Maka untuk menunjang sistemnya inilah antara lain `Umar tidak mengizinkan tentara memiliki tanah-tanah produktif (pertanian) di daerah-daerah yang telah mereka bebaskan, khususnya di kawasan Bulan Sabit Subur. Kebijakan `Umar di bidang ini dan di bidang finansial pada umumnya sangat dihargai oleh para ahli sejarah Islam (khususnya, tentu saja, kalangan Sunni) dan diakui oleh para ahli non-Muslim sebagai suatu tindakan seorang genius dan bijak. (Juga Umar lah yang memprakarsai pendirian lembaga keuangan yang dikenal dengan bait al-mal, harfiah berarti “rumah harta”).
Tetapi ketika `Utsman mewarisinya, ternyata sedikit demi sedikit sistem `Umar itu mulai menunjukkan segi-segi kelemahannya. Ditambah lagi, `Utsman tidak memiliki wibawa dan kecakapan seperti pendahulunya. Tentara di berbagai kota garnisun mulai merasakan tidak adilnya penghasilan daerah mereka dikontrol dan dibawa ke Madinah sebagai fay` (milik negara). Mereka menginginkan untuk secara langsung mengontrol dan menguasai penghasilan daerahnya masing-masing itu. Ketidakpuasan ini masih harus ditambah dengan gejala-gejala nepotisme Umawi yang semakin terasa pada masa `Utsman, khususnya dalam bidang-bidang keuangan ini. Maka, mengulangi, perdebatan di masa Umar sekitar masalah tanah-tanah pertanian daerah taklukan itu, para tentara menghendaki agar tanah-tanah produktif itu langsung dibagikan kepada tentara penakluk bersangkutan, dan dilepaskan dari pengawasan Madinah, sama dengan harta rampasan perang mana pun juga. Jadi berbeda dengan pandangan `Umar yang tidak melihatnya demikian.
Akumulasi dari semua ketidakpuasan terhadap `Utsman itu yang jelas sebagian bukan karena kesalahan `Utsman sendiri yang berakhir dengan pembunuhan Khalifah. Dengan begitu dimulailah perang saudara selama lima tahun, hanya selang sekira seperempat abad sejak wafat Nabi.
Sumber: Ensiklopedi Nurcholish Madjid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar