tag:blogger.com,1999:blog-12475290661486607252024-03-06T12:56:27.702+07:00KultumUnknownnoreply@blogger.comBlogger520125tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-48698142612548141992012-06-19T09:15:00.000+07:002012-06-19T09:15:01.438+07:00Shalatkan KehidupanmuKamis, 14 Juni 2012, 13:36 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Malikul Mahfudh Rustamaji
Banyak di antara kita yang mengaku taat beragama, tetapi masih saja berlaku tidak baik kepada sesama. Di antara kita ada orang-orang yang korupsi, menggelapkan pajak, menzalimi rakyat, tidak menjalankan amanah, dan lainnya. Padahal, mereka juga shalat, puasa, bahkan berhaji. Tetapi, masih saja shalatnya tidak bisa mencegah sifat buruk, keji, dan kemungkaran. (QS al Ankabut [29]:45).
Siapakah yang salah? Tuhan tidak akan pernah salah. Kitalah yang salah. Kita hanya bertakbir, tahmid, membaca fatihah, dan salam dengan lisan saja. Kita hanya mengangkat tangan, rukuk, sujud, dan menoleh kanan kiri hanya saat berada di depan-Nya saja. Kita merasa dilihat dan dekat dengan-Nya hanya saat shalat.
Kita tahu shalat itu dilakukan dengan niat hanya karena Allah, tetapi kita lupa atau melupakan bahwa hidup ini berawal dan bermuara kepada-Nya. Semua akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya.
Kita tahu shalat itu diawali dengan takbir (mengagungkan Allah) dan diakhiri dengan salam ke kiri dan kanan. Tetapi, kita lupa atau melupakan bahwa seharusnya mengawali hari dengan pengakuan bahwa semua ini milik Allah, kita tidak punya hak untuk memakainya secara berlebihan.
Kita tidak punya hak untuk memakai yang bukan hak kita. Kita juga lupa mengakhiri hari ini dengan memberikan kedamaian di sekitar kita. Kita tahu saat shalat kita serasa berada di dekat-Nya. Tetapi, saat di luar shalat kita merasa jauh dari-Nya. Sehingga, kita masih saja menzalimi orang lain, memakai yang bukan hak kita, mengambil yang bukan milik kita, atau dosa lainnya. Padahal, Dia sangat dekat, lebih dekat dari urat leher kita.
Kehidupan ini, dengan berbagai seluk beluknya, berawal dan bermuara kepada Allah. Sebelum berangkat kerja kita shalat Subuh. Sesampainya di tempat kerja, melakukan shalat Dhuha. Saat siang kita shalat Zhuhur, dan sebelum pulang, kita mendirikan shalat Ashar.
Lalu, tiba di rumah melakukan shalat Maghrib dan selanjutnya sebelum menikmati kebersamaan dengan keluarga dan istirahat malam, mendirikan shalat Isya. Di akhir malam pun bangun bermunajat kepada-Nya.
Tetapi, shalat bukan hanya sebatas dimensi ibadah. Shalat merupakan manifestasi dari puncak kehidupan kita. Shalat kita harus teraplikasi dan integral dalam kehidupan kita sehari-hari. Berbahagialah orang-orang yang telah menshalatkan kehidupannya. Mereka khusyuk dalam shalat, tenang, tekun, dan patuh dalam bekerja.
Selalu merasa dekat dan diperhatikan oleh Allah, baik saat shalat maupun saat bekerja. Tidak melakukan perbuatan yang sia-sia, apalagi yang merugikan atau menzalimi orang lain. Mengeluarkan zakat dan berbagi kepada sesama. Menyayangi keluarga dengan sepenuh hati. Menjaga diri dari maksiat. Tidak melampui batas. Menunaikan amanah yang dibebankan kepadanya.
Di akhir harinya pun, mereka bersyukur kepada-Nya atas segala karunia-Nya dengan selalu menjaga shalatnya. Merekalah yang mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Inilah yang dimaksud menshalatkan kehidupan kita. (Lihat QS al-Mukminun [23]:1-11).Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-85242505611615387952012-06-19T09:13:00.002+07:002012-06-19T09:13:35.261+07:00Mari BeristiqamahMinggu, 17 Juni 2012, 07:16 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Imam Nawawi
Zaman boleh berganti, waktu boleh berlalu. Tetapi, keimanan harus tetap dalam hati hingga tiba waktunya pulang menghadap Ilahi. Tekanan boleh muncul dari kiri kanan, paksaan boleh datang menantang, tapi keimanan harus tetap dikedepankan.
Iman tidak boleh bengkok, rapuh, apalagi lenyap ditelan zaman. Iman harus tetap kuat, kokoh, dan eksis dalam menghadapi ujian, cobaan, tantangan, bahkan ancaman dan serangan. Dalam Islam, iman adalah perkara asasi. Ia lebih penting dari segala urusan penting manusia. Iman menjadi penentu diterima tidaknya segala kebaikan setiap insan. Tanpa iman segala amal baik tidak bernilai di sisi Allah. Dengan iman, sesederhana apa pun, segala amal baik akan mendapat balasan yang lebih baik (QS [16]: 97).
Dengan demikian tidak ada urusan yang paling mendasar, penting, dan utama bagi setiap Muslim selain menjaga kualitas iman dan senantiasa meningkatkannya.
Dari Abu Amr atau Abu Amrah Sufyan bin Abdullah, ia berkata, “Saya berkata kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, tolong ajari saya suatu ucapan yang mengandung ajaran Islam dan saya tidak perlu lagi bertanya kepada siapa pun selain Anda’.” Rasulullah menjawab, “Katakanlah, aku beriman kepada Allah, kemudian bersikap istiqamah.” (HR Muslim).
Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menjabarkan bahwa istiqamah adalah sikap konsisten dalam taat kepada Allah. Allah berfirman, “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu .…” (QS [11]: 112).
Hal inilah yang mendorong seorang Umar bin Khathab tetap dalam kesederhanaan sekalipun telah mengemban amanah sebagai seorang khalifah. Begitu pula halnya dengan Ali bin Abi Thalib yang tetap bahagia meskipun bekerja sebagai pengangkut air pada seorang majikan yang beragama Yahudi. Termasuk Sayyidah Fathimah, putri kesayangan Rasulullah SAW. Sebagai putri nabi, Fathimah tetap memilih hidup dengan usaha sendiri. Setiap hari Fathimah bekerja menggiling gandum hingga melepuh telapak tangannya.
Demikian pula halnya dengan Ashabul Kahfi, sekelompok pemuda yang teguh memegang iman dalam situasi zaman yang penuh kejahiliyahan. Dalam situasi seperti itu, pemuda Ashabul Kahfi itu memohon keselamatan dan keteguhan iman (QS [18]: 10, 13, 14).
Semua itu dilakukan bukan karena mereka antidunia, tetapi lebih karena ingin kedekatan hatinya kepada Allah SWT tidak terganggu (istiqamah). Dunia cukuplah bisa menegakkan tulang rusuk guna beribadah kepada-Nya, demikian salah satu pesan nabi.
Harta, tahta, dan wanita kadang membuat manusia tidak istiqamah dalam iman, seperti Qarun dan Tsa’labah. Demi dunia, keduanya rela melepas imannya. Padahal, balasan bagi Muslim yang istiqamah adalah surga.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS [46]: 13, 14).Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-88037763756202902592012-06-19T09:11:00.003+07:002012-06-19T09:11:18.215+07:00Memaknai Isra Mi'rajSabtu, 16 Juni 2012, 05:58 WIB
.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Mohammad Sofwan
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS al-Isra’ [17]: 1).
Mahasuci Allah adalah sebuah kalimat tauhid. Allah Mahasuci dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. Suci dari meninggalkan hamba yang dikasihi-Nya berada dalam kesedihan dan kesendirian ketika ditinggal oleh orang-orang yang dicintai dan menopang dakwahnya. Suci dari tidak kuasa mengadakan kejadian luar biasa, yang orang-orang berakal pun tidak bisa menerimanya.
Peristiwa Isra dan Mi’raj yang berlangsung lailan (pada sepotong, bukan sepanjang malam) adalah salah satu hal yang luar biasa. Luar biasa, sehingga kita pun perlu mengucapkan subhanallah seperti ayat di atas agar tidak terlena dengan keluar-biasaannya (kemahabesaran) dan kekuasaan Allah SWT.
Mengalami peristiwa ini adalah suatu kemuliaan yang besar. Dan, kemuliaan hanya diberikan kepada orang yang mulia. Beliaulah Rasulullah SAW. Karena itu, saat yang paling mulia bagi Rasulullah SAW adalah ketika sedang menjalani Isra dan Mi’raj.
Bukan ketika beliau berhijrah ke Madinah atau saat beliau menaklukkan Kota Mekkah. Karena, saat Isra dan Mi’raj, sekali-kalinya Allah SWT berfirman kepada beliau tanpa perantara Malaikat Jibril RA.
Namun, yang membuat kita bertanya-tanya, mengapa ketika berada dalam kondisi yang paling mulia ini, beliau disebut dengan hamba-Nya? Seperti tertulis nyata dalam surah al-Isra [17]: 1. Mengapa beliau tidak disebut dengan rasul-Nya, nabi-Nya, kekasih-Nya, atau Muhammad saja?
Kesimpulan para ulama, ayat ini menunjukkan bahwa kondisi paling mulia yang dicapai manusia adalah ketika dia bisa merealisasikan dirinya sebagai hamba Allah SWT. Saat itulah Allah SWT rida kepadanya.
Lalu, bagaimana seseorang bisa menjadi hamba Allah SWT yang sebenarnya? Menjadi hamba Allah SWT adalah meyakini bahwa Allah adalah penciptanya yang berkuasa atas segala sesuatu. Sedangkan dia adalah hamba yang lemah, tiada daya dan upaya, menerima segala keputusan Allah SWT dengan penuh kerelaan.
Ketika memperjalankan hamba-Nya dengan peristiwa Isra, Allah SWT membuka kesempatan yang sama kepada seluruh manusia untuk bisa mencapai derajat kemuliaan. Karena, seluruh manusia sama-sama bisa menjadi hamba Allah SWT.
Berbeda seandainya yang diperjalankan adalah seorang nabi, tidak semua orang bisa menjadi nabi; atau seorang kaya, tidak semua orang bisa menjadi orang kaya; atau ulama, tidak semua orang bisa menjadi ulama; atau keturunan nabi, tidak semua orang lahir sebagai keturunan nabi.
Demikianlah karakteristik Islam, yang tidak menjadikan kemuliaan monopoli bagi golongan tertentu. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk membanggakan nasabnya, karena Allah SWT tidak menilainya berdasar nasab.
Tidak ada alasan bagi seseorang untuk membanggakan ilmu dan hartanya, karena ilmu dan harta adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan. Hendaknya bersyukur ketika semua itu membuatnya menjadi hamba Allah SWT yang sebenarnya.
Redaktur: Heri RuslanMemaknai Isra Mi'raj
Sabtu, 16 Juni 2012, 05:58 WIB
.
Memaknai Isra Mi'raj
Masjid Al Aqsha
Berita Terkait
Keutamaan Shalat Tahajud
Shalatkan Kehidupanmu
Imam Malik dan Narkoba
Inilah Tiga Tanda Kematian
Hadiah yang Paling Utama
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Mohammad Sofwan
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS al-Isra’ [17]: 1).
Mahasuci Allah adalah sebuah kalimat tauhid. Allah Mahasuci dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. Suci dari meninggalkan hamba yang dikasihi-Nya berada dalam kesedihan dan kesendirian ketika ditinggal oleh orang-orang yang dicintai dan menopang dakwahnya. Suci dari tidak kuasa mengadakan kejadian luar biasa, yang orang-orang berakal pun tidak bisa menerimanya.
Peristiwa Isra dan Mi’raj yang berlangsung lailan (pada sepotong, bukan sepanjang malam) adalah salah satu hal yang luar biasa. Luar biasa, sehingga kita pun perlu mengucapkan subhanallah seperti ayat di atas agar tidak terlena dengan keluar-biasaannya (kemahabesaran) dan kekuasaan Allah SWT.
Mengalami peristiwa ini adalah suatu kemuliaan yang besar. Dan, kemuliaan hanya diberikan kepada orang yang mulia. Beliaulah Rasulullah SAW. Karena itu, saat yang paling mulia bagi Rasulullah SAW adalah ketika sedang menjalani Isra dan Mi’raj.
Bukan ketika beliau berhijrah ke Madinah atau saat beliau menaklukkan Kota Mekkah. Karena, saat Isra dan Mi’raj, sekali-kalinya Allah SWT berfirman kepada beliau tanpa perantara Malaikat Jibril RA.
