Sekalipun Al-Ghazali menolak falsafah, namun ia mempelajari dan menguasai seni itu sedalam-dalamnya. Ini membuat kritik-kritiknya dilakukan dengan kompetensi yang tak bisa dipersoalkan lagi. Justru ia berhasil karena ia menggunakan metode falsafah itu sendiri yang ia pinjam terutama dari Ibn Sina. Tujuan Al-Ghazali dengan tour de force-nya itu ialah membela dan menggiatkan kembali kajian keagamaan, sehingga karya utamanya pun berhudul Ihya`-u `Ulum-i `l-Din (Menghidupkan kembali Ilmu-Ilmu Agama”). Dan begitu pula, bahwa ia menulis karya polemisnya yang besar dan abadi. Tahafut Al-Falasifah (“Kekacauan Para Failasuf”), adalah katanya sendiri, karena terdorong oleh gejala berkecamuknya pikiran bebas waktu itu yang banyak membuat orang meninggalkan ibadah. Meskipun ia sendiri seorang pemikir sistematis dan rasional besar yang pada intinya menggabungkan falsafah dengan ilmu Kalam, namun ia dengan jelas melihat keterbatasan ilmu Kalam itu, dan meyakini bahwa agama haruslah terutama berupa pendekatan diri pribadi kepada Tuhan dalam suatu kehidupan zuhud seorang sufi.
Dalam banyak hal Al-Ghazali adalah penerus langsung peranan Al-Asy`ari, hanya dengan kapasitas intelektual yang jauh lebih besar. Sebagaimana Al-Asy`ari dengan meminjam metode Mu`tazilah berhasil merumuskan dan mengonsolidasi paham Sunni, Al-Ghazali, juga dengan meminjam metode lawan-lawannya, yaitu Neo-Platonisme dan Aristotelianisme, berhasil membangun lebih kukuh lagi Sunnisme dan membuatnya, sebegitu jauh, tak terpatahkan. Al-Ghazali telah membendung bahaya gelombang Hellenisme yang kedua, sebagaimana daya serang gelombang pertamanya. Maka tidaklah terlalu berlebihan ia digelari “Hujjat Al-Islam” (Argumentasi Islam), dan menjadi simbol kaum Sunni.
Sekalipun begitu, pengalaman Al-Asy`ari yang mula-mula ditolak dan dicurigai umat juga berulang pada Al-Ghazali. Meskipun ia dengan sepenuhnya membela agama, tapi pembelaan itu dilakukan dengan memperkenalkan berbagai cara berpikir dan metode yang saat itu dirasakan sebagai heterodoks dan bid`ah, karena menyalahi tradisi pemikiran keagamaan yang dikenal.
Sesungguhnya berkat pikiran-pikiran Al-Ghazali itulah Asy`arisme mendapatkan kemenangannya yang terakhir, yang kemudian menjadi ciri utama paham Sunni. Juga karena karya-karya Al-Ghazali, maka kesenjangan antara lainnya, khususnya akidah dan syariah menjadi semakin menciut. Bahkan Al-Ghazali telah berhasil membmeri tempat yang mapan kepada esoterisme Islam dalam keseluruhan paham keagamaan yang dianggap sah atau ortodoks.
Penyelesaian yang ditawarkan Al-Ghazali begitu hebatnya, sehingga memukau dunia intelektual Islam dan membuatnya seolah-olah terbius tak sadarkan diri. Menurut lukisan seorang sarjana, Al-Ghazali sedemikian komplitnya memberi penyelesaian masalah-masalah keagamaan Islam, sehingga yang terjadi sesungguhnya ialah bahwa dia bagaikan telah menciptakan sebuah kamar untuk umat yang walaupun sangat nyaman, tapi kemudian mempunyai efek pemenjaraan kreativitas intelektual Islam, konon sampai sekarang.
Bahwa sejak itu umat Islam terkungkung dalam kamar sel nyaman Ghazalisme, memang banyak yang mengatakan begitu. Gejala-gejala pada umat pun banyak yang bisa ditunjuk sebagai mendukung penilaian demikian. Dan menurut pandangan itu, umat Islam tidak akan mendapatkan kembali dinamika intelektualnya jika tidak berhasil memecahkan kamar sel Ghazalisme itu.
Tapi, betapapun, Al-Ghazali amat berjasa dalam menstabilkan pemahaman umat kepada agamanya. Berkat Al-Ghazali, berbagai kekacauan dalam pemahaman itu teratasi. Hanya saja, justru stabilitas inilah yang mengesankan keterpenjaraan dan kemandekan. Walaupun demikian, masih merupakan tanda tanya besar, benarkah umat secara keseluruhan, dan sama sekali dikuasai oleh sistem pemahaman yang dibangun oleh orang dari Kota Thus di Persia itu? Tampaknya tidaklah demikian.
Sumber: Ensiklopedi Nurcholish Madjid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar