Setiap kali mengunjungi daerah kekuasaan kaum muslimin, dia selalu mengajak orang-orang untuk shalat berjemaah. Ia juga menganjurkan mereka untuk terus berjihad, dan menyemangati mereka agar selalu mengharapkan ridlo Allah swt dan berbahagia dengan pahalanya. Ucapan Abdurrahman Al-Ghafiqi selalu disertai dengan perbuatan. Jika ia bercita-cita selalu disertai dengan usaha. Maka langkah pertama untuk memperkuat daerah kekuasaannya adalah dengan mengadakan persiapan dan melengkapi persenjataan, memperbaiki kamp tentara yang berdekatan dengan daerah musuh, membangun benteng-benteng, membangun jembatan. Diantara jembatan terbesar yang ia bangun adalah jembatan Qurthubah (dalam literatur Inggris disebut Cordova), ibukota Andalusia (kini Spanyol).
Jembatan itu ia bangun di atas sungai Cordova yang besar, agar masyarakat dan tentaranya dapat menyebrang dengan mudah, selain dimaksudkan untuk menghindari wilayah itu dari serangan banjir. Jembatan ini termasuk salah satu keajaiban dunia. Panjangnya mencapai 80 hasta, tingginya 60 hasta, dengan 19 kaki tiang penyangga. Jembatan tersebut kini terletak di daerah Spanyol dan sampai sekarang tetap berdiri tegak sebagai bukti sejarah.
Salah satu gambaran perpaduan antara sikap perwira dan sikap rendah hati Al-Ghafiqi selalu berkumpul dengan pasukan dan pemuka masyarakat di setiap daerah yang ia bebaskan. Ia selalu mendengar dan memperhatikan perkataan orang-orang yang ada disekitarnya. Mencatat semua kritik dan mengambil manfaat dari setiap nasehat mereka.
Dalam setiap pertemuan, ia lebih sering mendengarkan dan hanya seperlunya bicara, ini sering dilakukan ketika mengadakan pertemuan dengan para tokoh muslim maupun dengan para pembesar Ahlu Dzimmah. Dalam pertemuan itu, biasanya ia lebih banyak bertanya kepada mereka tentang berbagai macam masalah yang terjadi di daerah mereka, juga tentang unek-unek yang terkait dengan penguasa dan kepala pasukan mereka.
Suatu ketika, ia mengundang seorang pembesar Ahlu Dzimmah keturunan Prancis untuk berbincang-bincang tentang berbagai persoalan. Al-Ghafiqi bertanya, “Bagaimana keadaan Karel, Raja Besar engkau? Mengapa ia tidak menantang kami untuk berperang, tapi juga tidak menyelamatkan daerah-daerah kekuasaannya yang telah kami bebaskan?”
Bangsawan Prancis itu menjawab dengan panjang lebar, “Wahai Gubernur! Engkau telah memenuhi apa yang telah engkau janjikan. Hakmu atas kami adalah bahwa kami harus menjawab jujur tentang apa saja yang engkau tanyakan. Panglima Besar anda, Musa bin Nusair, telah menguasai seluruh Spanyol, dia terus bertekad untuk menguasai gunung Pyrenia yang memisahkan daerah Andalusia dengan daerah kami yang indah ini.
Maka para penguasa di berbagai daerah bagian itu lari berlindung kepada Raja kami. Kami juga telah mendengar rencana kaum muslimin. Kami khawatir mereka akan menyerang dari ujung timur, sebab mereka kini telah berada di wilayah barat, bahkan mereka telah menguasai seluruh Spanyol, mereka juga merampas semua yang ada di sana, baik bekal maupun peralatan perang. Sekarang mereka telah naik ke puncak gunung yang menjadi pemisah antara kita dengan mereka. Padahal jumlah mereka sangat sedikit dengan persenjataan yang serba terbatas. Kebanyak dari mereka tidak mempunyai baju besi yang dapat menangkis serangan pedang ataupun kendaraan yang dapat mereka kendarai menuju medan perang.
Ketika itulah Raja (Prancis) berkata, “Aku telah lama memikirkan apa yang terbetik dalam hati dan pikiranmu. Aku juga telah mengamatinya dengan seksama. Menurutku, saat ini kita jangan menghadapi sepak terjang kaum musimin. Sebab mereka saat ini bagaikan air bah yang mengalir deras dan dapat menelan apa saja yang merintangi jalannya, membawanya dan melemparkannya kemana saja mereka sukai.
Aku sangat paham, mereka adalah kaum yang mempunyai akidah dan niat tulus yang tidak membutuhkan banyak tentara, bekal maupun persiapan. Mereka mempunyai Iman dan kejujuran, yang dapat menjadi benteng dan pengganti baju besi dan peralatan perang. Hadapilah mereka secara pelan-pelan sampai tangan mereka penuh dengan harta rampasan yang bisa membiayai pembangunan istana untuk mereka sendiri. Biarkan mereka mengumpulkan budak dan buruh. Biarkan mereka berebut kekuasaan antara mereka sendiri. Saat itulah kalian akan mampu mengalahkan mereka dengan mudah. Karena saat itu semangat mereka telah mulai berkurang.”
Uraian panjang lebar itu membuat hati Al-Ghafiqi terketuk sepenuh kesedihan. Iapun menutup pertemuan itu dengan ajakan shalat bersama, karena waktu shalat telah tiba.
Al-Ghafiqi mempersiapkan bekal peperangan selama dua tahun penuh. Ia mempersiapkan pasukan bala tentara, membangkitkan dan mendorong semangat mereka, dia juga meminta tambahan pasukan kepada Gubernur di Afrika. Ia mengirim utusan kepada Gubernur Tsughur Utsman bin Abi Nus’ah untuk bersiap-siap menghadapi serangan musuh, dan agar mengulkan bala tentara sebanyak-banyanya. Namun sayangnya Utsman menyimpan rasa iri kepada setiap Gubernur yang mempunyai cita-cita tinggi dan kemauan keras, yang berani melakukan perbuatan besar yang dapat mengangkat namanya di mata umat. Ia sangat khawatir nama penguasa dan Gubernur lainnya tenggelam. Lagi pula Utsman berhasil menikahi putrid Raja Aquitane, dalam sebuah penyerangan dengan Prancis. Nama putrid itu adalah minin.
Minin adalah yang masih remaja yang berparas sangat cantik, elok dan menarik. Utsman terpikat oleh kecantikannya itu. Minin mempunyai tempat tersendiri di hati Utsman, tidak seperti istri-istri yang lainnya.
Minin inilah yang mempunyai peran penting dalam mendamaikan ayahnya denga Utsman agar berani melakukan perjanjian dengan ayah Minin. Isi perjanjian itu adalah melindungi ayah Minin dari serangan kaum muslimin atas daerah kekuasaannya yang merupakan batas antara Tsughur dan Andalusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar