Rabu, 10 Maret 2010

Membedakan Negarawan dan Politikus


Oleh Ahmad Syafii Maarif



Seorang negarawan pastilah piawai dalam memahami politik di mana pun sepanjang sejarah dengan tetap menjaga dirinya agar tidak terseret oleh praktik-praktik kotor, tetapi seorang politikus lebih tertarik kepada politik yang menguntungkan untuk jangka pendek.

Negarawan memikirkan masalah-masalah besar bangsa dan negara yang dapat menembus lintasan abad, politikus umumnya lebih terpaku dan terpukau oleh ancang-ancang pemilu demi pemilu.

Namun, politikus yang serius dan berwawasan luas punya potensi untuk meningkatkan posisinya sebagai negarawan. Saya mengamati beberapa anggota DPR yang berusia muda dalam Pansus Bank Century punya bakat dan talenta untuk menjadi negarawan masa depan, asal mereka tetap setia memelihara idealismenya bagi kepentingan yang lebih besar: bangsa dan negara, apa pun partai dan subkultur mereka.

Sudah hampir 65 tahun kita merdeka, sedikit sekali rahim bangsa ini yang sempat melahirkan negarawan dalam maknanya yang autentik. Jika politikus jumlahnya berjibun-jibun, dari Sabang sampai Merauke. Kita kebanjiran politikus di tengah-tengah langkanya negarawan di tingkat pusat dan daerah.

Seorang negarawan tentu bukan manusia sempurna, pasti ada daftar tetapinya. Secara keseluruhan, daftar tetapinya itu larut dalam serbakelebihannya, diukur dengan standar apa pun. Denyutan nadi politikus yang sudah mencapai maqam negarawan pastilah terasa oleh publik, karena seluruh kiprahnya semata-mata untuk kepentingan rakyat banyak yang beragam. Negarawan tidak bisa dan tidak biasa berpura-pura, ucapan dan tindakannya adalah suara hati nuraninya. Antara otak, hati, dan perbuatan tidak diberi peluang untuk pecah kongsi. Otak berpikir jernih, hati memancarkan kearifan, perbuatan hanyalah mengaktualisasikan kejernihan dan kearifan itu dalam mengurus masalah-masalah negara dan bangsa. Seorang negarawan tidak pandai 'bertanam tebu di bibir', mulut manis hati busuk dan culas.

Optimisme kita akan tampilnya calon-calon negarawan seperti yang terlihat dalam pansus, menjadi semakin kuat karena mereka mewakili berbagai subkultur Indonesia. Dengan kata lain, berbagai suku di Nusantara ternyata punya potensi yang luar biasa untuk memunculkan para negarawan, mudah-mudahan dalam tempo yang tidak terlalu lama. Dalam kaitan ini, kita sungguh berharap dalam berbagai pemilihan umum tingkat nasional dan daerah, politik uang harus diusir sampai ke batas-batas yang jauh. Sebab, praktik itu pasti akan mencederai harapan bagi tampilnya tunas-tunas negarawan yang andal. Kondisi Indonesia yang sarat masalah ini hanya mungkin diatasi oleh anak-anak bangsa yang negarawan.

Indonesia sebenarnya cukup punya dasar-dasar filosofi dan ungkapan kearifan untuk menjadi bangsa dan negara besar dalam arti kualitatif, bukan semata-mata karena penduduknya yang berjumlah hampir seperempat miliar. Kita punya Pancasila sebagai dasar negara yang mempersatukan dan memberi inspirasi, punya ungkapan bhinneka tunggal ika untuk meredam kecenderungan politik yang serbasentralistis, dan punya kearifan lokal yang sangat kaya. Musuhnya memang belum berhasil dihalau secara tuntas, yakni berupa sisa-sisa feodalisme yang masih membelintang di tengah jalan sebagai sandungan utama bagi tegaknya sebuah masyarakat egalitarian yang sejati.

Sistem demokrasi yang kuat dan sehat adalah buah dari doktrin egalitarianisme yang menempatkan manusia setara di depan hukum dan sejarah. Saya berharap calon-calon negarawan yang mulai kelihatan ini benar-benar meresapi pesan-pesan egalitarian ini, demi tertancapnya sebuah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang sudah disuarakan sejak puluhan tahun oleh para pendiri bangsa dan negara kita.

Janganlah kita berlama-lama berada dalam iklim ketidakpastian masa depan, sebab itu berarti kita membiarkan bangsa ini berkubang dalam proses pembusukan sejarah. Sungguh memalukan dan melelahkan!

Tidak ada komentar:

Al Quran On Line