Seseorang menjajakan dagangannya melalui pengeras suara. Dia meyakinkan kualitas terbaik barang dagangannya. Orang ramai berdatangan, tertarik pada kampanye yang hebat itu. Namun tidak lama, setelah melihat, mereka pergi sebelum menawar. Pedagang tersebut kecewa dan berkata, "Orang-orang di pasar tidak paham barang berkualitas!"
Pedagang itu telah melupakan hal yang sangat prinsip: bukan pembeli yang harus memahaminya, melainkan pedaganglah yang harus memahami pembeli. Di mana pun, pembeli-lah yang berhak menentukan pilihannya--seperti juga rakyat, memilih yang dikehendakinya.Begitulah. Sejak kemarin, kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden sudah dimulai. Ada tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden. Setiap calon tentu menawarkan gagasannya, menawarkan visi dan misinya untuk masa depan Indonesia. Rakyat akan mendengar, mempertimbangkan, dan kemudian memilih yang mereka inginkan.
Dan, marilah kita lihat beberapa hari ke depan. Kata-kata akan berhamburan ke udara lepas. Atas nama strategi, akan ada calon yang menjual dagangannya dengan menyerang kompetitornya. Mencari kelemahan lawan yang sebelumnya tidak dipersoalkan, dengan tujuan mengangkat citra dirinya. Mereka memuji dirinya untuk mencela calon lain. Ini ibarat membelah bambu: sebelah diinjak, sebelah lainnya diangkat.
Mereka menjadikan lidahnya pisau yang sangat tajam, menusuk dengan kata-kata, tidak peduli itu salah dan menghina logika. Baginya, untuk menang harus menyerang, mencela, bahkan bila perlu hancurkan dengan kampanye hitam. Padahal, mereka mengaku menjalankan perintah agama dengan baik dan benar. Namun, mereka berkata, "Dalam berpolitik, salah dan benar persoalan lain. Mencela adalah hal yang lumrah."Kita akan menolaknya dan berkata tidak karena benar tetaplah benar, salah tetaplah salah. Keduanya tidak akan bertukar tempat, tidak bertukar jalan.
Seorang bijak berkata, "Keunggulan seseorang dan martabat seseorang tidak akan pernah ditentukan oleh kepandaiannya mencela, mengolok-olok, apalagi memfitnah. Ketika seseorang mencela dan merendahkan orang lain, sesungguhnya ia jauh lebih rendah dari orang yang dicelanya. Sebaliknya, ketika ia merendahkan dirinya, bersikap santun, dan beretika, orang akan meninggikannya."
Jadi, janganlah mencela, jangan menghujat, apalagi menaburkan fitnah. Celaan, hujatan, dan fitnah akan berbalik pada diri sendiri. Sufi terkemuka, Jalaluddin Rumi, dalam Fihi ma fihi berkata, " Ketika engkau melihat kesalahan pada saudaramu, kesalahan itu sebenarnya ada dalam dirimu. Tetapi, engkau melihat kesalahan itu terpantul dalam dirimu. Bersihkanlah dirimu dari kesalahan sendiri karena kesalahan yang engkau kira dari orang lain sebenarnya berada dalam dirimu sendiri ".
Maka, berpolitiklah secara santun dan beretika. Sesungguhnya, calon presiden dan wakil presiden yang bisa menjaga lidahnya mampu membuang duri kemarahan, dendam, kebencian dari dalam hatinya, dan telah memenangkan pertarungan atas dirinya sendiri. Musuh manusia bukanlah manusia lainnya, melainkan keburukan hatinya, hawa nafsunya. Kata Rumi lagi, " Mari, kita tinggalkan kekanak-kanakkan dan menuju ke kelompok manusia .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar