Kamis, 05 Februari 2009, 07:02 WIB
Rasulullah Saw bersabda: “Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah atasnya “ (HR. Bukhari dan Muslim)
Berangkat dari sabda Rasulullah Saw seperti dalam hadits di atas, tentu sebagai mu’min akan senantiasa berusaha menjaga dirinya dari ucap, sikap dan perilaku yang menyimpang dari aturan dan hukum-Nya yang selanjutnya tetap istiqomah dalam meniti jalan menuju ridha Allah.
Berbicara tentang “Hijrah” dalam konteks kekinian, layaklah kiranya kita simak dan renungkan seruan Allah SWT yang tertuju kepada Rasulullah Saw yang hakikatnya tertuju pula kepada kita sebagai pengikutnya. Seruan Allah SWT lewat firman-Nya: “Ya ayyuhal muddatstsir, qum fa andzir, wa rabbaka fa kabbir, wa tsiyaabaka fa thahhir, war rujza fahjur, wa laa tamnun tastaktsir, wa li rabbika fash bir” (QS. Al Muddatstsir, 74:1-7)
Kalau kita membaca risalah turunnya wahyu, tidak lama setelah turunnya ayat “Nubuwah” (lima ayat pertama dalam Surat Al ‘Alaq) yang secara resmi menobatkan Muhammad sebagai Nabi Allah. Maka, tidak lama kemudian disusul dengan turunnya “tujuh” ayat pertama Surat Al Muddatstsir, yang secara resmi mengangkat Muhammad sebagai Rasul Allah, pengemban risalah melalui “tujuh” ayat risalah tersebut.
Inilah awal diri Rasulullah Saw berfungsi sebagai Rasul Allah, membawa risalah Allah SWT untuk “mengislamkan” manusia yang saat itu dalam kondisi “Jahiliyyah”. Firman-Nya diawali, “Ya ayyuhal muddatstsir” (Wahai orang yang berselimut). Kalau kita baca dalam “Asbabul Nuzul” ayat ini diriwayatkan, Rasulullah Saw pada waktu itu sedang berselimut. Saat itu Beliau memohon kepada istrinya, Khadijah Ra. untuk menyelimuti tubuh Beliau setelah menerima wahyu “lima” ayat pertama dalam Surat Al ‘Alaq di Gua Hira yang pulang ke rumah kondisi badannya menggigil.
Tetapi para ahli tafsir tidak ingin berhenti hanya pada pengertian “harfiah”nya dari kata “selimut”, yang arti “harfiah”nya adalah, orang yang berselimut atau mempergunakan selimut untuk menghangatkan badanya sendiri. Sehingga para ahli tafsir mengartikan “selimut” dengan arti “maknawi”, wahai orang yang menyelimuti dirinya dengan tidak mau peduil dengan kondisi lingkungannya. Karena orang yang berselimut identik dengan tanda-tanda orang yang terkesan hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak mau peduli terhadap sesuatu yang terjadi di sekitarnya.
Bukankah Rasulullah Saw pergi ke Gua Hira itu hanya ingin mendapatkan petunjuk dari Allah SWT tentang bagaimana membimbing ummat manusia yang sudah sangat sesat pada waktu itu. Kenapa setelah beliau mendapat wahyu malah menyelimuti dirinya ? Konteksnya kemudian Allah SWT berfirman, “Qum” (bangkitlah,bangunlah), lemparkan selimut ketidakpedulianmu itu. Persoalan ummat tidak akan selesai hanya dengan menyelimuti diri, seakan-akan kita hanya ingin menyelamatkan diri kita masing-masing lalu kita tidak mau peduli dengan apa yang terjadi di lingkungan kita.
Bangkit atau bangun tidak sekadar bangkit. Lalu apa yang harus dilakukan ? Tugas yang harus dilakukan adalah, “fa andzir” (memberi pertingatan). Lemparkan “selimut ketidakpedulian”, segeralah bangkit dan laksanakan tugas untuk memberikan peringatan agar mereka yang sesat segera meninggalkan jalan sesat kehidupan mereka, yang lalai agar cepat sadar atas kelalaiannya. Tidak dibenarkan sama sekali kita menyelimuti diri dengan tidak mau peduli atas kondisi yang terjadi di sekitar kita. Tetapi kita harus siap bangkit dan segera memberikan peringatan kepada masyarakat yang berada dalam jangkauan kemampuan kita. Karena tugas dakwah “bukan hanya” tugas para da’i, ulama atau kiai saja, melainkan merupakan tugas setiap orang muslim. Salah satu keterlambatan dakwah Islam selama ini adalah kemungkinan kesalahan persepsi atas tugas dakwah ini yang seolah-olah tugas dakwah hanya tugasnya para da’i, ‘ulama atau para kiai saja.
Tugas setiap orang mu’min atau muslim tidak hanya sekadar bisa menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi harus “saling mengingatkan” dalam kebenaran. Maka digunakanlah bahasa, “wa tawaashau”, bukan “taushiyah”. Makna kata “taushiyah” adalah nasihat dari satu fihak kepada fihak yang lain, tapi kalau “tawaashau” sifatnya adalah “saling menasihati”. Karena perlu disadari bahwa semua manusia sangat berpotensi untuk berbuat kesalahan atau lalai.
Pada umumnya, nasihat orangtua kepada anaknya, guru kepada muridnya, pimpinan kepada bawahannya, ‘ulama kepada ummatnya. Namun orangtua, guru, pimpinan atau ‘ulama itu semua adalah manusia yang sangat mungkin berbuat salah. Oleh karena itu di dalam Islam anak harus siap dengan santun mengingatkan orangtua yang berbuat kesalahan, demikian pula murid kepada gurunya, bawahan kepada pimpinannya atau ummat kepada ‘ulamanya. Kalau ada ‘ulama keliru atau berprinsip salah dan pernyataannya “sangat menyesatkan”, maka ummat pun “harus berani” segera mengingatkannya. Jangan dia dibiarkan dalam kesesatannya karena akan membawa akibat penyesatan terhadapo ummat yang lebih luas lagi.
Hal inilah yang selama ini terkesan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Semua harus kita benahi dengan kita mau bangkit memberi peringatan. Maka dari itu, “amar ma’ruf nahyi munkar” ini adalah kewajiban setiap orang mu’min (QS. Ali Imran, 3 : 104 & 110). Ini pula seperti apa yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw, “Sampaikan oleh kalian apa yang telah kalian terima dariku walaupun hanya satu ayat”.
Lalu apa yang harus kita dakwahkan ? Paling tidak, ada “Lima” konsep dakwah yang harus ditempuh. Konsep Pertama, kita simak lanjutan ayatnya, “wa rabbaka fa kabbir” (Allah Tuhanmu itu Akbar-kan). Yang harus kita dakwahkan kepada masyarakat adalah menyadarkan atau mengajak ummat sehingga mereka hanya mau meng-“Akbar”-kan Allah dalam semua aspek kehidupannya. Tidak ada yang “Akbar” kecuali Allah. “Allahu Akbar” dari segi Dzat juga dalam sisi aturan dan hukum-Nya. Dan, kalau kita sudah menyatakan bahwa “Allahu Akbar”, maka semua selain Allah tidaklah ada yang Akbar. Baik hawa nafsu maupun akal kita itu kecil. Alam jagad raya ini dengan segala isinya semuanya kecil di hadapan-Nya. Oleh karena itu semua harus tunduk kepada Allah yang Akbar.
Konsep Kedua, “Wa tsiyaabaka fa thahhir” (Bersihkanlah pakaianmu). Kita harus sudah mulai mengupayakan mensucikan pakaian lahir terutama bathin kita. Membersihkan diri kita dari dosa dan kemaksiatan. Kita mulai mau membersihkan mental atau akhlak-akhlak yang kotor dari kehidupan masyarakat.
Sedangkan konsep Ketiga, “war rujza fah jur” (segala perbuatan dosa dan maksiat itu harus segera dijauhi). Kalau kita perhatikan bahasa Al Qur’an selalu menggunakan kata “jauhi” atau “jangan dekati” bila berbicara tentang larangan (QS. Al Baqarah, 2 : 35; Al A’raaf, 7:19, Al An’aam, 6:151-152; Al Israa’,17:34). Larangan-larangan semacam ini dimaksudkan untuk mendidik manusia agar tidak melakukan pelanggaran. Selain itu memberikan pendidikan pula kepada manusia bahwa semua sarana dan prasarana yang bisa menimbulkan kemaksiatan pun terkena larangannya.
Konsep Keempat, “Wa laa tamnun tastaktsir” (Dan janganlah kamu memberi dengan maksud ingin memperoleh balasan yang banyak). Karena tugas dakwah ini adalah tugas yang mesti didasari ikhlas semata-mata karena Allah, maka janganlah kita senantiasa berharap imbalan yang lebih banyak dari apa yang telah kita lakukan. Bukan berarti manusia tidak boleh memetik hasil dari jerih payah perjuangannya, tetapi tetap harus sewajarnya saja kita layak berharap.
Adapun konsep dakwah Kelima, “Wa li rabbika fash bir” (Maka bersabarlah (taat) bagi Tuhanmu). Oleh karena tugas dakwah ini adalah tugas yang tidak ringan, maka tentunya sangat diperlukan kesabaran dan ketahanan diri kita untuk tetap istiqomah dalam medan perjuangan. Kita mesti tanamkan dalam diri kita sebuah kesabaran, karena tidak mustahil kita akan berhadapan dengan orang-orang yang sangat terusik dengan dakwah kita.
Ini semua risiko yang mesti kita hadapi bukan malah kita lari meninggalkannya. Tidaklah pantas bila kondisi “medan dakwah” telah mengundang kita untuk terjun langsung dalam kancah perjuangan, lantas tiba-tiba kita lari meninggalkannya. Kita sadari, sungguh tidaklah mudah kita mengajak orang untuk senantiasa meng-“Akbar”-kan Allah dalam setiap aspek kehidupannnya. Tidaklah ringan kita memberikan teladan tentang kebersihan lahir terutama bathin kita sehingga tatanan kehidupan masyarakat kita bisa bersih dari yang munkar.
Tidak gampang pula kita memberikan arahan kepada orang untuk senantiasa mau menjauhi atau tidak mendekati perbuatan dosa, apalagi terhadap orang yang selama ini hidupnya telah bergelimang dengan dosa dan maksiat sehingga dosa dan kemaksiatan yang dilakukannya telah dianggap bukanlah dosa lagi.
Walaupun terlihat betapa beratnya “medan dakwah” kita, tentunya harus tetap kita jalani dengan hanya semata-mata didasari keikhlasan untuk mencapai ridha Allah. Kesabaran dan ketahanan diri serta istiqomah dalam “medan dakwah” inilah memang menjadi syarat penting dari semua ini.
Semoga kita semua dapat meng-“hijrah”-kan diri kita dari hal-hal yang dapat mengundang murka-Nya ke arah jalan yang lurus menuju ridha Allah SWT.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar