Jumat, 27 November 2009

Drama Qurban: Ismail atau Ishaq?


Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Alquran tidak tegas menyebutkan siapa putra Nabi Ibrahim yang disembelih, apakah Ismail atau Ishaq? Sementara dalam hadis dan pendapat sahabat dan tabiin ada yang menyebutkan Ismail ada pula menyebut Ishaq.

Dalam kitab-kitab tafsir juga ada yang menyebut Ismail dan lainnya menyebut Ishaq. Dalam dunia Islam yang masyhur disembelih ialah Ismail sedangkan di dunia Yahudi dan dalam Kitab Perjanjian Lama tegas-tegas disebutkan yang disembelih ialah Ishaq.

Ayat yang berbicara khusus tentang kasus penyembelihan putra nabi Ibrahim ialah QS Al-Shaffat [37]:102-105. Ayat ini mengisahkan bahwa ketika putranya telah mencapai umur baligh, Ibrahim AS bermimpi mendapat perintah untuk menyembelihnya. Ketika itu, anaknya belumlah menjadi seorang nabi. An-Nasafi dan Ibnu Katsir mencatat bahwa putranya kala itu berumur 13 tahun.

Setidaknya, ada beberapa nama sahabat yang meriwayatkan bahwa yang disembelih adalah Ismail. Sahabat-sahabat tersebut adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, dan Abu at-Thufail 'Amir bin Watsilah.

Adapun pendapat kedua yang menyebut Ishaq yang disembelih juga diriwayatkan oleh beberapa sahabat, yaitu: 'Umar bin Khathab, Jabir, al-'Abbas, dan Ka'ab al-Akhbar. Dalam hal ini, sederet mufassir seperti Wahbah az-Zuhaili, ar-Razi, at-Thabrisi, Thabathabai, al-Qurthubi, Ibnu Katsir, Thabathabai, an-Nasafi, Sa'id Hawa', Thahir ibnu 'Asyur dan selainnya menguatkan pendapat pertama.

Ada beberapa argumentasi yang dipaparkan untuk mendukung pendapat pertama itu, yaitu:

Pertama, anak yang menggembirakan Ibrahim untuk pertama kali atas kelahirannya adalah Ismail. Adapun Ishaq lahir setelah Ismail. Dengan demikian, Ismail adalah anak tertua dan yang disembelih. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Ismail dilahirkan, Ibrahim berumur 86 tahun, sedangkan sewaktu Ishaq lahir, Ibrahim berumur 99 tahun.

Kedua, riwayat dari al-Hakim dalam al-Manaqib yang menyebutkan bahwa Nabi SAW bersabda: saya adalah keturunan orang yang disembelih yaitu Ismail yang kemudian lahir Nabi Muhammad melalui jalur Abdullah.

Ketiga, riwayat dari al-Ashma'i bahwa Ismail yang berada di Makkah dan Ishaq tidak pernah di sana. Ismail membangun Ka'bah bersama ayahnya, Ibrahim.

Keempat, Allah menyifati Ismail dengan as-shabr (sabar), sedangkan Ishaq tidak demikian, sebagaimana tertera dalam QS Al-Anbiya' [21]:85, ''Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris, dan Zulkifli, semua mereka termasuk orang-orang sabar.''

Adapun pendukung pendapat kedua bahwa Ishaq yang disembelih mengajukan beberapa alasan, yaitu:

Pertama, pada ayat QS As-Shaffat [37]:99 disebutkan, ''Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.'' Maksudnya ialah Ibrahim berhijrah dari negeri kaum yang telah menyakitinya lantaran fanatik terhadap sesembahan-sesembahan yang berupa patung dan atas kekufuran kepada Allah dan kedustaan pada rasul-rasul-Nya.

Ibrahim hijrah ke Syam. Di sana ia berdoa agar dianugerahi seorang anak saleh yang dapat memotivasinya untuk senantiasa taat kepada Allah. Untuk itu, Allah menggembirakannya dengan seorang anak yang sangat sabar. Anak tersebut, menurut mereka, adalah Ishaq.

Kedua, tulisan Ya'qub ke Yusuf, ''Dari Ya'qub Israil Nabi Allah putra Ishaq yang disembelih Allah putra Ibrahim Khalilullah.''

Ketiga, sebuah riwayat shahih yang bersumber dari Abdullah bin Mas'ud bahwa seseorang berkata kepadanya: ''Wahai anak orang tua yang mulia.'' Abdullah bin Mas'ud berkata: Orang itu adalah Yusuf bin Ya'qub bin Ishaq sembelihan Allah bin Ibrahim Khalilullah 'alaihissalam. (Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, Juz XXIII, h. 126).

Perintah kepada Ibrahim untuk menyembelih anaknya adalah perintah ujian, bukan tasyri' yang dimaksudkan untuk dilihat kesungguhan orang yang diuji dan meneguhkan ketinggian martabatnya dalam menaati Allah. Perintah tersebut diperoleh melalui mimpi.

Lazim diketahui bahwa mimpi para nabi merupakan wahyu. Adapun hikmah adanya semacam 'musyawarah' yang dilakukan Ibrahim terhadap putranya seputar mimpinya itu adalah untuk melihat sejauh mana kesabaran dan ketabahan putranya tersebut dalam menaati perintah Allah.

Dan hikmah terjadinya perintah ini dalam mimpi dan tidak dalam keadaan tersadar atau terbangun bisa dijelaskan dari beberapa sudut pandang, yaitu:

Pertama, perintah ini sangatlah sulit di sisi si penyembelih dan yang disembelih, sehingga dihadirkan dalam mimpi selama tiga malam sebelum dikuatkan dalam kondisi sadar. Dengan demikian, perintah itu tidak langsung diyakini sekaligus tetapi sedikit demi sedikit.

Kedua, Allah menjadikan mimpi para nabi sebagai sebuah kebenaran, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Alquran seperti mimpi Yusuf, Ibrahim, dan Muhammad. Maksud dari mimpi tersebut adalah untuk menegaskan akan kebenaran mereka.

Pasalnya, kondisi yang dialami oleh setiap insan--pada umumnya--adalah tertidur atau tidak tertidur. Jika kedua kondisi tersebut menunjukkan kebenaran, maka itu menjadi bukti nyata bahwa mereka adalah benar dan jujur di setiap keadaannya.

Dari satu sudut pandang, referensi syariah terhadap penyembelihan adalah mimpi. Hanya saja mimpi para nabi pada umumnya benar, apalagi sudah dilegitimasi dalam bentuk wahyu Alquran. Yang dipegang adalah ayatnya, bukan asal-usulnya dari mimpi.

Ketika Nabi Ibrahim berusaha untuk menyembelih anak kesayangannya (Ismail atau Ishaq) akhirnya juga tidak bisa dilaksanakan karena ketajaman pisau tidak sanggup melukai kulit leher anaknya. Akhirnya, malaikat diutus untuk mengganti sembelihan Ibrahim dari putranya ke dalam bentuk seekor kambing.

Dengan demikian, peristiwa hari raya Idul Adha atau Idul Kurban merupakan simbol penghargaan jiwa manusia yang ditebus dengan seekor binatang. Makna simbolik lain yang bisa kita pahami dari peristiwa ini ialah kesediaan seseorang untuk mengurbankan sesuatu yang paling berharga baginya.

Bagi Nabi Ibrahim, putra gantengnya yang sudah lama didoakan keberadaannya diminta untuk dikorbankan pada jalan Allah dan dia pun bersedia dan sudah melaksanakan perintah itu. Bagi kita, boleh jadi sesuatu yang paling kita cintai adalah harta kekayaan, semisal deposito, rumah mewah, dan kekayaan lainnya. Sudahkah kita bersedia melepaskan itu semua ke jalan Allah?

(-)

Tidak ada komentar:

Al Quran On Line