Ibnu Sina (pre-renaissance.com)
Tak berlebihan jika intelektual Barat, George Sarton, menyebut Ibnu Sina sebagai "ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu." Sebab, sebagai seorang ilmuwan, Ibnu Sina menguasai banyak cabang ilmu yang dipelajarinya dari berbagai tempat.
Ibnu Sina yang memiliki nama asli Abu Ali al-Husain bin Abdullah merupakan dokter dan filsuf Islam termasyhur. Dia dilahirkan di Afsyanah, Bukhara (kini Uzbekistan) pada 370 H/980 M). Di Barat dia terkenal dengan nama Avicenna. Ayahnya seorang pegawai tinggi pada Dinasti Samaniah (204-395 H/819/1005 M).
Sejak kecil di usia 5 tahun Ibnu Sina belajar menghafal Alquran dan ilmu-ilmu agama. Kemudian mempelajari matematika, logika, fisika, geometri, astronomi, hukum Islam, teologi, kedokteran, dan metafisika. Dengan demikian, ia menguasai bermacam-macam ilmu pengetahuan.
Profesinya di bidang kedokteran dimulai sejak umur 17 tahun. Kepopulerannnya sebagai dokter bermula ketika ia berhasil menyembuhkan Nuh bin Mansur (976-997 M), salah seorang penguasa Dinasti Samaniah. Banyak tabib dan ahli yang hidup pada masa itu tidak berhasil menyembuhkan penyakit sang raja.
Sebagai penghargaan, Ibnu Sina diminta raja untuk menetap di istana, paling tidak untuk sementara selama sang raja dalam proses penyembuhan. Tapi Ibnu Sina menolaknya dengan halus. Dia hanya meminta izin untuk mengunjungi sebuah perpustakaan kerajaan yang kuno dan antik. Namun siapa sangka, dari sanalah ilmunya yang luas makin bertambah.
Ketika dia berusia 22 tahun, ayahnya meninggal. Setelah kematian ayahnya itulah dia mulai berkelana, menyebarkan ilmu dan mencari ilmu yang baru. Tempat pertama yang menjadi tujuannya adalah Jurjan, sebuah kota di Timur Tengah. Di sinilah dia bertemu dengan sastrawan dan ulama besar Abu Raihan Al-Biruni. Ia kemudian berguru kepada Al-Biruni.
Dia dua kali menjabat sebagai menteri pada Dinasti Hamdani (293/394 H/905-1004 M). Karena terlibat persoalan politik, ia dipenjarakan dan dipecat dari kedudukannya sebagai menteri.
Kebesaran nama Ibnu Sina terlihat dari beberapa gelar yang diberikan orang kepadanya, seperti asy-Syaikh ar-Rais (Guru Para Raja) di bidang filsafat dan Pangeran Para Dokter di bidang kedokteran.
Dia banyak meninggalkan karya tulis, semuanya ada kurang dari 200 buah, termasuk buku saku dan kumpulan suratnya, kebanyakan berbahasa Arab, selainnya berbahasa Persia.
Bukunya yang terkenal antara lain as-Syifa' (Penyembuhan), al-Qanuun fi at-Tibb (Peraturan-Peraturan dalam Kedokteran) yang selama 15 abad menjadi literatur penting bagi fakultas-fakultas kedokteran di Eropa, al-Isyaaraah wa at-Tanbihaat (Isyarat dan Penjelasan), Mantiq al-Masyriqiyyiin (Logika Timur), dan Uyuun al-Hikmah (Mata Air Hikmah).
Perkembangan dunia kedokteran awal tidak bisa terlepas dari nama besar Ibnu Sina. Ia juga banyak menyumbangkan karya-karya asli dalam dunia kedokteran. Dalam al-Qanuun fi at-Tibb misalnya, dia menulis ensiklopedia dengan jumlah jutaan item tentang pengobatan dan obat-obatan. Dia juga memperkenalkan penyembuhan secara sistematis, dan ini dijadikan rujukan selama tujuh abad lamanya.
Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya mempengaruhi pandangan filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya secara simultan mewarnai alam pikirannya.
Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai seorang yang agamis dalam filsafat, sementara al-Ghazali menjulukinya filsuf yang terlalu banyak berpikir.
Mengikuti pendahulunya, al-Farabi, ia mengakui bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dari-Nya-lah memancar segala yang ada. Tuhan sebagai al-wujuud al-awwal berpikir tentang diri-Nya, lalu dari pemikiran itu timbullah wujud kedua yang disebut akal pertama. Akal pertama ini mempunyai tiga objek pemikiran, yaitu Tuhan, dirinya sebagai waajib al-wujuud, dan dirinya sebagai mumkin al-wujuud. Pemikiran akal pertama tentang Tuhan melahirkan akal-akal berikutnya sampai kepada akal kesepuluh.
Pemikiran akal pertama tentang dirinya sebagai waajib al-wujuud memancarkan jiwa-jiwa dan pemikiran akal tentang dirinya sebagai mumkin al-wujuud melahirkan semua langit. Demikianlah seterusnya, setiap akal yang jumlahnya 10 itu mempunyai tiga objek pemikiran dan dari pemikiran akal inilah kemudian memancar alam ini.
Karena itu dia tidak menerima konsep penciptaan alam dari tiada menjadi ada (creatio ex nihilo) seperti yang dipahami oleh kebanyakan teolog Islam. Baginya alam ini qaadim (tidak mempunyai permulaan dari segi waktu). Antara Tuhan dan terjadinya alam tidak terdapat kesenjangan waktu. Pendapat ini mendapat tantangan keras dari al-Ghazali dalam bukunya Tahaafut al-Falaasifah (Kekacauan Para Filsuf).
Ditulis dari Ensiklopedi Islam dan berbagai sumber lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar