Kamis, 23 Juli 2009

Islam Versus Terorisme

TEMPO Interaktif, Jakarta -Hanya berselang empat hari menjelang digelarnya duel Manchester United versus Indonesia All Star, aksi terorisme kembali terjadi di Tanah Air, setelah empat tahun terakhir pemerintah SBY berhasil meningkatkan stabilitas keamanan dan membawa bangsa ini hidup nyaman tanpa dentuman bom. Kali ini sasarannya lagi-lagi Hotel JW Marriott plus The Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta. Korban tak berdosa pun berjatuhan.

Tragedi Jumat Kelabu itu mengindikasikan kepada kita bahwa saat ini tak ada satu pun negara di dunia yang bersih atau bebas dari ancaman terorisme. Maka, pertanyaan apakah terorisme itu tampaknya tidak layak lagi diungkapkan ke permukaan, karena sudah dijawab dengan fakta empiris bahwa terorisme adalah lawan kemanusiaan, keadaban, dan keragaman. Anggapan terorisme identik dengan kekerasan, pembunuhan, dan penindasan semakin tidak terbantahkan. Di mana terorisme singgah, di situlah korban berjatuhan.

Terorisme dan korban ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Karenanya, siapa pun akan resah, gelisah, dan gundah-gulana atas perilaku teroris yang mengerikan itu. Mempercayai, mendukung, dan mengesahkan terorisme sama halnya menyetujui adanya tragedi kemanusiaan dalam jumlah yang lebih besar. Lalu, akankah milenium ketiga menjadi era para teroris? Benarkah bahwa terorisme mendapat justifikasi dan legitimasi dari agama, demikian juga jihad?

Harus diakui, pasca-tragedi "9/11" yang menghancurkan gedung WTC, New York, Amerika Serikat, 11 September 2001, muncul suara-suara sumbang yang dialamatkan kepada agama tertentu, yakni Islam. Dengan kata lain, banyak pihak, terutama AS, yang menuduh bahwa aksi terorisme mendapat justifikasi atau legitimasi dari agama (Islam).

Menghadapi tudingan dan pandangan negatif tersebut, ada beberapa hal yang cukup signifikan dan mendesak untuk dilakukan. Pertama, perlunya menampilkan wajah agama dengan baik agar agama kita memiliki citra yang baik. Agama mesti dikembalikan ke posisinya sebagai spirit dan moralitas yang akan senantiasa mengusung panji-panji kemanusiaan, keadaban, kemaslahatan kesetaraan, dan keadilan. Sudah saatnya bagi kita untuk memperbaiki citra agama, terutama Islam, yang pada pasca-tragedi 11 September, serta bom London dan Mesir, direpresentasikan Al-Qaidah dan beberapa kelompok radikal lainnya.

Kedua, karena tidak sedikit elite dan masyarakat awam bersikap ekstrem dan eksesif dalam beragama, kini penting bagi kita untuk membangun sikap beragama yang human. Paradigma humanis dalam beragama adalah paradigma nilai, sikap, norma, dan praktek keberagamaan (religiosity) yang mendukung kehidupan tanpa kekerasan dan damai, meningkatkan keadilan masyarakat, menjunjung tinggi hak asasi manusia, memajukan harmoni antarbudaya, dan kelestarian ekologis.

Sikap utama dalam paradigma humanis ini adalah moderasi. Agamawan ataupun awam yang moderat akan cenderung santun dan seimbang. Santun dalam menjalankan agamanya dan interaksi sosial. Seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, individual dan sosial, serta dalam berhubungan dengan Tuhan, manusia, dan lingkungan alam. Mereka yang moderat akan menjunjung keadilan dan kearifan dalam bersikap, tidak gampang terhasut, marah, menuduh, ataupun memaksa (coercive).

Agama-agama jelas mengajarkan moderasi. Dalam Islam diajarkan, "Tuhan menginginkan kemudahan bagi manusia, bukan kesulitan" (QS.22:185). Islam mengajarkan rahmat dan salam, bukan teror dan perang. Yesus menekankan kasih dan damai. Buddha dan Konghucu mengutamakan keseimbangan antara Yin dan Yang, antara sifat-sifat maskulin dan feminin. Semua agama mengajarkan moderasi dan keseimbangan.

Ketiga, perlunya melakukan gerakan dakwah yang menyuguhkan semangat moderasi, toleran, dan damai. Hal ini dilakukan melalui gerakan kultural yang bisa menyadarkan kepada umat bahwa agama tidak pernah mengajarkan tindakan terorisme. Langkah kultural yang bersifat proaktif dan progresif semacam ini penting dilakukan untuk melahirkan citra baru yang lebih baik bagi agama-agama. Gerakan Moral Nasional yang diprakarsai tokoh-tokoh agama dari berbagai organisasi keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah, KWI, PGI, dan sebagainya, bisa dijadikan langkah kultural untuk mengkampanyekan wajah agama yang humanis, inklusif, dan antiterorisme. Bahwa agama selamanya tak pernah mengajarkan terorisme.

Jihad

Harus diakui, pemaknaan jihad selama ini cenderung pejoratif, dalam arti ia selalu diterjemahkan dan diaktualisasi sebagai use of force against non-muslim. Penerjemahan jihad menjadi “perang suci” ini bila dikombinasikan dengan pandangan Barat tentang Islam sebagai “agama pedang”, jelas telah mereduksi makna substansial dan spiritual dari jihad, serta mengubah konotasinya. Apalagi jika terminologi jihad yang semacam itu dihadapkan pada nilai-nilai HAM, tentu saja, akan kian menguatkan asumsi Barat bahwa Islam identik dengan “ketajaman pedang”.

Menurut Abdul Halim Mahmud, sebagaimana dikutip oleh KH Ali Yafie (1999), jihad bisa dikategorikan menjadi empat macam, yaitu jihad al-harb (jihad ke medan perang), jihad al-nafs (jihad melawan hawa nafsu), jihad al-usrah (jihad dalam keluarga), dan jihad al-mujtama' (jihad dalam masyarakat). Dari kategori ini, jihad bukanlah sekadar perang, bahkan lebih dari itu, jihad justru merupakan sebuah konsekuensi keimanan atau religiositas.

Karena itu, jihad tidak bisa dilepaskan dari sejumlah aturan etika atau moralitas. Kebrutalan, pelecehan kemanusiaan, ancaman terhadap kehidupan, dan berbagai pelanggaran HAM lainnya adalah hal-hal yang secara esensial bertentangan dengan term jihad. Sungguh sangat disayangkan jika kemudian sebagian orang menganggap jihad semata-mata sebagai bentuk ekspresi kemarahan yang tak terkendali yang berakhir pada use of force untuk menghantam musuh (non-muslim) secara membabi-buta.

Dari sinilah, tampaknya, makna jihad yang selama ini cenderung pejoratif dan distortif itu mesti didekonstruksi. Bahwa ideologi jihad bukanlah dendam kesumat dan pelampiasan kebencian, melainkan upaya sosialisasi dan internalisasi kebajikan (amar ma'ruf) serta pencegahan atau penghapusan terhadap kemungkaran (nahi munkar). Jihad adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan, melepaskannya dari setiap bentuk ketidakadilan, kezaliman, dan penindasan, serta mendorongnya ke posisi di mana ia seharusnya berada.

Dalam pemaknaan ini, maka upaya keras--atas nama Tuhan--untuk memberantas ketidakadilan, kejahatan, korupsi, kolusi, kemiskinan, dan kebodohan di kalangan saudara-saudara kita sendiri bisa dikategorikan sebagai jihad. Memang, melakukan perbaikan di sekitar kita itu, bisa jadi, jauh dari hiruk-pikuk publikasi dan heroisme yang meletup-letup.

Meski demikian, upaya memperbaiki keadaan di sekitar kita itu seharusnya menjadi perhatian utama bagi kita, orang-orang yang beragama dan bertuhan. Bukankah kita seharusnya malu bahwa bangsa kita menjadi juara korupsi, padahal rakyatnya beragama dan bertuhan? Bukankah kita seharusnya juga malu melihat kejahatan merajalela di sekitar kita? Begitu pula kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan yang masih mencengkeram jutaan wong cilik. Inilah seharusnya yang kini menjadi agenda kita dalam berjihad di era reformasi ini, sebagai pengamalan ajaran suci dari Tuhan. *

MAKSUN, Dosen Fikih Politik Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Semarang

Tidak ada komentar:

Al Quran On Line