Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
Ustad ana ingin tahu, masalah perbedaan pendapat, seperti kasus bid’ah dan kilafiyah. Mungkin ada ustad yang menfonis suatu amalan itu bid’ah bukan karena ingin memecah umat dan ingin merasa benar.
Tapi memang semua dalil yang mengarah untuk amalan itu tidak ada sumbernya. Bila itu ditentang oleh orang yang biasa beragama sudah merupakan tradisi justru ketika ustad menyampaikan itu tidak ada sunnahnya, justru ustad tersebut yang dikatakan picik.
Padahal dalam masalah ilmu dia juga mengetahui, yang jadi permasalahan bukan ustadnya tapi mungkin para pengikutnya yang tidak baik dalam berdakwah, atau kurang ahsan saja. Toh kalau memang itu bukan sunnah apakah itu dianggap sunnah?
Kalau masalah syiar Islam, tidak perlu harus merayakan maulidan, yasinan, tujuh harian. Apakah kurang agama ini kalau tidak merayakan yang demikian?
Masalah kilafiyah, ana rasa para imam empat mereka kilafiyah berbeda dalam memahami hadist bukan dalam hal yang tidak ada sumbernya seperti sekarang ini.
Tohi mam empat pun tidak ada dalam kitab-kitab mereka, ana pikir masalahnya ada pada ulama sekarang yang merasa ritual tersebut termasuk bagian dari agama, sehingga kalau tidak begituan dianggap wahabi.
Syukron ustadz mohon tanggapannya.
muhammad eri
Jawaban
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kalau sekedar mengatakan bahwa perayaan maulid tidak ada ajaran atau anjurannya dari Rasulullah SAW, kami pikir semua pihak pasti sepakat. Nyatanya memang tidak ada satu pun hadits shahih, bahkan tidak juga hadits palsu, yang menyebutkan bahwa sudah ada perayaan maulid di zaman Nabi SAW.
Begitu juga dengan ritual lainnya seperti urusan tahilan 3 hari kematian, 7 hari atau 40 hari. Semua itu memang tidak kita temui contoh langsung dari Rasulullah SAW.
Tata Cara Sosialisasi
Tapi masalahnya, bagaimana cara mensosialisasikan pengertian ini di tengah umat yang sudah dicecoki doktrin maulid dan praktek sejenisnya? Padahal bangsa ini sudahberpikir demikiansejak zaman nenek moyang?
Memang benar bahwa yang menjadi masalah adalah tinggal tehnik berdakwah. Masalahnya, saudara-saudara kita justru tidak pernah sepakat dalam tehnik berdakwah. Ada yang cenderung dengan jurus sekali sikat, pokoknya maulid bid’ah, sesat dan masuk neraka, titik dan habis perkara.
Yang lain melihat bahwa perjalanan dakwah menghilangkan tradisi maulid kok sepertinya jalan di tempat. Sebagai contoh, dari selama ratusan tahun dakwah wahabiyah memerangi maulid dan sejenisnya di dunia Islam, sampai hari ini ternyata maulid tetap masih ada di mana-mana.
Mungkin tidak ada salahnya kalau kita sekarang lakuka lagi eveluasi, setidaknya belajar berpikir lebih cerdas, bahwa bid’ah yang terlanjur berakar itu, jangan-jangan tidak akan hilang hanya dengan sekedar berteriak-teriak dari atas mimbar ceramah. Atau sekedar bikin fatwa bid’ah dan sesat.
Apalagi mengingat saudara-saudara kita di Saudi dan negeri sekitarnya telah mencetak ribuan judul buku, membuat situs di internetbahkan merekam ceramah dan membagikannya gratis ke seluruh dunia Islam, isinya jelas mengatakan bahwa maulid dan sejenisnya itu bid’ah dan sesat.
Tapi kalau kita evaluasi dengan jujur, apa hasilnya?
Kampanye seperti itu hanya dikenal di dalam kalangan yang sangat terbatas. Banyak orang di berbagai negeri muslimtetap resisten dengan ajakan menghilangkan tradisi maulid dan sejenisnya.
Lalu apa yang salah?
Kita harus pandai melihat realitas sosial kalau mau berhasil dalam dakwah. Bukankah kita sudah tahu bahwa tidak mungkin bisa menghilangkan korupsi di negeri ini hanya dengan menurunkan mahasiswa berdemostrasi dan berorasi di tengah jalanan.
Kita juga tahu persis bahwa mustahil menghilangkan kebiasan merokok bangsa ini hanya dengan menempel poster, slogan dan anjuran. Metode-metode sepertiitu terlalu klasik dan nyatanya memang tidak menghasilkan perubahan yang berarti. Bahkan hanya menghamburkan uang saja.
Karena kalau kita lihat akar masalahnya, urusan maulid dan ritual sejenisnyaharus diakui memangsudah berurat dan berakar di dalam cara pandang bangsa-bangsa muslim di dunia. Tidak akan hilang begitu saja hanya dengan ceramah agama dengan mengatakan bahwa perbuatan itu bid’ah.
Bahkan semua kasus telah memberikan pelajaran kepada kita bahwa yang terjadi malah sebaliknya, muncul reaksi yang lebih besar karena adanya aksi.
Evaluasi
Maka ada sebagian kalangan juru dakwahyang lebih cenderung untuk sebaiknya tidak perlu setiap saat masalah kebid’ahan maulid dan sejenisnya selalu diungkit-ungkit, apalagi dengan stempel-stempel bid’ah dan sejenisnya. Sebab hal itu hanya akan memperkeruh keadaan.
Stigma permusuhan kelopok Wahabi melawan kelompok Ahlusunnah yang terlanjur tercetak di benak para kiyai, rasanya sudah menjadi bukti bahwa urusan ini tidak bisa diselesaikan hanya lewat fatwa dan kecam-mengecam.
Semakin dituduh bid’ah akan semakin kuat dan semakin memberikan resistensi. Dan kecaman atau tuduhan bid’ah itu ibarat obat yang sudah lawas, tubuh sudah kebal terhadapnya. Otomatis tidak akan menyelesaikan masalah.
Ibarat membacok ban mobil pakai golok, bukan pecah bannya tapi malah yang membacok akan mendapat perlawanan. Masyarakat kita tidak pernah bisa diubah cara berpikirnya hanya dengan -maaf- dicaci maki.
Karena itulah dahulu mengapa para pendakwah di zaman awal masuknya agama Islam di negeri ini menggunakan cara akulturasi budaya. Sebab orang Hindu dan Budha di masa itu tidak akan mau memeluk Islam kalau hanya dibilang bahwa mereka penyembah batu.
Tapi mereka tertarik masuk Islam ketika mereka lihat langsung bagaimana kesamaan derajat manusia dalam Islam, sesuatu yang mustahil mereka dapati dalam ajaran Hindu yang mengenal kasta. Mereka pun tertarik untuk masuk Islam ketika melihat bagaimana jujurnya para saudagar muslim menjalankan bisnis, sementara raja Hindu mereka menindas. Mereka juga kagum terhadap kemajuan teknologi yang umat Islam miliki.
Setelah terkagum-kagum dan masuk Islam, barulah mereka kemudian semakin mendalami agama ini secara baik-baik, tanpa meninggalkan luka di hati karena agama lamanya dihina. Dan otomatis mereka pun meninggalkan tradisi lama mereka yang berbau syirik, setelah hatinya sangat cenderung kepada agama Islam. Itu sudah terbukti secara nyata.
Anti Maulid VS Pendukung Maulid
Dakwah untuk menghilangkan tradisi maulid dan sejenisnya saat ini memang seringkali mengalami kegagalan di banyak tempat, kecuali di komunitas yang amat terbatas. Alih-alih orang meninggalkan tradisi ini, yang terjadi malah serangan balik.
Sebagai indkator, Istana Negara dan masjid Istiqlal yang sudah ada sejak kemerdekaan masih saja mengadakan perayaan Maulid Nabi sampai hari ini, padahal banyak Menteri yang Muhammadiyah, bahkan konon Soeharto pun masih keluarga besar Muhammadiyah.
Keraton Mataram Jogja yang berada tepat di depan hidung kantor Muhammadiyah di Yogya, sampai hari masih melakukan ritual Grebek Mulud. Padahal sejak berdiri Muhammadiyah sudah memerangi bid’ah, khufarat dan tahayul, termasuk maulid, tahlilan dan sejenisnya.
Bayangkan, sesuatu yang sudah jadi darah daging di tengah umat, lepas dari benar atau tidaknya, bahkan sampai urusan hidup atau mati, tiba-tiba dibilang bid’ah di depan umum. Wajar saja bila mereka mengamuk dan melakukan resistensi yang sangat serius.
Padahal kalau kita urusi saja dulu hal-hal yang masih kosong di tengah mereka, misalnya perbaikan ekonomi, ketersediaan lapangan kerja, peningkatan sarana pendidikan, sebagaimana yang dilakukan oleh para misionaris palangis itu, pastilah umat akan semakin dekat dengan ajaran Islam.
Ternyata susah mengubah cara pandang umat selama perut mereka masih lapar. Apalabi tradisi yang mereka warisi dari nenek moyangnya tiba-tiba dibilang bid’ah, tambah ngamuk jadinya.
Dan sampai hari ini kita msaih berbeda pandangan tentang tehnik, bukan pada esensi.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar