Oleh Abdullah Hakam Shah MA
Kehidupan modern bisa dikatakan identik dengan hiburan. Media elektronik dan cetak menghadirkannya secara masif dalam keseharian kita. Berbagai seremonial pun nyaris tak pernah sepi dari 'bumbu' hiburan, baik acara pernikahan, ulang tahun, peringatan hari besar nasional, hari besar keagamaan, maupun malam pergantian tahun.
Imam Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin, menganggap hiburan sebagai kebutuhan yang melekat dalam fitrah manusia. Karena itu, wajar bila diperbolehkan dalam ajaran Islam. Bahkan, pada zaman Rasulullah SAW, ketika Abu Bakar RA memarahi dua pembantu wanita yang bernyanyi di rumah Aisyah RA pada hari Lebaran, Rasulullah balik menegur Abu Bakar, "Biarkanlah mereka, hai Abu Bakar, karena sekarang adalah Lebaran." (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain, Nabi SAW menyampaikan alasannya, "Agar orang-orang Yahudi tahu bahwa dalam agama kita terdapat kelonggaran." (HR Ahmad).
Pernah pula Rasulullah SAW menegur rombongan mempelai wanita yang tengah menuju rumah mempelai pria. Rombongan tersebut tampak sepi, tanpa iringan nyanyian atau hiburan yang lain. Maka, beliau bersabda, "Apa tidak ada hiburannya? Karena, biasanya, orang-orang Anshar suka hiburan." (HR Bukhari dan Muslim).
Namun, menikmati hiburan tidak boleh berlebihan. Imam Ali RA mengibaratkan hiburan dalam hidup seseorang seperti garam dalam racikan makanan; cukup dipergunakan sekadarnya. Apabila berlebihan, justru akan merusak keseimbangan dan esensi hidup itu sendiri. Sementara itu, Al-Ghazali menyebutnya sebagai obat bagi hati yang jenuh serta pikiran yang letih. Setiap obat harus dipakai sesuai dosisnya. Kalau over, bisa-bisa malah membahayakan si pengguna.
Dua ungkapan di atas selaras dengan tuntunan Alquran, "Dan, janganlah kalian berlebihan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan." (QS Al-A'raf [7]: 31).
Hiburan juga seyogianya tidak dicemari hal-hal yang diharamkan oleh syariat. Misalnya judi, mengonsumsi minuman keras, narkoba, percampuran dengan lawan jenis yang bukan mahram, dan sebagainya. Sebab, hiburan yang pada dasarnya diperbolehkan bisa menjadi haram gara-gara ternoda perkara yang bertentangan dengan norma-norma agama dan sosial. Bak kata pepatah, "Nila setitik dapat merusak susu sebelanga."
Hiburan yang dinikmati secara proporsional dan steril dari cela seperti digambarkan di atas itulah yang kiranya direkomendasikan Rasulullah lewat sabdanya, "Seorang yang berakal tidak selayaknya menghabiskan waktu, kecuali untuk tiga perkara: mencari bekal akhirat, memperbaiki taraf hidup, atau menikmati hiburan yang tidak diharamkan." (HR Ahmad dan Ibnu Hibban).
Selasa, 05 Januari 2010
Hiburan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar