Senin, 20 September 2010

Belajar dari Kaum Mu'tazilah

-
berita

Telah umum diketahui bahwa dalam sejarah pemikiran Islam, kaum Mu`tazilah adalah pelopor pembahasan masalah akal dan wahyu. Dalam pandangan mereka, kedua hal itu tidak mungkin bertentangan. Sebab wahyu adalah kebenaran, dan akal adalah anugerah Tuhan untuk mampu menangkap kebenaran itu. Pandangan ini seluruhnya sejalan dengan berbagai dorongan dalam Alquran agar kita menggunakan akal, berpikir, merenung (ya`qilu, yatafakkaru, dan yatadabbaru, dengan tashrif derivatif masing-masing). Ayat-ayat Alquran banyak sekali diakhiri dengan perkataan-perkataan ini, baik yang bernada pujian kepada yang melakukannya ataupun yang bernada gugatan kepada yang tidak melakukannya.

Secara populer diketahui bahwa pelopor gerakan Mu`tazilah ialah Washil ibn `Atha (w. 131 H/749 M.) dari Bashrah, (bekas) murid Hasan Bashri (Al-Hasan Al-Bashri w. 110 H./728M.). Meskipun riwayat menyebutkan bahwa pikiran i`tizAl-nya tumbuh karena kekecewaan kepada gurunya dalam menjawab tentang status seseorang yang mengaku beriman namun berdosa besar, Washil dapat dipahami lebih baik hanya jika diperhitungkan pengaruh gurunya itu. Sebab Hasan Bashri adalah seorang tokoh ulama yang sangat cenderung kepada paham Qadariyah, yang menyebabkan ia banyak berhadapan dengan rezim Umayah di Damaskus (yang terkenal sangat kuat berpegang kepada paham Jabariyah).

Paham Qadariyah sendiri merupakan salah satu tema pokok pandangan keagamaan kaum Khawarij. Lagi-lagi, sekalipun kaum “pemberontak “ ini “memberontak” kepada Ali ibn Abi Thalib, namun banyak wawasan kaum Khawarij yang rasional dan demokratis berakar dalam wawasan khalifah keempat itu. Bahkan meskipun paham kaum Khawarij akhirnya berkembang menjadi ekstrem sehingga kelak mereka dinyatakan oleh kaum Sunni sebagai pembuat bid`ah (ahlu `l-bid`ah atau al-mubtadi`ah) dan golongan penurut keinginan sendiri (ahl-u `l-ahwa`). Namun secara keagamaan, pribadi mereka itu, seperti dikatakan Ibn Taimiyah, adalah orang-orang yang saleh dan sangat dapat dipercaya.

Dalam penilaian kalangan ahli sejarah politik dan pemikiran Islam, kaum Mu`tazilah adalah “titisan” kaum Khawarij, kecuali bahwa mereka itu tidak terlalu berat terobsesi kepada kekuasaan politik. Tapi, ketika paham Mu`tazilah itu diambil oleh Khalifah Al-Ma`mun dan diputuskannya sebagai paham “resmi” negara (dengan ekses negatif yang ironis berupa mihnah atau pemeriksaan paham pribadi), kelompok Muslim “rasionalis” itu mampu menggerakkan wawasan keilmuan dan etos intelektual dalam peradaban Islam yang hasil-hasilnya masih menjadi topik kebanggaan kaum Muslim sampai sekarang. Ekses paham i`tizal memang ada, tapi merupakan hal sekunder.

Kaum Muslim zaman modern mungkin tidak perlu mengulang kembali secara keseluruhan paham Mu`tazilah. Tetapi jelas sekali bahwa mereka perlu membangkitkan kembali wawasan keilmuan dan etos intelektual pada “zaman keemasan” Islam itu.

Sumber: Ensiklopedi Nurcholish Madjid

Tidak ada komentar:

Al Quran On Line