Namun, yang membuat kita bertanya-tanya, mengapa ketika berada dalam kondisi yang paling mulia ini, beliau disebut dengan hamba-Nya? Seperti tertulis nyata dalam surah al-Isra [17]: 1. Mengapa beliau tidak disebut dengan rasul-Nya, nabi-Nya, kekasih-Nya, atau Muhammad saja?
Kesimpulan para ulama, ayat ini menunjukkan bahwa kondisi paling mulia yang dicapai manusia adalah ketika dia bisa merealisasikan dirinya sebagai hamba Allah SWT. Saat itulah Allah SWT rida kepadanya.
Lalu, bagaimana seseorang bisa menjadi hamba Allah SWT yang sebenarnya? Menjadi hamba Allah SWT adalah meyakini bahwa Allah adalah penciptanya yang berkuasa atas segala sesuatu. Sedangkan dia adalah hamba yang lemah, tiada daya dan upaya, menerima segala keputusan Allah SWT dengan penuh kerelaan.
Ketika memperjalankan hamba-Nya dengan peristiwa Isra, Allah SWT membuka kesempatan yang sama kepada seluruh manusia untuk bisa mencapai derajat kemuliaan. Karena, seluruh manusia sama-sama bisa menjadi hamba Allah SWT.
Berbeda seandainya yang diperjalankan adalah seorang nabi, tidak semua orang bisa menjadi nabi; atau seorang kaya, tidak semua orang bisa menjadi orang kaya; atau ulama, tidak semua orang bisa menjadi ulama; atau keturunan nabi, tidak semua orang lahir sebagai keturunan nabi.
Demikianlah karakteristik Islam, yang tidak menjadikan kemuliaan monopoli bagi golongan tertentu. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk membanggakan nasabnya, karena Allah SWT tidak menilainya berdasar nasab.
Tidak ada alasan bagi seseorang untuk membanggakan ilmu dan hartanya, karena ilmu dan harta adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan. Hendaknya bersyukur ketika semua itu membuatnya menjadi hamba Allah SWT yang sebenarnya.
Redaktur: Heri RuslanUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-10402895972993175352012-06-19T09:09:00.003+07:002012-06-19T09:09:58.968+07:00nilah Persinggahan Rasulullah dalam Isra Mi'rajMinggu, 17 Juni 2012, 11:10 WIB
.
I
REPUBLIKA.CO.ID, Isra Mi’raj merupakan peristiwa terbesar dalam sejarah manusia ketika seorang manusia dipertemukan dengan Penciptanya secara langsung. Peristiwa ini hanya dianugerahkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
Mengendarai tunggangan khusus yang disebut buraq, Rasulullah didampingi Malaikat Jibril berangkat dari Makkah menuju Masjidil Aqsha. Seperti termaktub dalam Hadis yang diriwayatkan Imam Nasa’i, dalam perjalanan menuju Masjidil Aqsha, Rasulullah SAW sempat singgah di sejumlah tempat. Seperti Madinah, Bukit Thursina, kemudian singgah di Bethlehem, dan selanjutnya menuju Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha).
Rasul SAW sempat berjumpa dengan sejumlah nabi di Masjid al- Aqsha. Selanjutnya, Rasul melanjutkan perjalanan menuju Sidratul Muntaha, untuk menerima perintah shalat lima waktu.
Bukit Thursina
Hampir semua ahli tafsir sepakat, Bukit Thursina adalah bukit saat Musa menerima wahyu dari Allah. Mereka pun meyakini bahwa Bukit Thursina sebagaimana disebutkan dalam surah at-Tin ayat 1-3 ber ada di wilayah Mesir yang lokasinya berada di Gunung Munajah, di sisi Gunung Musa. Lokasi ini dikaitkan dengan keberadaan Semenanjung Sinai. Pendapat ini didukung oleh Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur’an. Menurut Quthb, Thursina atau Sinai itu adalah gunung tempat Musa dipanggil berdialog dengan Allah SWT.
Baitul Maqdis
Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha) yang berada di Kota Yerusalem (Al-Quds) memiliki arti sangat penting bagi umat Islam. Selain menjadi tempat singgah Rasullah dalam Isra Mi’raj, Baitul Maqdis pernah menjadi kiblat shalat umat Islam sebelum kiblat dipindahkan ke Ka’bah.
Baitul Maqdis memiliki sejarah panjang. Konon, kompleks peribadatan ini sudah ada jauh sebelum datangnya Nabi Sulaiman AS. Dalam perkembangannya, Sulaiman meneruskan pembangunannya sekaligusmenambahkan bangunan Kuil Sulaiman. Di kemudian hari, kuil ini dihancurkan oleh bala tentara Babilonia.
Bethlehem
Berada di wilayah Palestina, Bethlehem (Baitullahmi) merupakan kota budaya dan wisata, khususnya wisata rohani. Secara geografis, Bethlehem terletak sekitar 10 km sebelah selatan Yerusalem. Berada pada ketinggian 765 meter dpl, Bethlehem dikelilingi perbukitan yang membentang ke arah Gurun Yudea. Sejarah mencatat, kota ini telah dihuni manusia sejak 3.000 tahun sebelum Masehi. Orang-orang Kanaan adalah kelompok manusia yang diyakini menjadi penduduk pertama Bethlehem.
Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Wachidah HandasahUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-984968112755459682012-06-19T09:08:00.001+07:002012-06-19T09:08:04.822+07:00Inilah Doa yang tak DidengarMinggu, 17 Juni 2012, 17:27 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Habib Nabiel al-Musawa
Ada satu doa Nabi Muhammad SAW yang amat indah. “Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari hati yang tidak khusyuk, dan dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari nafsu yang tidak pernah kenyang serta dari doa yang tidak lagi didengar.” ( Jami’us Shaghir, hadis sahih).
Doa ini singkat, padat, tetapi maknanya amatlah mendalam. Hadis ini mengupas tuntas empat pangkal masalah utama manusia. Masalah yang pertama dan utama adalah jika hatinya sudah tidak bisa lagi khusyuk sehingga tak ada lagi rasa takut kepada Allah SWT. Maka itu, amaliah ibadahnya menjadi rutinitas yang menjemukan dan kering tanpa kenikmatan ibadah.
Jika kondisi ini sudah menguasainya, ia akan dikenai penyakit berikutnya, yaitu ilmunya menjadi tidak lagi bermanfaat bagi akhiratnya. Semua cara akan dikerahkan untuk menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya, yakni dunia semata. Lalu, jika ia sudah dihinggapi penyakit kedua tersebut, jika dibiarkan, ia akan melangkah pada stadium ketiga, yaitu nafsu yang tidak akan bisa kenyang, tak pernah mengenal puas, apa pun akan diterabas demi memuas kan keinginan hawa nafsunya.
Dan, jika ia telah mengalami tingkat ini, ia akan terkena stadium terakhir yang mematikan, yakni doanya tak lagi didengar oleh Allah. Jika ini yang terjadi, mau tinggal di mana lagi kita ini. Bumi mana yang akan kita injak, langit mana tempat kita berteduh, jika doa kita sudah tidak lagi didengar oleh Allah SWT?
Manusia semacam ini persis seperti yang digambarkan oleh Allah SWT: “Atau, seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-menindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (QS an-Nuur: 40).
Melalui momen peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini, saya menasihati diri saya sendiri dan kita sekalian untuk selalu merasa takut kepada Allah SWT dari kemaksiatan. Jika beribadah, lakukanlah dengan khusyuk, teteskan air mata saat menghadap Allah, karena dari-Nya kita berasal dan kepada-Nya kita akan kembali.
Kita berharap, ilmu yang dimiliki dapat menjadi cahaya yang selalu menuntun kita pada kebenaran, menjauhi kemaksiatan dan kemungkaran, agar doa kita layak di dengar dan dikabulkan Allah SWT. “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakanakan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat-(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS an-Nuur:35). Wallahu a’lam.
Redaktur: Heri RuslanUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-41186106747450105782011-01-07T07:00:00.001+07:002011-01-07T07:00:36.029+07:00Oleh KH Didin Hafidhuddin***<br /> <br />Sebagaimana telah sama sama kita yakini bahwa orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang didorong untuk selalu sukses di dalam kehidupannya (kesuksesan yang hakiki), baik di dunia maupun di akhirat nanti, apa pun posisi, kedudukan, dan profesinya. Seruan untuk menggapai kemenangan dan kesuksesan ini dikumandangkan pada setiap azan maupun ikamah ketika hendak melaksanakan shalat, yaitu kalimat hayya 'alal-falaah (mari kita raih kesuksesan dan keberhasilan).<br /><br />Yang perlu kita sadari bersama bahwa indikator kesukesan dalam pandangan ajaran Islam bukan semata-mata pada aspek materi dan bukan pula sebaliknya hanya pada aspek rohani. Bukan pula pada aspek hablumminallah saja dengan mengabaikan hablumminannas atau sebaliknya, tetapi keseimbangan antara keduanya (tawazun) saling melengkapi dan saling mengisi.<br /><br />Indikator kesuksesan yang bersifat tawazun ini, antara lain, seperti diungkapkan dalam QS Al-Mukminun (23): 1-11 (yang sering dijadikan contoh pribadi Rasulullah SAW yang sukses), yaitu: pertama, selalu berusaha untuk menegakkan shalat dengan penuh kekhusyukan dengan cara menjadikan shalat sebagai sebuah kebutuhan utama di samping kewajiban. Shalat dijadikan sebagai medium utama untuk meraih pertolongan dan ridha Allah SWT. Apalagi jika ditambah dengan shalat berjamaah yang dijadikannya untuk membangun silaturahim dan menguatkan ukhuwah Islamiyah di antara sesama orang yang rukuk dan sujud.<br /><br />Kedua, mampu menghindarkan diri dari ucapan dan tindakan yang tidak ada manfaatnya. Artinya, berusaha memiliki etos kerja dan produktivitas yang tinggi serta mempersembahkan yang terbaik dalam bidang dan keahliannya sehingga betul-betul menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya.<br /><br />Ketiga, selalu berusaha mengeluarkan sebagian hartanya untuk diberikan kepada yang membutuhkan, terutama kaum dhuafa dalam bentuk zakat, infak, dan bentukbentuk kedermawanan lainnya.<br />Sikap ini akan melahirkan kekuatan etika dan moral di dalam mencari rezeki. Hanya rezeki yang halal-lah yang ingin ia dapatkan.<br /><br />Keempat, mampu menjaga akhlak dan kehormatannya dalam pergaulan dengan lawan jenis sehingga selalu terjaga kejernihan hati, pikiran, dan juga raganya. Dalam situasi apa pun tidak pernah melakukan kegiatan hura-hura yang penuh dengan kebebasan dan permisif.<br /><br />Kelima, selalu ber usaha menjaga amanah dan janjinya. Disadari betul bahwa segala potensi yang ada pada dirinya se-perti ilmu pengetahuan dan harta meru pakan amanah dan titipan dari Allah SWT yang kemudian akan dipertangungjawabkan di hadapanNya. Persepsi dan pandangan seperti ini akan menyebabkan seseorang tidak akan pernah menghalalkan segala macam cara untuk meraih kenikmatan dunia yang sifatnya sesaat dan sementara.<br /><br />Inilah beberapa indikator kesuksesan hidup seorang Muslim kapan dan di mana pun, yang mudah-mudahan menjadi guideline dalam mengaplikasikan dan mengimplementasikan.<br /><br />Niat yang ikhlas dan kerja keras yang dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT merupakan bingkai utamanya. Wallahu a'lam.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-67095271353140180472011-01-07T06:59:00.000+07:002011-01-07T07:00:03.561+07:00Hikmah dari KH Didin Hafidhuddin: Indikator Kesuksesan HidupOleh KH Didin Hafidhuddin***<br /> <br />Sebagaimana telah sama sama kita yakini bahwa orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang didorong untuk selalu sukses di dalam kehidupannya (kesuksesan yang hakiki), baik di dunia maupun di akhirat nanti, apa pun posisi, kedudukan, dan profesinya. Seruan untuk menggapai kemenangan dan kesuksesan ini dikumandangkan pada setiap azan maupun ikamah ketika hendak melaksanakan shalat, yaitu kalimat hayya 'alal-falaah (mari kita raih kesuksesan dan keberhasilan).<br /><br />Yang perlu kita sadari bersama bahwa indikator kesukesan dalam pandangan ajaran Islam bukan semata-mata pada aspek materi dan bukan pula sebaliknya hanya pada aspek rohani. Bukan pula pada aspek hablumminallah saja dengan mengabaikan hablumminannas atau sebaliknya, tetapi keseimbangan antara keduanya (tawazun) saling melengkapi dan saling mengisi.<br /><br />Indikator kesuksesan yang bersifat tawazun ini, antara lain, seperti diungkapkan dalam QS Al-Mukminun (23): 1-11 (yang sering dijadikan contoh pribadi Rasulullah SAW yang sukses), yaitu: pertama, selalu berusaha untuk menegakkan shalat dengan penuh kekhusyukan dengan cara menjadikan shalat sebagai sebuah kebutuhan utama di samping kewajiban. Shalat dijadikan sebagai medium utama untuk meraih pertolongan dan ridha Allah SWT. Apalagi jika ditambah dengan shalat berjamaah yang dijadikannya untuk membangun silaturahim dan menguatkan ukhuwah Islamiyah di antara sesama orang yang rukuk dan sujud.<br /><br />Kedua, mampu menghindarkan diri dari ucapan dan tindakan yang tidak ada manfaatnya. Artinya, berusaha memiliki etos kerja dan produktivitas yang tinggi serta mempersembahkan yang terbaik dalam bidang dan keahliannya sehingga betul-betul menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya.<br /><br />Ketiga, selalu berusaha mengeluarkan sebagian hartanya untuk diberikan kepada yang membutuhkan, terutama kaum dhuafa dalam bentuk zakat, infak, dan bentukbentuk kedermawanan lainnya.<br />Sikap ini akan melahirkan kekuatan etika dan moral di dalam mencari rezeki. Hanya rezeki yang halal-lah yang ingin ia dapatkan.<br /><br />Keempat, mampu menjaga akhlak dan kehormatannya dalam pergaulan dengan lawan jenis sehingga selalu terjaga kejernihan hati, pikiran, dan juga raganya. Dalam situasi apa pun tidak pernah melakukan kegiatan hura-hura yang penuh dengan kebebasan dan permisif.<br /><br />Kelima, selalu ber usaha menjaga amanah dan janjinya. Disadari betul bahwa segala potensi yang ada pada dirinya se-perti ilmu pengetahuan dan harta meru pakan amanah dan titipan dari Allah SWT yang kemudian akan dipertangungjawabkan di hadapanNya. Persepsi dan pandangan seperti ini akan menyebabkan seseorang tidak akan pernah menghalalkan segala macam cara untuk meraih kenikmatan dunia yang sifatnya sesaat dan sementara.<br /><br />Inilah beberapa indikator kesuksesan hidup seorang Muslim kapan dan di mana pun, yang mudah-mudahan menjadi guideline dalam mengaplikasikan dan mengimplementasikan.<br /><br />Niat yang ikhlas dan kerja keras yang dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT merupakan bingkai utamanya. Wallahu a'lam.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-54646271415387481562010-12-10T13:16:00.001+07:002010-12-10T13:16:41.672+07:00Hijrah Aktual<p><strong>Fajar Kurnianto</strong><br />Peneliti pada Institut Studi Agama Sosial & Politik<br /><br />Tahun baru Islam 1 Muharram 1432 H jatuh pada 7 Desember ini. Bagi umat Islam, ini momen penting mengingatkan pada sejarah hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Husein Haikal dalam bukunya, Hayat Muhammad (1972), menyebut hijrah sebagai kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya demi kebenaran, keyakinan, dan iman.<br /><strong><br />Hijrah</strong><br />Menurut kamus bahasa Arab, Lisanul 'Arab, karya Ibnu Manzhur, kata 'hijrah' memiliki beberapa arti, di antaranya: meninggalkan, memisahkan, dan menjauhi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hijrah memiliki dua pengertian. Pertama, perpindahan Nabi Muhammad bersama sebagian pengikutnya dari Makkah ke Madinah untuk menyelamatkan diri dan sebagainya dari tekanan kaum kafir Quraisy Makkah. Kedua, berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu (keselamatan, kebaikan, dan sebagainya).<br /><br />Pengertian hijrah secara detail dikemukakan oleh Ibnul Arabi (468-543 H), seorang ahli hadis terkemuka Mazhab Maliki. Menurutnya, ada enam pengertian hijrah. Pertama, berpindah dari satu negeri yang sedang berperang ke negeri yang aman dan damai. Kedua, menyingkirkan diri dari tempat yang penuh dengan bidah. Ketiga, keluar dari negeri yang dikuasai oleh perbuatan maksiat.<br /><br />Keempat, menyingkirkan diri dari tindakan-tindakan teror yang bersifat fisik. Kelima, keluar dari negeri yang dijangkiti wabah penyakit. Keenam, menyingkirkan diri karena khawatir atau merasa tidak ada jaminan keselamatan harta benda, jiwa, dan keluarga. Dari pengertian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hijrah itu memiliki<br />dua bentuk. Pertama, hijrah yang berbentuk fisik. Kedua, hijrah berbentuk nonfisik. <br /><br />Hijrah fisik berkaitan dengan aktivitas fisik, yakni berpindahnya orang dari satu tempat ke tempat lain karena alasan tertentu. Sementara hijrah nonfisik berkaitan dengan aspek sikap dan paradigma berpikir yang berubah dari hal buruk pada hal yang baik. Inilah misalnya yang diisyaratkan oleh Rasulullah dalam hadisnya, "Orang yang berhijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah." (HR Bukhari dari Abdullah bin Amr).<br /><br />Ada hal menarik terkait dengan hijrah ini. Ketika Rasulullah dan kaum Muslimin berhasil menaklukkan Makkah (Fathu Makkah) pada 8 H, Rasulullah mengatakan, "Setelah penaklukan Makkah ini, tidak ada lagi hijrah, tapi yang ada adalah jihad dan niat." (HR Bukhari dari Abdullah bin Amr). Hijrah yang beliau maksud adalah hijrah fisik, yakni perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Dengan demikian, secara tegas Rasul menyatakan bahwa hijrah seperti yang beliau dan para sahabat lakukan dari Makkah ke Madinah demi mempertahankan keyakinan dan kebenaran sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah jihad dan niat. Inilah hijrah aktual yang lebih orientatif dan prospektif.<br /><strong><br />Hijrah aktual</strong><br />Jihad secara bahasa artinya upaya sungguh-sungguh dan keras untuk mencapai yang diharapkan atau tujuan tertentu. Yusuf Qardhawi dalam bukunya, Fiqih Jihad, menyebutkan bahwa jihad memiliki pengertian mencurahkan segala usaha, kemampuan, dan tenaga. Menurutnya, ada empat pemahaman jihad.<br /><br />Pertama, jihad militer. Kedua, jihad spiritual. Ketiga, jihad dakwah. Keempat, jihad madani, yakni jihad masyarakat sipil. Inti dari jihad ini adalah untuk memberdayakan umat. Di dalam Alquran, kata 'jihad' biasanya digandengkan dengan kata 'fi sabilillah', yakni di jalan Allah. Artinya, jihad itu mesti pada hal-hal yang sifatnya selaras dengan ajaran Allah dan demi mendapatkan keridaan Allah. Salah satu derivasi dari kata 'jihad' adalah 'ijtihad', yakni upaya sungguh-sungguh dan keras untuk mendalami dan menggali apa yang ada di dalam sumber-sumber ajaran Islam, yakni Alquran dan hadis, kemudian dari situ dikeluarkan sebuah hukum Islam.<br /><br />Sementara itu, 'niat' artinya 'qashd', yakni keinginan, harapan, dan cita-cita yang ingin diraih. Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah mengatakan bahwa orang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan, "Segala sesuatu itu tergantung niatnya. Setiap orang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan. Siapa yang niat hijrahnya adalah untuk mendapatkan keridaan Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkannya. Siapa yang niat hijrahnya untuk mendapatkan dunia, maka ia akan mendapatkannya." (HR Bukhari-Muslim dari Umar bin Khaththab).<br /><br />Jihad dan niat hijrah inilah yang selalu aktual. Manusia dituntut untuk bersungguh- sungguh dalam segala hal dan aktivitas, yang positif tentu saja, disertai dengan niat orientatif-prospektif yang diciptakan terus-menerus. Inilah yang mengkreasi perubahan masif-revolusioner secara radikal. Dalam kaitannya dengan konteks kehidupan berbangsa, hijrah aktual bermakna bahwa semua elemen bangsa, dari para penggawa pemerintahan, para pejabat publik, hingga masyarakat akar rumput, perlu memperbarui niatnya kembali. Tentu saja, niat untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.<br /><br />Tidak hanya niat, tetapi juga benar-benar dibuktikan melalui upaya keras dan sungguh-sungguh untuk mewujudkan hal itu. Tanpa kedua hal itu, bangsa ini akan terus jalan di tempat tanpa orientasi masa depan yang jelas. Ini tanggung jawab kita bersama, terutama dari para pemimpin yang bertugas memimpin bangsa ini untuk berhijrah ke arah yang lebih baik. Ali bin Abu Thalib mengatakan, "Jika hari ini sama dengan hari kemarin, maka itu adalah kerugian." <em>Wallahu a'lam.</em></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-47187615483807119332010-12-10T13:14:00.000+07:002010-12-10T13:15:08.809+07:00Spirit Muharam<strong>Muhbib Abdul Wahab</strong><br /><br />Dalam kalender Hijriah terdapat empat bulan haram, yakni Dzulqaidah, Dzulhijah, Muharam, dan Rajab. Disebut haram karena keempat bulan itu sangat dihormati, dan umat Islam dilarang berperang di dalamnya.<br /><br />Muharam yang berarti diharamkan atau yang sangat dihormati, memang merupakan bulan gencatan senjata atau bulan perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam di manapun harus selalu bersikap damai, tidak boleh mengobarkan api peperangan jika tidak diperangi terlebih dahulu.<br /><br />Seyogianya, umat Islam menghormati dan memaknai Muharam dengan spirit penuh perdamaian dan kerukunan. Sebab, Nabi Muhammad SAW pada khutbah haji wada-yang juga di bulan haram-mewanti-wanti umatnya agar tidak saling bermusuhan, bertindak kekerasan, atau berperang satu sama lain.<br /><br />Esensi dari spirit Muharam adalah pengendalian diri demi terciptanya kedamaian dan ketenteraman hidup, baik secara fisik, sosial, maupun spiritual. Karena itu, di bulan Muharam Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk berpuasa sunah: Asyura (puasa pada hari kesepuluh di bulan ini).<br /><br />Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muharam. Dan, shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR Muslim).<br /><br />Ibnu Abbas berkata, “Aku tak melihat Rasulullah SAW mengintensifkan puasanya selain Ramadhan, kecuali puasa Asyura.” (HR Bukhari). Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Abi Qatadah, Nabi SAW bersabda, “Puasa Asyura itu dapat menghapus dosa tahun sebelumnya.” (HR Muslim).<br /><br />Melalui puasa sunah itulah, umat Islam dilatih dan dibiasakan untuk dapat menahan diri agar tidak mudah dijajah oleh hawa nafsu, termasuk nafsu dendam dan amarah, sehingga perdamaian dan ketenteraman hidup dapat diwujudkan dalam pluralitas berbangsa dan bernegara.<br /><br />Puasa sunah di bulan Muharam agaknya juga harus menjadi momentum islah bagi semua pihak. Agar perdamaian dan ketentramaan terwujud, Muharam juga harus dimaknai sebagai bulan antimaksiat, yakni dengan menjauhi larangan-larangan Allah SWT, seperti fitnah, pornoaksi, pornografi, judi, korupsi, teror, dan narkoba.<br /><br />Muharram juga penting dijadikan sebagai bulan keselamatan bersama dengan menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya kecelakaan yang dapat menyengsarakan manusia, baik di darat, laut, maupun di udara.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-84093157908822305032010-12-10T13:12:00.000+07:002010-12-10T13:13:01.341+07:00nilah Keutamaan Bulan Muharam<div class="arial13"> <div class="img-detail-berita"> <img src="http://static.republika.co.id/images/ilustrasi_101205184450.jpg" alt="Inilah Keutamaan Bulan Muharam" title="Ilustrasi" height="260" width="360" /><br /> <div class="img-title">Ilustrasi</div> </div> <div id="newstext"><p>REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Dalam kalender Hijriah terdapat empat bulan haram, yakni Dzulqaidah, Dzulhijah, Muharam, dan Rajab. Disebut haram karena keempat bulan itu sangat dihormati, dan umat Islam dilarang berperang di dalamnya.<br /><br />Muharam yang berarti diharamkan atau yang sangat dihormati, memang merupakan bulan gencatan senjata atau bulan perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam di manapun harus selalu bersikap damai, tidak boleh mengobarkan api peperangan jika tidak diperangi terlebih dahulu.<br /><br />Seyogianya, umat Islam menghormati dan memaknai Muharam dengan spirit penuh perdamaian dan kerukunan. Sebab, Nabi Muhammad SAW pada khutbah haji wada-yang juga di bulan haram, mewanti-wanti umatnya agar tidak saling bermusuhan, bertindak kekerasan, atau berperang satu sama lain.<br /><br />Esensi dari spirit Muharam adalah pengendalian diri demi terciptanya kedamaian dan ketenteraman hidup, baik secara fisik, sosial, maupun spiritual. Karena itu, di bulan Muharam Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk berpuasa sunah: Asyura (puasa pada hari kesepuluh di bulan ini).<br /><br />Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muharam. Dan, shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR Muslim).<br /><br />Ibnu Abbas berkata, “Aku tak melihat Rasulullah SAW mengintensifkan puasanya selain Ramadhan, kecuali puasa Asyura.” (HR Bukhari). Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Abi Qatadah, Nabi SAW bersabda, “Puasa Asyura itu dapat menghapus dosa tahun sebelumnya.” (HR Muslim).<br /><br />Melalui puasa sunah itulah, umat Islam dilatih dan dibiasakan untuk dapat menahan diri agar tidak mudah dijajah oleh hawa nafsu, termasuk nafsu dendam dan amarah, sehingga perdamaian dan ketenteraman hidup dapat diwujudkan dalam pluralitas berbangsa dan bernegara.<br /><br />Puasa sunah di bulan Muharam agaknya juga harus menjadi momentum islah bagi semua pihak. Agar perdamaian dan ketentramaan terwujud, Muharam juga harus dimaknai sebagai bulan antimaksiat, yakni dengan menjauhi larangan-larangan Allah SWT, seperti fitnah, pornoaksi, pornografi, judi, korupsi, teror, dan narkoba.<br /><br />Muharram juga penting dijadikan sebagai bulan keselamatan bersama dengan menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya kecelakaan yang dapat menyengsarakan manusia, baik di darat, laut, maupun di udara.</p></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-89254651480796437462010-12-10T13:10:00.000+07:002010-12-10T13:11:25.747+07:00Esensi Hijrah<div class="arial13"> <div class="img-detail-berita"> <img src="http://static.republika.co.id/images/ilustrasi_101207094901.jpg" alt="Esensi Hijrah" title="Ilustrasi" height="260" width="360" /><br /> <div class="img-title">Ilustrasi</div> </div> <div id="newstext"><p>REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Momentum pergantian tahun Hijriah selalu mengingatkan umat Islam pada peristiwa hijrah Rasulullah SAW dan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Peristiwa maha penting dalam sirah Rasulullah itulah yang menjadi dasar pijakan di balik pemilihan nama kalender Islam tersebut.<br /><br />Tentu bukan tanpa alasan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab menetapkan peristiwa hijrah sebagai dasar perhitungan tahun dalam kalender kaum Muslimin. Hijrah berarti berpindah dengan meninggalkan suatu tempat menuju tempat yang lain, atau berubah dengan meninggalkan suatu kondisi untuk menuju kondisi yang lain. Dalam Islam, hijrah memang ada dua macam.<br /><br />Pertama, hijrah hissiyyah (hijrah fisik dengan berpindah tempat), dari darul khauf (negeri yang tidak aman dan tidak kondusif) menuju darul amn (negeri yang relatif aman dan kondusif), seperti hijrah dari Kota Makkah ke Habasyah (Ethiopia) dan dari Makkah ke Madinah.<br /><br />Kedua, hijrah ma'nawiyyah (hijrah nilai). Yakni, dengan meninggalkan nilai-nilai atau kondisi-kondisi jahiliah untuk berubah menuju nilai-nilai atau kondisi-kondisi Islami, seperti dalam aspek akidah, ibadah, akhlak, pemikiran dan pola pikir, muamalah, pergaulan, cara hidup, kehidupan berkeluarga, etos kerja, manajemen diri, manajemen waktu, manajemen dakwah, perjuangan, pengorbanan, serta aspek-aspek diri dan kehidupan lainnya sesuai dengan tuntutan keimanan dan konsekuensi keislaman.<br /><br />Jika hijrah hissiyyah bersifat kondisional dan situasional serta harus sesuai dengan syarat-syarat tertentu, hijrah ma'nawiyyah bersifat mutlak dan permanen, serta sekaligus merupakan syarat dan landasan bagi pelaksanaan hijrah hissiyyah.<br /><br />Hijrah ma'nawiyyah inilah yang sebenarnya merupakan hakikat dan esensi dari perintah hijrah itu. Kuncinya ada pada kata perubahan! Ya, ketika seseorang telah berikrar syahadat dan menyatakan diri telah beriman dan berislam, ia harus langsung ber-hijrah ma'nawiyyah ke arah perubahan total--tentu tetap mengikuti prinsip tadarruj (pentahapan)--sesuai shibghah rabbaniyah (lihat QS Al-Baqarah [2]: 138) dan memenuhi tuntutan berislam secara kaffah (lihat QS Al-Baqarah [2]: 208).<br /><br />Guna menyambut--dan bukan memperingati--tahun baru 1432 Hijriah, kita harus melakukan muhasabah dan introspeksi diri dengan bertanya, sejauh mana perubahan, peningkatan dan perbaikan Islami telah terjadi dalam diri dan kehidupan kita, baik dalam skala individu, kelompok, jamaah, masyarakat, bangsa, maupun dalam skala umat Islam secara keseluruhan?<br /><br />Marilah kita jadikan momentum pergantian tahun Hijriah ini sebagai faktor pemotivasi semangat dan pembaru tekad untuk senantiasa menghijrahkan diri dan kehidupan menuju totalitas Islam sebagai syarat dan dasar dalam mengemban amanah dakwah dan menegakkan kewajiban jihad fi sabilillah untuk memenangkan dinullah dan menggapai surga serta ridha Allah.</p></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-7560394010882992722010-12-10T13:08:00.000+07:002010-12-10T13:09:37.947+07:00Kemiskinan Bukan Takdir Allah yang tak Dapat Diubah<div class="img-detail-berita"> <img src="http://static.republika.co.id/images/ilustrasi_101208100850.jpg" alt="Kemiskinan Bukan Takdir Allah yang tak Dapat Diubah" title="Ilustrasi" height="260" width="360" /><br /> <div class="img-title">Ilustrasi</div> </div> REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--"Allah telah menganugerahkan kepadamu segala apa yang kamu minta (butuhkan dan inginkan). Jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya manusia sangat aniaya lagi sangat kufur." (QS Ibrahim [14]: 13).<br /><br />Kemiskinan senantiasa menjadi isu sentral di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara-negara lain pun, termasuk negara adidaya, tak luput dari kemiskinan. Pun begitu dengan Indonesia. Negara kita setelah kemerdekaan hingga sekarang memiliki problem kemiskinan. Sebagai salah satu negara dengan jumlah Muslim terbesar, hendaknya kita berpikir untuk menyelesaikan kemiskinan dengan landasan nilai-nilai luhur keislaman.<br /><br />Secara hakikat, seluruh manusia tak berada pada kemiskinan. Ayat yang dikutip di atas mengindikasikan semiskin dan sefakir apa pun seseorang, ia masih diberikan nikmat tak terhingga oleh Allah. Kendati mendapatkan kesulitan dalam memperoleh keamanan finansial, kita masih diberi nikmat-nikmat dalam bentuk lain. Kenikmatan tersebut dapat berupa kesehatan, umur panjang, dan memperoleh tempat teduh meskipun seadanya.<br /><br />Istilah 'miskin' diambil dari bahasa Arab. Merujuk pada kamus Al-Munawwir (1997: 649), kata 'miskin' berasal dari sakana yang berarti diam, tidak bergerak, atau tenang. Faidhullah Al-Hisn menulis, kata 'miskin' dalam bentuk mufrad disebutkan Alquran sekitar 12 kali, kemudian dalam bentuk jamak (masaakin) disebut juga sekitar 12 kali. Dari sekian ayat itu, seluruhnya menempatkan posisi si miskin sebagai orang yang perlu dibantu.<br /><br />Dalam bahasa lain, si miskin dan si fakir memiliki ketidakberdayaan akibat berbagai hal. Dua di antaranya ialah akibat penindasan struktural dan kemalasan mental berusaha (kultural). Misalnya, secara struktural kemiskinan diakibatkan rakyat tidak diperhatikan dengan adanya kebijakan prorakyat, yang berdampak pada aspek kultural sehingga mereka putus asa karena kesulitan mencari penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup.<br /><br />Sebetulnya, kemiskinan bukan takdir dari Allah yang tak dapat diubah. Apabila setiap individu memiliki semangat dalam mencari penghasilan, kemiskinan dapat diberantas dari muka bumi. Kolektivitas dan kepedulian sejatinya dimanifestasikan dalam keseharian saat negeri ini dipenuhi kemiskinan.<br /><br />Allah SWT berfirman, "Apabila telah selesai shalat (Jumat), bertebaranlah di bumi dan carilah fadl (kelebihan) dari Allah." (QS Al-Jumu'ah [62]: 10). Ayat ini mengindikasikan bahwa kerja keras mencari nafkah sebagai tahap mencari fadhilah-Nya.<br /><br />Tanpa mengabaikan kerja keras orang miskin, tugas individu yang bernasib baik (baca: kaya dan mampu) ialah memberikan sebagian hartanya. Pelaksanaan zakat, infak, dan sedekah menuntut pengelolaan profesional agar kemiskinan dapat diminimalisasi. Wallahua'lam.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-10183457421020717762010-12-07T04:39:00.000+07:002010-12-07T04:39:45.219+07:00Rumah Istana<a href="http://goo.gl/photos/qBceH8y4E1" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img src="http://lh6.ggpht.com/_dSisR5s97NA/TPtpPyGgnXE/AAAAAAAADMk/78EOhEob6IE/s160-c/RumahIstana.jpg" border="0" /></a>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-8232509856600869742010-12-02T14:59:00.000+07:002010-12-02T15:00:14.395+07:00Keadilan Sebagai Sunatullah<div id="submenu"> </div><br /><div> <div class="changefont" align="right"> <br /> </div> </div> <div class="arial13"> <div class="img-detail-berita"> <img src="http://static.republika.co.id/images/ilustrasi_101202095811.jpg" alt="Keadilan Sebagai Sunatullah" title="Ilustrasi" height="260" width="360" /><br /> <div class="img-title">Ilustrasi</div> </div> <div id="newstext"><p>REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Konsep tentang adil dan keadilan dalam agama Islam mendapatkan porsi yang begitu penting. Dalam Alquran, tercatat sekitar 56 ayat yang berbicara soal keadilan. Dalam bahasa Arab, keadilan disebut sebagai al-'Adalah. Pengertiannya adalah keadilan dalam semua cakupan.<br /><br />Ayat-ayat Alquran yang menyerukan pentingnya adil dan keadilan antara lain adalah “haruslah berlaku adil” (QS An-Nisa [4]: 135, Al-Maidah [5]: 8, Al-An'am [6]: 152, An-Nahl [16]:90); “wajib berlaku adil dalam perniagaan” (QS Al-Isra [17]: 35); “adil terhadap lawan” (An-Nisa [4]: 105, Al-Maidah [5]: 8); dan “pernyataan Allah tentang keadilan-Nya” (Ali Imran [3]: 18).<br /><br />Dalam etika pergaulan manusia, tiada prinsip yang didambakan umat sepanjang sejarah, seperti keadilan. Istilah adil berasal dari bahasa Arab yang berarti tengah atau seimbang. Keadilan artinya mizan (kesimbangan), yakni suatu sikap tak berlebih-lebihan yang terkait dengan sifat kearifan.<br /><br />Prof Muhammad Abu Zahrah membagi keadilan dalam tiga bagian, yakni keadilan hukum, keadilan sosial, dan keadilan global. Keadilan hukum adalah diberlakukannya hukum secara merata kepada semua strata sosial yang ada. Tidak membedakan yang kaya ataupun yang papa, yang mulia ataupun yang hina. Semua orang di depan hukum dan perundangan adalah sama.<br /><br />Keadilan sosial adalah sesuatu yang menuntut setiap individu dalam suatu kelompok agar dapat hidup secara terhormat tanpa ada tekanan dan halangan serta mampu memanfaatkan kemampuan sesuai dengan apa yang berfaedah bagi diri dan orang lain sehingga bisa berkembang secara kolektif. Keadilan global ialah prinsip utama sebagai landasan ditegakkannya hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim.<br /><br />Agama Islam menempatkan aspek keadilan pada posisi yang sangat tinggi dalam sistem perundang-undangannya. Tiada bukti keadilan yang begitu komplet, kecuali dalam ayat Alquran. Dari situ, jelas kiranya kedudukan prinsip keadilan dalam Islam.<br /><br />Dalam kasus keluarga, misalnya, Alquran menyebutkan, “Jika kamu sekalian takut berlaku tidak adil, ambillah seorang istri saja.” (QS An-Nisa [4]:3). Dalam skala kecil, yakni unit keluarga saja, kita diperintahkan untuk adil.<br /><br />Keadilan itu harus menjadi pertimbangan seseorang dalam mengambil keputusan untuk poligami atau tidak. Maka itu, adanya sikap seperti itu sebenarnya dimaksudkan agar tindakan seseorang tidak berakibat merugikan orang lain. Bukankah adil itu berarti meletakkan sesuatu secara proporsional pada tempatnya?<br /><br />Kewajiban berlaku adil dalam penulisan kontrak kerja sama bidang niaga (mu'amalah) juga secara tegas dijelaskan dalam Alquran. Kontrak perjanjian kerja, sewa-menyewa, atau utang-piutang itu harus ditulis secara jelas dan adil demi melindungi hak masing-masing pihak yang terkait. Keadilan merupakan sunatullah yang tidak dapat diganti. </p></div> </div> <span class="abu-tebal">Red:</span> <span class="abu-tipis">Budi Raharjo</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-29969844581705945602010-12-01T16:09:00.000+07:002010-12-01T16:10:34.537+07:00Mari Kita Mewariskan Kebaikan<div class="arial13"> <div class="img-detail-berita"> <img src="http://static.republika.co.id/images/ilustrasi_101201100932.jpg" alt="Mari Kita Mewariskan Kebaikan" title="Ilustrasi" height="260" width="360" /><br /> <div class="img-title">Ilustrasi</div> </div> <div id="newstext"><p>REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sebagai makhluk tertinggi ciptaan Allah, manusia harus menjalankan tugas dan amanat kekhalifahannya di muka bumi dengan baik. Hidup tak boleh dimaknai hanya sebagai anugerah (kenikmatan), tetapi juga amanah yang menuntut tugas dan tanggung jawab.<br /><br />Manusia harus bekerja keras agar mampu mewariskan kebaikan yang besar (leaving a legacy) bagi umat manusia. Kalau bisa, itu lebih besar ketimbang usia yang diberikan Tuhan kepadanya. Dalam memaknai pekerjaan yang dilakukan, manusia memiliki pemahaman yang beragam dan berbeda-beda. Sekurang-kurangnya, ada empat tingkatan dalam soal ini.<br /><br />Pertama, orang yang bekerja untuk hidup (to live), bukan hidup untuk bekerja. Ia memaknai pekerjaannya sekadar mencari sesuap nasi. Motif utama pekerjaannya adalah fisik-material. Ini merupakan fenomena kebanyakan orang ('ammat al-nas).<br /><br />Kedua, orang yang bekerja untuk memperkaya perkawanan (to love). Ia memaknai pekerjaannya tak hanya mencari harta, tetapi memperbanyak pergaulan dan pertemanan. Motif utama pekerjaannya adalah relasi-sosial, silaturahim, atau komunikasi antarsesama manusia (interhuman relations). <br /> <br />Ketiga, orang yang bekerja untuk belajar (to learn). Ia memaknai pekerjaannya sebagai wahana mencari ilmu, menambah pengalaman, dan menguji kemampuan. Jadi, berbeda dengan kedua orang sebelumnya, motif utama kerja orang ketiga ini adalah intelektual.<br /><br />Lalu, keempat, orang yang bekerja untuk berbagi kenikmatan dan mewariskan kebaikan sebesar-besarnya kepada orang lain (to leave a legacy). Ia memaknai pekerjaannya sebagai ibadah kepada Allah SWT. Motif utama pekerjaannya adalah rohani (spiritual). Firman Allah, "Dan, aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS Al-Dzariyat [51]: 56).<br /><br />Orang keempat inilah orang terbaik seperti ditunjuk oleh sabda Nabi SAW, "Khair-u al-nas anfa'uhum li al-nas (sebaik-baik manusia adalah orang yang paling besar mendatangkan manfaat bagi orang lain)." (HR Thabrani dari Jabir).<br /><br />Menurut pengarang kitab Faydh al-Qadir, al-Manawi, manfaat itu bisa diberikan melalui ihsan, yakni kemampuan kita berbagi kebaikan kepada orang lain, baik melalui harta (bi al-mal) maupun kuasa (bi al-jah) yang kita miliki. Warisan kebaikan itu, menurut al-Manawi, bisa berupa sesuatu yang manfaatnya duniawi, seperti donasi dan bantuan material, atau bisa juga berupa sesuatu yang bernilai agama (ukhrawi), seperti ilmu, pemikiran, dan ajaran yang mencerahkan dan membawa manusia kepada kebaikan.<br /><br />Malahan, menurut al-Manawi, warisan dalam wujud yang kedua ini dianggap lebih mulia dibanding yang pertama. Mengapa? Sebab, yang kedua ini mendatangkan manfaat lebih besar bagi manusia, tak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Wallahu a'lam.</p></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-62705222053849018822010-11-24T08:16:00.001+07:002010-11-24T08:16:38.203+07:00Belajar Melawan Korupsi dari Khalifah Harun Ar Rasyid Sabtu, 20 November 2010, 0<img src="http://static.republika.co.id/images/korupsi_101029195628.jpg" alt="Belajar Melawan Korupsi dari Khalifah Harun Ar Rasyid" title="Korupsi" height="260" width="360" /><br /> <div class="arial13"><div class="img-detail-berita"><br /><div class="img-title">Korupsi</div> </div> <div id="newstext"><p>REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dalam menjalankan roda pemerintahan, Khalifah Harus Ar Rasyid tak mengenal kompromi dengan korupsi yang merugikan rakyat. Sekalipun yang berlaku korup itu adalah orang yang dekat dan banyak berpengaruh dalam hidupnya. Tanpa ragu-ragu, ia memecat dan memenjarakan Yahya bin Khalid yang diangkatnya sebagai perdana menteri (wazir).<br /><br />Harun pun menyita dan mengembalikan harta Yahya senilai 30,676 juta dinar hasil korupsi ke kas negara. Dengan begitu, pemerintahan yang dipimpinnya bisa terbebas dari korupsi yang bisa menyengsarakan rakyatnya. Pemerintahan yang bersih dari korupsi menjadi komitmennya.<br /><br />Sang khalifah benar-benar memperhatikan dan mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Guna meningkatkan kesejahteraan negara dan rakyat, Harun ArRasyid memajukan ekonomi, perdagangan, dan pertanian dengan sistem irigasi. Kemajuan dalam sektor-sektor ini menjadikan Baghdad, ibu kota pemerintahan Bani Abbas, sebagai pusat perdagangan terbesar dan teramai di dunia saat itu. Karenanya, negara memperoleh pemasukan yang besar dari kegiatan dagang tersebut, disamping perolehan dari pajak perdagangan dan pajak penghasilan bumi.<br /><br />Pemasukan kas negara yang begitu besar itu tak dikorup sang khalifah. Harun Ar-Rasyid menggunakan dana itu untuk membiayai pembangunan sektor-sektor lain, seperti pembangunan Kota Baghdad dengan gedung-gedungnya yang megah, pembangunan sarana-sarana peribadatan, pendidikan, kesehatan, perdagangan, serta membiayai pengembangan ilmu pengetahuan di bidang penerjemahan dan penelitian.<br /><br />Dari uang kas tersebut, negara juga mampu memberi gaji yang tinggi kepada para ulama dan ilmuwan. Mereka ditempatkan pada kedudukan status sosial yang tinggi. Setiap tulisan dan penemuan yang dihasilkan ulama dan ilmuwan dibayar mahal oleh negara. Dengan pendapatan negara yang melimpah ini, Khalifah Harun Ar-Rasyid dan para pejabat negara juga dapat memperoleh dan menikmati segala kemewahan menurut ukuran zaman itu. Sebab, kehidupan rakyatnya juga berada dalam kemakmuran dan kesejahteraan.<br /><br />Kemakmuran dan kesejahteraan yang dicapai pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid tidak terlepas dari kemampuannya dalam menjaga keutuhan wilayah yang dikuasainya. Di masa kepemimpinannya, Abbasiyah menguasai wilayah kekuasaan yang terbentang luas dari daerah-daerah di Laut Tengah di sebelah Barat hingga ke India di sebelah Timur.<br /><br />Berbagai pemberontakan pun tercatat sempat terjadi di era kepemimpinannya. Pemberontakan yang sempat terjadi pada masa kekuasaannya, antara lain, pemberontakan Khawarij yang dipimpin Walid bin Tahrif (794 M), pemberontakan Musa Al-Kazim (799 M), serta pemberontakan Yahya bin Abdullah bin Abi Taglib (792 M).<br /><br />Salah satu puncak pencapaian yang membuat namanya melegenda adalah perhatiannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada masa kepemimpinannya, terjadi penerjemahan karya-karya dari berbagai bahasa. Inilah yang menjadi awal kemajuan yang dicapai Islam. Menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan peradaban.<br /><br />Pada era itu pula berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban yang ditandai dengan berdirinya Baitul Hikmah--perpustakaan raksasa sekaligus pusat kajian ilmu pengetahuan dan peradaban terbesar pada masanya. Harun pun menaruh perhatian yang besar terhadap pengembangan ilmu keagamaan.</p></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-16975523330001300462010-11-24T08:12:00.001+07:002010-11-24T08:12:34.590+07:00Jejak Sosial Ibadah Kurban<strong>Prof Asep S Muhtadi</strong><br /><p><br />Seperti dikisahkan Alquran, peristiwa kurban bermula dari drama kenabian yang sangat tak masuk akal. Seorang Ibrahim diminta menyembelih anaknya sendiri, Ismail. Sebuah dialog yang sangat humanis-edukatif pun berlangsung antara ayah dan anak untuk memastikan kebenaran perintah itu.<br /><br />Setelah diyakini bahwa itu merupakan perintah Tuhan, meskipun sangat irasional, Ibrahim pun melakukannya dengan diiringi sikap pasrah Ismail. Inilah jejak kenabian yang terus kita warisi dengan kesanggupan yang tulus untuk bekurban dengan melepaskan semua yang kita cintai sekalipun.<br /><br />Kisah yang sarat hikmah itu terus dilakukan setiap kali datang Idul Adha. Setiap Muslim ikut merayakannya. Di tengah gemuruh takbir menjelang Idul Adha itu tumbuh rasa keadilan untuk saling menyapa kebersamaan sambil menelusuri jejak hikmah dari perjalanan sejarah Ibrahim dan Ismail. Takbir inilah yang kemudian membuka pintu kurban.<br /><br />Dalam konteks pelaksanaan rukun Islam yang kelima, Idul Adha merupakan haflah umat untuk mengapresiasi saudara-saudaranya yang tengah berkumpul di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Pertemuan raksasa di Padang Arafah itu memancarkan semangat kebersamaan yang hakiki.<br /><br />Itu kebersamaan yang senantiasa dirindukan. Wujud kebersamaan yang mungkin sudah sangat sulit ditemukan dalam perjalanan hidup sehari-hari. Kebersamaan yang kini telah terikat pada ukuran-ukuran pragmatisme dalam kalkulasi untung dan rugi.<br /><br />Untuk mewujudkan spirit Idul Adha, hal terpenting adalah menumbuhkan kembali semangat Arafah. Semangat itu hendaknya tetap mengikat kebersamaan umat. Di tengah cobaan kebersamaan yang saat ini tengah melilit bangsa, pada momentum Idul Kurban kali ini kita berharap dapat jujur mengakui kekeliruan serta mengikatkan kembali tali solidaritas.<br /><br />Terlebih, saat ini saudara kita tengah menangis di bawah guyuran debu Merapi, sisa guncangan gempa dan tsunami Mentawai, atau kelelahan menghadapi banjir bandang. Karena itu, pada Idul Kurban ini kita perlu bermuhasabah dengan tulus dan penuh kejujuran.<br /><br />Mengapa kepekaan dan kesantunan sikap terasa semakin pudar, padahal kita telah merintis dan membinanya selama berabad-abad. Dan, mengapa jarak antara kaum kaya dan kaum papa kian lebar menganga.<br /><br />Rasulullah pernah bersabda, "Bila masyarakat sudah membenci orang-orang miskin dan menonjol-nonjolkan kehidupan dunia, serta rakus dalam menimbun harta, sungguh mereka akan ditimpa empat bencana: zaman yang berat, pemimpin yang lalim, penegak hukum yang khianat, dan musuh yang mengancam," (HR Al-Dailami).<br /><br />Kita sesungguhnya hendak menjawab, "Tidak!" Tapi, sudahkah perjalanan ibadah kurban itu berdampak dalam membentuk karakter pribadi dan masyarakat? Jika bekurban mengisyaratkan sikap peduli melalui simbolisasi pembagian daging hewan, apakah kepedulian itu juga telah menjadi watak yang berperan fungsional, bukan saja pada saat kurban dilaksanakan, tapi juga dalam keseluruhan perjalanan hidup?</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-76909825765350822162010-11-24T08:08:00.000+07:002010-11-24T08:09:55.820+07:00Memahami Makna Idul KurbanAntara<div class="img-detail-berita"> <img src="http://static.republika.co.id/images/ilustrasi_101117082030.jpg" alt="Memahami Makna Idul Kurban" title="Ilustrasi" height="260" width="360" /><br /> <div class="img-title">Ilustrasi</div> </div> <p>REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Merupakan kehendak Allah SWT, semua bentuk ibadah dalam Islam memiliki hikmah dan landasan filosofis. Hari raya senantiasa tiba seusai umat Islam melaksanakan ibadah cukup berat.</p> Idul Fitri datang setelah ibadah puasa Ramadhan. Idul Kurban tiba setelah umat Islam beramal saleh selama 10 pertama Dzulhijjah dan puasa Arafah. Esensi hari raya hanyalah peristirahatan sebentar setelah perjalanan ibadah yang berat atau hadiah kemenangan dari Allah untuk kaum Mukminin yang telah sukses melawan godaan setan.<br /><br />Hari raya bukanlah peristiwa tahunan untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan ketaatan sebagaimana yang sering disalahpahami sejumlah orang. Setiap insan hanyalah sebagai hamba Allah dalam segala ucapan dan perbuatannya. Agama tidak menginginkan seorang hamba kehilangan hubungannya dengan Allah walau sekejap.<br /><br />Kehidupan Muslim bagaikan perjalanan panjang yang ditempuhnya, sekali-sekali istirahat sebentar untuk kemudian melanjutkan perjalanan perjuangan spiritual dan kehidupannya yang lurus dan bersih. Istirahat sebentar itu adalah hari raya, yang di dalamnya diperbolehkan bergembira ria dengan berbagai hiburan yang mubah (dibolehkan).<br /><br />Itulah sebabnya, dalam bahasa Arab disebut dengan 'id' yang artinya senantiasa kembali dengan membawa kebahagiaan, kegembiraan, dan kelapangan. <br /><br />Hari raya dalam perspektif Islam harus diisi dengan berbagai nasihat, syiar, dan ibadah yang mengandung nilai-nilai sosial, di samping merupakan kesempatan untuk membahagiakan setiap insan di muka bumi. Allah SWT telah mengaitkan Idul Adha ini dengan nilai sosial yang abadi dalam bentuk pengorbanan.<br /><br />Pengorbanan artinya menyerahkan sesuatu yang dimilikinya kepada orang yang membutuhkannya. Pada hari raya ini dan hari-hari tasyrik, Allah mensyariatkan bagi yang mampu untuk menyembelih hewan kurban yang dibagikan kepada fakir miskin, karib kerabat, dan sebagian untuk keluarganya sebagai upaya menebar kebahagiaan di muka bumi.<br /><br />Dalam syariat kurban terkandung makna pengokohan ikatan sosial yang dilandasi kasih sayang, pengorbanan untuk kebahagiaan orang lain, ketulusikhlasan, dan amalan baik lainnya yang mencerminkan ketakwaan.<br /><br />Kilasan esensi ini diungkap Allah dalam surah al-Hajj ayat 37, "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai keridhaan Allah, tetapi ketakwaan daripada kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik."<br /><br />Di antara nilai sosial yang harus menghiasi setiap Muslim pada hari raya adalah menghilangkan berbagai bentuk kedengkian dan iri hati dalam diri, melupakan macam-macam permusuhan dan pertentangan, serta kita tingkatkan kepedulian kepada saudara-saudara kita yang tertimpa musibah.<br /><br />Mari bersama mengorbankan hawa nafsu, membuang sikap individualistis dan fanatis mekelompok, demi ukhuwah insaniyah. Dengan Idul Kurban, kita teladani Ibrahim dan Ismail AS, serta bersama menebar kasih sayang.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-64354911937291454282010-11-24T08:03:00.000+07:002010-11-24T08:04:17.890+07:00Haji, Perjalanan Keimanan Seorang MuslimAntara<div class="arial13"><div class="img-detail-berita"> <img src="http://static.republika.co.id/images/masjidil_haram_101028103355.jpg" alt="Haji, Perjalanan Keimanan Seorang Muslim" title="Masjidil Haram" height="260" width="360" /><br /> <div class="img-title">Masjidil Haram</div> </div> <div id="newstext"><p>REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Berabad-abad sebelum Rasulullah diutus, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyeru manusia untuk berhaji (QS Al-Hajj (22): 27-28). Beliau melaksanakannya dan berdoa agar semua hati manusia cenderung dan rindu ke Tanah Haram (QS Ibrahim (14): 37). Maka itu, berbondong-bondonglah umat Islam ke Tanah Suci untuk memenuhi seruan ini.<br /><br />Barangkali dari asal-usul panggilan inilah banyak umat Islam meminta dipanggil di Makkah, khususnya di Jabal Qubeis. Padahal panggilannya sudah lama, tapi sebagian umat tidak memenuhi seruan ini karena tidak mampu atau lalai atau bahkan tuli disihir gemerlapnya dunia. Sejak seseorang mendaftar haji, yang ada dalam niatnya adalah keikhlasan dan kesiapan berkorban demi mencari ridha Ilahi. Ketika kuota diperolehnya, ia mempersiapkan semua kebutuhan selama ibadah haji.<br /><br />Dia membekali dirinya dengan ketakwaan. Belajar manasik dan ilmu yang berkaitan dengan ibadah harian yang wajib selama di perjalanan. Dia korbankan waktu, harta, dan kepentingan dunianya untuk menggapai haji mabrur. Perjalanan haji adalah rihlah (tour) keimanan. Saat keluar rumah menuju ke Tanah Haram, calon haji ini membaca, "bismillahi tawakkaltu 'ala Allah wa laa haula wa laa quwwata illa billah." Ketika duduk di kendaraan pun berdoa safar.<br /><br />Dalam segala situasi dan kondisi ia pun senantiasa doa, zikir, dan beribadah. Sungguh hebat jamaah haji ini. Dia menjadi hamba Allah yang terbaik. Semua aspek hidupnya dijadikan ibadah seperti yang diperintah Allah. (QS Az-Zariyat (51):56).<br /><br />Kala sampai miqat, semua tamu Allah berniat ihram dan membaca talbiyah, yang artinya, "Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu dan tiada sekutu bagi-Mu, aku memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan kerajaan hanyalah bagi-Mu, dan tiada sekutu bagi-Mu."<br /><br />Jamaah yang mengumandangkannya berderai air mata kekhusyukan dan kebahagiaan sambil mengharap ampunan. Ia sedang menjadi hamba Allah yang utuh karena sedang memenuhi panggilan-Nya dan menjadi tamu-Nya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda, "Orang-orang yang sedang menunaikan haji dan orang yang sedang mengerjakan umrah merupakan duta-duta/tamu-tamu Allah. Maka itu, jika mereka memohon kepada-Nya, pastilah dikabulkan, dan jika mereka meminta ampun pastilah diampuni-Nya." (HR Ibnu Majah hadis No 2883).<br /><br />Sebagai tamu, seorang hamba harus tahu diri terhadap yang dikunjungi. Kita wajib mengikuti semua peraturan Allah yang mengundang kita. Kita harus tahu tatakrama sebagai tamu undangan-Nya. Selama dalam perjalanan haji tidak boleh ada kesyirikan, tidak melakukan rafats, fusuq, dan jidal.</p> <p>Sebagai imbalannya, kita diistimewakan sebagai tamu-Nya. Sudah pasti Allah Yang Maharahman dan Maharahim akan mengampuni dosa-dosa kita, mengabulkan semua doa dan permohonan kita. Berapa pun biaya dan pengorbanan yang kita berikan untuk ibadah haji, tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan keutamaan haji, ampunan, dan anugerah-Nya.</p></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-14700254261819443762010-11-24T08:02:00.001+07:002010-11-24T08:02:59.788+07:00Sosok Pemuda Ideal di Mata Allah<img src="http://static.republika.co.id/images/ilustrasi_101029104953.jpg" alt="Sosok Pemuda Ideal di Mata Allah" title="Ilustrasi" height="260" width="360" /><br /> <div class="img-detail-berita"><br /><div class="img-title">Ilustrasi</div> </div> REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kata-kata pemuda dalam Alquran diistilahkan dengan fatan, seperti firman Allah SWT pada surah al-Anbiya [21] ayat 60 tentang pemuda Ibrahim. "Mereka berkata, 'Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim'."<br /><br />Bentuk jamak dari fatan adalah fityah (pemuda-pemuda), seperti kisah pemuda-pemuda Ashabul Kahfi pada surah al-Kahfi [18] ayat 13. "Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya, mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk."<br /><br />Dalam hadis, pemuda sering diistilahkan dengan kata-kata syaabun. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari, disebutkan bahwa di antara tujuh kelompok yang akan mendapatkan naungan Allah SWT pada hari ketika tak ada naungan, selain naungan-Nya, adalah syaabun nasya'a fii 'ibaadatillaah (pemuda yang tumbuh berkembang dalam pengabdian kepada Allah SWT).<br /><br />Eksistensi dan peranan pemuda sangat penting. Dalam Alquran ataupun hadis, banyak diungkapkan karakteristik sosok pemuda ideal yang harus dijadikan teladan oleh pemuda yang bercita-cita sebagai orang atau pemimpin sukses. Pertama, memiliki keberanian (syaja'ah) dalam menyatakan yang hak (benar) itu hak (benar) dan yang batil (salah) itu batil (salah). Lalu, siap bertanggung jawab serta menanggung risiko ketika mempertahankan keyakinannya.<br /><br />Contohnya adalah pemuda Ibrahim yang menghancurkan berhala-berhala kecil, lalu menggantungkan kapaknya di leher berhala yang paling besar untuk memberikan pelajaran kepada kaumnya bahwa menyembah berhala itu (tuhan selain Allah SWT) sama sekali tidak ada manfaatnya. Kisah keberaniannya dikisahkan dalam surah al-Anbiya [21] ayat 56-70.<br /><br />Kedua, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (curiosity) untuk mencari dan menemukan kebenaran atas dasar ilmu pengetahuan dan keyakinan. Artinya, tidak pernah berhenti dari belajar dan menuntut ilmu pengetahuan (QS al-Baqarah [2]: 260). Ketiga, selalu berusaha dan berupaya untuk berkelompok dalam bingkai keyakinan dan kekuatan akidah yang lurus, seperti pemuda-pemuda Ashabul-Kahfi yang dikisahkan Allah SWT pada surah al-Kahfi [18] ayat 13-25. Jadi, berkelompok bukan untuk hura-hura atau sesuatu yang tidak ada manfaatnya.<br /><br />Keempat, selalu berusaha untuk menjaga akhlak dan kepribadian sehingga tidak terjerumus pada perbuatan asusila. Hal ini seperti kisah Nabi Yusuf dalam surah Yusuf [12] ayat 22-24. Kelima, memiliki etos kerja dan etos usaha yang tinggi serta tidak pernah menyerah pada rintangan dan hambatan. Hal itu dicontohkah pemuda Muhammad yang menjadikan tantangan sebagai peluang hingga ia menjadi pemuda yang bergelar al-amin (tepercaya) dari masyarakatnya.<br /><br />Dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober, sosok pemuda ideal yang dicontohkan dalam Alquran dan hadis diharapkan bisa menjadi sumber inspirasi bagi para pemuda Indonesia masa kini. Wallahu a'lam.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-39758129533807931192010-11-24T08:01:00.001+07:002010-11-24T08:01:47.114+07:00Ingatlah Saat Kematian Mu!<div id="submenu"> </div><span class="date"></span><img src="http://static.republika.co.id/images/ilustrasi_101111105327.jpg" alt="Ingatlah Saat Kematian Mu!" title="Ilustrasi" height="260" width="360" /><br /> <div class="arial13"><div class="img-detail-berita"><br /><div class="img-title">Ilustrasi</div> </div> <div id="newstext"><p>REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Di dunia ini, menurut al-Ghazali, tak ada yang pasti, kecuali kematian. Hanya kematian yang pasti, lainnya tak ada yang pasti. Namun, manusia tak pernah siap menghadapi maut dan cenderung lari darinya. "Sesungguhnya, kematian yang kamu lari daripadanya, sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu." (QS Al-Jumu'ah [62]: 8).<br /><br />Bagi al-Ghazali, kematian tidak bermakna tiadanya hidup (nafi al-hayah), tetapi perubahan keadaan (taghayyur hal). Dengan kematian, hidup bukan tidak ada, melainkan bertransformasi dalam bentuknya yang lebih sempurna. Diakui, banyak orang semasa hidup mereka tertidur (tak memiliki kesadaran), tetapi justru setelah kematian, meraka bangun (hidup). "Al-Nas niyam, fa idza matu intabihu," demikian kata Imam Ali.<br /> <br />Dalam Alquran, ada beberapa istilah yang dipergunakan Allah SWT untuk mengartikan kematian. Pertama, kata al-maut (kematian) itu sendiri. Kata ini dalam bentuk kata benda diulang sebanyak 35 kali. Al-maut menunjuk pada terlepasnya (berpisah) ruh dari jasad manusia. Kepergian ruh membuat badan tak berdaya dan kemudian hancur-lebur menjadi tanah.<br /><br />Allah SWT berfirman, "Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu, dan dari sanalah Kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain." (QS Thaha [20]: 55).<br /><br />Kedua, kata al-wafah (wafat). Kata ini dalam bentuk fi`il diulang sebanyak 19 kali. Al-Wafah memiliki beberapa makna, antara lain sempurna atau membayar secara tunai. Jadi, orang mati dinamakan wafat karena ia sesungguhnya sudah sempurna dalam menjalani hidup di dunia ini. Oleh sebab itu, kita tak perlu berkata, sekiranya tak ada bencana alam si fulan tidak akan mati.<br /> <br />Ketiga, kata al-ajal. Kata ini dalam Alquran diulang sebanyak 21 kali. Kata ajal sering disamakan secara salah kaprah dengan umur. Sesungguhnya, ajal berbeda dengan umur. Umur adalah usia yang kita lalui, sedangkan ajal adalah batas akhir dari usia (perjalanan hidup manusia) di dunia. Usia bertambah setiap hari; ajal tidak. (QS Al-A'raf [7]: 34).<br /> <br />Keempat, kata al-ruju' (raji'). Kata ini dalam bentuk subjek diulang sebanyak empat kali, dan mengandung makna kembali atau pulang. Kematian berarti perjalanan pulang atau kembali kepada asal, yaitu Allah SWT. Karena itu, kalau ada berita kematian, kita baiknya membaca istirja', Inna Lillah wa Inna Ilaihi Raji'un (QS Al-Baqarah [2]: 156).<br /> <br />Sesungguhnya, kematian itu sama dengan mudik, yaitu perjalanan pulang ke kampung kita yang sebenarnya, yaitu negeri akhirat. Mudik itu menyenangkan. Dengan satu syarat, yakni membawa bekal yang cukup, berupa iman dan amal saleh. "Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya (dalam perkenan dan rida-Nya), hendaklah ia mengerjakan amal saleh." (QS Al-Kahfi [18]: 110). Wallahu a'lam.</p></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-74834511283255920062010-11-24T07:59:00.000+07:002010-11-24T08:00:34.536+07:00Ibrahim, Bapak Monoteisme<span class="date"></span><div class="arial13"> <div class="img-detail-berita"> <img src="http://static.republika.co.id/images/ilustrasi_101118110048.jpg" alt="Ibrahim, Bapak Monoteisme" title="Ilustrasi" height="260" width="360" /><br /> <div class="img-title">Ilustrasi</div> </div> <div id="newstext"><p>REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Nabi Ibrahim AS, selain dikenal sebagai bapak nabi-nabi, ia juga dikenal sebagai bapak monoteisme. Keagamaan Ibrahim dicapai tak melulu melalui iman, tetapi juga melalui penyelidikan ilmiah terhadap fenomena alam yang mengantarnya sampai kepada kesimpulan tauhid (QS al-An'am [6]: 79).<br /><br />Berkali-kali Allah SWT menguji Ibrahim dengan cobaan yang berat. Hebatnya, ia selalu lulus dan mampu melewati berbagai ujian itu dengan sukses. Karena itu, ia layak dan pantas dinobatkan sebagai imam dan pemimpin umat. "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikan dengan sebaik-baiknya." (QS al-Baqarah [2]: 124).<br /><br />Ada banyak tafsir tentang makna pada ayat di atas. Pakar tafsir Ibnu Katsir memahaminya sebagai syariat dari Allah berupa sejumlah perintah (al-awamir) dan sejumlah larangan (al-nawahi). Selain bermakna syariat, kalimat itu, menurut al-Alusi, juga bermakna ujian dan cobaan. Al-Alusi mengungkapkan, ada tujuh macam cobaan yang dihadapi Ibrahim. Namun, ada yang menyebut 13 hingga 30 cobaan.<br /><br />Dari semua ujian dan cobaan yang dihadapinya, ada empat ujian yang sungguh berat. Pertama, ia pernah dibakar hidup-hidup oleh Raja Namrud. Kedua, ia diminta melakukan khitan pada usia tua. Ketiga, ia tidak diberi keturunan sampai usia senja, tetapi ia tidak berhenti berdoa. "Ya, Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh." (QS al-Shaffat [37]: 100).<br /><br />Keempat, setelah mendapat anak (Ismail), ia diminta menyembelihnya. Ujian yang mahaberat itu pun ditunaikan Ibrahim dengan penuh ketaatan. Ia memenuhi semua perintah Allah (QS al-Najm [53]: 37) dan membuktikan kebenaran mimpinya. "Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu. Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS al-Shaffat [37]: 105).<br /> <br />Sebagai muwahid sejati dan bapak monoteisme, Ibrahim memberikan apa saja yang diminta oleh Allah, termasuk Ismail, "aset" paling berharga yang dimilikinya. Menurut Doktor Ali Syari'ati, Ismail adalah simbol dari sesuatu yang paling dicintai oleh manusia. Setiap orang tentu memiliki "Ismail"-nya dalam bentuk dan rupa yang berbeda-beda.<br /><br />Tauhid pada hakikatnya mengandung makna ketundukan manusia secara total kepada Allah SWT. Hal ini dilakukan dengan menunjukkan cintanya hanya kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim adalah contoh par-excellent dalam soal ini. Itu sebabnya namanya disebut dan diabadikan oleh Allah dalam semua kitab suci dan terutama dalam kitab suci Alquran.<br /><br />Nabi Muhammad SAW dan seluruh kaum beriman disuruh mengikuti agama (millah) Ibrahim. Dikatakan, hanya orang-orang "dungu" yang membenci dan menolak agama bapak monoteisme ini. "Dan, tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri."(QS al-Baqarah [2]: 130). Wallahu a'lam.</p></div> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-58343458980756364902010-11-24T07:58:00.000+07:002010-11-24T07:59:21.654+07:00Pemimpin yang Dicintai Rakyatnya<div class="img-detail-berita"> <img src="http://static.republika.co.id/images/ilustrasi_101123094838.jpg" alt="Pemimpin yang Dicintai Rakyatnya" title="Ilustrasi" height="260" width="360" /><br /> <div class="img-title">Ilustrasi</div> </div> REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sepulang dari pembebasan Yaman, tentara Muslim membawa sejumlah ghanimah (rampasan perang) ke Madinah dan langsung menyerahkannya kepada Khalifah Umar bin al-Khattab. Umar lalu membagikan sehelai pakaian hasil rampasan perang itu kepada setiap penduduk Madinah.<br /><br />Setelah dibagi rata, Umar kebagian sehelai pakaian. Karena kekecilan, pakaian itu hanya sampai menutupi pahanya. Ia kemudian meminta putranya, Abdullah, untuk memberikan pakaian jatahnya. Umar pun memermak kedua pakaian itu, hingga menutup di atas mata kakinya.<br /><br />Ia lalu naik mimbar, "Wahai kalian semua, dengarlah apa yang akan kusampaikan .…" Tiba-tiba, Salman al-Farisi menginterupsi, "Wahai Amirul Mukminin, aku tidak akan mendengar dan mematuhi kata-katamu!" Umar bertanya, "Mengapa begitu?"<br /><br />"Engkau mengenakan dua helai pakaian, sementara kami hanya satu pakaian; di mana letak keadilan? Anda telah berlaku zalim kepada rakyatmu?" ujar Salman protes. Mendengar kritik Salman, Umar tak marah. Ia hanya tersenyum simpul. "Hai Abdullah, berdirilah dan jelaskan duduk persoalannya kepada mereka," ungkap Umar.<br /><br />Abdullah lalu berkata, "Postur tubuh ayahku itu tinggi. Pakaian jatahnya tidak cukup, lalu jatahku kuberikan kepadanya. Ia lalu menyambungkannya agar bisa menutupi auratnya." Semua sahabat terdiam. Salman kembali berkata, "Kalau begitu, sampaikanlah pesan-pesanmu wahai Amirul Mukminin, kami akan mendengarnya. Instruksimu akan kami laksanakan."<br /><br />Kisah tentang keteladanan seorang pemimpin juga pernah dicontohkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Suatu ketika, Umar bin Abdul Aziz berada di suatu majelis. Ketika tiba siang hari, ia gelisah dan merasa bosan. Ia lalu berkata kepada yang hadir, "Kalian tetap di tempat sampai saya kembali."<br /><br />Ia lantas masuk ke peraduannya untuk beristirahat. Tiba-tiba anaknya, Abdul Malik, mengingatkannya, "Wahai Amirul Mukminin, apa yang menyebabkan engkau masuk kamar?" Khalifah menjawab, "Saya ingin beristirahat sejenak."<br /><br />Putranya kemudian bertanya lagi, "Yakinkah engkau bahwa setiap kematian akan datang, sedangkan rakyatmu menunggu di depan pintumu, sementara engkau tidak melayani mereka?" Sang Khalifah pun terkejut. "Engkau benar, wahai anakku." Ia lalu bangun dan menemui rakyat yang sedang menunggunya.<br /><br />Kisah kepemimpinan dua Umar di atas telah membuktikan kepada sejarah bahwa pemimpin yang dicintai rakyatnya adalah yang mampu mengesampingkan egoisme pribadi serta kelompoknya. Hati nurani rakyat dan nurani dirilah yang menjadi "pengawal" kepemimpinannya.<br /><br />Hanya pemimpin berhati nurani yang mau "mewakafkan" jiwa dan raganya untuk berdedikasi demi kemajuan, keadilan, dan kesejahteraan umat serta bangsanya. Pemimpin berhati nurani dan tulus akan selalu memberi layanan prima bagi rakyatnya. Nabi SAW pernah bersabda, "Mintalah fatwa kepada hati nuranimu." (HR Muslim). Termasuk, dalam memimpin dan mengambil kebijakan.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-87894395814807785812010-11-08T07:13:00.001+07:002010-11-08T07:13:27.273+07:00Manusia Penyebab Bencana?<strong>Agus Salim Mansyur</strong><br />(Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung)<br /><br />Air mata warga Mentawai, Sumatra Barat, pun belum kering. Gempa bumi terus menerjang mereka. Bencana itu menewaskan ratusan warga dan memorak-porandakan berbagai fasilitas dan infrastruktur penting. Ibu Pertiwi pun berlanjut menangis menyaksikan nasib sedih warga Sleman, Malang, dan Yogyakarta. Merapi kembali meletus menghancurkan lahan warga. Puluhan orang tewas mengenaskan.<br /><br />Bencana alam yang mendera, berbagai peristiwa yang memorak-porandakan umat manusia, makin membuka mata bahwa manusia tidak punya kuasa apa pun. Namun, harus kita yakini bahwa Tuhan pun tidak mungkin menjatuhkan bencana sekecil atau sedahsyat apa pun jika manusia tidak "meminta". Sebenarnya, manusialah yang menjadi penyebab terjadinya berbagai bencana di muka bumi ini.<br /><br />Banyak umat manusia yang memiliki frame bahwa hasil pemikiran umat manusia di bumi ini telah mendekati kebenaran. Manusia begitu bangga dengan berbagai keberhasilan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan, tak sedikit di antara manusia yang mulai angkuh, sombong, dan takabur karena merasa telah berhasil menemukan kebenaran yang padahal semu, menggali potensi alam, sekaligus memanfaatkannya.<br /><br />Kita tidak sadar dan tidak tahu bahwa ranjau-ranjau kehidupan telah menghadang. Kita buta sehingga apa yang tadi kita anggap benar dan bermanfaat ternyata malah dapat menyengsarakan umat manusia. Bagaimana bangganya para penemu gas freon lima puluh tahun yang lalu. Penemuan mereka dapat diaplikasikan bagi kehidupan manusia lewat pembuatan lemari pendingin (kulkas), AC, dan sejenisnya. Namun, kini kita baru menyadari bahwa uap gas freon tersebut mengakibatkan bolongnya lapisan ozon yang kini besarnya nyaris seukuran Benua Australia. Kita baru sadar bahwa penemuan itu dapat mengakibatkan wabah bencana bagi umat manusia. Berbagai penyakit kulit sulit disembuhkan, tekstur tanah mulai hilang kesuburannya, musim yang tidak menentu, hujan besar yang tidak diharapkan, dan banjir serta longsor pun terjadi di mana-mana.<br /><br />Betapa bangganya para penemu pupuk kimia karena dapat meningkatkan hasil panen di seluruh tanah pertanian di dunia. Indonesia pun sempat dapat swasembada pangan karena menggunakan pupuk kimia. Namun, setelah puluhan tahun pemakaian pupuk itu, kita baru sadar bahwa pupuk tersebut telah mengekploitasi kesuburan tanah yang lama-kelamaan dapat habis. Kini, banyak lahan pertanian mulai kehilangan kesuburan dan sulit dicari obatnya. Akhirnya, ratusan lahan pertanian mati dan sulit ditanami. Maka, terjadilah longsor. Tanah serapan pun mulai habis. Banjir pun menggelombang menyeret permukiman, kemudian memakan kerugian ratusan miliar rupiah dan ratusan jiwa jadi korban.<br /><br />Gedung-gedung berbeton mencakar langit: hotel, bank, rumah sakit, vila, dermaga, dan gedung lainnya berdiri di pusat kota serta di sudut kota, mengalahkan pepohonan yang telah setia menunggu puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun. Pohon-pohon itu dibantai dalam keangkuhan bapak-bapak pembangunan dan ilmuwan-ilmuwan pembangunan.<br /><br />Selama ini, muncul pandangan bahwa otak manusia itu cemerlang sehingga dikategorikan dapat menembus kebenaran. Penelitian muktahir menunjukkan bahwa otak manusia terdiri atas bermiliar-miliar sel aktif; minimal ada 100 miliar sel otak aktif sejak lahir. Masing-masing sel dapat membuat jaringan sampai 20.000 sambungan tiap detik. Yang menakjubkan, saat awal kehidupan manusia, otak berkembang melalui proses belajar-alamiah-dengan kecepatan tiga miliar sambungan per detik. Sambungan-sambungan itu adalah kunci kekuatan otak sehingga Gordon Dryden menyatakan, "Manusia adalah pemilik komputer paling hebat, yakni otak."<br /><br />Namun, pada kenyataannya tidak. Otak manusia itu ternyata memiliki cacat. Otak manusia ini tidak dapat menembus akibat-akibat sequential, yakni akibat-akibat yang bakal terjadi pada masa mendatang, tentu berbeda dengan masa sekarang atau masa lalu.<br /><br />Inilah yang menuntun penemuan gas freon begitu membanggakan sembari tidak tahu esok lusa akan membolongi lapisan ozon. Inilah yang mendorong pemakaian pupuk kimia berlebihan, tapi tidak tahu puluhan tahun ke depan akan mematikan kesuburan tanah. Inilah yang mendorong pembangunan menjadi program utama pemerintah, sedangkan pelestarian hanya program sampingan.<br /><br />Semuanya bermuara pada ketidaktahuan hari esok dan hari lusa. Inilah kelemahan otak manusia yang tidak dapat menangkap akibat sequential ini. Inilah yang dalam analogi Emha Ainun Najib disebutkan bahwa manusia itu buta, manusia tidak tahu apa yang bakal terjadi esok lusa, bahkan dalam sedetik ke depan.<br /><br />Kecacatan otak manusia tersebut diperparah lagi karena hanya dipandu oleh kekuatan indrawi yang ternyata banyak kelemahan. Dalam pandangan para filsuf dulu, pancaindra manusia ini dapat menangkap seluruh fenomena alam dengan tepat dan akurat. Namun, dalam pandangan filsuf masa kini, pancaindra manusia ini hanya dapat menangkap bagian luaran. Pancaindra ini hanya dapat menangkap fenomena suatu benda (dunia luar), tetapi tidak dapat menangkap apa di balik benda tersebut yang menurut para filsuf noumena. Kendati para ilmuwan eksakta berusaha mempertajam kemampuan indrawi dengan berbagai alat, misalnya mikroskop, itu hanya berfungsi memperbesar dan tidak dapat membantu untuk menemukan noumena.<br /><br />Ilmuwan Islam, Mohammad Arkoun, memberi saran agar hasil-hasil mutakhir ilmuwan Barat tersebut tetap digunakan, tetapi melengkapinya dengan wacana Islami yang selama ini mengalami kebekuan. Herman Soewardi (1991) menyodorkan sebuah wacana Islami yang dapat melanjutkan wacana Barat yang disebut naqliah memandu aqliah. Dalam pandangan ini, akal manusia (fitrah)-yang dalam analogi ilmuwan Barat adalah otak-bukan harus dipandu oleh pancaindra, tetapi oleh wahyu (petunjuk Allah).<br /><br />Kegagalan alur Barat sekuler telah menunjukkan bahwa ilmu itu harus diungkapkan berdasarkan petunjuk dari Penciptanya. Ilmu Barat yang beroperasi tanpa petunjuk Penciptanya akhirnya mengalami kegagalan. Ilmuwan Islam, Ismail Faruqi, juga menganjurkan Islamization of Knowledge. Wacana Islami adalah implikasi tauhid pada thought atau nalar.<br /><br />Kunci utama nalar Islami adalah petunjuk Allah yang terkumpul dalam Alquran dan sunah berupa nash-nash (teks-teks). Oleh karena itu, Alquran dan sunahlah yang harus dijadikan panduan atau pedoman dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk aplikasinya dalam masyarakat, bukan sains Barat. Inilah yang akan membawa keselamatan dan terhindar dari berbagai bencana.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1247529066148660725.post-61763134639700976122010-11-08T07:12:00.001+07:002010-11-08T07:12:36.564+07:00Bencana dan Teologi<strong>Ismatillah A Nu'ad</strong><br />(Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina)<br /><br />Bencana silih berganti menimpa negeri ini: erupsi Gunung Merapi Yogya, gempa dan tsunami Mentawai, serta banjir bandang Wasior. Ratusan nyawa manusia telah melayang akibat bencana. Temuan investigasi Komnas HAM menyebutkan, banjir bandang Wasior, misalnya, akibat human error karena telah terjadi eksploitasi besar-besaran atas tanah di daerah tersebut. Misalnya, aktivitas penambangan yang tak memandang persoalan ekologis<br /><br />Anehnya, masih ada pihak-pihak yang menganggap hal itu hanya sebatas bencana alam biasa atau faktor alam an sich. Misalnya, Presiden SBY menganggapnya begitu, entah karena alasan politis atau apa pun, seakan menutup mata atas keadaan di tanah Papua yang benar-benar telah dieksploitasi secara hebat karena terjadi penambangan yang cukup masif dan destruktif oleh korporasi asing atau manusia-manusia tak bertanggung jawab.<br /><br />Masyarakat pun kadang melihat hal itu sebatas bencana. Dalam pengertian, tidak dilihat sebagai konsekuensi dari perbuatan manusia, melainkan atas kehendak Tuhan. Dalam istilah teologis, keyakinan semacam itu disebut sebagai masyarakat agamis yang menggariskan sesuatu berdasarkan paksaan Tuhan (jabariah). Mereka meyakini bahwa Tuhan murka kepada penduduk sebuah negeri yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sangat rajin dan pandai membuat serta memelihara dosa-dosa.<br /><br />Keyakinan semacam itu jelas berbahaya karena Tuhan akan dipersalahkan sebagai biang dari segala bencana di dunia. Dalam bahasa Gottfried Leibniz (Roth, 2003: 151), Tuhan di situ seakan-akan menjadi terdakwa (blaming the God) karena terjadinya bencana. Padahal, menurut Leibniz, Tuhan tak patut dipersalahkan, bahkan kemuliaan dalam eksistensi-Nya tak terpengaruh dengan adanya dosa-dosa atau kebaikan-kebaikan di dunia. Manusialah yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi di dunia (blaming the men).<br /><br /><strong>Pergeseran teologi</strong><br />Pandangan teologi yang memasrahkan segalanya pada kehendak Tuhan mestinya diubah atau teologi yang lebih menekankan pada kehendak bebas manusia (qadariah) sebetulnya lebih relevan untuk menjelaskan fenomena, seperti bencana alam. Relevan bukan sebatas penjelasannya yang adil dan bijaksana dalam menempatkan kodrat manusia (theodice) yang dihubungkan dengan alam atau lingkungannya, tetapi dengan keberadaan musibah itu sendiri.<br /><br />Teologi semacam ini juga relevan sebab dapat menghindarkan manusia dari mitologi-mitologi sosial yang biasanya merebak dan akhirnya membawa pada kesesatan dan kegelapan alam pikiran manusia. Teologi itu pada prinsipnya ingin menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak untuk berbuat sebebas-bebasnya. Dia juga harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang sudah diperbuatnya. Maka itu, jika ada fenomena bencana alam, sebetulnya itu merupakan cermin seakan-akan mempertanyakan sudah berbuat dan bertindak apa saja manusia di bumi ini.<br /><br />Berbuat dan bertindak bukan dalam pengertian manusia telah melakukan dosa-dosa, kemudian Tuhan murka dan menimpakan bencana itu. Tapi, lebih karena tindakan dan perbuatan manusia yang dilakukan atas alam dan lingkungan, seperti aktivitas penambangan yang eksploitatif, pengeboran atas kekayaan perut bumi yang semena-mena, pengerukan pasir laut dalam skala yang cukup masif, penggundulan hutan, dan sebagainya. Segala tindakan dan perbuatan itulah yang kemudian lambat laun akan membuat alam menjadi murka sehingga fenomena bencana alam tak bisa terhindarkan.<br /><br />Hal itu sesungguhnya sesuai dalam kitab suci yang secara bebas berbunyi, "Kerusakan di darat dan di laut yang tampak disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Maka, sebagai akibat dari perbuatannya (datanglah bencana) supaya manusia merasakan sebagian dari ulah dan perbuatannya agar mereka kembali ke jalan yang benar." (Alquran 30: 41).<br /><br />Jelaslah bahwa fenomena bencana alam tak lain dan tak bukan karena diakibatkan oleh kita sebagai manusia. Banyak dari kita yang tidak bertanggung jawab terhadap pengelolaan alam dan lingkungan.<br /><br />Berhentilah kita menyalahkan sesuatu yang ada di luar kita, seperti Tuhan. Bahkan, menurut Ignaz Goldziher (1991), karena ulah tangan manusia, manusia pun sesungguhnya dilarang untuk menyalahkan setan sekalipun. Setan menolak dimintai pertanggungjawabannya pada hari akhir nanti karena kesalahan dan dosa perbuatan manusia.<br /><br /><strong>Membangun teologi bencana</strong><br />Hassan Hanafi dalam karyanya Religion, Ideology, and Developmentalism (1990) menawarkan apa yang dikenal sebagai teologi untuk memperlakukan bumi. Bagaimana semestinya bumi ini diperlakukan?<br /><br />Menurut Hanafi, bumi merupakan ciptaan Tuhan yang harus dikelola manusia secara baik dan benar. Tak ada satu pun manusia yang sesungguhnya berhak mengklaim memiliki barang sejengkal pun terhadap bumi karena bumi ini adalah milik-Nya. Oleh karena itu, tak dibenarkan jika manusia menjadi arogan ketika merasa memiliki tanah di bumi.<br /><br />Arogansi dalam pengertian, misalnya, ketika manusia merasa memiliki jengkal tanah di bumi, lalu dia berbuat seenaknya: mengebor, mengeruk, mengeksploitasi, dan tanpa memikirkan akibatnya. Arogansi lain adalah manusia hidup dengan seenaknya mengotori dan mencemari alam serta lingkungan dengan polusi dan berbagai perbuatan lainnya yang sesungguhnya akan merusak bumi.<br /><br />Teologi selama ini sangat jarang diperkenalkan oleh para penceramah keagamaan melalui pendekatan yang direlevansikan dengan alam dan lingkungan. Seakan-akan tak ada kaitan antara teologi keagamaan dan alam serta lingkungan. Jarang umat beragama menyentuh persoalan itu. Sesungguhnya, sebagai konsekuensi dari teologi itu, umat beragama semestinya mengimplementasikannya ke seluruh aspek dalam kehidupan, tak terkecuali dengan masalah-masalah alam dan lingkungannya (environmentalism).<br /><br />Jika selama ini kita menganggap diri sebagai kaum beragama, sudah semestinya teologi agama kita tak hanya cukup sampai pada keyakinan. Namun, tak ada aktualisasinya dalam kehidupan. Misalnya, kita mengaku bahwa kita orang beragama, tapi perbuatan kita masih mencemari polusi udara, membuang sampah sembarangan, mengeksploitasi bumi secara semena-mena, dan sebagainya. Perbuatan dan tindakan itu tidak pantas dilakukan oleh orang beragama. Saatnya kita membumikan teologi agama ini dalam realitas dan praksis kehidupan. Agama yang mengajarkan kebaikan-kebaikan harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehingga pada akhirnya kita akan dapat terhindar dari segala marabahaya.Unknownnoreply@blogger.com0