Oleh H. USEP ROMLI H.M.MENGAPA kita sulit sekali menemukan pemimpin yang jujur dan adil? Padahal pemimpin semacam itu, mendapat jaminan istimewa dari Allah SWT. Sebuah hadis sahih riwayat Imam Bukhari menyebutkan, tujuh jenis manusia akan mendapat naungan keteduhan dari Allah SWT pada saat menempuh alam Mahsyar kelak, yang panasnya tak terperikan. Yang pertama kali mendapat kehormatan tertinggi itu, adalah al-amirul ‘adil, pemimpin yang adil. Baru enam jenis yang lainnya.
Mungkin karena menegakkan keadilan (disertai kejujuran) bagi seorang pemimpin bukan perkara mudah. Banyak kendala yang harus diatasi. Sehingga sebelum keadilan terwujud, daya upaya dan tenaga sudah terlebih dulu habis terkuras. Bahkan, banyak pemimpin yang adil, jujur dan bijaksana, malah berumur pendek. Dikudeta atau dibunuh oleh lawan-lawannya yang tak menginginkan negara atau bangsa dibawa ke arah kejujujuran dan keadilan.
Bahkan bagi seorang Nicolo Machiaveli (abad 13) lebih mudah mempertahankan kekuasaan yang korup dan tiran daripada yang adil dan jujur. Maka dalam bukunya I’l Principe — yang menjadi “kitab suci” para pemerintah otoriter dan diktatorian sejak dulu hingga sekarang — Machiavelli terang-terangan menganjurkan, agar para penguasa tidak adil dan tidak jujur. Justru harus keras dan kejam, licik dan culas, jika ingin melanggengkan kekuasaan.
Salah seorang pemimpin yang jujur dan adil namun harus mengalami pembunuhan tragis ketika memangku jabatan, adalah Umar bin Khattab (581-644). Ia kepala negara (khalifah). Dalam menjalankan pemerintahan yang adil, jujur dan bijaksana, ia menulis “Risalatul Qada” atau “Dustur Umar”. Berisi petunjuk bagi pejabat-pejabat bawahannya dalam menerapkan keadilan dan kejujuran dalam pemerintahan. Umar membagi tipe pemimpin dalam empat jenis.
Pertama, yang berwibawa. Tegas terhadap penyeleweng, koruptor dan penjahat negara, tanpa pandang bulu. Sekalipun dirinya sendiri atau keluarganya, tetap akan ditindak menurut hukum yang berlaku. Pemimpin semacam ini dikategorikan mujahid fi sabilillahi. Negara yang dipimpinnya, rakyat yang diayominya, akan mengalami keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan lahir batin, di bawah naungan ampunan Allah SWT (Baldatun thayyibatun wa Rabbun Gafur).
Kedua, pemimpin yang tegas terhadap dirinya sendiri saja. Tapi ia tak berani terhadap bawahannya. Lemah dan tidak berwibawa di mata rakyat. Ia selalu dalam intaian bahaya, jika tidak mendapat pertolongan Allah SWT.
Ketiga, pemimpin egois. Mementingkan diri sendiri. Menempatkan bawahan dalam posisi ketakutan, sehingga terpecah-belah dalam kotak-kotak “dekat” dan “jauh”, “kering” dan “basah”. Menempatkan rakyat sebagai sumber pemerasan politik dan ekonomi. Pemimpin model begini akan mudah menjadi incaran kudeta, tidak mau ada yang membela. Bahkan dikutuk dan dihujat segenap lapisan. Nabi Muhammad saw. menggambarkannya sebagai “pemimpin terjahat yang merusak segala tatanan kehidupan” (Syarrur ri’ail huthamah).
Keempat, pemimpin yang berkomplot bersama rezimnya, memperkosa keadilan, merampas hak rakyat. Berbagai undang-undang dan peraturan dikeluarkan, agar perilaku komplotan rezim tersebut seolah-olah konstitusional dan demokratis. Padahal di balik itu tersembunyi teror, penghancuran dan persekongkolan untuk memenuhi kepentingan pemimpin, rezim dan golongan pendukungnya. Pemimpin seperti ini memang akan menikmati hasil gilang-gemilang, mengeruk keuntungan, mengokohkan kekuasaan. Namun hukuman Allah SWT akan menimpa tiba-tiba (baghtatan). Sehingga kesenangan yang mereka jalani, lenyap mendadak (Q.S. Al-An’am:44).
Resep Khalifah Umar di atas, bukan sekadar omong kosong. Sebagai Amirul Mu’minin (pemimpin orang-orang beriman) Umar sudah menjalankan praktik menegakkan keadilan dan kejujuran secara nyata. Selama sepuluh tahun menjadi khalifah (634-644), Umar telah mampu menegakkan keadilan dan kejujuran. Ia tak segan-segan menghukum anaknya sendiri yang melanggar aturan, menyingkirkan anak dan istrinya dari hal-hal beraroma KKN, turun tangan langsung menyantuni fakir miskin dan sebagainya. Titen tulaten memperhatikan kehidupan rakyatnya.
Ternyata keadilan dan kejujuran Umar bin Khattab dalam menjalankan kepemimpinan dan pemerintahan, tidak menghilangkan kebencian di kalangan orang-orang yang merasa dirugikan oleh keadilan dan kejujuran itu. Orang-orang yang tak dapat leluasa mempraktikkan KKN, mengacaukan hukum dan mementingkan diri sendiri atau golongan. Maka, pada suatu saat menjelang salat subuh, seorang bernama Abu Lu’lu’ah, menghunjamkan sebilah belati ke perut Umar bin Khattab. Sahabat utama Nabi Muhammad yang termasuk golongan Assabiqunal Awwalun (generasi pememeluk Islam paling pertama), wafat di jalan Allah. Kedudukannya digantikan oleh Utsman bin Affan.
Hampir seabad kemudian, muncul Umar yang lain. Umar bin Abdul Aziz, yang mampu melanjutkan keadilan dan kejujuran Umar bin Khattab ketika dipercaya memimpin bangsa dan negara. Umar bin Abdul Aziz (682-720) menjadi khalifah Dinasti Umayyah ke-8 (715-717). Berkat keadilan, kejujuran dan kebijaksanaannya, pemerintahan Umayyah yang semula penuh KKN, lalim dan zalim, berubah drastis.
Ia mulai melakukan pembersihan di lingkungan keluarganya sendiri, sebelum membersihkan lingkungan orang-orang kepercayaan dan institusi luar lainnya. Dalam pidato pelantikannnya, ia menyatakan, “Manusia tidak akan bersengketa mengenai Allah SWT Zat yang disembahnya, tentang Kitab-Nya dan Rasul-Nya. Tapi mereka akan bersengketa tentang harta, emas, perak, dinar dan dirham. Demi Allah, aku tidak akan memberi seseorang dengan cara yang batil dan tidak pula akan menghalangi seseorang akan hak yang harus diterimanya. Aku hanya akan meletakkan sesuatu pada tempatnya sebagaimana diperintahkan agamaku. Yaitu adil.”
“Sebelum aku, telah muncul para pemimpin lain. Mereka memiliki aturan macam-macam yang kalian anggap adil atau anggap zalim. Maka bagiku sekarang hanya ada satu pilihan, taatlah kepada pemerintahanku selama aku menegakkan keadilan dan kejujuran. Camkanlah, tidak ada ketaatan kepada makhluk yang bermaksiat kepada Al-Khalik. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah, dan melawan hukum-hukumnya, tak ada keharusan bagi kalian untuk taat kepadaku.”
Kepada istri dan anak-anaknya, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan hidup sederhana, baik dalam penampilan, berpakaian, makan, minum dan berbicara.
Menyaksikan perubahan sikap hidup Umar yang begitu ketat, banyak di antara koleganya menyesal, mengapa mereka dulu memilih Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah. Tindakan yang paling menggelisahkan Bani Umayyah, yaitu keluarga besar Umar bin Abdul Aziz, adalah upaya pengembalian tanah dan harta kekayaan orang-orang yang pernah merasa dirampas atau dirugikan haknya oleh Khalifah Bani Umayyah terdahulu. Saudara-saudara sepupu, semenda dan sanak kadang Umar bin Abdul Aziz yang terbukti pernah berbuat zalim ketika mereka berkuasa, dijatuhi hukuman, baik hukuman badan (pidana) atau membayar ganti rugi kepada orang yang dizaliminya. Yang masih berkuasa, diturunkan dari kedudukannya setelah mempertanggungjawabkan segala perbuatannya yang menzalimi rakyat.
Ia mengeluarkan surat edaran, melarang gubernur atau pejabat birokrasi ikut terlibat dalam bisnis. Menurut Umar, jika itu terjadi akan muncul monopoli, baik langsung oleh gubernur dan aparatnya, maupun oleh konco-konco-nya. Untuk mengganti dampak kerugian dari larangan itu, Umar menaikkan gaji para gubernur dan para pejabat wilayah hingga tiga ratus dinar. Sangat tinggi berdasarkan ukuran zaman itu. Ketika beberapa orang bertanya, mengapa gubernur dan para pejabat gajinya besar-besar? Umar menjawab, agar mereka tidak korupsi, tidak khianat. Agar mereka jujur menjalankan tugasnya.
Ia juga mengeluarkan surat edaran yang melarang karib kerabat dan sanak keluarga Umayyah terlibat kegiatan bisnis dalam bentuk dan skala apa pun. Tentu saja sanak keluarga Umar bin Abdul Aziz protes keras. Menuduh Umar melanggar HAM, degil, tengil, tak berperikemanusiaan. Orang lain yang berkuasa membuat sanak keluarga dan karib kerabat ikut kecipratan rezeki, ini malah memutus rezeki. Tapi Umar tetap teguh pada pendiriannya. Ia menyatakan lebih takut oleh ancaman siksa Allah SWT yang melarang pemimpin mengomersialkan jabatan atau menjalankan KKN, daripada oleh caci maki kaum keluarga sendiri.
Berkat keadilan Umar bin Abdul Aziz, suasana kehidupan penduduk dan negara saat itu, benar-benar aman dan nyaman. Jauh dari huru-hara. Jauh dari kekacauan. Sesama warga negara hidup damai berdampingan, tiis ceuli herang mata. Bahkan dilukiskan, serigala dan kambing pun hidup berdampingan. Serigala merasa puas mendapat makanan tanpa harus menerkam kambing di padang gembalaan. Kambing merasa tenang merumput tanpa khawatir diganggu serigala. Keadilan Umar bin Abdul Aziz dalam menjalankan pemerintahan, benar-benar meresap dan membawa berkah bagi segenap lapisan.
Tapi begitulah perjalanan nasib. Umar bin Khattab yang terkenal adil bijaksana, mengundang kebencian di kalangan orang-orang yang tak menyukai keadilan dan kebijaksanaan. Beliau dibunuh ketika akan menunaikan salat subuh. Umar bin Abdul Aziz pun demikian. Sekelompok pengkhianat yang tak menyukai tindakan Umar memberantas KKN dan menegakkan keadilan dalam pemerintahan, membubuhkan racun ke dalam makanannya. Hampir tiga tahun Umar bin Abdul Aziz menderita sakit parah (717), sebelum dipanggil menghadap Ilahi Rabbi (720).
Mungkin karena contoh dua pemimpin adil, jujur dan bijaksana yang mengalami akhir hidup dengan tragis tersebut, pada masa-masa selanjutnya tak ada lagi pemimpin yang siap adil, jujur dan bijaksana? Takut ditikam dan diracun? Sehingga memilih menjadi pemimpin yang “pura-pura” adil, jujur dan bijaksana saja, agar aman dan langgeng berkuasa. Jika pun kekuasaannya harus berakhir, paling-paling dikudeta damai atau “lengser keprabon” tanpa beban apa-apa. Termasuk tidak mempertanggungjawabkan perbuatannya selama memerintah dengan korup, tiran dan penuh pelanggaran HAM. Wallahu a’lam***
Penulis wartawan senior HU “Pikiran Rakyat” Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar