Oleh Anang Rikza Masyhadi
Dalam suatu majelis, terjadi dialog antara Rasulullah SAW dengan para sahabat. Rasulullah SAW menyampaikan, ''Jika amanah telah hilang (tidak dipegang lagi dengan teguh), tunggulah saat kehancurannya.''Sahabat bertanya, ''Ya Rasul, bagaimana seseorang bisa menghilangkan amanah itu?'' Rasul SAW menjawab, ''Bila suatu urusan (amanah) diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya.'' (HR Bukhari).
Hadis Rasulullah SAW itu menengarai hilangnya amanah, terutama disebabkan suatu urusan yang dipegang, ditangani atau dikelola oleh yang bukan ahlinya, yaitu yang tidak mengenal dan menguasai bidang pekerjaannya. Dalam sistem ajaran Islam, ini masalah fundamental, karena amanah menyangkut urusan dan nasib orang banyak.
Dalam manajemen modern, hadis Nabi SAW tadi mendorong kaum Muslimin agar dalam mengelola sesuatu, berorientasi pada asas profesionalitas. Ketika adagium Inggris mengisyaratkan perlunya the right man, in the right place, in the right time, sesungguhnya Islam telah jauh lebih dini menggariskannya, 14 abad yang lalu.
Persoalannya, di lapangan sering terjadi orang yang sebetulnya tepat mengemban amanah, justru tak dipilih dan dipercaya masyarakat. Dalam memilih dan menentukan orang untuk suatu urusan tertentu, nalar dan objektivitas kita justru sering digadaikan untuk mengabdi pada kepentingan jangka pendek. Ini biasanya lebih karena faktor-faktof askriptif, yaitu faktor kenisbatan. Misalnya, karena yang mau dipilih itu masih ada hubungan famili, satu suku, tetangga sekampung, satu almamater, sama-sama satu ormas atau satu partai.
Pada saat yang sama, faktor kompetensi, yaitu kecakapan, kemampuan, dan kejujuran, menjadi terabaikan. Islam mewajibkan kita agar dapat menciptakan dan membuka peluang hanya kepada mereka yang kompeten, kapabel, dan kredibel. ''Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.'' (QS Annisaa [4]: 58).
''Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.'' (QS Almaidah [5]: 8).
Kaum Muslimin Indonesia harus bersatu membuat barisan yang kokoh untuk memilih orang-orang yang diyakini mampu mengurus 220 juta manusia, dari Sabang sampai Merauke. Inilah kesempatan emas kita mengubah nasib bangsa sebagaimana diwasiatkan Alquran (QS ar Ra'd [13]: 11) agar menjadi lebih sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar