Dalam karyanya The Dicline and the Fall of Roman Empire, ahli sejarah Gibbon mengatakan bahwa keruntuhan bangsa besar Romawi ditandai oleh ketidakmampuan mengendalikan hawa nafsu. Para pejabat negara lebih mengutamakan interes dan kepentingan pribadi. Hukum tidak lagi dihargai sebagaimana mestinya.
Hal yang sama terjadi di dunia Islam. Sebelum jatuhnya kota Baghdad yang pernah menjadi pusat peradaban dunia ke tangan bangsa Tatar yang berarti berakhirnya dinasti Abbasiyah, para petinggi Abbasiyah umumnya hanya mengutamakan kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan daripada kepentingan bangsa dan negara. Mereka suka bermewah-mewah menurutkan hawa nafsu.
Allah berfirman: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberikannya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran. (Al-Jaatsiyah: 23).
Dalam surah lain Allah berfirman: Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya. (Al-Furqaan: 43-44).
Ayat-ayat di atas di antaranya menjelaskan bahwa orang yang mempertuhankan hawa nafsunya adalah orang yang sesat. Mereka menurutkan hawa nafsu, karena mereka tidak memfungsikan pendengaran, hati dan penglihatan mereka secara baik untuk mendengar, memahami, dan melihat ayat-ayat Allah, untuk mendengar, memahami, dan melihat sejarah, apa akibat yang diterima oleh orang yang mempertuhankan hawa nafsu dan apa kenikmatan yang dianugerahkan kepada orang yang hanya tunduk kepada Tuhan.
Di dalam ayat di atas, orang yang tidak dapat memfungsikan pendengaran, hati dan penglihatan secara baik diidentikkan Allah dengan binatang ternak. Ini, di antaranya, karena binatanglah yang dalam kehidupannya hanya menurutkan hawa nafsu. Bagaimana jika manusia telah identik dengan binatang yang di antara ciri-ciri kehidupannya adalah untuk kepuasan makan, seks, masa bodoh dengan keadaan sekitar, dan bahkan ada yang buas? Tidakkah tatanan kehidupan akan berantakan? Tidak hancurkah suatu bangsa jika orang-orangnya telah disamakan Tuhan dengan binatang ternak? Lihatlah apa yang terjadi dengan bangsa Romawi dan Abbasiyah yang disebutkan di atas.
Untuk itu, pengendalian hawa nafsu, yang di antara caranya dengan memfungsikan indera-indera kita, terutama pendengaran, hati, dan penglihatan, untuk mendengar, memahami, dan melihat ayat-ayat Allah baik yang tertulis di dalam Alquran maupun yang tidak (memperhatikan alam semesta), serta membaca sejarah. Orang-orang yang tidak memfungsikan hati, penglihatan, dan pendengaran mereka secara baik, tempat kembalinya adalah neraka. (Perhatikan surah Al-A'raaf: 179). - ahi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar