Senin, 29 Juni 2009
Kearifan Nabi Yusuf
Kisah Nabi Yusuf dinarasikan begitu apik dalam Alquran dan disebut sebagai kisah paling indah (ahsan al-qashash). Perjalanan hidupnya begitu dramatis dan sarat ajaran moral. Walau akhirnya diangkat menjadi menteri, Nabi Yusuf mengalami cobaan hidup yang sangat berat sebelumnya.
Ia pernah dibuang, dijadikan budak, dan masuk penjara. Inilah perbedaan Nabi Yusuf dibanding sebagian pejabat Indonesia saat ini. Nabi Yusuf menjadi pejabat setelah masuk penjara (mengalami penderitaan), sementara sebagian pejabat diseret ke penjara setelah melepas jabatan.
Ada pelajaran penting yang dapat dipetik dari kearifan Nabi Yusuf. Ia diangkat sebagai menteri (ekonomi) setelah memberikan solusi manajerial menghadapi krisis di zamannya. ''Yusuf berkata, 'Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) seperti biasa. Maka, apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya, kecuali sedikit untuk kamu makan'.'' (QS Yusuf [12]: 47).
Berkat saran Nabi Yusuf ini, bangsa Mesir mampu bertahan menghadapi krisis ekonomi yang cukup panjang ketika itu. Solusi efektif ini tak mungkin muncul dari orang yang tidak cerdas, jujur, dan komitmen pada masyarakat.
Dalam konteks kekinian, saran itu dapat diterjemahkan sebagai ajakan untuk tak terjerumus pada pola hidup materialistik-hedonis. Pola hidup seperti inilah yang mendorong orang melakukan korupsi, manipulasi, pungli, dan suap yang menghabiskan uang negara.
Menghadapi krisis global saat ini, para pemimpin (atau calon pemimpin) harus menyiapkan solusi manajerial yang efektif bagi bangsa. Bukan sekadar bertahan, tapi harus mampu membawa bangsa ini menjadi lebih maju.
Dibutuhkan komitmen kuat, kejujuran, kecerdasan, dan kehendak bekerja keras untuk kemaslahatan bangsa. Kita tidak membutuhkan slogan kosong yang tak dapat diimplementasikan dengan baik dan bertanggung jawab.
Yang kita butuhkan adalah sosok manajer seperti Nabi Yusuf. Pemimpin berkarakter seperti inilah yang akan membawa bangsa Indonesia ke arah kemajuan di segala bidang. Semua kebijakan yang diambil pemimpin harus bermuara pada kesejahteraan rakyat.
Sekadar mengukur komitmen para pemimpin terhadap kemaslahatan bangsa, pantas rasanya kita menghayati ucapan Khalifah Umar bin Khatab, ''Jika ada kuda tergelincir di Irak, akulah yang bertanggung jawab.''
Bangsa yang beruntung adalah yang mampu meningkatkan taraf hidupnya. Hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Jika sebaliknya, bangsa kita akan menjadi bangsa yang merugi atau bahkan bangkrut.
(-)
Index Koran
Iman yang Melahirkan Harapan
''Maka ke manapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. '' (QS Albaqarah [2]: 115).
Firman ini merupakan bukti bahwa Allah SWT akan selalu menyertai hamba-Nya yang beriman. Beriman dalam konteks ini juga berarti tawakal, menyandarkan diri kepada Allah SWT dalam segala kondisi, baik senang maupun susah.
Sikap tawakal akan membuat kita semakin kuat, karena tidak merasa sendirian ketika sedang menghadapi tantangan hidup. Kondisi ini akan melahirkan harapan yang bersumber dari iman kepada-Nya sebagai al-Wakil, atau sebaik-baiknya tempat bersandar.
Jika dirunut secara logis, iman akan melahirkan sikap tawakal, dan tawakal akan melahirkan harapan. Tak adanya harapan dalam hidup merupakan indikasi tidak adanya iman.
Menurut almarhum Nurcholish Madjid, orang yang tidak berpengharapan berarti tak menaruh kepercayaan kepada Allah SWT. Atau sebaliknya, orang yang tak menaruh kepercayaan kepada Allah SWT, maka ia tidak akan menaruh harapan kepada-Nya.
Premis di atas bisa dibuktikan melalui kejadian sehari-hari di sekitar kita. Kasus bunuh diri beberapa caleg yang gagal memenangkan Pemilu Legislatif 2009 adalah bukti nyata. Kekalahan adalah akhir dari harapan, karena mereka telah menggantungkan hidup selain kepada Allah SWT. Mereka tidak lagi menimbang bahwa ada hikmah di balik kejadian tersebut.
Padahal, orang yang menyandarkan segala urusannya kepada Allah SWT, mereka dijanjikan tak akan mengalami keputusasaan, meski cobaan berat menderanya. Melalui lisan Nabi Yaqub, ketika dia berpesan kepada anak-anaknya saat mencari Yusuf dan Bunyamin di Mesir, Allah SWT mengingatkan kita semua.
''Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum yang kafir.'' (QS Yusuf [12]: 87).
Salah satu konsekuensi dari iman yang tulus adalah sikap berbaik sangka kepada Allah SWT. Jika kita benar-benar menganggap Allah SWT sebagai al-Wakil, kita pasti akan mampu menemukan hikmah (juga harapan) di setiap peristiwa hidup yang kita alami, baik menyedihkan maupun menyenangkan.
Dengan menggunakan iman sebagai lensa pandang untuk setiap persoalan kehidupan, kita tak akan menemukan kesia-siaan di dalamnya, karena kita menjadikan Allah SWT sebagai sumber inspirasi utama. Inilah sikap hidup kaum beriman, sikap yang mengafirmasi hidup dengan keberanian dan harapan.
(-)
Sabtu, 27 Juni 2009
Iman yang Melahirkan Harapan
Oleh Afthonul Afif
''Maka ke manapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. '' (QS Albaqarah [2]: 115).
Firman ini merupakan bukti bahwa Allah SWT akan selalu menyertai hamba-Nya yang beriman. Beriman dalam konteks ini juga berarti tawakal, menyandarkan diri kepada Allah SWT dalam segala kondisi, baik senang maupun susah.
Sikap tawakal akan membuat kita semakin kuat, karena tidak merasa sendirian ketika sedang menghadapi tantangan hidup. Kondisi ini akan melahirkan harapan yang bersumber dari iman kepada-Nya sebagai al-Wakil, atau sebaik-baiknya tempat bersandar.
Jika dirunut secara logis, iman akan melahirkan sikap tawakal, dan tawakal akan melahirkan harapan. Tak adanya harapan dalam hidup merupakan indikasi tidak adanya iman.
Menurut almarhum Nurcholish Madjid, orang yang tidak berpengharapan berarti tak menaruh kepercayaan kepada Allah SWT. Atau sebaliknya, orang yang tak menaruh kepercayaan kepada Allah SWT, maka ia tidak akan menaruh harapan kepada-Nya.
Premis di atas bisa dibuktikan melalui kejadian sehari-hari di sekitar kita. Kasus bunuh diri beberapa caleg yang gagal memenangkan Pemilu Legislatif 2009 adalah bukti nyata. Kekalahan adalah akhir dari harapan, karena mereka telah menggantungkan hidup selain kepada Allah SWT. Mereka tidak lagi menimbang bahwa ada hikmah di balik kejadian tersebut.
Padahal, orang yang menyandarkan segala urusannya kepada Allah SWT, mereka dijanjikan tak akan mengalami keputusasaan, meski cobaan berat menderanya. Melalui lisan Nabi Yaqub, ketika dia berpesan kepada anak-anaknya saat mencari Yusuf dan Bunyamin di Mesir, Allah SWT mengingatkan kita semua.
''Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum yang kafir.'' (QS Yusuf [12]: 87).
Salah satu konsekuensi dari iman yang tulus adalah sikap berbaik sangka kepada Allah SWT. Jika kita benar-benar menganggap Allah SWT sebagai al-Wakil, kita pasti akan mampu menemukan hikmah (juga harapan) di setiap peristiwa hidup yang kita alami, baik menyedihkan maupun menyenangkan.
Dengan menggunakan iman sebagai lensa pandang untuk setiap persoalan kehidupan, kita tak akan menemukan kesia-siaan di dalamnya, karena kita menjadikan Allah SWT sebagai sumber inspirasi utama. Inilah sikap hidup kaum beriman, sikap yang mengafirmasi hidup dengan keberanian dan harapan.
(-)
Kearifan Nabi Yusuf
Kisah Nabi Yusuf dinarasikan begitu apik dalam Alquran dan disebut sebagai kisah paling indah (ahsan al-qashash). Perjalanan hidupnya begitu dramatis dan sarat ajaran moral. Walau akhirnya diangkat menjadi menteri, Nabi Yusuf mengalami cobaan hidup yang sangat berat sebelumnya.
Ia pernah dibuang, dijadikan budak, dan masuk penjara. Inilah perbedaan Nabi Yusuf dibanding sebagian pejabat Indonesia saat ini. Nabi Yusuf menjadi pejabat setelah masuk penjara (mengalami penderitaan), sementara sebagian pejabat diseret ke penjara setelah melepas jabatan.
Ada pelajaran penting yang dapat dipetik dari kearifan Nabi Yusuf. Ia diangkat sebagai menteri (ekonomi) setelah memberikan solusi manajerial menghadapi krisis di zamannya. ''Yusuf berkata, 'Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) seperti biasa. Maka, apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya, kecuali sedikit untuk kamu makan'.'' (QS Yusuf [12]: 47).
Berkat saran Nabi Yusuf ini, bangsa Mesir mampu bertahan menghadapi krisis ekonomi yang cukup panjang ketika itu. Solusi efektif ini tak mungkin muncul dari orang yang tidak cerdas, jujur, dan komitmen pada masyarakat.
Dalam konteks kekinian, saran itu dapat diterjemahkan sebagai ajakan untuk tak terjerumus pada pola hidup materialistik-hedonis. Pola hidup seperti inilah yang mendorong orang melakukan korupsi, manipulasi, pungli, dan suap yang menghabiskan uang negara.
Menghadapi krisis global saat ini, para pemimpin (atau calon pemimpin) harus menyiapkan solusi manajerial yang efektif bagi bangsa. Bukan sekadar bertahan, tapi harus mampu membawa bangsa ini menjadi lebih maju.
Dibutuhkan komitmen kuat, kejujuran, kecerdasan, dan kehendak bekerja keras untuk kemaslahatan bangsa. Kita tidak membutuhkan slogan kosong yang tak dapat diimplementasikan dengan baik dan bertanggung jawab.
Yang kita butuhkan adalah sosok manajer seperti Nabi Yusuf. Pemimpin berkarakter seperti inilah yang akan membawa bangsa Indonesia ke arah kemajuan di segala bidang. Semua kebijakan yang diambil pemimpin harus bermuara pada kesejahteraan rakyat.
Sekadar mengukur komitmen para pemimpin terhadap kemaslahatan bangsa, pantas rasanya kita menghayati ucapan Khalifah Umar bin Khatab, ''Jika ada kuda tergelincir di Irak, akulah yang bertanggung jawab.''
Bangsa yang beruntung adalah yang mampu meningkatkan taraf hidupnya. Hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Jika sebaliknya, bangsa kita akan menjadi bangsa yang merugi atau bahkan bangkrut.
Kearifan Nabi Yusuf
Kisah Nabi Yusuf dinarasikan begitu apik dalam Alquran dan disebut sebagai kisah paling indah (ahsan al-qashash). Perjalanan hidupnya begitu dramatis dan sarat ajaran moral. Walau akhirnya diangkat menjadi menteri, Nabi Yusuf mengalami cobaan hidup yang sangat berat sebelumnya.
Ia pernah dibuang, dijadikan budak, dan masuk penjara. Inilah perbedaan Nabi Yusuf dibanding sebagian pejabat Indonesia saat ini. Nabi Yusuf menjadi pejabat setelah masuk penjara (mengalami penderitaan), sementara sebagian pejabat diseret ke penjara setelah melepas jabatan.
Ada pelajaran penting yang dapat dipetik dari kearifan Nabi Yusuf. Ia diangkat sebagai menteri (ekonomi) setelah memberikan solusi manajerial menghadapi krisis di zamannya. ''Yusuf berkata, 'Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) seperti biasa. Maka, apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya, kecuali sedikit untuk kamu makan'.'' (QS Yusuf [12]: 47).
Berkat saran Nabi Yusuf ini, bangsa Mesir mampu bertahan menghadapi krisis ekonomi yang cukup panjang ketika itu. Solusi efektif ini tak mungkin muncul dari orang yang tidak cerdas, jujur, dan komitmen pada masyarakat.
Dalam konteks kekinian, saran itu dapat diterjemahkan sebagai ajakan untuk tak terjerumus pada pola hidup materialistik-hedonis. Pola hidup seperti inilah yang mendorong orang melakukan korupsi, manipulasi, pungli, dan suap yang menghabiskan uang negara.
Menghadapi krisis global saat ini, para pemimpin (atau calon pemimpin) harus menyiapkan solusi manajerial yang efektif bagi bangsa. Bukan sekadar bertahan, tapi harus mampu membawa bangsa ini menjadi lebih maju.
Dibutuhkan komitmen kuat, kejujuran, kecerdasan, dan kehendak bekerja keras untuk kemaslahatan bangsa. Kita tidak membutuhkan slogan kosong yang tak dapat diimplementasikan dengan baik dan bertanggung jawab.
Yang kita butuhkan adalah sosok manajer seperti Nabi Yusuf. Pemimpin berkarakter seperti inilah yang akan membawa bangsa Indonesia ke arah kemajuan di segala bidang. Semua kebijakan yang diambil pemimpin harus bermuara pada kesejahteraan rakyat.
Sekadar mengukur komitmen para pemimpin terhadap kemaslahatan bangsa, pantas rasanya kita menghayati ucapan Khalifah Umar bin Khatab, ''Jika ada kuda tergelincir di Irak, akulah yang bertanggung jawab.''
Bangsa yang beruntung adalah yang mampu meningkatkan taraf hidupnya. Hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Jika sebaliknya, bangsa kita akan menjadi bangsa yang merugi atau bahkan bangkrut.
INILAH.COM - Klaim Sukses KPK, SBY Juga Gerogoti
Akhlak Mulia Ciri Mukmin Sejati
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Mahaindah dan mencintai keindahan. Dia mencintai akhlak yang tinggi dan membenci akhlak yang rendah.” (HR Ath-Thabrani dan Ibnu Asakir)
Dengan kemuliaan akhlak seorang mukmin mampu mencapai derajat yang tinggi Ia akan mendapat derajat sama dengan derajat para mujahid fi sabilillah, para ahli ibadah, orang-orang yang senantiasa berpuasa, orang-orang yang shalat di malam hari dan orang-orang yang beristighfar di sore hari. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya seorang muslim musaddid (ibadahnya sedang-sedang saja) akan mampu mencapai derajat orang-orang ahli puasa yang mendirikan ayat-ayat Allah, disebabkan oleh keindahan akhlaknya dan kemuliaan prilakunya.”(HR Ahmad dan Ath-Thabrani)
Nabi saw juga menjelaskan bahwasanya orang mukmin yang imannya paling sempurna adalah orang yang paling mulia akhlaknya. Dan dengan kemulian akhlak seorang mukmin dapat mencapai derajat orang-orang yang berpuasa dan menunaikan zakat.
Orang-orang yang berakhlak luhur, berwatak mulia dan berperilaku bersih adalah manusia yang paling dicintai oleh Baginda Nabi dan akan mendapat tempat terdekat dengan beliau kelak pada Hari Kiamat.
Dalam sebuah hadits, beliau menyatakan bahwasanya orang yang paling beliau cintai dan akan mendapat tempat terdekat dengan beliau pada Hari Kiamat adalah yang paling mulia akhlaknya.
Sedangkan orang yang paliang beliau benci dan yang paling jauh tempatnya dengan beliau pada Hari Kiamat kelak adalah orang yang buruk akhlaknya, yaitu Ats-Tsartsarun (orang-orang yang banyak bicara), Al-Mutasyadidiqun (orang-orang-orang yang suka memanjangkan pembicaraan) dan Al-Mutafayhiqun (orang-orang yang congkak.).
Akhlak yang mulia juga akan menjadikan timbangan kebaikan seseorang bertambah berat pada Hari Kiamat kelak. Hitungan amal baiknya akan meningkat sedangkan timbangan amal buruknya akan berkurang. Rasulullah saw bersabda, “Tiada sesuatu yang lebih bisa memberatkan timbangan (kebaikan) orang mukmin pada hari kiamat, daripada akhlak yang baik. Sesungguhnya Allah membenci orang yang berkata kotor dan hina.(HR At-Tirmidzi)
Tahapan-tahapan dan kejadian-kejadian pada Hari Kiamat juga akan mudah dilalui oleh seorang yang berakhlak mulia. Dia akan mendapatkan tempat yang paling mulia dan derajat yang tinggi. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwasanya seorang hamba dengan kemuliaan akhlaknya akan mencapai derajat-derajat di akhirat yang tinggi dan tempat tinggal yang mulia. Padahal di dunia ibadahnya biasa-biasa saja. Sedangkan seseorang yang akhlaknya buruk akan terjerumus ke derajat paling rendah di neraka jahanam.
Lantas bagaimana agar kita bisa berakhlak mulia?
Pertama, membaca buku-buku dan mendengarkan ceramah-ceramah agama yang menerangkan perihal akhlak Rasulullah, para sahabat, dan ulama-ulama saleh.
Kedua, mengamalkan sedikit demi sedikit tentang akhlak mulia yang sudah kita pelajari.
Ketiga, berdoa kepada Allah supaya dikaruniai akhlak yang baik dan terhindar dari akhlak yang buruk.
Rasulullah mengajarkan kepada kita doa untuk mendapatkan akhlak yang mulia. Diriwayatkan bahwa beliau berdoa, “Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku keindahan akhlak yang tiada bisa menunjukkan keindahannya melainkan Engkau semata. Dan palingkanlah dariku keburukan akhlak yang tiada bisa memalingkan dari keburukannya, melainkan Engkau semata.(HR Muslim)
Dalam hadits yang lain diriwayatkan bahwa Rasulullah saw meminta perindungan dari keburukan akhlak, keburukan watak dan kerendahan adab. Beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kemungkaran akhlak, amal-amal perbuatan, hawa-hawa nafsu dan penyakit-penyakit (hati).” (HR At-Tirmidzi dan Ath-Thabrani)
Dewasa ini bangsa Indonesia dihadapkan dengan problem kemerosotan akhlak yang sangat drastis. Bangsa Indonesia yang dahulu dikenal santun, ramah dan bersahabat, akhir-akhir ini berubah menjadi bangsa yang kasar, bengis dan arogan.
Setiap hari kita saksikan media-media informasi menayangkan berita kriminal. Ada anak yang tega membunuh orangtuanya sendiri, ayah yang memperkosa anak gadisnya sendiri, bahkan seorang ibu tanpa perasaan membuang bayinya sendiri ke tempat sampah.
Menjadi tugas setiap orang mukmin untuk memperbaiki kebobrokan akhlak di negara ini dengan menampilkan akhlak yang mulia. Sebab, akhlak mulia merupakan ciri dari seorang mukmin sejati. Dengan menebarkan akhlak mulia, maka perilaku masyarakat yang sudah kacau balau ini perlahan-lahan akan berubah ke arah yang lebih baik. (*)
*) Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Syafi’i Akrom Jenggot Pekalongan Selatan Jawa Tengah.
Kamis, 25 Juni 2009
Berdebat
Oleh Darul Qotni Abbas
Secara terminologi, debat (al-jadal atau al-jidal) identik dengan dialog atau berbincang (at-tahawur). Berdebat identik dengan mempertahankan kebenaran yang dipahami, diyakini, dan diklaim sebagai dasar manusia berpijak dalam jalan kehidupannya.
Mempertahankan pendapat yang argumentatif, rasional, dan dapat dipahami dengan tetap berpegang pada etika berdebat, adalah mutlak harus dilakukan. Di musim kampanye pemilihan presiden kali ini, acara debat seolah menjadi acara wajib yang disuguhkan kepada publik.
Namun, perlu diingat bahwa dalam berdebat, ada asas-asas syariat yang perlu ditaati, semisal, jangan mencaci, menghina, membuka aib, dan kritik-destruktif.
Debat pada dasarnya adalah menyampaikan hujjah atau yang diduga sebagai hujjah oleh dua pihak yang berbeda pendapat. Tujuannya adalah untuk membela pendapatnya atau mazhabnya, membatalkan hujjah lawannya, serta mengalihkannya pada pendapat yang tepat dan benar menurut pandangannya.
Debat adalah perkara yang diperintahkan syariat untuk menyatakan yang haq dan membatalkan yang bathil. Dalilnya, antara lain, adalah firman Allah SWT, ''Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik.'' (QS Annahl [16]: 125).
Rasulullah SAW juga sering mendebat kaum musyrik Makkah, Nasrani Najran, dan Yahudi Madinah. Pengembang dakwah akan senantiasa menyerukan Islam, melakukan amar makruf nahi mungkar, dan memerangi pemikiran yang sesat.
Karena debat telah ditentukan sebagai cara (uslub) untuk melakukan semua aktivitas tersebut, maka debat menjadi suatu kewajiban, sesuai dengan kaidah fikih. Namun demikian, ada satu jenis perdebatan yang dicela oleh syariat, bahkan dianggap sebagai bentuk kekufuran. Ini ketika mendebat Allah SWT dan ayat-ayat-Nya.
Allah SWT berfirman, ''Dan Kitab yang diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu itu adalah benar, akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya).'' (QS Arra'd [13]: 1).
Berdebat tentang Alquran untuk menetapkan bahwa Alquran bukanlah mukjizat atau bukan berasal dari Allah SWT, juga merupakan suatu kekufuran. Rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah, pernah bersabda, ''Berdebat tentang Alquran adalah kekufuran.'' (HR Ahmad).
Semoga kita terhindar dari perdebatan yang membawa pada kekufuran. Sebaliknya, melakukan debat untuk menyingkap kebenaran serta mempertebal keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Kalah dan Menang
Oleh Ihsan M Rusli
Perang Badar serta perang Uhud memberikan hikmah yang luar biasa kepada umat Islam. Dalam perang Badar, kekuatan Muslim sangat tidak diperhitungkan menghadapi kafir Quraisy yang begitu digdaya.
Tapi, akhirnya karena pertolongan Allah SWT, kaum Muslimin meraih kemenangan yang gilang-gemilang. Sebaliknya dalam perang Uhud, kaum Muslimin sempat lalai dengan pertahanan dan euforia atas harta rampasan perang, yang akhirnya menyebabkan kekalahan.
Pelajaran yang dapat diambil adalah kalah dan menang memang sesuatu hal yang lazim dalam kehidupan umat manusia. Suatu saat kita kalah dengan menyakitkan.
Padahal, rasanya tinggal selangkah lagi akan merengkuh kemenangan. Sedangkan di saat lain, ketika kita merasa tidak lagi ada asa dan ingin menyerah, tiba-tiba kemenangan datang tanpa diduga.
Rasulullah SAW melihat semuanya itu dengan kaca mata positif dan prasangka baik. Sehingga, Rasulullah SAW mengatakan sungguh menyenangkan menjadi orang beriman, tatkala kekalahan dan duka mendera, maka orang beriman akan bersabar, itu tersedia pahala baginya.
Sedangkan ketika kemenangan dan suka datang, orang beriman bersyukur dan itu pun tersedia pahala baginya. Jadi, tidak ada yang tidak bernilai bagi orang beriman.
Tugas seorang beriman adalah bersungguh-sungguh meraih kemenangan, berusaha sekuat tenaga, fokus pada tujuan, dan berdoa kepada Allah SWT. Sedangkan hasil akhir adalah mutlak ketentuan Allah SWT. Fatawakkal ilallah.
Dengan demikian tidak menjadi masalah bagi seorang beriman untuk kalah dan menang dalam kompetisi apa pun. Akan selalu ada hikmah di baliknya. Allah SWT berfirman, ''Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.'' (QS Albaqarah [2]: 216).
Tiga hal yang perlu dimiliki seorang Muslim. Selalu mengambil hikmah dan pelajaran, berserah diri kepada Allah SWT, serta senantiasa berprasangka baik kepada-Nya.
Kemenangan akan semakin meningkatkan rasa syukur, dan kekalahan adalah kesuksesan yang tertunda. Dalam berkompetisi, akan selalu ada yang kalah dan yang menang.
Demikian pula dalam kompetisi demokrasi seperti ajang pemilihan presiden. Bagi mereka yang turut berpartisipasi, hendaknya terus berpegang pada tiga prinsip tadi agar memperoleh keberkahan dari segala usahanya. Itulah hakikat kalah dan menang.
Republika Online - 230 Ribu Paspor Haji Disiapkan
BEKAL KETAKWAAN
Firman Allah :
“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, kami akan memberikan kepadamu Furqaan, dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. dan Allah mempunyai karunia yang besar”. ( QS 8 : 29 )
Dalam ayat ini, Allah mengajarkan kepada kita hal yang sangat berguna. Pertama, Allah mengkhususkan panggilannya kepada orang-orang yang beriman. Jadi, orang-orang yang tidak atau belum beriman, tidak dipanggil melalui ayat ini. Kekhususan ayat ini juga terletak pada kondisi keimanan seseorang.
Kedua, Allah mengajarkan kepada kita tentang sebuah kondisi tertentu yang harus dimiliki oleh orang yang beriman. Sehingga kalimat dalam ayat ini – menurut kaidah bahasa – disebut sebagai kalimat dengan kondisional tertentu. Apakah kondisi atau syarat yang harus mengikuti keimanan ? Jawabannya ada pada frase : jika kamu bertakwa kepada Allah. Ini penting sekali menjadi perhatian setiap orang yang telah dikhususkan panggilannya oleh Allah, yaitu orang-orang yang beriman, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah. Tanpa takwa, keimanan kalian tidak ada gunanya. Itulah sebabnya, takwa yang dimaksud oleh Allah adalah pembuktian terhadap apa yang telah diimani.
Ketiga, Allah seakan-akan melontarkan pertanyaan kepada kita. Mengapa keimanan harus disertai dengan pembuktian terhadap yang kita imani ? Rupanya, karena Allah akan memberikan kepadamu furqon, menghapuskan segala kesalahanmu, dan mengampuni dosamu.
Tiga alasan itulah yang menyebabkan Allah mengkhususkan panggilannya kepada orang-orang yang beriman, yaitu keinginan Allah untuk memberikan furqon, menghapus segala kesalahan dan mengampuni dosa orang-orang yang beriman. Tiga hal ini dapat disebut sebagai paket khusus dari Allah untuk orang-orang beriman. Namun, untuk mendapatkan paket khusus ini, orang beriman terlebih dahulu harus melakukan pembuktian terhadap apa yang diimaninya itu.
Mari kita lihat satu demi satu isi paket khusus tersebut.
Pertama, furqon. Secara harafiah, furqon bermakna pembeda. Tetapi secara substansial, yang dinamakan furqon adalah kemampuan untuk membedakan yang hak dan yang bathil, yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk. Kemampuan untuk membedakan ini hanya mungkin dipunyai oleh orang beriman yang sudah mengenal al-Haq melalui pembuktian. Sebelum seseorang mengenal al-Haq, Yang Mahabenar, maka yang ia kenal barulah kebenaran-kebenaran relatif, atau kebenaran subyektif menurut sudut pandangnya sendiri.
Jadi, furqon, adalah hasil pertama dari keimanan yang telah disertai dengan pembuktian terhadap apa yang diimaninya. Ini, penting kita sadari, karena sungguh, iman itu bukan suatu barangjadi yang dapat langsung melekat pada seseorang begitu saja. Ada proses, yang diisyaratkan oleh Allah : ‘Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.’ (QS 10 : 100). Keimanan hanya diberikan kepada manusia dengan izin Allah, artinya, dengan kehendak Allah setelah manusia berupaya untuk meraih dan mendapatkan izinNya.
Kedua, dihapuskan kesalahan-kesalahannya. Dalam bahasa al Quran disebut dengan istilah ‘wayukaffir ankum sayyiatikum’. Ditutupi semua keburukan-keburukanmu. Jadi, kemungkinan, orang-orang yang beriman masih melakukan hal-hal buruk yang tidak disengaja atau yang tidak kuasa dihindari. Tetapi, Allah memberikan kemurahan dengan menutupi keburukan-keburukannya. Sungguh, kemurahan Allah ini layak kita raih dengan ketaqwaan.
Ketiga, diampuni dosa-dosanya. Dosa paling besar manusia adalah seperti yang difirmankanNya : ‘Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.’ ( QS 4 : 116 ).
Dosa, adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang merasa gelisah. Jika hati manusia dihinggapi rasa gelisah, sesungguhnya hal tersebut merupakan salah satu tanda bahwa hatinya hidup, sadar, sehingga ada upaya untuk mencari sumber ketenangan, yaitu Allah. Pada tahap inilah, manusia diminta untuk jujur pada dirinya sendiri, tidak berusaha menutupi kegelisahannya dengan berpura-pura. Sikap pura-pura ini tidak dikehendaki oleh Allah, karena ia merupakan salah satu tanda kemunafikan. Allah menghendaki kejujuran. Dan kejujuran yang utama adalah kejujuran kepada diri sendiri.
Wallohua’lam.
Selasa, 23 Juni 2009
Narsisisme dan Ekshibisionisme
Perkembangan teknologi telah membawa pengaruh besar bagi kehidupan umat. Teknologi memberikan kemudahan berbagai aktivitas positif, tapi juga bisa menjadi perantara terciptanya perilaku menyimpang yang negatif.
Pengaruh negatif tampak pada menguatnya gejala narsisisme dan ekshibisionisme yang makin marak. Narsisisme adalah kecenderungan suka mempertunjukkan kelebihan diri. Sedangkan ekshibisionisme adalah dorongan psikologis untuk memperlihatkan hal-hal atau tindakan yang tak senonoh.
Telepon genggam berkamera kerap disalahgunakan sebagai alat untuk merekam kelebihan diri (ketampanan atau kecantikan) hingga mempertunjukkan bagian-bagian tubuh yang haram dilihat oleh bukan muhrimnya. Tak jarang foto atau video porno direkam dan disebarkan melalui telepon.
Perkembangan jejaring sosial dunia maya juga telah memerantarai individu Muslim 'unjuk gigi'. Situs-situs jejaring sosial seolah memberikan ruang lapang untuk bersikap narsis, bahkan mempertontonkan hal-hal yang bersifat ekshibisionistis.
Perkembangan ini tentu saja memprihatinkan, karena perangkat teknologi yang ada tidak digunakan sebagaimana tuntunan Allah SWT. Allah SWT tidak melarang mencintai diri sendiri.
Sebab, setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk mempertebal rasa percaya diri dan rasa syukur kepada Allah SWT, manusia dianjurkan untuk melihat karunia yang dilimpahkan Allah SWT.
Hanya saja, mencintai diri sendiri tak berarti harus menunjukkan kelebihan diri di hadapan umum. Sikap narsis adalah gejala membanggakan kelebihan dan keunggulan diri, sehingga dapat menimbulkan sifat sombong dan takabur.
Sifat sombong inilah yang dibenci Allah SWT. ''Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.'' (QS Luqman [31]: 18).
Sementara seorang ekshibisionis adalah yang suka mempertontonkan auratnya. Memperlihatkan aurat dilarang karena dapat mendekatkan seseorang kepada perbuatan zina. Setiap Muslim juga diingatkan untuk menjaga pandangan dan memelihara kemaluannya.
''Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Yang Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.'' (QS Annuur [24]: 30).
Di sinilah kita perlu arif memaknai perangkat teknologi. Setiap perangkat teknologi komunikasi dan informasi hampir selalu menganut diktum yang sudah lama kita kenal, man behind the gun, yaitu bergantung pada siapa dan untuk apa perangkat teknologi itu digunakan. Apakah demi kebaikan, atau sebaliknya untuk kemungkaran.
(-)
Index Koran
Keadilan Rasulullah saw
Para sahabat hening, karena merasa tidak mungkin hal itu akan terjadi. Tapi, tiba-tiba seorang sahabat mengangkat tangan dan melaporkan satu peristiwa yang pernah menimpa dirinya. ''Ya Rasulullah! Saya pernah terkena tongkat komando Rasulullah saw pada saat Perang Badar. Ketika Rasulullah saw mengayunkan tongkat komandonya, kudaku menerjang ke depan dan aku terkena tongkat Rasulullah saw. Saya merasa sakit sekali, apakah hal ini ada qishos-nya!''
Nabi Muhammad saw menjawab, ''Ya, ini ada qishos-nya jika kamu merasa sakit.'' Rasul pun menyuruh Ali bin Abi Tholib mengambil tongkat komandonya yang disimpan di rumah Fatimah. Setelah Ali bin Abi Thalib tiba kembali membawa tongkat komando, Rasulullah saw menyerahkan kepada sahabatnya untuk melaksanakan qishos. Seluruh sahabat yang hadir di majelis itu hening, apa kira-kira yang akan terjadi jika Rasulullah saw dipukul dengan tongkat itu. Di tengah keheningan itu, Ali bin Abi Tholib tampil ke depan: ''Ya Rasulullah! Biar kami saja yang dipukul oleh orang ini. Abu Bakar dan Umar bin Khattab juga ikut maju. Tetapi, Rasulullah memerintahkan, Ali, Abu Bakar, dan Umar agar mundur, sambil berkata: ''Saya yang berbuat, saya yang dihukum, demi keadilan''.
Situasi tambah hening. Tetapi, di tengah-tengah keheningan itu tiba-tiba sahabat yang siap jadi algojo itu berkata: ''Tapi di saat saya terkena tongkat komando, saya tidak pakai baju.'' Mendengar itu langsung Rasulullah saw membuka bajunya di depan para sahabat. Kulit Rasulullah saw tampak bercahaya, tetapi ciri ketuaan sudah terlihat jelas.
Menyaksikan hal ini para sahabat tambah khawatir, Ali bin Abi Tholib tampil lagi ke depan memohon kepada Rasul agar dia saja yang di-qishos. Tapi, Rasulullah saw langsung memerintahkan agar Ali mundur, karena hukuman itu harus dijalankan sendiri demi keadilan.
Tiba-tiba sahabat ini menjatuhkan tongkatnya langsung merangkul dan mencium Rasulullah saw dan berkata: Ya Rasulullah! Saya tidak bermaksud melaksanakan qishos, saya hanya ingin melihat kulit Rasulullah saw menyentuh dan menciumnya. Sahabat-sahabat yang lain tersentak, gembira. Rasulullah langsung berkata: ''Siapa yang ingin melihat ahli surga, lihatlah orang ini.''
Kisah itu menunjukkan betapa Rasulullah saw sangat menjunjung nilai keadilan. Beliau, sebagai kepala negara sekaligus Rasulullah saw, sangat ikhlas menerima hukuman qishos dari rakyatnya sendiri. - ahi
Hawa Nafsu dan Keruntuhan Bangsa
Hal yang sama terjadi di dunia Islam. Sebelum jatuhnya kota Baghdad yang pernah menjadi pusat peradaban dunia ke tangan bangsa Tatar yang berarti berakhirnya dinasti Abbasiyah, para petinggi Abbasiyah umumnya hanya mengutamakan kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan daripada kepentingan bangsa dan negara. Mereka suka bermewah-mewah menurutkan hawa nafsu.
Allah berfirman: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberikannya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran. (Al-Jaatsiyah: 23).
Dalam surah lain Allah berfirman: Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya. (Al-Furqaan: 43-44).
Ayat-ayat di atas di antaranya menjelaskan bahwa orang yang mempertuhankan hawa nafsunya adalah orang yang sesat. Mereka menurutkan hawa nafsu, karena mereka tidak memfungsikan pendengaran, hati dan penglihatan mereka secara baik untuk mendengar, memahami, dan melihat ayat-ayat Allah, untuk mendengar, memahami, dan melihat sejarah, apa akibat yang diterima oleh orang yang mempertuhankan hawa nafsu dan apa kenikmatan yang dianugerahkan kepada orang yang hanya tunduk kepada Tuhan.
Di dalam ayat di atas, orang yang tidak dapat memfungsikan pendengaran, hati dan penglihatan secara baik diidentikkan Allah dengan binatang ternak. Ini, di antaranya, karena binatanglah yang dalam kehidupannya hanya menurutkan hawa nafsu. Bagaimana jika manusia telah identik dengan binatang yang di antara ciri-ciri kehidupannya adalah untuk kepuasan makan, seks, masa bodoh dengan keadaan sekitar, dan bahkan ada yang buas? Tidakkah tatanan kehidupan akan berantakan? Tidak hancurkah suatu bangsa jika orang-orangnya telah disamakan Tuhan dengan binatang ternak? Lihatlah apa yang terjadi dengan bangsa Romawi dan Abbasiyah yang disebutkan di atas.
Untuk itu, pengendalian hawa nafsu, yang di antara caranya dengan memfungsikan indera-indera kita, terutama pendengaran, hati, dan penglihatan, untuk mendengar, memahami, dan melihat ayat-ayat Allah baik yang tertulis di dalam Alquran maupun yang tidak (memperhatikan alam semesta), serta membaca sejarah. Orang-orang yang tidak memfungsikan hati, penglihatan, dan pendengaran mereka secara baik, tempat kembalinya adalah neraka. (Perhatikan surah Al-A'raaf: 179). - ahi
Moralitas Pemimpin
Setiap manusia, apa pun jabatan dan profesinya, adalah seorang pemimpin. Allah SWT telah memuliakan anak cucu Adam dan mengangkatnya sebagai khalifah/pemimpin di muka bumi (QS al Baqarah: 30). Lebih jauh, Rasulullah saw pun menegaskan bahwa setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas hasil kepemimpinannya (HR. Bukhari Muslim).
Menurut Islam, kepemimpinan adalah amanat yang harus diberikan kepada seseorang yang ahli (kapabel, kredibel, akseptabel) dan harus ditunaikan dalam konsistensi Hukum Kitabiyah, Hukum Robbaniyah, dan Hukum Kauniyah demi mencapai kehidupan yang adil berkemakmuran dan makmur berkeadilan, baik secara material maupun spiritual.
Ibnu Taimiyah dalam kitab As-Siyasah As-Syari'iyyah menegaskan bahwa oleh karena kepemimpinan itu suatu amanah, maka dalam meraihnya harus dengan cara yang hak, fair, dan tidak melanggar hukum sehingga implementasi kepemimpinannya pun harus dengan benar dan baik juga.
Seorang pemimpin yang baik dan benar akan selalu menunaikan amanah kepemimpinannya berdasarkan moralitas yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara vertikal maupun horizontal. Suatu tuntutan moralitas pemimpin yang ideal pernah disitir dalam pidato kenegaraan Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq ketika beliau dilantik menjadi kepala negara sepeninggalnya Rasulullah saw. Moralitas pemimpin dimaksud meliputi 7 hal, yaitu: Pertama, sifat tawadhu' (rendah hati). Sifat ini mensyaratkan bahwa seorang pemimpin harus senantiasa menjaga martabatnya dalam mengemban amanah kepercayaan dengan memerankan dirinya sebagai public service; mau melayani rakyat yang dipimpinnya dengan tanggung jawab yang benar.
Kedua, tidak alergi terhadap kritik. Seorang pemimpin dengan kearifan dan kebijaksanaannya akan selalu terbuka terhadap kritik dan saran yang konstruktif demi menggalang partisipasi rakyat yang dipimpinnya, sehingga melahirkan social support dan social control yang sehat.
Ketiga, amanah dan jujur. Hal ini merupakan tuntutan mutlak demi menjaga kesinambungan kepemimpinan. Karena pemimpin merupakan pengemban amanah rakyat, ia dituntut untuk senantiasa amanah dan jujur dalam mengemban amanah rakyat.
Keempat, berlaku adil dan tidak memihak. Artinya, seorang pemimpin yang hak akan selalu menempatkan semua permasalahan pada proporsi yang sebenarnya, tidak pilih kasih dan tidak bertindak sewenang-wenang. Kelima, konsisten dalam perjuangan/jihad. Seorang pemimpin akan selalu beristiqomah, konsisten dan tidak 'tinggal gelanggang colong playu' sebelum perjuangan berhasil.
Keenam, terbuka dan demokratis. Artinya, seorang pemimpin yang hak akan selalu menghargai perbedaan pendapat sepanjang hal itu merupakan rahmat demi menegakkan kebenaran dan keadilan. Ketujuh, berbakti kepada Allah SWT. Ini merupakan conditio sine qua non bagi seorang pemimpin yang implementasinya antara lain, dengan menegakkan shalat. Jika seorang pemimpin tetap pada garis-garis kebijaksanaan Allah SWT, maka praktek kepemimpinannya pasti membawa kemaslahatan bagi rakyatnya. Inilah moralitas pemimpin yang harus ditegakkan. -ahi
Ikhlas Beramal
Dalam konteks ini sangat menarik disimak ucapan sufi besar Rabi'ah al-'Adawiyah, yang pada suatu hari ini berkata, mau membakar surga. Surga dianggap telah mengaburkan tujuan manusia melakukan amal kebajikan sehingga tidak lagi karena Allah melainkan lantaran mengharapkan imbalan surga. Padahal, manusia diperintahkan beramal karena Allah (lillahi ta'ala), bukan karena surga. Di hari lain Rabi'ah al-Adawiyah berkata hendak menyiram api neraka. Menurutnya, nereka telah mengaburkan alasan manusia menjauhi perbuatan maksiat, yaitu bukan karena takut kepada Allah, tetapi karena takut dengan api neraka.
Selain beramal dengan ikhlas, seorang Muslim hendaklah beramal secara ihsan. Abdurrahman 'Azzam Pasha (penulis buku Risalah Chalidah --Perdamaian Abadi) memberi pengertian ihsan sebagai berikut: "Anda berbuat suatu kebaikan padahal itu bukan menjadi kewajiban Anda."
Dengan kata lain, seseorang mencapai tingkat ihsan dalam beramal apabila ia melakukan amal kebajikan tersebut bukan lantaran adanya kewajiban syariat semata, melainkan karena cinta kepada kebajikan itu sendiri dan merasa bahagia melakukannya. Di dalam Alquran ditegaskan, Berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu (QS Al-Qashash: 77). Rasulullah saw bersabda, "Seorang mukmin tidak akan pernah merasa puas berbuat kebajikan kecuali kalau telah berada di surga."
Dalam satu hadis diceritakan, Aisyah ra pernah bertanya kepada Rasulullah saw, "Mengapa Anda begitu tekun memperbanyak amal ibadah, bukankah Anda telah dijamin tidak berdosa dan pasti masuk surga?" Rasulullah menjawab, "Wahai Aisyah, tidak patutkah saya menjadi hamba Allah yang bersyukur?" ahi
Sabtu, 20 Juni 2009
Pemimpin Adil Berumur Pendek?
Mungkin karena menegakkan keadilan (disertai kejujuran) bagi seorang pemimpin bukan perkara mudah. Banyak kendala yang harus diatasi. Sehingga sebelum keadilan terwujud, daya upaya dan tenaga sudah terlebih dulu habis terkuras. Bahkan, banyak pemimpin yang adil, jujur dan bijaksana, malah berumur pendek. Dikudeta atau dibunuh oleh lawan-lawannya yang tak menginginkan negara atau bangsa dibawa ke arah kejujujuran dan keadilan.
Bahkan bagi seorang Nicolo Machiaveli (abad 13) lebih mudah mempertahankan kekuasaan yang korup dan tiran daripada yang adil dan jujur. Maka dalam bukunya I’l Principe — yang menjadi “kitab suci” para pemerintah otoriter dan diktatorian sejak dulu hingga sekarang — Machiavelli terang-terangan menganjurkan, agar para penguasa tidak adil dan tidak jujur. Justru harus keras dan kejam, licik dan culas, jika ingin melanggengkan kekuasaan.
Salah seorang pemimpin yang jujur dan adil namun harus mengalami pembunuhan tragis ketika memangku jabatan, adalah Umar bin Khattab (581-644). Ia kepala negara (khalifah). Dalam menjalankan pemerintahan yang adil, jujur dan bijaksana, ia menulis “Risalatul Qada” atau “Dustur Umar”. Berisi petunjuk bagi pejabat-pejabat bawahannya dalam menerapkan keadilan dan kejujuran dalam pemerintahan. Umar membagi tipe pemimpin dalam empat jenis.
Pertama, yang berwibawa. Tegas terhadap penyeleweng, koruptor dan penjahat negara, tanpa pandang bulu. Sekalipun dirinya sendiri atau keluarganya, tetap akan ditindak menurut hukum yang berlaku. Pemimpin semacam ini dikategorikan mujahid fi sabilillahi. Negara yang dipimpinnya, rakyat yang diayominya, akan mengalami keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan lahir batin, di bawah naungan ampunan Allah SWT (Baldatun thayyibatun wa Rabbun Gafur).
Kedua, pemimpin yang tegas terhadap dirinya sendiri saja. Tapi ia tak berani terhadap bawahannya. Lemah dan tidak berwibawa di mata rakyat. Ia selalu dalam intaian bahaya, jika tidak mendapat pertolongan Allah SWT.
Ketiga, pemimpin egois. Mementingkan diri sendiri. Menempatkan bawahan dalam posisi ketakutan, sehingga terpecah-belah dalam kotak-kotak “dekat” dan “jauh”, “kering” dan “basah”. Menempatkan rakyat sebagai sumber pemerasan politik dan ekonomi. Pemimpin model begini akan mudah menjadi incaran kudeta, tidak mau ada yang membela. Bahkan dikutuk dan dihujat segenap lapisan. Nabi Muhammad saw. menggambarkannya sebagai “pemimpin terjahat yang merusak segala tatanan kehidupan” (Syarrur ri’ail huthamah).
Keempat, pemimpin yang berkomplot bersama rezimnya, memperkosa keadilan, merampas hak rakyat. Berbagai undang-undang dan peraturan dikeluarkan, agar perilaku komplotan rezim tersebut seolah-olah konstitusional dan demokratis. Padahal di balik itu tersembunyi teror, penghancuran dan persekongkolan untuk memenuhi kepentingan pemimpin, rezim dan golongan pendukungnya. Pemimpin seperti ini memang akan menikmati hasil gilang-gemilang, mengeruk keuntungan, mengokohkan kekuasaan. Namun hukuman Allah SWT akan menimpa tiba-tiba (baghtatan). Sehingga kesenangan yang mereka jalani, lenyap mendadak (Q.S. Al-An’am:44).
Resep Khalifah Umar di atas, bukan sekadar omong kosong. Sebagai Amirul Mu’minin (pemimpin orang-orang beriman) Umar sudah menjalankan praktik menegakkan keadilan dan kejujuran secara nyata. Selama sepuluh tahun menjadi khalifah (634-644), Umar telah mampu menegakkan keadilan dan kejujuran. Ia tak segan-segan menghukum anaknya sendiri yang melanggar aturan, menyingkirkan anak dan istrinya dari hal-hal beraroma KKN, turun tangan langsung menyantuni fakir miskin dan sebagainya. Titen tulaten memperhatikan kehidupan rakyatnya.
Ternyata keadilan dan kejujuran Umar bin Khattab dalam menjalankan kepemimpinan dan pemerintahan, tidak menghilangkan kebencian di kalangan orang-orang yang merasa dirugikan oleh keadilan dan kejujuran itu. Orang-orang yang tak dapat leluasa mempraktikkan KKN, mengacaukan hukum dan mementingkan diri sendiri atau golongan. Maka, pada suatu saat menjelang salat subuh, seorang bernama Abu Lu’lu’ah, menghunjamkan sebilah belati ke perut Umar bin Khattab. Sahabat utama Nabi Muhammad yang termasuk golongan Assabiqunal Awwalun (generasi pememeluk Islam paling pertama), wafat di jalan Allah. Kedudukannya digantikan oleh Utsman bin Affan.
Hampir seabad kemudian, muncul Umar yang lain. Umar bin Abdul Aziz, yang mampu melanjutkan keadilan dan kejujuran Umar bin Khattab ketika dipercaya memimpin bangsa dan negara. Umar bin Abdul Aziz (682-720) menjadi khalifah Dinasti Umayyah ke-8 (715-717). Berkat keadilan, kejujuran dan kebijaksanaannya, pemerintahan Umayyah yang semula penuh KKN, lalim dan zalim, berubah drastis.
Ia mulai melakukan pembersihan di lingkungan keluarganya sendiri, sebelum membersihkan lingkungan orang-orang kepercayaan dan institusi luar lainnya. Dalam pidato pelantikannnya, ia menyatakan, “Manusia tidak akan bersengketa mengenai Allah SWT Zat yang disembahnya, tentang Kitab-Nya dan Rasul-Nya. Tapi mereka akan bersengketa tentang harta, emas, perak, dinar dan dirham. Demi Allah, aku tidak akan memberi seseorang dengan cara yang batil dan tidak pula akan menghalangi seseorang akan hak yang harus diterimanya. Aku hanya akan meletakkan sesuatu pada tempatnya sebagaimana diperintahkan agamaku. Yaitu adil.”
“Sebelum aku, telah muncul para pemimpin lain. Mereka memiliki aturan macam-macam yang kalian anggap adil atau anggap zalim. Maka bagiku sekarang hanya ada satu pilihan, taatlah kepada pemerintahanku selama aku menegakkan keadilan dan kejujuran. Camkanlah, tidak ada ketaatan kepada makhluk yang bermaksiat kepada Al-Khalik. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah, dan melawan hukum-hukumnya, tak ada keharusan bagi kalian untuk taat kepadaku.”
Kepada istri dan anak-anaknya, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan hidup sederhana, baik dalam penampilan, berpakaian, makan, minum dan berbicara.
Menyaksikan perubahan sikap hidup Umar yang begitu ketat, banyak di antara koleganya menyesal, mengapa mereka dulu memilih Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah. Tindakan yang paling menggelisahkan Bani Umayyah, yaitu keluarga besar Umar bin Abdul Aziz, adalah upaya pengembalian tanah dan harta kekayaan orang-orang yang pernah merasa dirampas atau dirugikan haknya oleh Khalifah Bani Umayyah terdahulu. Saudara-saudara sepupu, semenda dan sanak kadang Umar bin Abdul Aziz yang terbukti pernah berbuat zalim ketika mereka berkuasa, dijatuhi hukuman, baik hukuman badan (pidana) atau membayar ganti rugi kepada orang yang dizaliminya. Yang masih berkuasa, diturunkan dari kedudukannya setelah mempertanggungjawabkan segala perbuatannya yang menzalimi rakyat.
Ia mengeluarkan surat edaran, melarang gubernur atau pejabat birokrasi ikut terlibat dalam bisnis. Menurut Umar, jika itu terjadi akan muncul monopoli, baik langsung oleh gubernur dan aparatnya, maupun oleh konco-konco-nya. Untuk mengganti dampak kerugian dari larangan itu, Umar menaikkan gaji para gubernur dan para pejabat wilayah hingga tiga ratus dinar. Sangat tinggi berdasarkan ukuran zaman itu. Ketika beberapa orang bertanya, mengapa gubernur dan para pejabat gajinya besar-besar? Umar menjawab, agar mereka tidak korupsi, tidak khianat. Agar mereka jujur menjalankan tugasnya.
Ia juga mengeluarkan surat edaran yang melarang karib kerabat dan sanak keluarga Umayyah terlibat kegiatan bisnis dalam bentuk dan skala apa pun. Tentu saja sanak keluarga Umar bin Abdul Aziz protes keras. Menuduh Umar melanggar HAM, degil, tengil, tak berperikemanusiaan. Orang lain yang berkuasa membuat sanak keluarga dan karib kerabat ikut kecipratan rezeki, ini malah memutus rezeki. Tapi Umar tetap teguh pada pendiriannya. Ia menyatakan lebih takut oleh ancaman siksa Allah SWT yang melarang pemimpin mengomersialkan jabatan atau menjalankan KKN, daripada oleh caci maki kaum keluarga sendiri.
Berkat keadilan Umar bin Abdul Aziz, suasana kehidupan penduduk dan negara saat itu, benar-benar aman dan nyaman. Jauh dari huru-hara. Jauh dari kekacauan. Sesama warga negara hidup damai berdampingan, tiis ceuli herang mata. Bahkan dilukiskan, serigala dan kambing pun hidup berdampingan. Serigala merasa puas mendapat makanan tanpa harus menerkam kambing di padang gembalaan. Kambing merasa tenang merumput tanpa khawatir diganggu serigala. Keadilan Umar bin Abdul Aziz dalam menjalankan pemerintahan, benar-benar meresap dan membawa berkah bagi segenap lapisan.
Tapi begitulah perjalanan nasib. Umar bin Khattab yang terkenal adil bijaksana, mengundang kebencian di kalangan orang-orang yang tak menyukai keadilan dan kebijaksanaan. Beliau dibunuh ketika akan menunaikan salat subuh. Umar bin Abdul Aziz pun demikian. Sekelompok pengkhianat yang tak menyukai tindakan Umar memberantas KKN dan menegakkan keadilan dalam pemerintahan, membubuhkan racun ke dalam makanannya. Hampir tiga tahun Umar bin Abdul Aziz menderita sakit parah (717), sebelum dipanggil menghadap Ilahi Rabbi (720).
Mungkin karena contoh dua pemimpin adil, jujur dan bijaksana yang mengalami akhir hidup dengan tragis tersebut, pada masa-masa selanjutnya tak ada lagi pemimpin yang siap adil, jujur dan bijaksana? Takut ditikam dan diracun? Sehingga memilih menjadi pemimpin yang “pura-pura” adil, jujur dan bijaksana saja, agar aman dan langgeng berkuasa. Jika pun kekuasaannya harus berakhir, paling-paling dikudeta damai atau “lengser keprabon” tanpa beban apa-apa. Termasuk tidak mempertanggungjawabkan perbuatannya selama memerintah dengan korup, tiran dan penuh pelanggaran HAM. Wallahu a’lam***
Penulis wartawan senior HU “Pikiran Rakyat” Bandung.
UMAR BIN ABDUL AZIS " CERMIN PEMIMPIN Yang Bijaksana"
Pada tahun 99 Hijriyah, tepatnya 87 tahun setelah Nabi Muhammad saw. Wafat, umat Islam di Jazirah Arab menobatkan Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah. Beliau adalah keturunan dari Umar bin Khatab ra. Umar bin Abdul Aziz memiliki kepribadian yang luhur, shaleh dan taqwa kepada Allah swt. Walaupun hidup di tengah keluarga kerajaan yang diliputi kemewahan dan kesenangan duniawi, beliau tidak larut dalam suasana itu. Dikumandangkannya petunjuk dan peringatan yang disampaikan oleh Rasulullah saw. yang artinya: “Bahwa setiap pemimpin akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah swt, mengenai rakyat yang dipimpinnya. Barangsiapa yang diserahi memimpin umat (rakyat), kemudian melakukan kecurangan dan terus meninggal dunia, maka Allah mengharamkan dia untuk masuk surga.“
Pada waktu beliau baru dilantik sebagai khalifah, orang-orang terkemuka menyediakan kendaraan mewah untuknya, dihamparkan permadani indah untuk menghormatinya. Beliau langsung memanggil bendahara negara seraya berkata: “Masukan semua ini ke baitul mal (perbendaharaan negara) agar dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Untuk kendaraan saya cukuplah keledai kepunyaan saya sendiri saja dan untuk perabot rumah tangga saya, cukuplah perabot yang sederhana saja.
Pada waktu diserahkan kepadanya wanita-wanita cantik yang didatangkan dari daerah untuk menjadi inang pengasuh, mengurus dan menghibur beliau sekeluarga beliau berkata: “Kembalikan wanita-wanita ini kepada keluarganya dan negeri asalnya, bagiku cukup istri dan anak-anakku menjadi pelayan dan penghiburku. Ketahuilah bahwa saya ini sebagai khalifah akan dituntut dan harus mempertanggung jawabkan semua ini nanti kepada Allah swt.”
Sewaktu beliau pertama kali memasuki majelis kerajaan, tiba-tiba hadirin berdiri menghormati kehadirannya, ia menolak dan meminta hadirin tetap duduk. Dalam pidato pertama di majelis itu beliau berkata: “Barang siapa yang ingin berteman dengan kami, hendaklah dia membantu kami melaksanakan lima hal, yaitu :
Menyampaikan kebutuhan atau kepentingan orang-orang yang tidak dapat atau tidak sanggup menyampaikannya dengan langsung kepada kami, sehingga tidak ada satupun kebutuhan rakyat yang tidak diketahui dan diabaikan.
Menunjukkan kepada kami keadilan yang belum kami ketahui
Hendaklah menjadi pembantu kami dalam menegakkan kebenaran.
Menunaikan amanat kepada kami dan seluruh rakyat, terutama kepada Allah swt.
Jangan mengumpat atau mencerca seseorang di hadapan kami.
Barang siapa tidak dapat melakukan semua itu, maka kami merasa keberatan, bersahabat dengan mereka dan diharapkan jangan lagi masuk dalam lingkaran kami.”
Salah satu pidato kenegaraan yang pernah diucapkan khalifah Umar bin Abdul Aziz ialah:
“Ingatlah saudara-saudara bahwa kami telah mengangkat beberapa pengawal kami, dan kami tidak mengatakan bahwa orang-orang itu termasuk orang-orang pilihan yang terbaik diantara kamu, tetapi kami anggap bahwa mereka itulah yang lebih baik dari orang-orang yang lebih jelek dari golongan mereka. Ingatlah barang siapa merasa dizhalimi oleh pembesar negerinya, maka ia boleh masuk ke tempatku kapan saja untuk menyampaikan hal itu tanpa menantikan izin masuk terlebih dahulu, bila tidak suka melaporkannya, lebih baik kami tidak melihat orang itu.”
Betapa makmur dan jayanya negara pada waktu itu dibawah pimpinan Umar bin Abdul Aziz. Dapatlah kita bayangkan dari cerita salah seorang anak Zaid bin khattab sebagai berikut: “Sebelum Khalifah Umar bin Abdul Aziz meninggal dunia, keadaan negara dan rakyat dalam keadaan kemakmuran dan kejayaan, bebas dari kemiskinan, sehingga sukar untuk mencari fakir miskin yang berhak menerima zakat walaupun ke dusun-dusun. Meskipun demikian di waktu khalifah menghembuskan nafasnya yang terakhir, sesudah dua setengah tahun memerintah, tidak meninggalkan apa-apa untuk anak isterinya. (As)
Sosok Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar r.a.
Cerdas, Supel, Jujur Dan Berani
Menurut Ibnu Hisyam dalam kitabnya Sirah Nabawiyah, Juz I/249-250, Abu Bakar r.a. adalah putra Abu Quhafah. Nama aslinya Abdullah, panggilannya Atiq (sang Tampan) lantaran wajahnya yang tampan dan cakap orangnya. Tatkala masuk Islam, Abu Bakar r.a. menampilkan keislamannya, dan mengajak orang kepada Allah dan Rasul-Nya. Dakwah Abu Bakar ini cukup efektif mengingat dia adalah seorang Quraisy yang yang supel dalam pergaulan, disukai dan diterima, seorang pebisnis, berbudi pekerti yang baik. Orang-orang biasa datang kepadanya dan bergaul dengannya untuk banyak urusan lantaran ilmu yang dimilikinya, bisnisnya, dan baik pergaulannya. Sejumlah sahabat yang masuk Islam di tangan Abu Bakar antara lain adalah Utsman bin Affan r.a., Zubair bin Awwam r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Saad bin Abi Waqash r.a., dan Thalhah bin Ubaidillah r.a.
Abu Bakar r.a. adalah orang yang cerdas, mudah mengerti dakwah yang disampaikan Rasulullah Saw sehingga dia pun cepat membenarkan dan meyakini apa yang dikatakan beliau Saw dan masuk Islam. Ibnu Hisyam (idem, hal 252) mengatakan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
“Tidaklah aku mengajak seseorang kepada Islam melainkan dia tidak langsung menjawab, masih pikir-pikir, dan masih ragu-ragu, kecuali Abu Bakar bin Abi Quhafah. Tatkala aku berbicara dengannya, dia tidak menunda-nunda (pembenarannya) dan dia tidak ragu-ragu.”.
Tatkala Nabi Saw diperjalankan oleh Allah SWT dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, tidak sedikit orang yang langsung menolak kabar dari beliau mentah-mentah, bahkan ada sebagian kaum muslimin yang murtad, atau masih ragu-ragu, Abu Bakar secara cerdas membenarkannya dan mengatakan: “Jangankan kabar dari Muhammad Saw bahwa di berjalan di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqshaa, sedangkan kabar yang diperolehnya dari langit dalam sekejap saja saya terima.”
Dengan keyakinan itu pula Abu Bakar siap dibina dengan Islam dan siap berjuang untuk Islam. Abu Bakar berani dan siap mengambil resiko berhadapan dengan Quraisy dalam mendakwahkan Islam. Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah wan Nihayah menuturkan: Tatkala Rasulullah Saw melaksanakan perintah Allah SWT untuk memperkenalkan kelompok dakwahnya secara terang-terangan (lihat QS. Al Hijr … ), dengan cara membentuk dua barisan yang dikepalai Hamzah r.a. dan Umar r.a. menuju Ka’bah, maka di situlah, di depan perwakilan para kabilah di Makkah, Abu Bakar r.a. berpidato. Dan orang-orang Quraisy pun memukulinya sampai mukanya babak belur dan pingsan. Namun setelah siuman, yang ditanyakan pertama kali adalah: Bagaimana keadaan Rasulullah? Pantaslah dia mendapatkan gelar As Shiddiiq, artinya yang lurus, yang benar, yang membuktikan kebenaran ucapannya dengan perbuatan.
Pidato Pertama Sebagai Khalifah Pertama
Setelah pembaiatan Abu Bakar r.a. sebagai Khalifah, beliau r.a. berpidato: “Hai saudara-saudara! Kalian telah membaiat saya sebagai khalifah (kepala negara). Sesungguhnya saya tidaklah lebih baik dari kalian. Oleh karenanya, apabila saya berbuat baik, maka tolonglah dan bantulah saya dalam kebaikan itu; tetapi apabila saya berbuat kesalahan, maka tegurlah saya. Taatlah kalian kepada saya selama saya taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian mentaati saya, apabila saya berbuat maksiat terhadap Allah dan Rasul-Nya.” (lihat Abdul Aziz Al Badri, Al Islam bainal Ulama wal Hukkam).
Pidato khalifah Abu Bakar r.a. di atas menunjukkan bahwa beliau sebagai khalifah tidak pernah menganggap dirinya sebagai orang yang suci yang harus diagung-agungkan. Tak ada dalam kamus beliau: The chaliphate can do no wrong! Beliau justru mengedepankan supremasi hukum syariah, dan menjadikan loyalitas dan ketaatan warga negara kepadanya merupakan satu paket dalam ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Beliau menjadikan syariah Allah sebagai standar untuk menentukan benar dan salah yang harus diikuti tidak hanya oleh rakyat, tapi juga oleh penguasa. Apa yang beliau nyatakan di atas jelas merupakan pengejawantahan dari pemahaman beliau terhadap firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs. an-Nisaa' [4]: 59).
Juga merupakan refleksi dari pemahaman beliau kepada hadits Rasulullah Saw:
“Tidak ada ketaatan kepada seseorang dalam bermaksiat kepada Allah, dan tidak ada ketaatan kepada orang yang maksiat kepada siapa saja yang berbuat maksiat.” [HR. Ahmad, Hakiem, dan Abu Dawud].
Lembut Tapi Tegas
Sejak sebelum Islam Abu Bakar r.a. terkenal sebagai orang yang baik, lembut hatinya, gemar menolong dan suka memberi maaf. Dan setelah Islam dan berkuasa sebagai khalifah pengganti Rasul dalam kepemimpinan negara dan umat, tentunya tidak diragukan lagi bahwa Abu Bakar r.a. adalah orang yang betul-betul memahami sabda Rasulullah Saw:
“Ya Allah, siapa saja yang diberi tanggung jawab memimpin urusan pemerintahan umatku dan menimbulkan kesulitan bagi mereka, maka persulitlah dia. Dan siapa saja yang memerintah umatku dengan sikap lembut (bersahabat) kepada mereka, maka lembutlah kepadanya.” [HR. Muslim].
Namun sebagai Khalifah, beliau wajib memerintah dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, dan wajib menjaga agar supremasi hukum syariah tetap terjaga. Oleh karena itu, dalam rangka mempertahankan kedaulatan hukum syariah, tidak segan-segan beliau mengambil tindakan tegas bagi siapa saja yang hendak merobohkannya. Ini seperti yang beliau lakukan kepada sebagian kaum muslimin yang murtad dan tidak mau membayar zakat begitu mendengar berita wafatnya Rasulullah Saw. Sekalipun para sahabat yang diminta pendapatnya masih mentolerir tindakan orang-orang yang tak mau membayar zakat itu selama mereka masih sholat, namun Khalifah Abu Bakar tetap dalam pendiriannya. Di hadapan kaum muslimin beliau berpidato: “Wahai kaum muslimin, ketahuilah ketika Allah mengutus Muhammad, kebenaran itu (Al Islam) selalu diremehkan orang dan Islam dimusuhi sehingga banyak orang yang enggan masuk Islam karena takut disiksa. Namun Allah kemudian menolongnya sehingga seluruh bangsa Arab dapat disatukan di bawah naungannya. Demi Allah, aku akan tegakkan agama ini dan aku akan berjuang fi sabilillah sampai Allah memberikan kemenangan atau Allah akan memberikan surga bagi orang yang terbunuh di jalan Allah dan akan memberi kejayaan bagi orang yang mendapatkan kemenangan sehingga dia akan dapat menjadi hamba yang berbakti dengan aman sentausa. Demi Allah, jika mereka tidak mau membayar zakat, walaupun hanya seutas tali, pasti akan aku perangi walaupun jumlah mereka banyak sampai aku terbunuh, karena Allah tidak memisahkan kewajiban zakat dari kewajiban sholat.” (lihat Al Kandahlawy, Hayatus Shahabat, juga Kanzul Ummal).
Khatimah
Demikian sekelumit sosok kepemimpinan Abu Bakar yang lembut tapi tegas dalam penegakan supremasi hukum syariah. Kapankah segera datang masanya pemimpin seperti Abu Bakar sahabat Rasulullah ini? Walllahua’lam! [Hizbut Tahrir Online]
Pidato Khalifah Abu Bakar Setelah di Bai'at
Di nukil dari Al-Bidayah wa An-Nihayah, Masa khulafaur rasyidin, Ibnu Katsir
Selepas dibai'at Abu Bakar mulai berpidato setelah memuji Allah Pemilik segala pujian, 'Amma ba'du, para hadirin sekalian sesungguhnya aku telah terpilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terabik, maka jika aku berbuat kebaikan bantulah akau. Dan jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanan, sementara dusta adalah suatu pengkhiatan. Orang yang lemah di antara kalian sesungguhnya kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan haknya kepadanya Insya Allah. Sebaliknya siapa yang kuat di antara kalian maka dialah yang lemah di sisiku hingga aku akan mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah akan timpakan kepada mereka suatu kehinaan, dan tidaklah suatu kekejian terbesar di tengah suatu kaum kecuali adzab Allah akan ditimpakan kepada seluruh kaum tersebut. Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mematuhi keduanya maka tiada kewajiban taat atas kalian terhadapku. Sekarang berdirilah kalian untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian [1]
Sanad ini sahih, adapun ungkapannya, 'Sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukalha aku yang terbaik' adalah bagian dari ketawadhu'an beliau. Sebab mereka seluruhnya sepakat bahwa beliaulah yang terbaik dan termulia radiyallahu anhu.
[1] Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah 4/413-414, tahqiq Hamma Sa'id dan Muhammad Abu Suailik
Pidato Politik Pertama Khalifah Abu Bakar
Setelah Abu Bakar Ash Shiddiq di bai’at menjadi khalifah, beliau mengucapkan pidato politik pertamanya.
“amma ba’du. Wahai manusia, aku telah diserahi kekuasaan untuk mengurus kalian, padahal aku bukanlah orang terbaik dari kalian. untuk itu, jika aku melakukan kebaikan, maka bantulah aku, jika aku berbuat salah, maka ingatkanlah aku. jujur itu amanah, sedang dusta itu khianat. orang lemah di antara kalian adalah orang kuat di sisiku hingga aku berikan haknya insya Allah, dan orang kuat di antara kalian adalah orang lemah di sisiku hingga aku mengambil haknya darinya insya Allah. tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, melainkan Allah menjadikan hidup mereka hina dan dihinakan, tidaklah perbuatan zina menyebar di suatu kaum, melainkan Allah akan menyebarkan malapetaka di tengah-tengah mereka. untuk itu, taatlah kalian kepadaku selama aku masih taat kepada Allah dan RasulNya. jika aku bermaksiat kepada Allah dan RasulNya, maka bagi kalian tidak ada ketaatan kepadaku. dirikanlah shalat kalian, semoga Allah merahati kalian.”
pidato khalifah ini berisi lima dasar politik Daulah Islam ke depan. lima dasar tersebut adalah :
1. memelihara syariat Allah dan mewujudkan kedaulatannya.
2. membangun oposisi yang konstruktif
3. memperhatikan kaum lemah hingga kuat
4. melakukan jihad fi sabilillah secara kontinyu
5. memerangi ketidakadilan
Jelaskan pandangan al-Quran mengenai hubungan pemimpin dan rakyat?
Dalam Islam, hubungan antara rakyat dan pemimpinnya diistilahkan dengan kata “Wilayah”, kepemimpinan. Kata Wilayah bermakna mengikuti yang dibarengi dengan kecintaan. Pemimpin ilahi tidak pernah memaksa: “Bukanlah Aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan” (Shad: 86). Pemimpin ilahi tidak mementingkan dirinya sendiri: “Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu” (Kahfi: 110). Pemimpin ilahi tidak melihat dirinya lebih berhak dari orang lain. Ketika menghadapi bahaya ia tidak membiarkan rakyatnya. Imam Ali as berkata: “Di setiap peperangan, Nabi Muhammad saw lebih dekat dengan musuh dari pada kami. Ia diperintahkan oleh Allah swt agar mengucapkan shalawat dan doa kepada masyarakat: “Sesungguhnya salawat dan doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka” (Taubah: 103). Pada saat yang sama masyarakat diperintahkan untuk bersalawat dan berdoa kepadanya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. Dengan demikian, hubungan antara rakyat dan pemimpin adalah hubungan cinta dan keselamatan, bukan ketakutan dan kekhawatiran.[infosyiah]
Entri ini dituliskan pada 0, Mei 22, 2007 pada 6: 28 am dan disimpan dalam Hikmah. Anda bisa mengikuti setiap tanggapan atas artikel ini melalui RSS 2.0 pengumpan. Anda bisa tinggalkan tanggapan, atau lacak tautan dari situsmu sendiri.
5 Tanggapan ke “Jelaskan pandangan al-Quran mengenai hubungan pemimpin dan rakyat?”
1.
Haji Muhammad Abdullah berkata
0, Mei 22, 2007 pada 3: 50 pm
Kepada para pembaca yang pintar dan yang terhormat
BAGAIAN PERTAMA
Kita dapat membagi 3 kelompok negara, yaitu negara Totaliter (Thogut), negara Olkirasi dan negara Demokrasi.
Negara Totaliter (Thogut) yang 100% dikuasai oleh seorang manusia; sehingga kekuasaan penuh berada di tangan seorang manusia. Seorang Pemimpin Negara di dalam negara Totaliter dapat berubah dengan cepat menjadi Diktaktor (Thogut) misalnya President Saddam Husain dari Iraq, Raja Reza Pahlevi dari Iran, Khalifah Muawiyah Ibn Abu Sufyan, Khalifah Yazid Ibn Muawiyah dll.
Negara Olikrasi yang 100% dikuasai oleh Partai2 Politik atau orang2 tertentu di dalam kelompok tertentu; sehingga kekuasaan penuh di dalam negara Olikrasi berada di tanggan kelompok tertentu atau Partai Politik tertentu misalnya Partai Komunis berkuasa di China dan di Russia; atau Partai Golkar dan PDIP berkuasa penuh di Indonesia; atau Khalifah Abu Bakr & Khalifah Umar Ibn Khattab yang didukung oleh Partai Politik Muhajirun.
Negara Demokrasi atau Imamah yang dikuasai 100% oleh Khulafa (masyarakat, ummat, Kaum, rakyat, bangsa dll) misalnya Kasus Nabi Muhammad dan juga Kasus Imam Ali Ibn Tholib
2.
Haji Muhammad Abdullah berkata
0, Mei 22, 2007 pada 4: 16 pm
BAGIAN KEDUA
Penduduk Madinah adalah ummat Yahudi dan ummat Nasrani sebelum Hijrah. Ummat Yahudi percaya bahwa mereka adalah anak anak Tuhan; baca Bible Perjanjian Lama, Keluaran 4:22. Ummat Yahudi juga percaya bahwa Yesus adalah anak Setan; baca Bible Perjanjian Baru, Markus 3:22. Ummat Yahudi berkewajiban membunuh anak anak Setan; karena ummat Yahudi adalah anak anak Tuhan.
Ummat Nasrani percaya bahwa ummat Yahudi bertanggung jawab atas pembunuhan Tuhannya ummat Nasrani di tiang salib; baca Bible Perjanjian Baru, Matius 27:25. Agama telah menyebabkan permusuhan dan kebencian di antara penduduk Madinah. Perbedaan suku juga memperparah situasi politik di Madinah.
Nabi Muhammad diundang dan dipilih langsung sebagai Pemimpin Negara oleh penduduk Madinah untuk menjaga perdamaian di Madinah; atau untuk mencegah perang saudara di Madinah; bukan berarti ummat Yahudi dan ummat Nasrani mengakui Muhammad sebagai Rasul/Nabi; tetapi penduduk Madinah memilih langsung Muhammad di dalam PEMILU untuk mengabadikan perdamaian. PEMILU adalah SUNNAH.
Para sahabat yang mengungsi ke Madinah hanya 72 orang; sehingga ummat Islam tidak memiliki kekuatan politik untuk mengangkat Muhammad untuk menjadi Pemimpin Negara di Madinah; mengingat agama Islam masih di dalam awal pertumbuhan.; sehingga ummat Islam di Madinah merupakan minoritas dari minoritas.
ALQURAN 42:38
dan mereka yang mematuhi perintah Tuhan; dan mendirikan sholat; urusan mereka ditentukan melalui musyawarah…
Nabi Muhammad tidak hanya terlibat di dalam PEMILU di Madinah; tetapi juga terlibat di dalam musyawarah untuk membuat Undang Undang Dasar Madinah yang bernama Piagam Madinah. Nabi Muhammad dan ummat Yahudi dan ummat Nasrani melakukan musyawarah untuk membuat Piagam Madinah.
Beberapa suku Yahudi menghianati Piagam Madinah misalnya Banu Nadir, Banu Quraizah dll; sehingga mereka diusir keluar dari Madinah oleh Nabi Muhammad. Banu Nadir pindah ke daerah yang bernama Khaibar. Banu Nadir dan masyarakat Jahiliyah di Khaibar melakukan pemberontakan terhadap kepemimpinan Nabi Muhammad di Madinah; sehingga Ali Ibn Tholib dipilih langsung oleh Nabi Muhammad untuk menyerang Khaibar.
Imamah adalah bagian dari Rukun Iman Madhab Ahlul Bait (Syi’ah); sehingga PEMILU dan MUSYAWRAH merupakan bagian dari Imamah. Aqidah Imamah dilaksanakan oleh pengikut2 madhab Ahlul Bait (Syi’ah) untuk beragama, berbangsa dan bernegara.
3.
Haji Muhammad Abdullah berkata
0, Mei 22, 2007 pada 4: 57 pm
BAGIAN KETIGA
Shohih Bukhari, Kitab As sahabah vol 5 buku 57 no 19
Ketika Nabi Muhammad wafat; mayoritas sahabat sedang sibuk mengurus pemakaman Nabi Muhammad; tetapi minoritas sahabat merasa negara di dalam keadaan bahaya atau darurat. Minoritas sahabat tersebut berkumpul di rumah Bani Saida untuk menentukan pengganti Nabi Muhammad (Khalifah Rasul Allah) tanpa PEMILU dan tanpa MUSYAWARAH.
Partai Politik Muhajirun (Makkah) mencalonkan Abu Bakr sebagai Khalifah Rasul Allah (pengganti Nabi Muhammad); tetapi Partai Politik Anshor (Madinah) mencalonkan Sa’d Ibn Ubada. Partai Politik Muhajirun (Makkah) melakukan KOLUSI dengan Partai Politik Anshor (Madinah).
Kasus Abu Bakr sama dengan Kasus Soeharto. President Soeharto didukung oleh ABRI; terutama didukung oleh beberapa Jendral Angkatan Darat melakukan KOLUSI dengan Ketua MPR; tanpa PEMILU dan juga tampa MUSYAWARAH; sehingga mereka mengangkat Soeharto menjadi President RI ke dua tanpa PEMILU dan tanpa MUSYAWARAH.
Kasus Umar Ibn Khattab sama dengan Kasus Burhanudin Yusuf Habibi. Umar Ibn Khattab diangkat langsung oleh Khalifah Abu Bakr tanpa PEMILU dan tanpa MUSYAWARAH. President Soeharto digantikan langsung oleh BJ Habibi. Umar Ibn Khattab adalah pengganti Khalifah (Khalifah Khalifah). BJ Habibie adalah President RI ke tiga.
Kasus Uthman Ibn Affan sama dengan Kasus Abdurrahman Wahid. Umar Ibn Khattab membentuk Partai Politik (Majlish Shuro) untuk mengangkat. Uthman Ibn Affan diangkat oleh Partai Politik tanpa PEMILU dan tanpa MUSYAWARAH. Prof DR Amien Rais menjadi pelopor Partai2 Politik Islam di parlement. Partai2 Politik Islam melakukan KOLUSI dengan Golkar untuk mengangkat Abdurahman Wahid sebagai President RI ke empat.
Kasus Nabi Muhammad dan Kasus Ali Ibn Tholib sama dengan kasus President SBY. Mereka dipilih langsung oleh Khulafa (masyarakat, ummat, kaum, rakyat, bangsa) tanpa melalui Partai Politik tertentu. Mereka mendapatkan suara terbanyak di dalam PEMILU.
Kasus Muawiyah ibn Abu Sufyan sama dengan Kasus Megawati. UUD 45 mengatakan bahwa President RI berkuasa selama 5 tahun. Anggota2 Partai Politik (anggota2 DPR) yang berkuasa di parlement membuat KETETAPAN MPR untuk menggantikan President Abdurrahman Wahid dengan Megawati sebelum 5 tahun. Anggota2 Parlement yang wajib membantu President Abdurrahman Wahid telah melakukan keduta terhadap President RI. Ketetapan yang dibuat oleh anggota2 DPR bukan hukum yang berlaku di tanah air. UUD 45 adalah hukum tertinggi yang berlaku di tanah air. Ketetapan MPR bertentangan dengan UUD 45.
Indonesia adalah negara Olikrasi sehingga kekausan tertinggi berada di tanggan Partai2 Politik; bukan berada di tanggan Khulafa (masyarakat, ummat, kaum, rakyat, bangsa).
Muawiyah ibn Abu Sufyan juga melakukan kesalahan yang sama dengan anggota2 DPR. Mereka menggulingkan Pemimpin Negara (Ulil Amri) yang sedang berkuasa. Muawiyah ibn Abu Sufyan melakukan kudeta dengan cara memberotak kepada negara; sehingga perang Siffin tidak dapat dihindarkan.
ALQURAN 4:59
Hai orang orang yang beriman; taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri (Pemimpin Negara) di antara kamu.
Beberapa negara muslim mencontoh Khalifah Abu Bakr dan Khalifah Umar ibn Khattab sehingga Partai Politik menguasai negara misalnya Indonesia, Pakistan, Malaysia, Bangladesh, Mesir dll.
Keistimewaan Wanita
Oleh Rahmat HM
Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, ''Berwasiat baiklah kamu terhadap wanita, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Maka, kalau kamu meluruskannya dengan kekerasan/paksa, pasti dia patah, dan jika kamu biarkan, dia tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiat baiklah kamu terhadap wanita.'' (HR Muttafaq Alaih-Riyadlus Shalihin, 148).
Di muka bumi ini, tidak ada agama yang sangat memerhatikan dan mengangkat martabat kaum wanita selain Islam. Islam memuliakan wanita dari sejak ia dilahirkan hingga meninggal dunia.Di dalam Alquran, Allah SWT telah memberikan perhatian yang sangat khusus kepada kaum wanita. Terbukti dalam Alquran terdapat surah An-Nisaa (perempuan/wanita).
Ada beberapa hal yang mendorong mengapa wanita selalu menjadi sangat diperhatikan. Yang pertama, jumlah kaum wanita jauh lebih banyak dari kaum pria. Perbandingannya adalah 1:4 (surah An Nisaa [4] ayat 37).Selanjutnya yang kedua, wanita adalah tiang negara. Artinya, tegak atau runtuhnya negara akan sangat bergantung pada kaum wanitanya. Bila kaum wanitanya sholihah (baik), negaranya pun baik. Sebaliknya bila kaum wanitanya thalihah (jelek), negara bisa runtuh.
Wanita adalah kunci kebaikan suatu umat. Wanita bagaikan batu bata, ia adalah pembangun generasi manusia. Jika kaum wanita baik, maka baiklah suatu generasi. Namun sebaliknya, jika kaum wanita itu rusak maka akan rusak pulalah generasi tersebut. Oleh karena itu, Islam meletakkan wanita pada tempatnya, melindungi dan menghargai wanita. Wanita mempunyai nilai dan fungsi yang tinggi dalam pandangan Allah bila mereka konsisten memegang ajaran dan tuntunan Islam.
Bahwa Allah telah menciptakan laki-laki dan wanita dari asal yang sama seperti termaktub dalam firman Allah: ''Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu.'' (QS Annisa [4]: 1). Laki-laki dan wanita disamakan haknya untuk mendapat balasan dari Allah berdasarkan amalnya. ''Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita, sedangkan ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.'' (QS Annisa [4]: 124). Sehingga, tidak ada alasan untuk merasa rendah menjadi seorang wanita, karena kedudukan utama yang diberikan Islam kepada wanita mukminah.
(-)
Index Koran
Hikmah Musibah
Dalam pandangan orang beriman, musibah tak lebih dari ujian yang Allah SWT berikan kepada manusia sebagai evaluasi tingkat keimanannya. Musibah terjadi dalam beragam bentuk, besar dan kecil, nyata ataupun abstrak.
''Sungguh menakjubkan keadaan orang Mukmin, karena semua keadaan baik baginya, dan itu tidak terjadi pada siapa pun kecuali pada orang Mukmin. Jika mendapat kelapangan dia bersyukur, itu baik baginya. Jika ditimpa kesulitan dia bersabar, maka itu pun baik baginya.'' (HR Muslim).Islam sebagai ajaran paripurna, memberikan penjelasan secara komprehensif bagaimana menyikapi musibah. Ulama mendefinisikan musibah sebagai segala apa yang dibenci yang terjadi pada manusia. (Ibrahim Anis, al-Muajam, al-Wasith).
Musibah Situ Gintung yang merenggut lebih dari 100 nyawa beberapa waktu lalu, jatuhnya beberapa pesawat milik TNI AU, ledakan tambang batu bara di Sawahlunto, dilecehkannya harga diri dan martabat bangsa oleh pihak asing, telah melahirkan berbagai hal yang dibenci dan menguras energi kesabaran kita. Bagaimana pedoman Islam dalam menyikapi musibah seperti ini? Bagi shahibul musibah (yang terkena musibah), Islam memberikan pedoman sikap, antara lain, pertama, iman dan ridha terhadap ketentuan qadha dan qadar Allah SWT. Kita wajib beriman bahwa musibah apa pun seperti gempa bumi, banjir, wabah penyakit, sudah ditetapkan Allah SWT dalam lauhul mahfuzh .
''Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab ( lauhul mahfuzh ) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS Alhadiid [57]: 22). Kedua, bersabar menghadapi aneka musibah. ''Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan, berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun . (QS Albaqarah [2]: 155-156).
Ketiga, tetap berikhtiar. Maksud ikhtiar, tetap melakukan berbagai usaha untuk memperbaiki keadaan dan menghindarkan diri dari bahaya akibat musibah. Jadi, kita tidak diam saja, atau pasrah berpangku tangan menunggu bantuan datang. Dan keempat, memperbanyak doa dan zikir. Musibah apa pun yang diberikan Allah SWT, kita tetap yakin pasti ada hikmahnya.
(-)
Jumat, 19 Juni 2009
Negara dan Iman
Ingar-bingar kampanye capres-cawapres dalam pekan-pekan ini tidak terlepas dari upaya saling menebar harapan ke arah yang lebih baik, apa pun format kampanyenya. Intinya, para kandidat menjanjikan perubahan dan akan menjadikan wajah Indonesia lebih baik di masa depan.
Satu hal yang pasti bagi kaum Muslim adalah bagaimana hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus jauh lebih baik dari hari ini. Tentu saja ini mencakup seluruh dimensi dan semua aspek dalam kehidupan kita.
Allah SWT telah menurunkan dienul Islam ini secara lengkap dan sempurna yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Allah Mahatahu terhadap apa yang menjadi hajat ataupun kebutuhan hidup manusia, dan untuk itulah, Dia telah memberikan atau menyediakan apa saja yang menjadi kebutuhan manusia dan makhluk lainnya.''... dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri''. (QS An-Nahl [16]: 89).
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Islam adalah sebuah sistem integral holistik, komprehensif, yang mengatur tentang hidup dan kehidupan. Sebuah sistem yang menghendaki adanya harmonisasi dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Negara bisa menjadi sarana implementasi efektif upaya ke arah lebih baik, lebih sejahtera, lebih bahagia, baik dalam dimensi duniawi maupun ukhrawi. Tapi, syaratnya, negara perlu dikelola dengan sistem yang baik dan dijalankan oleh pribadi-pribadi yang baik pula.
Setiap energi positif yang terpancar dari pribadi-pribadi yang saleh ini akan berpengaruh positif pula bagi kehidupan banyak orang. Orang yang saleh pastilah orang yang beriman, karena iman merupakan energi yang dahsyat untuk mendorong manusia untuk selalu berada di jalan yang lurus, jujur, bersih, amanah, dan disiplin.
Allah SWT berfirman, ''Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil. Sungguh, Allah memberi pengajaran yang sebaik-baik kepadamu.'' (QS an-Nisaa [4]: 58).
Dr Yusuf Qaradhawy menjelaskan dua peran dan fungsi negara. Pertama, memelihara keimanan rakyatnya dengan menekan bahkan menghilangkan hambatan-hambatan (utamanya dari sisi ekonomi) yang dapat mengganggu hubungan mereka dengan Allah SWT. Adapun kedua, membina keimanan rakyat agar kualitas hubungan dengan Allah SWT dapat terus meningkat.
Jika kedua peran dan fungsi negara ini dapat dilakukan, maka dipastikan kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan jauh lebih baik. Dengan iman dan takwa yang berkualitas, negara akan makmur sejahtera. ''Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.'' (QS al-A'raaf [7]: 96).
(-)
Index Koran
Doa untuk Negeri
Doa adalah wujud kemesraan hamba dengan Rabbnya. Doa adalah media berdialog: manusia meminta, Tuhan memberi. ''Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa bila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.'' (QS Albaqarah [2]: 18).
Tuhan memberi kepastian akan mengabulkan doa yang dipanjatkan hamba-Nya, tapi ada prasyarat, yaitu memenuhi segala perintah dan larangan-Nya. Bagaikan petikan sebuah lagu, ''Jangan ada dusta di antara kita.''Itulah kontrak yang ditawarkan Allah SWT sebelum mengabulkan doa hamba-Nya. Setujukah? Jika setuju, Dia tak akan pernah mengingkari janji-Nya.
Salah satu kontrak itu berisi, ''Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan penuh harap (akan dikabulkan).'' (QS Al-A'raaf [7]: 56).Ayat di atas menegaskan betapa pentingnya doa bagi manusia. Allah SWT tak akan memedulikan nasib hamba-Nya yang tidak mau berdoa. Tentu saja, doa yang benar adalah yang disertai usaha dan kerja keras. Itulah tawakal: kerja keras lalu diiringi doa.
Jika ditarik dalam konteks kebangsaan, maka ayat ini jelas mengisyaratkan agar bangsa ini mau introspeksi dan berbenah ke arah yang lebih baik. Bangsa ini tidak akan pernah dipedulikan nasibnya oleh Allah SWT selama masih ada praktik korupsi, kolusi, nepotisme, illegal logging , jual-beli perkara, mempermainkan hukum dan keadilan, politik uang, dan bentuk perusakan lain bagi sistem kehidupan bangsa ini.
Artinya, bangsa ini harus bekerja keras memperbaiki diri agar Allah SWT memedulikan nasibnya. Marilah introspeksi dan hendaknya tiap orang di negeri ini bahu-membahu memperbaiki kondisi yang ada ke arah yang lebih baik yang diridhai-Nya.Kita harus bekerja keras agar semakin banyak orang baik dan mau berbuat baik di negeri ini. ''Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.'' (QS Al-A'raaf [7]: 56).
Imam Munawi dalam Kitabnya, Faidul Qadir , mencatat sebuah doa yang konon pernah diajarkan Rasulullah SAW yang perlu diamalkan oleh Muslimin di negeri ini, yaitu, ''Ya Allah, janganlah kau pimpinkan atas kami orang yang tidak takut kepada-Mu dan tidak menyayangi kami.'' ( Allahumma la tusallith 'alaina bi dzunubina man la yakhafuka wala yarhamuna ).
(-)
Index Koran
Kamis, 18 Juni 2009
Abdurrahman Al-Ghafiqi: Kata-kata dan Perbuatan (2)
Setiap kali mengunjungi daerah kekuasaan kaum muslimin, dia selalu mengajak orang-orang untuk shalat berjemaah. Ia juga menganjurkan mereka untuk terus berjihad, dan menyemangati mereka agar selalu mengharapkan ridlo Allah swt dan berbahagia dengan pahalanya. Ucapan Abdurrahman Al-Ghafiqi selalu disertai dengan perbuatan. Jika ia bercita-cita selalu disertai dengan usaha. Maka langkah pertama untuk memperkuat daerah kekuasaannya adalah dengan mengadakan persiapan dan melengkapi persenjataan, memperbaiki kamp tentara yang berdekatan dengan daerah musuh, membangun benteng-benteng, membangun jembatan. Diantara jembatan terbesar yang ia bangun adalah jembatan Qurthubah (dalam literatur Inggris disebut Cordova), ibukota Andalusia (kini Spanyol).
Jembatan itu ia bangun di atas sungai Cordova yang besar, agar masyarakat dan tentaranya dapat menyebrang dengan mudah, selain dimaksudkan untuk menghindari wilayah itu dari serangan banjir. Jembatan ini termasuk salah satu keajaiban dunia. Panjangnya mencapai 80 hasta, tingginya 60 hasta, dengan 19 kaki tiang penyangga. Jembatan tersebut kini terletak di daerah Spanyol dan sampai sekarang tetap berdiri tegak sebagai bukti sejarah.
Salah satu gambaran perpaduan antara sikap perwira dan sikap rendah hati Al-Ghafiqi selalu berkumpul dengan pasukan dan pemuka masyarakat di setiap daerah yang ia bebaskan. Ia selalu mendengar dan memperhatikan perkataan orang-orang yang ada disekitarnya. Mencatat semua kritik dan mengambil manfaat dari setiap nasehat mereka.
Dalam setiap pertemuan, ia lebih sering mendengarkan dan hanya seperlunya bicara, ini sering dilakukan ketika mengadakan pertemuan dengan para tokoh muslim maupun dengan para pembesar Ahlu Dzimmah. Dalam pertemuan itu, biasanya ia lebih banyak bertanya kepada mereka tentang berbagai macam masalah yang terjadi di daerah mereka, juga tentang unek-unek yang terkait dengan penguasa dan kepala pasukan mereka.
Suatu ketika, ia mengundang seorang pembesar Ahlu Dzimmah keturunan Prancis untuk berbincang-bincang tentang berbagai persoalan. Al-Ghafiqi bertanya, “Bagaimana keadaan Karel, Raja Besar engkau? Mengapa ia tidak menantang kami untuk berperang, tapi juga tidak menyelamatkan daerah-daerah kekuasaannya yang telah kami bebaskan?”
Bangsawan Prancis itu menjawab dengan panjang lebar, “Wahai Gubernur! Engkau telah memenuhi apa yang telah engkau janjikan. Hakmu atas kami adalah bahwa kami harus menjawab jujur tentang apa saja yang engkau tanyakan. Panglima Besar anda, Musa bin Nusair, telah menguasai seluruh Spanyol, dia terus bertekad untuk menguasai gunung Pyrenia yang memisahkan daerah Andalusia dengan daerah kami yang indah ini.
Maka para penguasa di berbagai daerah bagian itu lari berlindung kepada Raja kami. Kami juga telah mendengar rencana kaum muslimin. Kami khawatir mereka akan menyerang dari ujung timur, sebab mereka kini telah berada di wilayah barat, bahkan mereka telah menguasai seluruh Spanyol, mereka juga merampas semua yang ada di sana, baik bekal maupun peralatan perang. Sekarang mereka telah naik ke puncak gunung yang menjadi pemisah antara kita dengan mereka. Padahal jumlah mereka sangat sedikit dengan persenjataan yang serba terbatas. Kebanyak dari mereka tidak mempunyai baju besi yang dapat menangkis serangan pedang ataupun kendaraan yang dapat mereka kendarai menuju medan perang.
Ketika itulah Raja (Prancis) berkata, “Aku telah lama memikirkan apa yang terbetik dalam hati dan pikiranmu. Aku juga telah mengamatinya dengan seksama. Menurutku, saat ini kita jangan menghadapi sepak terjang kaum musimin. Sebab mereka saat ini bagaikan air bah yang mengalir deras dan dapat menelan apa saja yang merintangi jalannya, membawanya dan melemparkannya kemana saja mereka sukai.
Aku sangat paham, mereka adalah kaum yang mempunyai akidah dan niat tulus yang tidak membutuhkan banyak tentara, bekal maupun persiapan. Mereka mempunyai Iman dan kejujuran, yang dapat menjadi benteng dan pengganti baju besi dan peralatan perang. Hadapilah mereka secara pelan-pelan sampai tangan mereka penuh dengan harta rampasan yang bisa membiayai pembangunan istana untuk mereka sendiri. Biarkan mereka mengumpulkan budak dan buruh. Biarkan mereka berebut kekuasaan antara mereka sendiri. Saat itulah kalian akan mampu mengalahkan mereka dengan mudah. Karena saat itu semangat mereka telah mulai berkurang.”
Uraian panjang lebar itu membuat hati Al-Ghafiqi terketuk sepenuh kesedihan. Iapun menutup pertemuan itu dengan ajakan shalat bersama, karena waktu shalat telah tiba.
Al-Ghafiqi mempersiapkan bekal peperangan selama dua tahun penuh. Ia mempersiapkan pasukan bala tentara, membangkitkan dan mendorong semangat mereka, dia juga meminta tambahan pasukan kepada Gubernur di Afrika. Ia mengirim utusan kepada Gubernur Tsughur Utsman bin Abi Nus’ah untuk bersiap-siap menghadapi serangan musuh, dan agar mengulkan bala tentara sebanyak-banyanya. Namun sayangnya Utsman menyimpan rasa iri kepada setiap Gubernur yang mempunyai cita-cita tinggi dan kemauan keras, yang berani melakukan perbuatan besar yang dapat mengangkat namanya di mata umat. Ia sangat khawatir nama penguasa dan Gubernur lainnya tenggelam. Lagi pula Utsman berhasil menikahi putrid Raja Aquitane, dalam sebuah penyerangan dengan Prancis. Nama putrid itu adalah minin.
Minin adalah yang masih remaja yang berparas sangat cantik, elok dan menarik. Utsman terpikat oleh kecantikannya itu. Minin mempunyai tempat tersendiri di hati Utsman, tidak seperti istri-istri yang lainnya.
Minin inilah yang mempunyai peran penting dalam mendamaikan ayahnya denga Utsman agar berani melakukan perjanjian dengan ayah Minin. Isi perjanjian itu adalah melindungi ayah Minin dari serangan kaum muslimin atas daerah kekuasaannya yang merupakan batas antara Tsughur dan Andalusia.Abdurrahman Al-Ghafiqi: Tombak yang Selalu Terhunus (1)
Suatu ketika Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz melakukan evaluasi menyeluruh terhadap berbagai kebijakan khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Abdul Malik. Ia meninjau ulang para Gubernurnya di berbagai daerah. Sebagian tetap pada kedudukannya, sebagian lagi diganti dengan pejabat baru.
Orang pertama yang diangkat sebagai Gubernur adalah Samh bin Malik Al-Khaulani. Ia dipercaya untuk menangani berbagai daerah dan kota yang telah dibuka. Gubernur ini lantas mengunjungi Andalusia untuk mengecek kondisi penduduknya. Dalam kesempatan itu, ia menyempatkan diri mencari apakah masih hidup ulama dari kalangan Tabi’in. Ternyata masih ada, yaitu Abdurrahman Al-Ghafiqi.
Gubernur Samh mendengar pengetahuan Al-Ghafiqi tentang Al-Qur’an, pemahamannya tentang hadits Rasulullah SAW, pengalamannya di berbagai medan pertempuran, kerinduannya untuk menjemput syahid, juga sikap zuhudnya terhadap gemerlap duniawi. Lebih dari itu, ia mendengar bahwa Al-Ghafiqi pernah bertemu dengan Khalifah Umar bin Khattab, bahkan sempat menimba ilmu dan akhlak darinya.
Gubernur Samh lantas meminta Abdurrahman Al-Ghafiqi untuk datang menemuinya. Ia menyambut Al-Ghafiqi dengan penuh hormat, dan memintanya untuk duduk di dekatnya. Samh menceritakan berbagai uneg-unegnya. Ghafiqi pun memberikan berbagai nasihat dan saran, tak lupa ia menganjurkan agar sang Gubernur terus menunaikan tugasnya dengan baik dan benar.
Menimbang nasihat dari Al-Ghafiqi itu, Samh menawarkan jabatan untuk menangani wilayah Andalusia, kini masuk wilayah Spanyol.
Tawaran itu dijawab oleh Al-Ghafiqi:
“Wahai Gubernur, aku hanyalah orang biasa, seperti yang lain. Aku datang ke daerah ini hanya untuk mengetahui batas-batas daerah kaum muslimin dan batas-batas fartah musuh mereka. Aku haya meniatkan diriku untuk mencari ridlo Allah yang Maha Agun, dan aku membawa pedangku ini hanya untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini. Insya’allah Gubernur akan melihatku selalu taat selama engkau menegakkan kebenaran. Aku akan selalu mengikuti perintah Gubernur, selama anda taat pada perintah Allah dan Rasul-Nya, walaupun aku tidak diberi kekuasaan dan perintah.”
Tak lama berselang setelah pertemuan itu, Gubernur Samh bin Malik, bertekad untuk menaklukkan seluruh wilayah Prancis dan menyatukannya dengan wilayah Negara Islam. Saat penyerangan itu, terjadilah peristiwa mengenaskan dan tragis, Samh bin Malik gugur karena tertusuk panah. Seandainya tentara kaum muslimin tidak mendapatkan pertolongan Allah dengan seorang jenius sebagai komandan perang, yang bernama Abdurrahman Al-Ghafiqi, tentulah kaum muslimin akan menderita kekalahan yang sangat fatal.
Al-Ghafiqi tampil memimpin komando perjuangan, sehingga dapat menekan kerugian dan derita kekalahan sekecil mungkin. Dia berhasil membawa tentara kaum muslimin pulang ke Spanyol. Namun dalam hatinya ia tetap bertekad untuk mengulang serangan.
Berita besar yang dialami kaum muslimin di Prancis itu telah menggelisahkan dan mengguncangkan hati sang Khalifah di Damaskus. Pertempuran dahsyat dan berani yang diusung oleh Samh bin Malik telah membakar api keberanian pasukan kaum muslimin untuk meneruskan perjuangan itu.
Abdurrahman Al-Ghafiqi akhirnya ditunjuk sebagai pemimpin untuk wilayah Andalusia. Daerah-daerah Prancis dan sekitarnya yang berhasil dibebaskan disatukan di bawah komandonya. Sepenuhnya dia ditugaskan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz di Damaskus untuk mengurus wilayah Prancis dan sekitarnya secara independent. Pemberian wewenang ini menunjukkan betapa Abdurrahman Al-Ghafiqi adalah sosok yang dapat dipercaya, amanah, kuat kemauan, gigih, taqwa, bersih dan bijaksana dalam memimpin dan mengambil keputusan.
Sejak awal kepemimpinannya, dia segera bekerja mengembalikan kepercayaan diri bala tentaranya, membangkitkan semangat mereka. Yang paling penting dari itu adalah menjelmakan tujuan dan cita-cita besarnya kepada tentara kaum muslimin di Andalusia, yang telah dirintis oleh Musa bin Nusair dan Smah bin Malik Al-Khaulani.
Kaum muslimin bertekad meneruskan gerakan pembebasannya di wilayah Eropa. Mulai dari Prancil hingga menembus dinding negeri Italia dan Jerman. Rencana selanjutnya adalah membebaskan Konstantinopel, menyusul laut tengah.
Abdurrahman Al-Ghafiqi yakin sepenuhnya bahwa dalam mempersiapkan pertempuran besar itu harus dimulai dari memperbaiki dan mensucikan jiwa (Tazkiyah an-Nafs). Ia juga yakin, tidak ada satu umatpun yang dapat mewujudkan kemenagnan dan meraih cita-citanya jika benteng jiwanya sudah rapuh, terkikis dari dalam.
Berpegang pada keyakinannya itu, Al-Ghafiqi mulai berkeliling Andalusia, meninjau kekuatan daerah perdaerah. Selanjutnya ia memasang pengumuman yang berisi: Barangsiapa yang mempunyai persoalan dan merasa dizalimi oleh Gubernur, hakim, atau orang lain, ia harus melaporkannya kepada Gubernur, sebab kedudukan kaum muslimin dengan non-muslim sama dalam hal ikatan perjanjian.
Selanjutnya, dia mulai memeriksa laporan-laporan yang masuk satu persatu. Jika dia menemukan ketidakadilan, segera ia luruskan. Seperti menyelesaikan masalah tempat-tempat ibadah dan tanahnya yang bersifat rampasan atau diperoleh melalui tekanan. Dalam masalah ini, ia menyerahkan kepada pemilik aslinya sesuai dengan perjanjian, menghancurkannya atau merelakannya dengan ganti rugi. Ia juga memeriksa para pejabat satu persatu. Jika ada yang menyeleweng atau korupsi, ia tidak segan mencopotnya dan menggantinya dengan orang yang dapat dipercaya dan bertanggungjawab, baik dalam kebijakan maupun dalam mengambil keputusan.
Bersambung …
Sumber Gambar: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/e7/Steuben_-_Bataille_de_Poitiers.png