Ketika Nabi Musa mencari dan beristirahat di sebuah batu, bekal ikan yang sudah digoreng ternyata hidup kembali dan masuk ke laut. Ini seperti diceritakan dalam surat Al-Kahfi tentang pertemuan antara dua air yang kemudian menjadi landasan kaum tarekat sebagai tempat ideal untuk berzikir.
Di tempat ini, Nabi Musa mendapatkan orang yang tidak begitu mengesankan. Ketika ditanya apakah dia yang dikatakan lebih hebat darinya, Nabi Khidir menjawab tidak tahu. Karena merasa penasaran dan hendak mengetahui siapa dia, Nabi Musa meminta untuk ikut dengannya. Dengan tegas Nabi Khidir menolak karena yakin Nabi Musa tidak akan tahan melihat tingkah lakunya nanti. Tapi dengan janji tidak akan macam-macam, hanya ikut tunduk saja tanpa protes, akhirnya Nabi Musa diizinkan ikut juga.
Mereka kemudian menyeberangi selat dan naik perahu. Di tengah perjalanan ketika melihat perahu, perahu itu rusak. Nabi Musa tidak tahan melihat kejadian itu dan protes. Dengan enak orang itu menjawab,” kan sudah saya bilang kalau kamu tidak tahan mengikuti aku.” Ketika sampai di pantai dan bertemu dengan anak-anak yang sedang bermain riang, diambil salah satu dari mereka dan ditempeleng sampai mati. Nabi Musa marah sekali dan berkata,” Aqaltata nafsan zakiyatan bi ghayi nafsin” (Apakah engkau membunuh seorang jiwa yang suci bersih tanpa kesalahan seperti ini? [Q., 18: 74). Lagi-lagi, orang itu dengan tenang berkata “Kan saya sudah bilang kalau kamu tidak akan tahan ikut aku. “Kemudian Nabi Musa minta maaf.
Sampai di sebuah desa dan keduanya sudah lapar dahaga, tetapi tidak seorang pun menjamu mereka walau sudah diminta. Meskipun demikian, ketika melilhat rumah yang mau roboh, Nabi Khidir mengajak Nabi Musa untuk memperbaikinya. Dengan dalih perlakukan desa yang tidak bersahabat tadi, Nabi Musa keberatan untuk memperbaiki rumah itu.
“Protes yang ketiga. Dan inilah saatnya kita harus berpisah karena kamu tidak tahan mengikuti aku. Tetapi sebelum berpisah, saya akan menerangkan dahulu mengapa saya melakukan itu semua. Tentang perahu, saya merusaknya karena di seberang sana sedang menunggu perampok-perampok yang akan merampasnya. Jadi, saya rusak supaya tidak dirampas oleh perampok-perampok itu. Tentang anak kecil yang sedang bermain itu, saya membunuhnya karena saya mendapat wahyu dari Tuhan bahwa ketika besar nanti, ia akan durhaka kepada kedua orangtuanya, padahal kedua orangtuanya itu saleh. Jadi, saya bunuh dengan harapan nanti Allah akan menggantinya dengan anak yang saleh. Sedangkan rumah yang mau roboh tadi, di dalamnya ada harta yang tersimpan untuk anak-anak yatim yang sekarang berada di kota. Jadi, rumah itu kita bangun agar harta itu tetap utuh sampai saatnya anak yatim itu dewasa dan bisa memanfaatkannya.”
Cerita di atas sering dipandang sebagai cerita konflik atau ketegangan antara lahir yang tidak sanggup menerobos orientasi batin. Maka pencernaan yang dimaksud adalah dalam arti penembusan batas, `ibrah, `i`tibar, tingkah laku atau tindakan menyeberang. Maksudnya, orang tidak berhenti pada aspek lahir, tetapi mencoba memahami apa yang ada di sebelahnya. Hal demikian penting mengingat agama sebenarnya merupakan sistem simbol; orang baru akan mengerti dengan benar jika sanggup menyeberangi simbol-simbol itu. “Fa`tabiu ya `uli `l-abshar” , karena itu menyeberanglah wahai orang-orang yang mempunyai pikiran mendalam (Q., 59: 2). “Wa ma ya`qilu ha illa `l-`alimun, artinya tidak ada yang bisa memahami secara rasional kecuali mereka yang berpengalaman (Q., 29: 43).
Sumber: Ensiklopedi Nurcholish Madjid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar