Bagi para filsuf, filsafat bukan sebuah ajaran tentang kebenaran, tetapi sebuah seni kehidupan. Kebutuhan mencari makna hidup yang terus berubah, membuat seseorang membutuhkan orang lain sebagai sahabat.
Demikian disampaikan pengajar filsafat Fakultas Hukum Universitas Katolik Soegijapranata Donny Danardono dalam diskusi buku Mari Berbincang Bersama Plato, Persahabatan (Lysis) terbitan iPublishing tahun 2009, yang diadakan oleh Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI) di Kota Semarang, Sabtu (6/6). Lysis berisi percakapan antara Socrates dengan Hippothales, Ktessipos, Menexenos, dan Lysis.
Donny mengemukakan, naskah Lysis yang ditulis oleh filsuf ternama Plato atau Platon itu penuh dengan kontradiksi dan ambiguitas. Ambiguitas itu tampak ketika Socrates memberi dua contoh cinta orangtua pada anak. Contoh pertama adalah cinta bersyarat di mana orangtua melarang anaknya melakukan sesuatu. Contoh kedua adalah cinta tak bersyarat ketika orangtua mencintai bayinya.
Namun, dalam tafsir yang ditulis oleh Dr A Setyo Wibowo SJ, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta yang juga penerjemah buku itu, kontradiksi itu berusaha didamaikan. Menurut Setyo, syarat "kegunaan" tetaplah posisi terpenting Socrates, sejauh kegunaan itu dibatasi kepada pengetahuan akan kebaikan. Kesadaran tentang diri
Donny berpendapat, tidak seorang pun dapat mengetahui pengetahuannya tentang kebaikan sudah benar dan final. Oleh karena itu, kesadaran tentang diri yang tak tahu menjadi sumber kerinduan mencari pengetahuan, meskipun pencarian itu tidak pernah menemui akhir.
"Akan tetapi, pencarian akan pengetahuan yang tak pernah final itu membuat setiap orang rindu bertemu dan bersahabat dengan orang lain," ujar Donny.
Arti sahabat itu sendiri masih sangat absurd. Orang-orang yang merasakan ambiguitasnyalah yang merasakan manfaat persahabatan. Donny menjelaskan, menurut Socrates, orang yang merasa diri baik tidak akan membutuhkan apa pun. Ia juga tidak dapat mengapresiasi dan mencintai sesuatu. Oleh karena itu, ia bukan sahabat.
Lalu, apa yang dimaksud dengan sahabat?
Socrates mengatakan dalam buku itu, persahabatan yang tulus dan langgeng hanya ada di antara mereka yang merasa diri tidak baik dan tidak jahat. Mereka adalah orang-orang yang daif, atau orangorang yang rendah hati.
Dr Herudjati Purwoko dari LeSPI menyimpulkan, persahabatan sejati bukanlah kepura-puraan, bukan mereka yang memiliki maksud lain dan maksud jahat, bukan mereka yang tidak bijak, bukan mereka yang selalu memuji.
"Sahabat adalah mereka yang merelakan diri menjadi milik yang lain dan mau memberikan nyawanya bagi sahabatnya," ujar dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro itu.
Menurut Herudjati, terjemahan buku itu sangat baik, sangat plastis, dan enak dibaca. Adanya tafsir juga membantu pembaca memahami setting Yunani antik di zaman Plato. Hal itu, yang menurut Herudjati, membuat karya itu bukan sekadar karya terjemahan, tetapi sebuah transformasi budaya pola pikir kritis. (UTI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar