Oleh Adiwarman A Karim
Selalu menarik untuk mengkaji masuknya Islam ke Andalusia dan Indonesia. Dilihat dari Makkah dan Madinah, Andalusia terletak di sebelah barat sedangkan Indonesia terletak di sebelah timur.
Islam masuk ke Andalusia dibawa oleh keturunan para petinggi dan panglima perang Bani Umayyah yang sempat berkuasa di jazirah Arab, sepeninggalnya Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin. Islam bukan saja masuk ke Eropa melalui Andalusia (711-1492 M), namun juga Sicilia (825-1091 M). Ketika para ilmuwan Muslim menggali kembali pustaka-pustaka Yunani, menerjemahkan, mengkaji, mengulas, dan menyebarluaskannya, Eropa seakan bangkit dari tidur panjangnya dan memulai gerakan Renaissance.
Ketika Islam mengenalkan pentingnya rasionalitas akal dalam memahami fenomena dunia, Eropa begitu terpesona dengan konsep ini dan mempopulerkan gerakan Rasionalitas oleh Rene Descrates dan John Locke. Rasionalitas Islam yang menempatkan kebenaran wahyu di atas akal, kemudian terdistorsi menjadi rasionalitas yang dipertentangkan dengan wahyu.
Ketika Islam mengenalkan ilmu hayat, kimia, dan falak yang menerangkan hukum alam secara objektif dengan metode ilmiah, Eropa tersentak dan menginspirasi gerakan Aufklarung yang dikembangkan oleh Voltaire, Diderot, Baron Montesquieu, dan Leibniz.
Singkat cerita, Islam masuk ke Andalusia dengan cepat, membawa perubahan besar dalam cara pandang Eropa, meninggalkan berbagai monumen sejarah, seperti istana, benteng, perpustakaan, dan pusat kebudayaan Islam. Namun, kemudian Islam seakan hilang ditelan bumi, tercerabut dari hati masyarakat Andalusia dan sekarang tinggallah Islam sebagai monumen sejarah di Andalusia.
Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang Yaman, India, juga belakangan Cina. Masuk perlahan-lahan, menarik simpati masyarakat dengan akhlak mereka dalam berdagang, Islam menyebar ke seluruh pelosok Indonesia. Tidak ada perubahan revolusioner seperti di Eropa yang menginspirasi gerakan Renaissance, Rasionalitas, atau Aufklarung. Tidak ada pula peninggalan sejarah, seperti istana, benteng, perpustakaan, dan pusat kebudayaan megah seperti di Andalusia. Perubahan demi perubahan seakan beringsut satu depa demi satu depa. Bahkan sampai abad 20, kita masih lazim mendengar Al-Fatihah dilafalkan Al-Patekah, Ismail menjadi Ismangil, Alhamdulillah menjadi Ngalkamdulillah.
Namun selanjutnya, seluruh dunia tercengang melihat perkembangan Islam di Indonesia yang sampai saat ini menjadi umat Islam terbesar di dunia. Pemikiran Islam di Indonesia juga merupakan yang paling dinamis dan variatif di dunia. Berbagai paham, mazhab, dan gerakan Islam berkembang subur di Indonesia, mulai dari yang sangat puritan sampai yang sangat liberal.
Andalusia dan Indonesia mempunyai kesamaan, dalam artian berkembangnya Islam dalam masyarakat yang sangat heterogen. Kristen, Katolik, Yahudi, dan Islam hidup bersama di Andalusia. Hindu, Buddha, Kristen, Katolik, dan Islam hidup bersama di Indonesia. Berbagai ras dan suku bangsa juga hidup damai sejahtera di Andalusia dan Indonesia.
Para pembawa Islam ke Andalusia kemudian menjadi raja-raja di Andalusia yang selanjutnya diteruskan oleh keturunannya. Sedangkan para pembawa Islam ke Indonesia tetap menjadi pedagang, pendakwah, dan penasihat raja.
Metode masuknya Islam ke Indonesia ini yang diyakini sebagai metode yang paling berhasil dalam sejarah. Metode ini pula diyakini merupakan metode paling tepat dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia.
Apa manfaatnya memilah-milah bangsa ini menjadi Muslim dan non-Muslim, bahkan memilah antara Islam santri dan Islam abangan, kalau mereka semua mendambakan kesejahteraan dan keadilan ekonomi yang ditawarkan oleh konsep ekonomi syariah. Apa manfaatnya menghujat mereka yang belum paham akan ekonomi syariah, apalagi memberikan label mereka sebagai penentang ekonomi syariah, kalau kita belum cukup sabar menerangkannya dengan bahasa yang dipahami.
Lihatlah kerugian besar yang dialami Eropa ketika Raja Gregorious II dan III, Germanius, Maharatu Irene, di satu pihak yang menolak penggunaan ikon-ikon (mozaik, patung) orang suci, dengan Raja Leo III, Konstantinus IV, Leo IV, di pihak lain yang menyukai penggunaan ikon-ikon tersebut.
Pertentangan tak berujung pangkal itu yang kemudian dibumbui ego dan emosi, telah membelokkan sebagian besar energi positif untuk membangun kesejahteraan Eropa menjadi energi negatif saling mengklaim kebenaran.
Kita harus belajar dari pengalaman itu. Biarlah ekonomi syariah berkembang di Indonesia dalam paradigma Bhinneka Tunggal Ika. Bukankah fikih memang memberikan kelenturan dalam menafsirkan syariah.
Menyederhanakan ekonomi syariah dan ekonomi konvensional, kemudian mempertentangkannya satu sama lain, bukanlah cara yang bijak. Apalagi, konsep utuh ekonomi syariah dikerdilkan menjadi ekonomi tanpa riba yang dihadapkan dengan ekonomi konvensional yang menggunakan bunga. Argumentasi ini tentu ada benarnya, namun tidak menggambarkan keindahan ekonomi syariah yang sebenarnya.
Dengan cara yang bijak gaya Indonesia, Islam masuk ke relung-relung hati bangsa ini selama berabad-abad. Dengan cara yang cerdas gaya Andalusia, Islam akan menjadi inspirasi bangkitnya ekonomi Indonesia, sebagaimana Islam telah menginspirasi berbagai gerakan kebangkitan Eropa di abad pertengahan.
Senin, 13 Juli 2009
Antara Andalusia dan Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar