Oleh M Mahbubi Ali
Allah SWT menciptakan nikmat lisan sebagai sarana beribadah. Dengan lisan, manusia diperintahkan menyampaikan kebaikan, saling menasihati dalam kebenaran, dan memperbanyak zikir kepada Allah SWT.
Jika nikmat ini tak dapat difungsikan dengan baik, tapi justru digunakan untuk menggunjing, memfitnah, berkata kasar, memaki, memecah belah, dan lainnya, maka diam adalah pilihan paling tepat sebagaimana perintah Rasulullah SAW. ''Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah berbicara dengan baik atau diam.''
Lisan laksana pisau bermata dua. Ia bisa membawa manfaat yang besar, tapi juga bisa menimbulkan mafsadat sangat dahsyat. Ketika Rasulullah SAW ditanya apa yang paling ditakuti pada umatnya, Nabi SAW menunjuk lisannya seraya berkata, ''Inilah (yang paling aku takuti).''
Begitu besarnya bahaya yang ditimbulkan lisan, Rasulullah SAW mengajarkan umatnya agar menjaga lisan dengan cara diam, kecuali pembicaraan yang membawa maslahat. Diam adalah benteng bagi lidah manusia dari perkataan sia-sia.
Banyak hikmah yang dapat dipetik dari sikap diam. Diam adalah ibadah tanpa mengeluarkan tenaga, perhiasan tanpa harus berhias, kharisma tanpa diminta, kerajaan tanpa singgasana, benteng tanpa pagar, istirahat bagi kedua malaikat pencatat amal, dan penutup segala aib.
Rasulullah SAW pernah mengajarkan bahwa ada dua amal ibadah yang paling mudah dilakukan manusia, yaitu diam dan budi pekerti yang baik. Rasul SAW juga mengabarkan kebanyakan manusia masuk neraka disebabkan dua hal: lisan dan kemaluan.
Para sahabat dan ulama terdahulu telah memberikan teladan tentang bagaimana menjaga lisan dari perkataan sia-sia dengan diam. Abu Bakar RA sampai meletakkan kerikil di dalam lisannya karena khawatir telanjur mengeluarkan kata-kata tidak berguna.
Ketika ditanya, beliau menjawab sambil menunjuk lisannya, ''Inilah yang menjerumuskan aku pada jurang kecelakaan.'' Selama 40 tahun, Manshur bin Mu'taz tidak pernah berbicara setelah Isya. Rabi' bin al-Khaitsam tidak pernah melakukan pembicaraan tentang urusan dunia selama 20 tahun.
Setiap pagi, beliau selalu meletakkan pena dan kertas di sampingnya dan menulis setiap perkataan yang keluar dari lisannya. Sore harinya, beliau memeriksa tulisan itu, lalu melakukan introspeksi diri. Selanjutnya meminta ampun kepada Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar