perbuatan, baik dan jahat atau besar dan kecil, akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah di akhirat kelak. Bahwa, kehidupan manusia tidak hanya berlangsung di dunia, melainkan berlanjut abadi hingga akhirat (Asyrath As-Sa'ah, hlm 28).

Firman-Nya, "Pada hari ketika setiap diri mendapati segala kebaikan dihadapkannya, begitu juga kejahatan yang telah dikerjakan, ia ingin kalau kiranya antara ia dan hari itu ada masa yang jauh. Dan, Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-Nya." (QS Ali Imran [3]: 30).

Dengan demikian, dalam akidah Islam, prediksi terjadinya kiamat pada 2012 yang marak dipergunjingkan bahkan menjadi kontroversi publik akhir-akhir ini jelas tidak sesuai dengan ajaran dasar Islam karena mendahului wahyu dan ilmu Allah. Wilayah kiamat adalah domain keimanan, bukan sekadar hiburan dan ramalan

Drama Qurban: Ismail atau Ishaq?


Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Alquran tidak tegas menyebutkan siapa putra Nabi Ibrahim yang disembelih, apakah Ismail atau Ishaq? Sementara dalam hadis dan pendapat sahabat dan tabiin ada yang menyebutkan Ismail ada pula menyebut Ishaq.

Dalam kitab-kitab tafsir juga ada yang menyebut Ismail dan lainnya menyebut Ishaq. Dalam dunia Islam yang masyhur disembelih ialah Ismail sedangkan di dunia Yahudi dan dalam Kitab Perjanjian Lama tegas-tegas disebutkan yang disembelih ialah Ishaq.

Ayat yang berbicara khusus tentang kasus penyembelihan putra nabi Ibrahim ialah QS Al-Shaffat [37]:102-105. Ayat ini mengisahkan bahwa ketika putranya telah mencapai umur baligh, Ibrahim AS bermimpi mendapat perintah untuk menyembelihnya. Ketika itu, anaknya belumlah menjadi seorang nabi. An-Nasafi dan Ibnu Katsir mencatat bahwa putranya kala itu berumur 13 tahun.

Setidaknya, ada beberapa nama sahabat yang meriwayatkan bahwa yang disembelih adalah Ismail. Sahabat-sahabat tersebut adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, dan Abu at-Thufail 'Amir bin Watsilah.

Adapun pendapat kedua yang menyebut Ishaq yang disembelih juga diriwayatkan oleh beberapa sahabat, yaitu: 'Umar bin Khathab, Jabir, al-'Abbas, dan Ka'ab al-Akhbar. Dalam hal ini, sederet mufassir seperti Wahbah az-Zuhaili, ar-Razi, at-Thabrisi, Thabathabai, al-Qurthubi, Ibnu Katsir, Thabathabai, an-Nasafi, Sa'id Hawa', Thahir ibnu 'Asyur dan selainnya menguatkan pendapat pertama.

Ada beberapa argumentasi yang dipaparkan untuk mendukung pendapat pertama itu, yaitu:

Pertama, anak yang menggembirakan Ibrahim untuk pertama kali atas kelahirannya adalah Ismail. Adapun Ishaq lahir setelah Ismail. Dengan demikian, Ismail adalah anak tertua dan yang disembelih. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Ismail dilahirkan, Ibrahim berumur 86 tahun, sedangkan sewaktu Ishaq lahir, Ibrahim berumur 99 tahun.

Kedua, riwayat dari al-Hakim dalam al-Manaqib yang menyebutkan bahwa Nabi SAW bersabda: saya adalah keturunan orang yang disembelih yaitu Ismail yang kemudian lahir Nabi Muhammad melalui jalur Abdullah.

Ketiga, riwayat dari al-Ashma'i bahwa Ismail yang berada di Makkah dan Ishaq tidak pernah di sana. Ismail membangun Ka'bah bersama ayahnya, Ibrahim.

Keempat, Allah menyifati Ismail dengan as-shabr (sabar), sedangkan Ishaq tidak demikian, sebagaimana tertera dalam QS Al-Anbiya' [21]:85, ''Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris, dan Zulkifli, semua mereka termasuk orang-orang sabar.''

Adapun pendukung pendapat kedua bahwa Ishaq yang disembelih mengajukan beberapa alasan, yaitu:

Pertama, pada ayat QS As-Shaffat [37]:99 disebutkan, ''Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.'' Maksudnya ialah Ibrahim berhijrah dari negeri kaum yang telah menyakitinya lantaran fanatik terhadap sesembahan-sesembahan yang berupa patung dan atas kekufuran kepada Allah dan kedustaan pada rasul-rasul-Nya.

Ibrahim hijrah ke Syam. Di sana ia berdoa agar dianugerahi seorang anak saleh yang dapat memotivasinya untuk senantiasa taat kepada Allah. Untuk itu, Allah menggembirakannya dengan seorang anak yang sangat sabar. Anak tersebut, menurut mereka, adalah Ishaq.

Kedua, tulisan Ya'qub ke Yusuf, ''Dari Ya'qub Israil Nabi Allah putra Ishaq yang disembelih Allah putra Ibrahim Khalilullah.''

Ketiga, sebuah riwayat shahih yang bersumber dari Abdullah bin Mas'ud bahwa seseorang berkata kepadanya: ''Wahai anak orang tua yang mulia.'' Abdullah bin Mas'ud berkata: Orang itu adalah Yusuf bin Ya'qub bin Ishaq sembelihan Allah bin Ibrahim Khalilullah 'alaihissalam. (Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, Juz XXIII, h. 126).

Perintah kepada Ibrahim untuk menyembelih anaknya adalah perintah ujian, bukan tasyri' yang dimaksudkan untuk dilihat kesungguhan orang yang diuji dan meneguhkan ketinggian martabatnya dalam menaati Allah. Perintah tersebut diperoleh melalui mimpi.

Lazim diketahui bahwa mimpi para nabi merupakan wahyu. Adapun hikmah adanya semacam 'musyawarah' yang dilakukan Ibrahim terhadap putranya seputar mimpinya itu adalah untuk melihat sejauh mana kesabaran dan ketabahan putranya tersebut dalam menaati perintah Allah.

Dan hikmah terjadinya perintah ini dalam mimpi dan tidak dalam keadaan tersadar atau terbangun bisa dijelaskan dari beberapa sudut pandang, yaitu:

Pertama, perintah ini sangatlah sulit di sisi si penyembelih dan yang disembelih, sehingga dihadirkan dalam mimpi selama tiga malam sebelum dikuatkan dalam kondisi sadar. Dengan demikian, perintah itu tidak langsung diyakini sekaligus tetapi sedikit demi sedikit.

Kedua, Allah menjadikan mimpi para nabi sebagai sebuah kebenaran, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Alquran seperti mimpi Yusuf, Ibrahim, dan Muhammad. Maksud dari mimpi tersebut adalah untuk menegaskan akan kebenaran mereka.

Pasalnya, kondisi yang dialami oleh setiap insan--pada umumnya--adalah tertidur atau tidak tertidur. Jika kedua kondisi tersebut menunjukkan kebenaran, maka itu menjadi bukti nyata bahwa mereka adalah benar dan jujur di setiap keadaannya.

Dari satu sudut pandang, referensi syariah terhadap penyembelihan adalah mimpi. Hanya saja mimpi para nabi pada umumnya benar, apalagi sudah dilegitimasi dalam bentuk wahyu Alquran. Yang dipegang adalah ayatnya, bukan asal-usulnya dari mimpi.

Ketika Nabi Ibrahim berusaha untuk menyembelih anak kesayangannya (Ismail atau Ishaq) akhirnya juga tidak bisa dilaksanakan karena ketajaman pisau tidak sanggup melukai kulit leher anaknya. Akhirnya, malaikat diutus untuk mengganti sembelihan Ibrahim dari putranya ke dalam bentuk seekor kambing.

Dengan demikian, peristiwa hari raya Idul Adha atau Idul Kurban merupakan simbol penghargaan jiwa manusia yang ditebus dengan seekor binatang. Makna simbolik lain yang bisa kita pahami dari peristiwa ini ialah kesediaan seseorang untuk mengurbankan sesuatu yang paling berharga baginya.

Bagi Nabi Ibrahim, putra gantengnya yang sudah lama didoakan keberadaannya diminta untuk dikorbankan pada jalan Allah dan dia pun bersedia dan sudah melaksanakan perintah itu. Bagi kita, boleh jadi sesuatu yang paling kita cintai adalah harta kekayaan, semisal deposito, rumah mewah, dan kekayaan lainnya. Sudahkah kita bersedia melepaskan itu semua ke jalan Allah?

(-)

Sabtu, 21 November 2009

Sebuah Khotbah di Masjid 96 East



Oleh: Azyumardi Azra


Kembali ke New York City, kota di mana saya pernah menuntut ilmu untuk program MA, MPhil, dan PhD. New York City pada sebuah Jumat pekan pertama November 2009 di Masjid Islamic Cultural Center 96 Street East. Inilah masjid megah yang mengambil satu blok lahan di belantara gedung-gedung pencakar langit Manhattan. Sebelum ada masjid ini, dulu pada 1980-an dan awal 1990-an hanya ada Masjid Islamic Center di 72 Street West yang lebih merupakan rumah berlantai tiga daripada sebuah masjid.

Suatu Jumat di Masjid 96 East, khotbah disampaikan khatib asli Indonesia, Imam Shamsi Ali, sebuah nama yang kian akrab dalam berbagai dialog dan hubungan antarumat beragama di kawasan New York umumnya. Karena itulah, Imam Shamsi Ali mendapat kian banyak penghargaan dari berbagai pihak atas berbagai usahanya dalam menyiarkan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin . Selain menjadi salah satu imam yang menentukan siapa saja khatib-khatib pada Masjid 96 East, Shamsi Ali juga merupakan imam besar Masjid al-Hikmah yang dibangun dan dimiliki komunitas Muslim Indonesia di bilangan Queens, New York City.

Sebuah khotbah di Masjid 96 East, khotbah yang menggigit dan penuh gereget, terkait peristiwa pemberondongan tentara Amerika di Fort Hood oleh Mayor Nidal Malik Hasan yang menewaskan 13 tentara Amerika dan melukai puluhan lainnya. Banyak spekulasi beredar tentang motif Hasan melakukan tindakan membabi buta itu, yang mungkin sedikit banyak bakal terungkap setelah ia pulih dari luka-luka yang dideritanya.

Apa pun motif dan alasannya mungkin tidak lagi terlalu penting. Khatib Shamsi Ali pun tidak mau berspekulasi dalam khotbahnya tentang itu. Yang lebih penting lagi, peristiwa itu tidak ayal lagi kembali meningkatkan kecurigaan banyak kalangan Amerika terhadap kaum Muslim khususnya mereka yang bekerja di lingkungan angkatan bersenjata Amerika. Berbagai backlash terhadap kaum Muslim umumnya bakal meningkat kembali dalam berbagai bentuknya sejak dari religious profiling sampai kepada diskriminasi dan harassement di lingkungan tempat mereka bekerja.

Sebuah khotbah Imam Shamsi Ali yang menggigit, yang menuntut setiap individu Muslim menghindari tindakan-tindakan yang mencelakakan diri sendiri, orang non-Muslim, kaum Muslim umumnya, dan bahkan juga Islam sebagai sebuah agama. Karena, tindakan-tindakan seperti itu apa pun motif dan alasannya tidaklah membantu kaum Muslim dan Islam. Sebaliknya, itu justru mencederai kaum Muslim lain, sekaligus Islam yang membuat kedua entitas ini terpojok dan menjadi 'tertuduh'.

Sebuah khotbah yang keras, yang menuntut setiap Muslim dalam setiap ucapan dan perbuatan agar betul-betul mencerminkan Muslim dan Islam memang rahmatan lil alamin . Imam Shamsi Ali mengungkapkan doktrin Islam dan praktik Nabi Muhammad SAW tentang Islam sebagai agama damai dan rahmat bagi alam semesta. Tapi, semua itu tidak cukup bila tidak diwujudkan oleh setiap individu Muslim dalam kehidupan sehari-hari mereka. Bahkan, Islam rahmatan lil alamin dapat menjadi sekadar klaim kosong jika tetap ada orang-orang Muslim yang gemar melakukan tindakan kekerasan daripada menempuh cara-cara damai.

Sebuah khotbah yang disampaikan secara eloquent dalam bahasa Inggris, yang penuh kutipan ayat Alquran dan hadis serta pengalaman historis Nabi SAW dalam mengembangkan dan mewujudkan Islam sebagai agama damai dan rahmatan lil alamin . Inilah khotbah membanggakan yang sekaligus menegaskan bahwa khatibnya, seorang putra asli Indonesia, adalah penyeru washatiyyah , sikap keagamaan yang tawazun, yang menempuh jalan tengah, berimbang, dan tidak condong ekstrem ke arah kiri atau kanan. Imam Shamsi Ali adalah wajah Islam Indonesia yang membanggakan.

Inilah sebuah khotbah yang powerful which makes me trembling , khotbah yang penuh gereget yang membuat tubuh saya bergetar, ujar seorang jamaah asal Trinidad-Tobago kepada saya seusai shalat Jumat. Ia mengusulkan khotbah tanpa teks itu dapat dicetak dalam bentuk buklet untuk disebarkan kepada kaum Muslim atau pihak-pihak terkait lainnya karena isinya yang sangat penting.

Masa depan Islam terletak pada kaum Muslim sendiri; bukan pada orang lain. Kaum Muslim dapat mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam jika mereka mau sungguh-sungguh menempuh jalan damai dalam kehidupan mereka. Tidak ada alasan untuk pesimis terhadap masa depan Islam di tengah berbagai tantangan lokal dan global, yang tidak selamanya bersahabat bagi kehidupan kaum Muslim dan Islam. Di sinilah, diperlukan kearifan dalam menyikapi semua tantangan itu.

Khotbah Imam Shamsi Ali mencerminkan optimisme itu. Kekerasan hanyalah salah satu bentuk pesimisme dan ketakutan menghadapi tantangan hari ini dan esok. Bahkan, secara teologis, sikap itu seolah-olah tidak percaya bahwa Allah SWT bakal membantu hamba-Nya melalui berbagai cara. Sebab itulah, optimisme mesti tetap dipelihara dan dihidupkan sehingga tidak ada lagi individu Muslim di mana pun ia berada yang gelap mata melakukan tindakan kontraproduktif bagi kaum Muslim dan Islam.

Sabtu, 14 November 2009

Rekayasa Hukum



Oleh Ruswanto Syamsuddin

''Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta dan benda yang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.'' (QS al Baqarah [2] : 188).

Allah SWT dalam ayat ini melarang manusia memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Terdapat alasan logis yang melatari pelarangan perbuatan tersebut. Yaitu, bahwa memakan harta orang lain secara tidak halal bertentangan dengan fitrah (nurani) manusia. Suatu perbuatan yang bertentangan dengan fitrah lebih banyak mendatangkan mudharat daripada maslahat.

Tindakan memakan harta orang lain dengan cara batil membuka ruang untuk bertindak saling menzalimi antarsesama. Jika hal itu dibiarkan terjadi berlarut-larut, maka pihak yang kuat akan semakin kuat dan yang lemah akan semakin lemah. Dengan kata lain, kelompok yang kuat dengan mudah dan leluasa dapat menindas kelompok yang lebih lemah.

Oleh karena itu, Islam secara tegas melarang kaum Muslimin merekayasa hukum dengan tujuan memperkaya diri secara batil. Hukum merupakan tempat bernaungnya masyarakat dari sistem hidup yang berpotensi mencampakkan prinsip-prinsip keadilan.

Maka, jika hukum di pengadilan bisa dengan mudah direkayasa oleh orang-orang yang berada di institusi penegak hukum, lalu ke mana dan kepada siapa lagi masyarakat akan menuntut keadilan. Kalau penyakit ini telah menyerang negeri ini, sungguh kita menghadapi musibah yang dapat mendatangkan petaka kemanusiaan.

Dalam hadis riwayat ad-Dailami dari Ibn Abbas, dijelaskan bahwa ada tiga golongan manusia yang apabila ketiganya itu ada, maka akan membawa bencana. Yaitu ahli agama yang durhaka, para pemimpin atau pejabat pemerintah yang aniaya, dan para ahli hukum yang bodoh.

Pemimpin yang aniaya adalah yang menjadikan kedudukannya untuk kepentingan duniawi. Ahli agama yang durhaka adalah yang menjadikan agama sebagai alat untuk kepentingan duniawi. Dan ahli hukum yang dikategorikan bodoh adalah yang menetapkan hukum bukan berdasarkan keadilan, melainkan berdasarkan kepentingan pribadinya.

Rasulullah SAW bersabda, ''Sebesar-besar dosa adalah mempersekutukan Allah (syirik), membunuh jiwa (tanpa sebab), durhaka kepada kedua orang tua, dan perkataan zuur (sumpah/saksi palsu).'' (HR Bukhari).

Hanya dengan pertolongan Allah dan usaha keras bangsa Indonesia, segala potensi kezaliman dapat diredam. Meredam potensi perbuatan zalim berarti menyelamatkan bangsa dari penyakit sosial yang sudah menggerogoti mentalitas sebagian penegak hukum di negeri in

Minggu, 01 November 2009

Optimisme Generasi Muda



Oleh Azyumardi Azra


Hari-hari ini, seputar peringatan 81 tahun Sumpah Pemuda, banyak kalangan generasi lebih senior gelisah. Kegelisahan itu tecermin dari berbagai konvensi, seminar, dan diskusi yang kebetulan saya terlibat sebagai narasumber sepanjang pekan lalu dan pekan terakhir Oktober ini. Temanya bisa beragam, sejak masalah jati diri pemuda dan bangsa; solidaritas dan kesetiakawanan sosial; sampai kepada pendidikan untuk membangkitkan kembali nasionalisme kaum muda. Meski kelihatan berbeda, semangat yang terkandung di dalamnya hampir sama; kecemasan terhadap generasi muda yang dipersepsikan kian sulit menggapai masa depan lebih baik, dan sekaligus juga tidak memiliki karakter, jati diri, etos kebangsaan, sehingga dapat mempengaruhi masa depan bangsa dan negara.

Dalam berbagai forum itu, banyak narasumber berbicara tentang sisi gelap kehidupan generasi muda sekarang. Mulai dari pendidikan yang mereka pandang masih jauh tertinggal daripada negara-negara lain; atau karena generasi mudanya sendiri mereka pandang cenderung malas yang membuat mereka kalah bersaing dengan generasi muda bangsa-bangsa lain; sampai pada anak-anak muda yang menurut mereka lebih tertarik pada budaya global daripada budaya lokal dan nasional mereka sendiri.

Kecemasan dan kekhawatiran tersebut, hemat saya, dalam segi-segi tertentu mencerminkan tidak hanya kesenjangan nilai di antara generasi lebih tua dengan generasi muda, tetapi sekaligus juga perbedaan persepsi masing-masing tentang realitas masa kini dan masa mendatang. Generasi lebih tua terbentuk lewat pengalaman yang berbeda, sesuai realitas yang ada pada masanya; sementara generasi muda kita sekarang ini hidup dalam lingkungan lokal, nasional dan internasional yang sangat berbeda. Karena itu, wajarlah jika generasi tua yang telah mapan dengan pengalaman dan nilainya sendiri memiliki kecemasan kepada generasi muda yang mempunyai nilainya dan persepsinya sendiri--yang tentu saja terbentuk di tengah dunia yang sudah dan terus dengan cepat berubah.

Di tengah kecemasan generasi tua yang lebih cenderung melihat ''sisi gelap'' (dark sides) generasi muda itu, saya sendiri sejak lama lebih memiliki optimisme terhadap generasi muda bangsa. Banyak sisi positif generasi muda yang perlu mendapat apresiasi generasi lebih tua. Meski kita masih mengeluh tentang mutu pendidikan kita yang belum juga sesuai harapan, masa sekarang ini adalah masa di mana anak-anak muda kita semakin terdidik berkat pendidikan yang semakin merata tersedia.

Optimisme juga ditemukan Harian Kompas (26 Oktober 2009) dalam jajak pendapat dalam rangka peringatan 81 tahun Sumpah Pemuda. Jajak pendapat yang dilaksanakan di 10 kota besar Indonesia menemukan bahwa generasi muda Indonesia sekarang ini sangat optimistis menyongsong dan sekaligus menghadapi tantangan masa depan mereka. Sekitar dua per tiga anak-anak muda berusia antara 16 dan 30 tahun berani memastikan bahwa kehidupan mereka nanti jauh lebih baik secara sosial ekonomis dibandingkan generasi muda 20 tahunan silam. Mereka memandang memiliki kesempatan lebih baik mendapatkan pendidikan yang juga lebih baik untuk kemudian mendapat penghasilan lebih besar, mencapai kehidupan lebih menyenangkan, menikmati kemudahan memperoleh hal-hal esensial dalam kehidupan serta turut serta dalam mendorong perubahan sosial.

Salah satu sumber optimisme itu adalah semakin terbukanya berbagai akses bagi mereka untuk meningkatkan kualitas diri--tidak hanya melalui pendidikan formal yang mereka peroleh dari sekolah atau perguruan tinggi, tetapi juga sumber-sumber belajar lainnya. Dalam hal ini, yang paling penting adalah kemajuan telekomunikasi dan informasi, yang memungkinkan mereka mengakses ilmu dan informasi lainnya bahkan secara instan.

Bila 20 tahun lalu, guru dan dosen hampir menjadi satu-satunya sumber belajar, generasi muda sekarang bahkan mendapatkan ilmu dan informasi dari beragam sumber yang tersedia dalam jaringan dunia maya.

Sebab itu, generasi lebih tua--termasuk guru dan dosen--kini sama sekali tidak boleh meremehkan anak-anak muda; seolah-olah anak-anak muda tidak tahu apa-apa. Boleh jadi di kelas mereka lebih banyak diam; tetapi sikap seperti ini sangat mungkin karena tidak mau dianggap guru atau dosen sebagai murid atau mahasiswa yang kurang sopan. Di balik itu, sangat boleh jadi mereka telah lebih mengetahui apa yang disampaikan guru dan dosen mereka, karena lebih giat mengakses internet, misalnya. Tetapi, kegemaran anak-anak muda kita sekarang mengakses internet selama berjam-jam bahkan juga menimbulkan kecemasan kalangan orang tua dan para pendidik, karena jangan-jangan anak-anak muda ini mengakses situs-situs yang menyesatkan.

Berkat kesempatan lebih besar mengakses sumber-sumber ilmu dan informasi, generasi muda sekarang cenderung semakin kosmopolitan dalam pandangan, persepsi, dan tingkah lakunya.

Pada saat yang sama mereka seolah kian tercerabut dari akar-akar lokal dan nasionalnya; bahkan banyak di antara mereka tidak lagi dapat menyebut kelima Pancasila secara benar.

Lagi-lagi, hemat saya tidak ada yang perlu dikhawatirkan benar dengan gejala-gejala seperti ini. Anak-anak muda kita, bagaimanapun masih dalam proses pengembangan diri. Karena itu, kian besar kesempatan bagi mereka mendapatkan akses-akses ilmu dan informasi untuk meningkatkan kualitas diri, kian baik pulalah sesungguhnya peluang mereka dalam menyongsong dan menghadapi tantangan hari ini dan masa depan. Di sinilah kita sekali lagi boleh optimistis dengan masa depan mereka yang lebih baik.

Kesalihan Negara



Oleh A Ilyas Ismail

Islam, kata Sayyid Quthub, merupakan sistem hidup yang mengatur segi-segi kehidupan manusia. Sebagai sistem hidup, Islam menghendaki kebaikan dan kemaslahatan hidup, tak hanya kemaslahatan individual, tetapi juga kesalihan sosial bahkan kesalihan negara.

Kesalihan negara ini sungguh penting, karena orang baik belum tentu menjadi warga negara yang baik bila negera buruk. Bahkan, di negara yang buruk, orang baik bisa menjadi warga negara yang buruk. Lantas, bagaimana cara membangun negara yang baik atau menciptakan kesalihan negara itu?

Al-Farabi pernah membayangkan kesalihan negara itu dalam bukunya yang sangat masyhur bertajuk Negara Utama ( al-Madinah al-Fadhilah ). Negara Utama, dalam pikiran al-Farabi, dipimpin oleh para filosof dalam arti orang-orang yang memiliki ilmu dan wawasan yang luas, sehingga mereka memiliki kearifan.

Pemimpin di sini tak hanya menunjuk pada kepala negara, tetapi juga para menteri, dan semua pemangku jabatan publik. Bahkan, dalam pandangan al-Farabi, anggota masyarakat dan seluruh warga dari Negara Utama haruslah orang-orang terpelajar yang dalam bahasa modern disebut knowledge society (masyarakat ilmu).

Selain faktor kepemimpinan seperti dikemukakan al-Farabi di atas, kesalihan negara perlu didukung setidak-tidaknya oleh tiga pilar utama. Pertama, pilar pemahaman dan pengamalan agama yang menekankan tak hanya pada segi-segi formalisme (lahiriyah)-nya, tetapi juga pada substansi dan misi profetiknya dalam mengupayakan kesejahteraan bersama bagi umat dan bangsa (QS Al-Baqarah [2]: 177).

Kedua, pilar tanggung jawab sosial dalam bentuk amar makruf dan nahi mungkar. Amar makruf bermakna membangun sistem Islam (Sayyid Quthub) dan menanamkan nilai-nilai yang dianggap baik dilihat dari segi agama maupun budaya ( al-Raghib al-Ishfahani ).

Sementara nahi mungkar bermakna membebaskan masyarakat dari berbagai kezaliman dan pelanggaran moral seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pilar kedua ini sungguh penting bagi bangsa soft state, yaitu bangsa lunak yang terlalu toleran dengan kejahatan dan pelanggaran moral.

Ketiga, pilar keadilan sebagai ikhtiar mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan bangsa. Dalam Islam, keadilan merupakan nilai keutamaan yang paling mendekati takwa (QS al-Maidah [5]: 8). Setiap orang dari kita disuruh menegakkan keadilan terlebih lagi para penguasa dan pejabat publik agar terbangun kesalihan negara.

Perhatikan ayat ini, ''Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.'' (QS an-Nisaa [4]: 58).

(-)

Kunci Keberkahan Harta



Oleh Ahmad Soleh

Kekayaan yang Allah berikan kepada manusia merupakan titipan sementara. Sebagian manusia mendapatkan titipan itu dengan jumlah yang besar dan sebagian yang lain mendapatkannya dengan jumlah kecil. Namun, menurut ajaran Islam, keberkahan harta benda itu tidak ditentukan oleh besaran jumlahnya.

Harta kekayaan seseorang akan berkah jika pemiliknya melakukan amalan-amalan sesuai dengan tuntunan Islam. Berikut amalan-amalan yang dimaksud. Pertama, syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang dikaruniakan kepadanya.

Allah berfirman, ''Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'' (QS Ibrahim [14]: 7).

Kedua, silaturahim. Amalan ini merupakan upaya menyambung tali persaudaraan antarsesama manusia: merajut dan memperkuat ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Muslim) dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia). Praktik ini dapat melapangkan rezeki dari Allah.

Abu Hurairah RA menyampaikan sebuah hadis Nabi SAW yang berkaitan dengan hal ini, ''Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali kekerabatan (silaturahim).'' (HR Bukhari).

Ketiga, menafkahkannya di jalan Allah. Berkembangnya harta dipengaruhi juga oleh faktor di mana ia dibelanjakan. ''Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan, Allah Mahaluas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.'' (QS Albaqarah [2] ayat 261).

Keempat, senantiasa melakukan kebaikan. Segala kebaikan akan kembali kepada pelakunya. Kebaikan itu akan membuahkan keberkahan dan kebahagiaan. Dalam Alquran, dijelaskan, ''Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu.'' (QS Al-Isra' [17]: 7).

Kelima, berzakat dan bersedekah. Zakat dan sedekah akan membersihkan harta seseorang karena di dalamnya terdapat hak orang lain. Allah berfirman, ''Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya, doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.'' (QS Attaubah [9]: 103).

Itulah lima amalan yang akan mendatangkan keberkahan harta kekayaan. Semoga Allah menurunkan keberkahan-Nya dari langit dan bumi melalui harta kekayaan yang kita m

Alam dan Eksistensi Allah



Oleh KH Ahmad Mukri Aji

Dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 164, Allah SWT menegaskan bahwa semesta alam adalah 'ayat-ayat-Nya' yang diperlihatkan kepada manusia. Dia ingin menunjukkan eksistensinya pada manusia lewat sebuah 'tanda', sebagai petunjuk atas adanya 'Yang Menandai'.

Ibnu Arabi menyebut bahwa alam adalah 'cermin' sekaligus 'bayangan' Tuhan. Lewat alam ini, Tuhan sebetulnya ingin memperlihatkan, mengenalkan, sekaligus melihat dirinya sendiri lewat pantulan dalam 'cermin'. Dalam terminologi tasawuf dikatakan Allah SWT ber-tajalli lewat alam.

Oleh karena itu, ayat Alquran yang pertama kali turun dan dibacakan kepada Nabi Muhammad SAW adalah surat al-'Alaq, ''Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.'' (QS al-'Alaq [96]: 3-5).

Dengan perantara kalam, Allah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui mereka. Dan, Dia menjadikan kalam sebagai 'tanda' yang bisa membuka cakrawala pengetahuan manusia, termasuk pengetahuannya tentang keberadaan-Nya.

Allah pun akan memberikan 'tanda' dengan menguji manusia lewat rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, lenyapnya jiwa dan buah-buahan (makanan). (QS al-Baqarah [2] : 155). Kesemuanya adalah ujian dan cobaan dari-Nya.

Saat fenomena alam terjadi, seperti gempa bumi, banjir, angin ribut, tanah longsor, ataupun tsunami, pada hakikatnya Allah ingin menunjukkan 'tanda' keberadaan-Nya di alam semesta. Dengannya, Dia mengajarkan manusia untuk mampu memahami kekuasaan-Nya. Karena dengan memahaminya, tersingkaplah rahasia-rahasia-Nya.

Sungguh, di saat ujian Allah datang, kita tidak memiliki daya dan kekuatan kecuali meminta pertolongan dari-Nya. Dan sebaik-baiknya memohon pertolongan Allah adalah dengan sabar dan shalat, karena sesungguhnya Allah beserta hamba-Nya yang sabar. (QS al-Baqarah [2]: 153). La haula wa la quwwata illa billahil 'aliyyil 'azim (Tidak ada daya dan kakuatan kecuali daya dan kekuatan Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung).

Tak ada kata mulia yang keluar dari lidah orang yang mau memikirkan 'tanda' kekuasaan Allah SWT selain mengucapkan, ''Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.'' (QS al-Imran [3]: 191).

(-)
Index Koran

Al Quran On Line