Senin, 20 September 2010

Dimensi Modern Sosial-Politik Islam Klasik

-
berita


Pembicaraan tentang Islam dan politik selalu menarik perhatian, karena kenyataan adanya hubungan yang sangat erat antara keduanya dalam sejarah. Semenjak Nabi Saw hijrah dari Makkah ke Yatsrib dan kemudian memberi nama baru kepada kota itu sebagai Al-Madinah, maka agenda-agenda politik kerasulan telah diletakkan, dan beliau bertindak sebagai utusan Allah, kepala negara, komandan tentera, dan pemimpin kemasyarakatan.

Semua yang dilakukan oleh Nabi Saw di Kota hijrah itu adalah refleksi dari ide yang terkandung dalam perkataan Arab “madinah”, yang secara etimologis berarti “tempat peradaban”, yaitu padanan perkataan Yunani “polis” (seperti dalam nama kota “Constantinopolis”). Dan “madinah” dalam arti itu, adalah sama dengan “hadlarah” dan “tsaqafah”, yang masing-masing sering diterjemahkan berturut-turut, “peradaban” dan “kebudayaan” yang berarti “ pola kehidupan mengembara, "nomad”. Karena itu perkataan “madinah”, dalam peristilahan modern, menunjuk kepada semangat dan pengertian “civil society”, suatu istilah Inggris yang berarti “masyarakat sopan, beradab dan teratur” dalam bentuk negara yang baik. Dalam arti inilah maka harus dipahami kata-kata hikmah dalam bahasa Arab, “al-insanu madaniyun bi al-adabi” (“manusia menurut nature-nya adalah bermasyarakat budaya” – merupakan padanan adagiun terkenal Yunani bahwa manusia adalah “zoon politicon”).

Para khalifah, selaku para penguasa Islam, kemudian bertindak mengikuti konsekuensi logis prinsip-prinsip yang telah dirintis dan diletakkan Nabi. Di tangan para khalifah itu, khususnya `Umar ibn Al-Khaththab, khalifah kedua, Islam tampil dengan keberhasilan politik yang luar biasa, lebih daripada agama lain mana pun. Berkaitan dengan hal inilah sering dikemukakan keunikan Islam di antara agama-agama. Dalam telaah perbandingan yang lebih luas dengan agama-agama lain, sesungguhnya keunikan Islam di sini bukanlah keterkaitan erat antara agama dan politik itu sendiri. Agama-agama lain juga mengenal keterkaitan yang sangat erat dengan politik, jika tidak boleh dikatakan menyatu atau tidak mengenal pemisahan dengan masalah politik. Negeri kita sendiri pernah menyaksikan tampilnya dengan megah negara-negara agama, seperti Sriwijaya yang Buddha dan Majapahit yang Hindu. Sebelum abad kedelapan belas, agama Kristen di Eropa juga menyatu padu dengan kekuasaan politik. Dan sebelum itu, sebelum munculnya agama Kristen, agama Yahudi juga mewujud-nyata dalam politik atau kenegaraan, sehingga para pemimpin mereka adalah sekaligus pemimpin agama dan politik.

Maka, sekali lagi, keunikan Islam bukanlah hubungannya yang sangat erat dengan politik. Keunikan Islam dibanding dengan agama-agama lain berada dalam pandangan-pandangannya tentang politik yang sangat maju, bahkan Robert N Bellah, seorang sarjana sosiologi agama terkemuka, menyebutnya “sangat modern”, khususnya pandangan dan praktik politik yang berlaku di zaman para khalifah bijaksana (al-khulafa al-rasyidun). Letak kemodernan pandangan sosial-politik Islam klasik itu ialah: 1. Kedudukan pemimpin kenegaraan yangn terbuka terhadap penilaian berdasarkan kemampuan; 2. Karena itu, pemimpin ditetapkan melalui proses pemilihan terbuka, dengan cara apa pun pemilihan itu dilakukan dalam sejarah sesuai dengan keadaan; 3. Semua warga masyarakat dan negara, yang disebut ummat, mempunyai hak dan kewajiban yang sama berdasarkan pandangan persamaan manusia (egalitarianisne) di depan Allah dan hukum-Nya; 4. Hak-hak tertentu yang luas dan adil juga diakui ada pada golongan agama-agama lain (konsep tentang Ahl Al-Kitab), yang dalam Piagam Madinah disebut menjadi bagian dari umat.

Sumber: Ensiklopedi Nurcholis Madjid

Tidak ada komentar:

Al Quran On Line