Oleh A Ilyas Ismail
Sahabat Nabi Muhammad SAW yang satu ini, Khudzaifah ibn al-Yaman, memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki sahabat-sahabat yang lain. Diceritakan, kalau duduk di samping orang munafik, Khudzaifah bisa mengendus bau dan aromanya. Oleh sebab itu, Nabi memercayakan kepada Khudzaifah, untuk mengidentifikasi dan mengenali rahasia-rahasia kaum munafik.
Setiap bertemu Khudzaifah, Umar ibn al-Khathab selalu bertanya, ''He, Khudzaifah, apakah engkau mencium aroma kemunafikan pada diriku?'' ''Tidak, ya Umar,'' jawabnya. ''Engkau termasuk salah seorang yang dijamin masuk surga,'' sambungnya lagi. Seakan tak pernah puas, Umar selalu mengajukan pertanyaan yang sama setiap kali berjumpa Khudzaifah, dan Khudzaifah pun menyatakan jawaban yang sama (HR Muslim).
Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari keutamaan Khudzaifah dan kewaspadaan Umar dalam soal ini. Pertama, kita menjadi tahu bahwa iman itu jelas, dan kafir pun jelas, tetapi nifaq (kemunafikan) tidak terlalu jelas alias samar-samar. Terbukti dalam surah al-Baqarah, Allah SWT mengemukakan ciri-ciri orang Mukmin cukup dengan 3 ayat, orang kafir 2 ayat, dan orang-orang munafik 13 ayat (QS al-Baqarah [2]: 1-28).
Kedua, kita merasa kagum dan patut belajar kepada Umar soal kewaspadaannya yang sangat tinggi. Bayangkan, orang sekelas Umar yang mendapat bisyarah (berita gembira) bakal masuk surga, ia masih risau dan khawatir kalau-kalau terserang penyakit nifaq . Kewaspadaan ini penting dan mesti menjadi sikap dan kebiasaan kaum Muslim.
Firman-Nya, ''Dan orang-orang yang telah memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.'' (QS Al-Mu'minun [23]: 60).
Ketika ayat ini turun, Aisyah RA bertanya kepada Nabi, apakah orang yang dimaksud penjahat dan pendosa besar, sehingga merasa ketakutan? Rasul menjelaskan bahwa ia bukan penjahat dan bukan pula pendosa besar. Ia justru orang Muslim yang baik, rajin shalat, puasa, zakat, dan rajin melakukan kebaikan. Ia hanya khawatir kalau-kalau amal dan kebaikannya ditolak oleh Allah. (Ibn Jarir dari Aisyah).
Ketiga, belajar dari keutamaan Khudzaifah dan juga Umar, kita merasa perlu mengasah potensi dan kekuatan ruhani (spiritualitas) kita. Sensitivitas keislaman yang instinktif seperti Khudzaifah dan ketajaman visi dan estimasi seperti dimiliki Umar, sesungguhnya berpangkal pada kekuatan ruhani ini. Kekuatan ruhani sejatinya tidak terbatas, tetapi kita belum mampu menumbuhkan dan mengembangkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar