Oleh Taufik Damas
Memilih sikap diam ternyata tak sesederhana yang dibayangkan. Status sosial, jabatan, dan gelar adalah bagian dari faktor yang menyebabkan orang sulit memilih diam.
Komentar tentu dibutuhkan dari orang yang menguasai masalah. Akurasi komentar sangat membantu menyelesaikan masalah. Selain akurasi, komentar harus didorong oleh semangat mencari jalan keluar yang tepat dan benar.
Tidak semua orang layak berkomentar dan tak ada orang yang memiliki kemampuan mengomentari semua masalah. Dibutuhkan kerendahan hati agar tak mengomentari sesuatu yang tidak dipahami secara pasti.
''Dan, janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak punya pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan, dan hati akan diminta pertanggungjawaban semuanya.'' (QS Al-Israa' [17]: 36).
Penglihatan dan pendengaran adalah pintu masuk ilmu pengetahuan. Dengan dua indra ini, manusia mampu memahami apa yang bergerak di sekitarnya.
Namun, untuk mengomentari masalah tertentu, manusia dituntut menggunakan hati (nurani) yang cenderung pada kejujuran. Tanpa bimbingan hati, kebenaran yang ditangkap oleh penglihatan dan pendengaran bisa jadi dibelokkan.
Melalui ayat di atas, secara eksplisit, Allah SWT menuntut manusia untuk tidak memberikan komentar terhadap sesuatu yang tak dipahami pasti. Ada implikasi negatif jika komentar hanya didasari dorongan nafsu.
Kehidupan akan semakin kacau karena komentar tak didasari sinaran ilmu pengetahuan dan hati nurani. ''Jika satu masalah diserahkan kepada orang yang tidak memiliki kompetensi, tunggu saat kehancurannya.'' (HR Bukhari).
Banyak orang yang tak menyadari bahwa dirinya tidak layak memberikan komentar untuk masalah tertentu. Perasaan gengsi dan ingin tampak menonjol menjadi faktor penyebabnya.
Ironisnya, fenomena seperti ini juga merambah ke dalam wilayah agama. Akibatnya, sebagai pelita kehidupan, kadang agama justru membuat masyarakat bimbang dan kebingungan karena disampaikan oleh mereka yang tak menguasai ilmu agama.
Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Akan datang tahun-tahun penuh penipuan pada manusia: pembohong dianggap benar dan orang benar dianggap pembohong; orang setia dianggap pengkhianat dan pengkhianat dianggap orang setia. Pada saat itu, akan ada banyak ruwaybidhah.''
Para sahabat bertanya, ''Apa yang dimaksud ruwaybidhah, wahai Rasulullah?'' Beliau menjawab, ''Orang pandir yang banyak bicara soal urusan masyarakat.'' (HR Ibnu Majah).
Senin, 13 Juli 2009
Belajar Mengukur Diri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar