Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Berapa jumlah umat Islam sejagat tahun 2009 ini? Data demografis berbeda dalam memberikan informasi. Selama ini kita membaca bahwa jumlah itu bergerak antara 1,2 s.d. 1,3 miliar. Tetapi, sumber Muslim yang terbaru menunjukkan bahwa jumlah umat Islam telah mencapai angka 1,82 miliar, sementara sumber CIA (Central Intelligence Agency) Amerika mencatat jumlah 1,634,948,648 dari total penduduk dunia 6,780,584,602. Dengan rata-rata pertumbuhan penduduk Muslim 2,9 persen dibandingkan angka rata-rata pertambahan penduduk dunia 2,3 persen per tahun, Islam adalah agama yang tercepat mendapatkan penganut baru akibat kelahiran plus pendatang baru yang juga tidak sedikit jumlahnya. Sekarang di hampir semua negara Uni Eropa, Islam sudah berada pada posisi kedua sesudah agama Kristen. Jika kecenderungan ini berjalan stabil, pada tahun 2020 satu dari 10 warga Eropa adalah Muslim.
Angka-angka pertumbuhan spektakuler ini bisa pula dilihat dalam perjalanan waktu sebagai berikut. Pada tahun 1900, perbandingan antara umat Kristen dan Muslim adalah 26.9 persen:12.4 persen; tahun 1980 30 persen:16.5 persen; tahun 2000 29.9 persen:19.2 persen; dan diproyeksikan di tahun 2030 akan berubah menjadi 25 persen Kristen dan 30 persen Muslim. Mereka bertebaran pada 183 negara (data tahun 2009). Sampai saat ini, rekor penduduk Muslim terbesar masih terpegang di tangan Indonesia, yaitu sekitar 88.22 persen dari total penduduk sekitar 235 juta. Yang ajaib adalah fenomena pasca-Tragedi 9/11/2001, di saat Islam diidentikkan orang dengan terorisme, keingintahuan warga Barat terhadap agama ini justru meningkat tajam. Salah satu indikatornya menurut catatan Karen Armstrong pada 2007 saja karyanya Understanding Islam telah terjual sebanyak 250 ribu kopi di kawasan Pantai Timur Amerika Serikat. Kita belum punya informasi di kawasan lain, baik di belahan bumi Barat ataupun di belahan bumi Timur.
Jika angka-angka di atas menunjukkan kebenaran, umat Islam yang bangga berpikir serbakuantitatif, apa lagi yang harus dirisaukan? Tidak ada! Jumlah umat semakin meng- garadak (Minang: banyak sekali). Dengan angka kelahiran yang cukup tinggi per tahun, pertambahan penduduk Muslim sedunia seperti sudah tidak dapat dibendung. Saat ini, ke negara mana pun anda mengembara, hampir dapat dipastikan bahwa di sana akan ada saudara seagama yang tinggal, menetap, atau sementara. Tetapi, jika kita mau berpikir jauh ke depan secara perhitungan, kebanggaan jumlah kuantitatif itu wajib secepatnya diiringi oleh kebanggaan kualitatif. Artinya, kualitas umat Islam, dalam posisi sekarang, dari sisi mana pun anda memandangnya, masih jauh di bawah standar. Kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan perpecahan adalah fenomena lain yang sesungguhnya lebih patut benar dicemaskan. Jumlah besar minus kualitas, jika mau dibanggakan juga, itu semua adalah kebanggaan semu yang membebani. Ayat-ayat ilmu dalam Alquran telah lama bernasib sebagai yatim piatu dalam kehidupan kita sampai batas-batas yang jauh.
Tengoklah kenyataan ini. Umat Islam yang katanya percaya pada lima ayat pertama dalam surat al-Alaq sebagai wahyu pertama yang diturunkan Allah via Jibril kepada Nabi Muhammad berupa perintah untuk membaca, akan terasa sangat ironis dan di luar nalar mengapa mereka telah tersungkur dan sempoyongan dalam bilangan abad dihimpit kebodohan dan kemiskinan? Kaum Muslimah yang jumlahnya mungkin melebihi kaum pria, di sebagian dunia Islam, jangankan diberi pendidikan agar menjadi cerdas, justru sampai hari ini masih ada yang dipasung di rumah di lingkungan 'rahmat' buta aksara, yang menghina martabat mereka. Bukankah lima ayat di atas yang diawali dengan perintah 'membaca' ditambah dengan puluhan ayat yang lain sebenarnya adalah deklarasi tentang mustahaknya penguasaan ilmu pengetahuan untuk seluruh umat Islam? Sudah berapa lama umat ini hidup dalam kultur buta huruf yang sangat memprihatinkan? Dari sisi moral pun, kita bukanlah yang terbaik di antara umat manusia sekarang. Berbilang musim sudah kita telantarkan Alquran, mungkin tanpa sadar, sedangkan pertambahan jumlah umat semakin berjibun juga dari detik ke detik, sebagaimana ditunjukkan angka-angka di atas. Membiarkan keadaan semacam ini berlangsung lama, sama artinya kita telah mengkhianati seluruh perintah suci Alquran yang secara formal kita agungkan
Senin, 31 Agustus 2009
Kuantitas vs Kualitas (I)
Puasa yang Terhormat
Oleh A Mustofa Bisri
Setiap kali memasuki bulan suci Ramadhan, kita selalu mendengar atau membaca seruan, ''Hormatilah bulan Ramadhan!'' atau ''Hormatilah orang puasa!''
Saya tidak tahu dari mana asalnya seruan ini. Mengapa di negeri beragama ini harus ada seruan itu? Sejak kapan Ramadhan minta dihormati? Apakah tanpa seruan menghormati Ramadhan, Ramadhan tidak dihormati? Bukankah sejak awal Ramadhan sudah terhormat?
Lalu, bagaimana kita menghormati Ramadhan atau menghormati orang berpuasa? Apakah ramai-ramai men-sweeping warung orang termasuk menghormati atau menodai Ramadhan dan orang yang berpuasa? Apakah memakmurkan rumah dengan tayangan televisi yang rata-rata lebih bersifat hura-hura termasuk menghormati Ramadhan atau justru merendahkan Ramadhan?
Apakah fatwa haram mengemis itu termasuk menghormati Ramadhan atau justru meledek Ramadhan? Apakah demo menuntut dihormatinya Ramadhan itu termasuk menghormati atau menghina Ramadhan?
Mengapa di bulan suci ini kita tampaknya--tetap--lebih mengurusi orang lain daripada diri sendiri. Bukankah di bulan suci ini kesempatan paling baik untuk menyucikan diri. Momentum paling pas mengevaluasi sikap dan amal kita.
Jangan-jangan karena terlalu sibuk melihat, mengawasi, dan meneliti sikap dan perilaku orang lain, diri kita terabaikan. Karena terlalu asyik mencari kesalahan orang, kesalahan sendiri tak terdeteksi. Siapa tahu, sementara kita terus menilai dan menghitung amal orang, kita lupa amal sendiri.
Dalam puasa seperti sekarang inilah, saya pikir saat yang tepat bermuhasabah, mawas diri. Apakah selama ini ucapan dan tindakan kita sudah sesuai atau justru menyimpang dari tuntunan dan contoh dari pemimpin agung kita Muhammad SAW.
Juga puasa kita, sudahkah merupakan 'puasa yang terhormat'. Puasa yang mempunyai nilai luhur dan suci sebagaimana diharapkan. Puasa yang tidak hanya meninggalkan makan dan minum.
Bukankah Rasulullah SAW dalam hadis sahih telah bersabda, '' Man lam yada' qaulazzuuri. '' Artinya, ''Barang siapa tidak meninggalkan bicara buruk dan perbuatan buruk, Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minum.''
Allah SWT mewajibkan puasa agar kita benar-benar menjadi hamba-Nya yang bertakwa (QS Albaqarah [2]: 183). Puasa yang diterima Allah SWT dan menyebabkan dosa kita yang berpuasa diampuni ialah puasa yang ikhlas, iimaanan wahtisaaban , semata karena iman dan mencari ridha Allah SWT.
Semoga kita dapat berpuasa dengan tulus hanya karena Allah SWT dan dapat menghindari sikap, ucapan, dan perilaku yang menodai kehormatan bulan suci Ramadhan ini sendiri. Dan, semoga Allah SWT menerima puasa dan amal kita yang lain.
Sabtu, 29 Agustus 2009
Utang Indonesia pada Umat Islam
Oleh Herry Nurdi
Penulis, Wartawan Islam
Perkembangan penyelesaian masalah terorisme di Indonesia, menuju arah yang sangat tidak kondusif bagi kaum Muslimin di negeri ini. Berbagai pernyataan dan statement yang dilontarkan oleh beberapa pihak, baik secara resmi atau selentingan, telah melahirkan dampak yang sangat serius bagi gerakan dakwah di negeri ini. Tentu saja perkembangan ini harus dikawal dalam koridor yang benar agar tak menimbulkan keresahan baru yang bernama kecurigaan komunal.
Bayangkan saja, jika seorang psikolog menyebutkan bahwa kegiatan-kegiatan rohis (Rohani Islam) yang ada di sekolah menengah umum adalah bahan baku dari tindak kekerasan. Ditambah lagi, dengan seorang yang mengaku pengamat, berkata dengan senyum di bibir bahwa pendanaan kegiatan terorisme juga berasal dari mobilisasi zakat, infak, dan sedekah. Semua ditayangkan di televisi dalam siaran live yang tentu saja tanpa filter rasa keadilan bagi umat Islam.
Pada tahap yang lebih awal, pesantren telah menuai kecurigaan. Begitu juga, dengan kegiatan dakwah. Dan, hari ini kita saksikan, betapa aktivis dakwah berada dalam suasana terintimidasi. Jenggot, celana cingkrang, baju koko, cadar, dan dahi yang hitam menjadi atribut pelengkap yang mengantarkan kecurigaan. Dengan segala hormat pada semua pihak yang terlibat, Pemerintah Indonesia tidak boleh menjadi pemerintah yang kelak akan dicatat sebagai pemerintah yang menindas umat Islam.
Masih dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan, sekadar mengingatkan sejarah yang mungkin terlupa. Negeri ini memiliki utang yang tak terbayar pada perjuangan yang telah diberikan umat Islam. Hanya untuk mengambil beberapa contoh, Pangeran Diponegoro, memakai simbol-simbol dalam memimpin Perang Jawa melawan penjajah Belanda. Dengan serban, baju putih panjang, dan yang paling penting, dengan ajaran Islam Pangeran Diponegoro memimpin perang yang dalam sejarah Belanda disebut-sebut sebagai perang, yang hampir menenggelamkan negeri penjajah itu dengan kebangkrutan.
Baca saja nama panjang dan gelar Pangeran Diponegoro. Sultan Abdulhamid Erucakra Sayidin Panatagama Khalifat Rasulullah Sayidin Panatagama. Dengan sadar, Pangeran Diponegoro mencantumkan nama Sultan Abdulhamid, yang saat itu menjadi Khalifah Turki Utsmani sebagai jaringan perjuangannya. Bahkan, pemilihan nama Sultan pada periode Sultan Hamengkubuwono I adalah simbol perlawanan secara halus pada kekuatan VOC, penjajah Belanda. (Soemarsaid Moertono, 1985; P Swantoro, 2002).
Tapi, hari ini, simbol yang mampu menggalang kekuatan perjuangan kemerdekaan itu dicurigai. Pencantuman hubungan internasional, dengan Mesir, Turki, Arab Saudi, disebut dengan transnasional yang juga diucapkan dengan nada penuh kecurigaan. Dulu, simbol-simbol itu berperan sangat besar memerdekakan negeri ini.
Begitu pula, dengan slogan dan pekik perjuangan, Islam dan kaum Muslimin menorehkan sejarah yang tak bisa dihapus dan harus diingat lagi ketika jihad disudutkan seperti saat sekarang. Bung Tomo, menggerakkan Arek-arek Suroboyo melawan agresi militer ulang yang dilakukan penjajah Belanda, dengan pembukaan kalimat Bismillahirrahmanirrahim dan ditutup dengan Allahu Akbar yang disandingkan dengan kata Merdeka.
Saoedara-saoedara ra'jat Soerabaja,
Siaplah keadaan genting
. Tetapi saja peringatkan sekali lagi, djangan moelai menembak,
Baroe kalaoe kita ditembak, maka kita akan ganti menjerang mereka itu.
Kita toendjoekkan bahwa kita adalah benar-benar orang jang ingin merdeka.
Dan oentoek kita, saoedara-saoedara lebih baik kita hantjur leboer daripada tidak merdeka.
Sembojan kita tetap: Merdeka atau Mati.
Dan kita jakin, saoedara-saoedara,
pada akhirnja pastilah kemenangan akan djatuh ke tangan kita
sebab Allah selaloe berada di pihak jang benar
pertjajalah saoedara-saoedara,
Toehan akan melindungi kita sekalian
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!
Maka sekali lagi, negara ini boleh menjadi negara yang anti terhadap pekikan Allahu Akbar dan seruan-seruan dakwah yang mengajak menuju kebaikan dan kebenaran.
Ketika Republik Indonesia masih sangat belia, negara ini pernah menjadi Republik Indonesia Serikat sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar. Indonesia terpecah-pecah menjadi 17 negara bagian. Penjajah Belanda tidak akan ridha dan ringan hati melepaskan Indonesia sebagai negeri yang merdeka dan berdaulat. Andai saja Mohammad Natsir, tidak tampil dengan pidatonya yang kini dikenal dengan Mosi Integral Natsir, tentu seluruh pemimpin bangsa hari ini tidak akan bisa menyebut dengan bangga kalimat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebab, berdirinya RIS meminta konsekuensi besar. Terjadi rasionalisasi atas kekuatan Tentara Nasional Indonesia. Perwira-perwira penjajah Belanda menjadi penasihat TNI. Pejuang dan tentara rakyat dirumahkan. Sebagai gantinya, Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) diintegrasikan ke dalam tubuh TNI. Bagaimana mungkin negara ini akan kuat, jika di dalam tulang punggung yang menjaga kemerdekaannya, berdiri jenderal-jenderal penasihat dan unsur-unsur dari kalangan penjajah?
Dalam sidang RIS tahun 1950, Mohammad Natsir, seorang pemimpin dakwah di negeri ini, seorang dai, seorang ustaz, seorang ulama, tampil menyelamatkan Indonesia. Maka, dengan segala hormat, TNI dan Kepolisian Republik Indonesia tidak boleh menjadi alat negara yang berperilaku sewenang-wenang pada umat Islam Indonesia.
Apalagi, ditambah sebuah fakta sejarah tentang seorang pejuang bernama Jenderal Soedirman. Seorang guru madrasah Muhammadiyah, yang memimpin gerilya perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jenderal Soedirman adalah seorang guru agama. Mengisi ceramah dan mengajar mengaji keliling di wilayah-wilayah Cilacap dan Banyumas. Jabatannya di Muhammadiyah adalah wakil ketua Pemuda Muhammadiyah Karisidenan Banyumas.
Wilayah yang sama saat ini dicurigai polisi sebagai sebagai kawasan persembunyian buronan yang dicari. Maka sekali lagi, dengan segala hormat, polisi, aparat keamanan, bahkan masyarakat tidak boleh menaruh curiga pada ustaz, guru mengaji, apalagi ulama yang telah membuktikan diri menjaga negeri Allah bernama Indonesia yang semoga dilimpahi berkah.
Pasti tidak terlambat mengucapkan selamat hari kemerdekaan. Kaum Muslimin tidak pernah menganggap perjuangan sebagai piutang yang harus dibayar. Tapi, umat Islam sangat yakin, negara ini adalah negara yang besar yang tak akan melupakan sumbangsih perjuangan umat Islam. Wallahu a'lam .
Kekuatan Moral
Oleh A Ilyas Ismail
Manusia dinamai makhluk moral, karena setiap saat ia selalu dihadapkan pada pilihan baik dan buruk. Berbeda dengan malaikat, manusia tidak menjadi baik dan bermoral dengan sendirinya.
Kualitas moral dan keluhuran budi pekerti (akhlaq al-karimah), menurut filosof akhlak Ibn Maskawaih, merupakan produk atau buah dari usaha dan ikhtiar manusia sepanjang hayatnya. Karena itu, setiap orang perlu mengasah, mengasuh, dan mengembangkan potensi serta kekuatan moralitasnya (moral power) secara konsisten.
Lantas, apa kekuatan moral itu? Bagi al-Ghazali, kekuatan moral adalah kemampuan mengelola dan mengendalikan diri dari kecenderungan-kecenderungan yang bersifat destruktif. Jiwa manusia, kata Ghazali, memiliki kesempurnaannya sendiri sehingga ia selalu terbuka dengan perubahan dan perbaikan menuju puncak-puncak kemuliaan dan keluhuran budi pekerti.
Dalam bahasa modern, kekuatan moral dipahami sebagai komitmen etis dalam arti keyakinan yang kuat pada kebaikan atau apa yang diyakini sebagai kebaikan, lalu bertindak atas dasar keyakinan itu sehingga seorang bersikap benar dan mulia. Bertolak dari pandangan ini, maka seorang disebut kuat secara moral manakala ia memiiki kemampuan menyangkut empat hal ini.
Pertama, memiliki komitmen yang kuat pada kebenaran dan kebaikan. Kedua, mampu mengidentifikasi apa yang baik dan apa yang buruk. Ketiga, mampu melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Keempat, mampu memengaruhi orang lain agar berbuat baik (al-amr bi al-ma'uf) dan mencegahnya dari keburukan (al-nahy-u 'an al-munkar).
Seperti diamanatkan Allah SWT, ''Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.'' (QS Ali Imran [3]: 110)
Kekuatan moral, bagi al-Ghazali, lahir dan berpangkal dari empat sifat keutamaan. Pertama, kearifan (hikmah) dalam arti ilmu dan wawasan yang luas. Kedua, keberaniaan (syaja'ah), yakni kematangan jiwa (maturity) yang membebaskan manusia dari sifat penakut dan gegabah.
Ketiga, kedermawanan (sakhawah) dalam arti kemampuan berbagi rasa dan kegembiraan kepada orang lain, khususnya kaum dhuafa. Keempat, keadilan (al-'adl), yaitu sikap dan jalan tengah (moderat) dalam beragama sehingga terhindar dari sikap ekstrem, baik kanan (al-ifrath) maupun kiri (wa al-taftith).
Sifat-sifat keutamaan ini, menurut Ghazali, merupakan ciri dan karakter orang-orang mukmin sejati. Semoga kita mampu mengembangkan kekuatan moral sebagai pangkal kekuatan-kekuatan yang lain demi kesuksesan dan kemuliaan kita sebagai umat dan bangsa. Wallahu a'lam.
Pidato Kenegaraan
Oleh Anang Rikza Masyhadi
Beberapa saat setelah dilantik sebagai khalifah pengganti Rasulullah SAW, Abu Bakar as-Shiddiq RA segera menyampaikan pidato kenegaraannya.''Sesungguhnya saya menjadi pemimpin kalian ini bukan berarti lebih baik dari kalian. Jika saya benar dalam menjalankan amanat ini, bantulah! Dan seandainya salah dan menyimpang, luruskanlah! Taatilah aku selama diriku menaati Allah SWT. Jika saya maksiat kepada-Nya, tidak ada lagi kewajiban taat kepadaku.''
Inilah pidato kenegaraan pertama dalam sejarah Islam yang disampaikan Abu Bakar RA secara spontan. Tradisi ini diikuti khalifah berikutnya, yaitu Umar ibn al-Khattab RA.Ketika Umar RA sedang berpidato, tiba-tiba ada yang menginterupsi, ''Seandainya nanti kami melihat penyimpangan dalam dirimu, kami akan meluruskannya dengan pedang.''Umar menimpali dengan senyum, ''Alhamdulillah, Mahasuci Allah yang telah mengirimkan dalam umat ini, orang yang akan meluruskan penyimpangan Umar dengan pedangnya.''
Itulah kebesaran jiwa Abu Bakar dan Umar sebagai pemimpin. Perbuatan pertama keduanya sejak dilantik menjadi khalifah ialah membuka diri bagi kontrol publik, menjadikan kepemimpinannya bersifat umum, dan menyandarkannya pada musyawarah.Meskipun hampir secara mayoritas memilih Abu Bakar RA menjabat sebagai khalifah pengganti Rasulullah SAW, namun tak berarti sama sekali tidak ada penentangan atau oposisi waktu itu.Sahabat Sa'ad ibn Ubadah ialah salah seorang yang menentang pengangkatan Abu Bakar RA, hingga ia memilih keluar menuju Suriah. Demikian halnya dengan Zubair ibn al-Awwam, sepupu Rasulullah SAW, serta Ali ibn Abi Thalib RA.
Ketika sahabat Ali RA melontarkan pernyataan yang menuduh Abu Bakar RA bahwa, ''Engkau telah merusak urusan kami dan tidak pula memelihara hak kami,'' Abu Bakar sama sekali tidak marah, apalagi menganggapnya sebagai tindakan kriminal dan subversif.Bahkan, Abu Bakar menjawabnya dengan tenang, sebagaimana dikisahkan Al-Mas'udi dalam Muruj al-Dzahb wa Ma'adin al-Jawhar , ''Benar demikian, tapi saya hanya takut bila terjadi fitnah pada umat, karena kaum Muhajirin dan Anshar saling berargumen panjang ketika berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah dan saling memperebutkan kepemimpinan.''
Inilah pendidikan politik untuk umat bahwa kepemimpinan harus didasarkan pada musyawarah, betapapun hebatnya seorang pemimpin dan unggulnya pribadi yang bersangkutan. Pesan pentingnya, pemimpin terpilih tidak selalu yang paling unggul, tapi sekadar the first among the equals .Karena itu, ia harus rendah hati menerima masukan orang lain. ''Sebab itu sampaikanlah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.'' (QS Azzumar [39]: 18).
Berbisnis dengan Allah
Oleh Fauzi Bahreisy
Seiring datangnya bulan Ramadhan, tiba saatnya bagi kaum Muslimin untuk meningkatkan dan mengoptimalkan transaksi bisnis dengan Allah SWT. Tentu transaksi itu bukan dalam bentuk jual beli benda atau barang, tapi amal saleh dan aktivitas ibadah.
''Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan bisnis yang tidak akan merugi.'' (QS Fathir [35]: 29).
Allah SWT memosisikan amal ibadah sebagai bentuk transaksi bisnis. Bahkan, digambarkan sebagai bisnis yang tak akan merugi. Jika berbisnis dengan manusia, adakalanya membawa keuntungan dan kerugian. Namun, berbisnis dengan Allah SWT selalu membawa keberuntungan.
Itu tak aneh, sebab Allah SWT adalah Zat Yang Mahapemurah, Mahakaya, Mahakasih, dan tak pernah ingkar janji. Ketika manusia bertransaksi dengan Allah SWT, tidak akan ada kecurangan dan penipuan, tapi balasan berlipat dan ganjaran tak terukur dengan harta dunia.Amal yang tidak seberapa dibalas surga yang tak terbeli dengan dunia dan seisinya. ''Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.'' (QS Attaubah [9]: 111).
Sungguh sebuah bisnis yang sangat menarik dan memikat. Manusia sebagai penjual dan Allah SWT sebagai 'pembeli'. Hanya saja, setiap pembeli tentu tak akan sembarang memilih barang yang akan dibeli.Di antara sekian banyak yang ditawarkan, hanyalah barang-barang yang berkualitas dan bermutu baik yang akan dibeli. Demikian pula dengan Allah SWT.
Tak semua amal ibadah secara otomatis diterima-Nya. Apalagi jika amal itu dikerjakan asal-asalan dan serampangan. ''Dia yang menjadikan mati dan hidup untuk menguji kalian siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.'' (QS Almulk [67]: 2).Jadi, di antara sekian banyak amal manusia, hanya amal berkualitas yang dipilih dan diterima Allah SWT. Standar penilaian dan penerimaan bukan sekadar banyaknya jumlah atau kuantitas, tapi yang lebih penting mutu dan kualitas.
Karenanya, tidak heran jika Rasulullah SAW bersabda, ''Bisa jadi orang yang berpuasa tidak mendapat apa-apa kecuali lapar saja. Serta bisa jadi orang yang melakukan qiyam (shalat tarawih) tidak mendapat apa-apa kecuali begadang semata.'' (HR An-Nasa'i).
Dari sini Fudhayl ibn Iyadh memberikan satu rambu dan penjelasan. Agar amal ibadah manusia berkualitas dan diterima Allah SWT, amal itu harus dikerjakan dengan penuh keikhlasan dan sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Itulah dua syarat yang harus ada dalam seluruh amal.
Sabtu, 22 Agustus 2009
Republika Online
Oleh M Fathurahman
Filantropi atau kedermawanan merupakan perintah Allah SWT kepada setiap manusia. Dengan cara bederma, setidaknya manusia bisa memahami kesulitan yang dirasakan orang lain.
Cara ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk sosial, antara satu dan lainnya saling membutuhkan. Dermawan adalah sifat yang sangat terpuji lagi mulia.
Allah SWT pun memiliki sifat al-Karim, yakni Yang Mahadermawan. Jika bukan karena kedermawanan Allah SWT, kita pasti tak punya apa-apa, tidak ada kesejahteraan, tidak pula makmur dan tenteram."
Jumat, 21 Agustus 2009
Republika Online
Agus Purwanto
(Fisikawan/penulis buku)
Tahun ini, menurut ahli hisab, tidak terjadi perbedaan di antara kelompok besar umat Islam Indonesia dalam mengawali awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Tetapi, pada 2010 akan terjadi perbedaan. Terjadinya perbedaan awal bulan atau bulan baru (new month) di tempat yang sama jelas menyiratkan adanya sesuatu yang salah.
Perbedaan awal bulan qomariyah dapat diketahui jauh sebelumnya karena adanya perbedaan kriteria awal bulan di antara sesama pengguna hisab. Kriteria tersebut adalah imkanur rukyat (batas bawah kemungkinan hilal dapat dilihat) dan wujudul hilal (hilal eksis meski tidak dapat dilihat). Bulan Purnama dapat dijadikan hakim pemutus awal bulan mana yang benar yang selanjutnya juga memberi arahan kriteria mana yang mestinya ditetapkan."
Republika Online - Prinsip Kemerdekaan
Oleh Ahmad Syaikhu
Sebuah mahfudzhat (kata-kata bijak) menyebutkan, ''Kemerdekaan seorang manusia dibatasi oleh kemerdekaan manusia lainnya.''
Artinya, kemerdekaan yang dimiliki setiap individu tidaklah bebas tanpa batas, tapi memiliki batasan yang memayungi di antara hak dan kewajiban terhadap pribadi atau orang lain.
Dimulai dari hak dan kewajiban, kemerdekaan dapat dimaknai dari dua sisi. Pertama, menyadari bahwa kemerdekaan tidak datang dengan sendirinya meski ia adalah fitrah. Dan, kemerdekaan adalah anugerah besar Allah SWT yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya."
Republika Online - Hakikat Hidup
Oleh Cucu Surahman
Tidak banyak orang tahu atau sadar bahwa kehidupan dunia ini hanyalah fana dan sementara. Hal ini terbukti dari masih banyaknya orang yang lebih mementingkan urusan dunia daripada akhirat.
Bahkan, mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta, pangkat, dan jabatan. Mereka seakan lupa bahwa manusia hidup di dunia layaknya pengembara.
Berjalan dari satu tempat ke tempat lain, lalu singgah di satu tempat untuk sementara, lalu pergi lagi karena tempat itu bukan tujuannya. Hal ini seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Umar."
Republika Online
Oleh Imam Nur Suharno
Puasa di bulan Ramadhan bisa diibaratkan sekolah khusus yang ajaran barunya selalu dibuka setiap tahun. Tujuannya setara dengan pendidikan praktis dalam menyerap nilai-nilai yang paling tinggi.
Barangsiapa memasukinya untuk mendapatkan karunia Ilahi, kemudian berpuasa sesuai aturan yang ditetapkan, lalu melakukan ibadah tambahan sesuai syariat, maka ia akan lulus dengan menyandang gelar muttaqin. Dengan gelar muttaqin, seseorang akan mendapatkan jaminan ampunan dari Allah SWT dan terbebas dari api neraka."
Ramadhan: Bulan Tarbiyah dan Investasi
Oleh Mohammad Nuh
Menteri Komunikasi dan Informatika
Dikisahkan ada dua orang anak, adik dan kakak, masing-masing berusia 8
dan 10 tahun. Mereka ditinggal mati Sang Ayah akibat kecelakaan di saat usia mereka 5 dan 7 tahun. Menjelang awal Ramadhan, mereka berdua saling berboncengan naik sepeda pancal menuju makam Sang Ayah.
Setelah sampai di tempat pemakaman Sang Ayah, sepedanya disandarkan di pagar pemakaman. Sang kakak menggandeng tangan adiknya menuju pusara Sang Ayah. Mereka berdua duduk bersila di dekat pusara Sang Ayah, sambil membaca Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas.
Empat surah itu saja yang mereka baca secara berulang-ulang. Setelah mereka membaca surah-surah tersebut Sang Kakak memimpin doa dan adiknya ikut mengaminkan. Doa yang dibacanya pun tampak seperti lazimnya yang dibaca oleh orang lain yaitu: Rabbighfirlii walii walidayya warhamhuma kamaa robbayaanii shoghiiroo (Ya Allah, Ya Tuhanku, ampunilah aku, dan kedua orang tuaku dan kasih sayangilah mereka sebagaimana mereka telah mendidik dan mengasihsayangiku di waktu kecil).
Mereka membacanya secara berulang-ulang dan ditutup dengan doa Robbana aatina fiddunya hasanah wafil aakhiroti hasanah waqina 'adzabannar. Sambil berbinar-binar mata mereka berdua, mereka tinggalkan pusara Sang Ayah, mereka kembali pulang sambil berboncengan menuju rumah yang amat sederhana, di mana ibu mereka sedang menunggu.
Kisah di atas menggambarkan Sang Ayah termasuk orang yang berhasil melakukan investasi kehidupan. Meskipun dia hanya sempat berinvestasi selama 5 dan 7 tahun, dia telah menerima pengembalian, buah dari investasi yang pernah dia lakukan.
Bagaimana dengan kita semua, betapa malunya kita, meskipun orang tua kita telah mengantarkan sampai kita lulus perguruan tinggi, bahkan sampai kita berkeluarga, ternyata kita masih terlalu sering membuat jengkel hati kedua orang tua kita. Kita masih belum mampu sepenuhnya membahagiakan kedua orang tua kita.
Percayalah, apa saja kebaikan yang pernah kita lakukan, merupakan investasi. Pada saatnya insya Allah kita akan memetik buah investasi itu, selama kita tidak merusaknya sendiri dengan cara menyebut-nyebut, riya', mengungkit-ungkit, dan menyakitkan hati si penerima investasi. (QS 2:264).
Memasuki Ramadhan, kisah ini perlu direnungkan. Kenapa? Karena pada Ramadhan inilah suasana dan lingkungannya memungkinkan dan mendorong kita melakukan kontemplasi, introspeksi spiritual terhadap apa-apa yang telah, belum, dan akan kita lakukan.
Terhadap ayah dari dua anak tadi, sesungguhnya dia merupakan orang tua yang telah melakukan pendidikan terhadap kedua anaknya, sekaligus melakukan investasi yang tepat dan benar. Kata investasi adalah kata yang bagi kebanyakan orang seringkali dikaitkan dengan kesediaan untuk melepaskan kepemilikannya demi masa depan. Baik masa depan yang sifatnya kekinian (di dunia ini) maupun masa depan yang sifatnya kenantian (nanti di akhirat).
Buah masa depan hanya dapat digapai, bila dan hanya bila kita telah pernah menanamnya. Oleh karena itu, tepatlah sebuah pepatah: man zaro'a hashoda (barangsiapa yang menanam akan memetik hasilnya) atau yang dirumuskan dalam formula Return of Investment (ROI). Mengapa kita harus dan bersedia berinvestasi? Hampir semua jawaban selalu mengaitkan dengan keyakinan akan adanya pengembalian yang lebih baik di masa depan, sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan.
Seorang petani yang menaburkan benih padi di hamparan sawah, karena sang petani memiliki keyakinan, bahwa benih padi yang baik tadi akan tumbuh dan menghasilkan padi jauh lebih banyak dari benih yang telah dia taburkan. Syarat kedua, sang petani harus dengan sabar merawatnya, insya Allah pada saatnya nanti, padi tersebut akan tumbuh dengan baik dan memberikan hasil.
Hasil investasi tadi tidak lain untuk memenuhi kebutuhan, dan sukses dalam kehidupan kalau kita bisa memenuhi kebutuhan. Demikian, kata para ahli hikmah. Dan puncak kebutuhan itu terjadi pada saat, apabila kemungkinan partisipasi orang lain dalam memenuhi kebutuhan tersebut sangat kecil. Atau dalam bahasa yang lain, dalam memenuhi kebutuhan tersebut, semata-mata tergantung pada diri kita sendiri.
Ada dua saat, tiap orang akan mengalami puncak kebutuhan, yaitu pada saat sakarotul maut (menjelang kematian) dan di saat kita telah dimakamkan. Pada saat sakarotul maut itu, yang menjadi kebutuhan kita (dalam Islam) adalah kita tetap berpegang teguh kalimah tauhid: Laa Ilaaha Illallah, Muhammadan Rasulullah. Di saat-saat seperti ini, tidak banyak orang yang akan berpartisipasi untuk memenuhi puncak kebutuhan kita. Paling-paling anak, istri, suami atau keluarga dan sahabat dekat. Pendek kata, hanya orang-orang yang memiliki emotional attachment dengan kita yang berpartisipasi dalam memenuhi puncak kebutuhan tersebut.
Itulah sebabnya, mengapa kita tidak menjenguk orang yang sedang opname di rumah sakit, meskipun kita tiap hari lewat di depan rumah sakit tersebut. Dan meskipun kita sadar sesadarnya, bahwa menjenguk orang yang sedang sakit itu adalah perbuatan yang sangat terpuji. Jawabannya sederhana, karena tidak ada emotional attachment antara si sakit dengan kita.
Anak, istri, dan suami yang shaleh/shalehah di saat kita menghadapi sakarotul maut tersebut bukan hanya sibuk mencari dokter, obat, tapi dia juga ambil air wudhu, dibentangkan sajadah, shalat sunnah, berdoa, dan membisikkan, membimbing dengan kalimah tauhid dan kalimah thoyyibah lainnya. Karena memang itulah, hakikat yang kita butuhkan di saat sakarotul maut.
Alangkah sedihnya, di saat kita mengalami puncak kebutuhan, ternyata orang-orang dekat kita tidak paham akan hakikat yang kita butuhkan. Di sinilah pentingnya kesadaran dan kesediaan diri kita untuk melakukan investasi kehidupan, membangun lingkungan dan generasi yang berdimensi kaffah, yaitu insan kamil, insan yang cerdas, santun, dan berkepribadian.
Itulah salah satu makna Ramadhan yaitu sebagai bulan tarbiyah (pendidikan) dan investasi, karena di dalamnya serangkaian janji Allah SWT menjelaskan terhadap berlipat gandanya amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunah. Marilah kita songsong Ramadhan dengan penuh suka cita, kita siapkan diri ini untuk memasuki Ramadhan dengan perhitungan-perhitungan yang matang. Memang, ibadah tidak hanya soal hitung-menghitung, tapi mendasarinya dengan itu, bukanlah sesuatu yang salah. Semoga. Amin.
Selasa, 18 Agustus 2009
Republika Online - KH Tarmizi Taher: Masjid Harus Menunjukkan Dinamika Sosialnya
Republika Online - Dr Hj Tutty Alawiyah: Muslim dan Muslimah Dapat Berdiri Sama Tinggi
Republika Online - KH Masyhuri Baedlawi: Terkadang Hadis Dhaif Masih Digunakan
Republika Online - Dr Thomas Djamaluddin: Ada Titik Terang dalam Penetapan Hilal
Republika Online - KH Hasyim Muzadi: Saatnya Pesantren Mengintelekkan Santri
Republika Online - Dr Muchlish Hanafi MA: Memahami Alquran Tidak Bisa Sepotong-sepotong
Republika Online - Prof Dr Muhibbin: Hadis Palsu dan Lemah dalam Sahih Bukhari
Republika Online - Penghalang Keberkahan Nikmat
Puasa--Sebuah Jembatan Emas
Kusmayanto Kadiman
(Menteri Negara Riset dan Teknologi)
Saudara saudara, apakah yang dinamakan merdeka?'' tanya Soekarno berapi-api di hadapan 30 orang lebih anggota Badan Pemeriksa Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Lalu, Soekarno menjawabnya sendiri. ''Tak lain tak bukan ialah suatu jembatan, satu jembatan emas--di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat--di seberang jembatan emas inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi.'' Dalam salah satu khotbahnya, Rasulullah SAW yang diceritakan Salman Al-Farisi berkata, "Dan, ia (Ramadhan) adalah bulan yang awalnya merupakan rahmat, pertengahannya merupakan ampunan, dan akhirnya sebagai pembebas dari api neraka." (HR Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah).
Dari cuplikan pidato yang membakar semangat dari presiden Soekarno dan hadis Rasulullah SAW yang menyejukkan di atas, marilah kita petik maknanya. Bukan hanya yang tersurat kita cermati, kita sibak yang tersurat untuk memahami apa yang tersirat. Kita kaitkan semangat yang dibakar presiden Soekarno dengan hikmah serta pahala yang akan kita raih dari ibadah suci di bulan Ramadhan ini.
Pidato Soekarno jelas menggelorakan pentingnya status merdeka bagi masyarakat Indonesia, merdeka dari penjajahan yang mengungkung. Kemerdekaan adalah jembatan emas bagi kita untuk bebas menentukan keinginan kita sebagai bangsa yang selama masa penjajahan Belanda dan Jepang tidak ada di tangan kita. Enam puluh empat tahun kemudian, sejak Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, kita telah menyeberangi jembatas emas yang kita impikan itu. Kini, kita sudah berada di seberang sudah bebas merdeka. Kini, pasti sering kita mendengar suara dengan nada bertanya yang mengiang di kuping dan di hati kita--sudahkah mimpi para pejuang kemerdekaan itu menjadi kenyataan? Aku yang telah melintas di jembatan emas itu, apa yang sudah aku lakukan di tanah impian ini? Sejauh mana cita gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi yang dikumandangkan presiden Soekarno itu telah kita gapai?
Walau pertanyaan-pertanyaan tersebut terkesan hanya relevan untuk mengisi perayaan Hari Kemerdekaan RI, di bulan suci ini mari kita cari relevansinya dengan ibadah puasa yang diamanahkan-Nya pada kita di Ramadhan. Bulan yang begitu didambakan ketibaannya oleh seluruh umat Islam sedunia. Jika dalam menunaikan ibadah haji, umat Islam begitu berbahagia karena wujud Ka'bah menjadi semacam media untuk kita menemui Allah Sang Pencipta, bahkan tak jarang isak tangis spontan menyertai kebahagiaan tersebut. Kita juga bahagia dapat peluang mengunjungi berbagai situs dan artefak yang menggambarkan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan syiar Islam. Di bulan Ramadhan ini, akan ada dua jenis kebahagian yang akan kita temui--kegembiraan menyambut ketibaan saat berbuka puasa dan saat kegembiraan menjumpai Sang Maha Pengasih kala melaksanakan shalat wajib, shalat sunah, serta tarawih berjamaah yang dilengkapi zikir dan wirid memuji Allah Sang Khalik serta memanjatkan salam dan shalawat bagi junjungan kita Rasulullah. Berbagai harapan digantungkan untuk diraih di bulan yang dijanjikan Tuhan Maha Penyayang dalam Alquran, khususnya surah Alqadr yang menggambarkan bulan yang begitu ditinggikan derajatnya dan disebutkan untuk setiap ibadah kita yang mendapat ridha-Nya di bulan ini, maka ibadah tersebut bernilai 1000 kali lebih baik dibandingkan dilakukan pada bulan-bulan lain. Bahkan, dalam bulan Sya'ban yang mendahului bulan Ramadhan ini, kita dalam sujud dan sesudah shalat berdoa supaya diberi-Nya kemudahan, kelancaran ibadah, kekuatan, dan panjang umur agar saat kita diberi-Nya peluang memasuki gerbang Ramadhan kita siap malaksanakan amanah-Nya sepenuh jiwa dan raga. Syawal yang menjanjikan kemurnian dan kesucian kita sebagai makhluk ciptaan-Nya tidak akan sukses kita dapatkan jika tidak mampu kita melintas sebulan penuh di Ramadhan ini. Salah satu tafsir dari Syawal adalah peningkatan (to lift atau to carry dalam bahasa Inggris). Ramadhan adalah jembatan emas yang mengantarkan kita ke gerbang kemenangan--Syawwal.
Penilaian kualitas puasa di bulan suci Ramadhan dijadikan-Nya begitu istimewa seperti yang dapat kita simak dalam sebuah hadis yang diacu sesuai perkataan Rasulullah SAW, yaitu "Segala amal ibadah anak Adam adalah miliknya, kecuali puasa. Ia adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberikan pahalanya." (HR Bukhari). Nabi Muhammad SAW juga pernah bertutur bahwa semua catatan perbuatan umat di bulan shaum ini langsung dicatat oleh Allah SWT. Dalam bahasa Arab, pencatatan perbuatan ini disebut Shab-i-Barat atau The Night of Records. Bukankah sangat istimewa, rekam jejak kita langsung ditorehkan dalam media abadi oleh Sang Maha Pencipta.
Mari, sekali lagi kita simak hadit HR Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah di atas. Dari yang tersurat saja kita langsung dapat menyimpulkan bahwa jembatan emas Ramadhan ini terdiri atas tiga ruas. Sepertiga adalah ruas yang penuh dengan pahala rahmat saat kita melintasinya. Sepertiga kedua adalah ruas yang menyirami kita dengan berkah ampunan atas kesalahan dan dosa serta kala kita menapak diatasnya. Sepertiga yang terakhir adalah ruas dengan imbalan terbebas dari azab neraka ketika kita melenggang melaluinya. Apalagi, jika dalam ruas terakhir dari jembatan emas itu, kita lalui dengan tulus dan ikhlas mencari ridha Allah SWT, bekerja keras, dan cerdas menjalankan amanah-Nya menggapai kemenangan di kehidupan yang fana serta senantiasa ingat bahwa semua ibadah dan amanah itu kita laksanakan demi mengakumulasi bekal untuk kehidupan yang kekal di akhirat nanti. Ingat juga bahwa lompatan kuantum terbuka untuk kita lakukan, yaitu jika Allah SWT memberikan ridha-Nya untuk kita mendapatkan the night of honour and dignity--Lailatul Qadr, gerbang kemenangan yang berada di ujung jembatan emas menanti untuk kita lewati. Namun, tentu seperti juga jembatan emas kemerdekaan RI, Syawal bukanlah akhir dari pengabdian dan perjuangan kita sebagai khalifatullah di bumi ini. Kemenangan yang kita raih adalah untuk kita isi, seperti kobaran semangat presiden Soekarno. Maka, tanah kemenangan yang kita rebut mesti kita isi dengan sungguh-sungguh agar kita menjadi ciptaan-Nya yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi. Insan-insan juara ini yang akan mampu mewujudkan mimpi proklamator kita, yaitu menjadikan Indonesia yang merdeka dengan nilai-nilai luhur: aman, adil, damai, demokratis, dan sejahtera.
Subhanallah walhamdulillah wala ilahailallah huwalluakbar.
Ya Allah, jadikanlah kami umat-Mu yang disiplin menjalankan ibadah puasa di Ramadhan yang suci ini. Limpahkan kepada kami Ya Rabb rahmat dan ampunan serta kami terbebas dari api neraka. Amin
Senin, 17 Agustus 2009
Minggu, 16 Agustus 2009
MASJID DIAN AL MAHRI: Satu dari Tujuh Masjid Kubah Emas di Dunia
Sabtu, 15 Agustus 2009
Republika Online - Saatnya Mempersiapkan Diri
Republika Online - Saatnya Ulama Mengubah Kondisi Umat
Republika Online - 'Hormati Kemuliaan Ramadhan'
Selasa, 04 Agustus 2009
Merindukan Ulama
Oleh: Andriansyah Syihabuddin
(editor pada Yayasan Dakwah Malaysia Indonesia)
Dewasa ini banyak sekali ulama yang berperan multifungsi, bahkan kadang mereka berperan di luar dimensi tanggung jawab esensial yang sepatutnya mereka emban. Sehingga, banyak persoalan keumatan belakangan ini, entah menyangkut kemerosotan moral umat, perilaku kekerasan atas nama agama di kalangan umat, tingkat pendidikan umat yang rendah, serta kungkungan lingkaran kemiskinan yang membelit umat, masih menjadi pekerjaan rumah yang jauh dari selesai.
Sebagai agen perubahan sosial, ulama merupakan tumpuan paling terakhir di mana segala lapisan masyarakat mengadukan permasalahannya. Apalagi, mereka punya otoritas yang dilegitimasi tuntunan doktrinal agama, baik yang tertulis dalam hadis berbunyi: Ulama adalah pewaris para nabi (HR Abu Dawud dan Turmudzi). Juga, ayat Alquran yang mengatakan, mereka adalah di antara hamba yang paling takut ( khasy ) kepada Allah Swt (QS Fathir 35: 28).
Ulama sebagaimana disitir QS Fathir 35: 28 tersebut adalah sosok yang dalam dirinya terpenuhi tiga aspek pokok, yaitu secara kognitif punya kecerdasan dan mumpuni dalam bidang ilmu, mampu menghayati pengetahuannya itu dalam sikap dan keyakinan (afektif), serta membuktikannya dalam aktivitas (psikomotorik) keseharian dan punya dedikasi kuat untuk menyebarkan ilmu yang dimilikinya, bagi kemaslahatan umat.
Ulama dengan gambaran seperti itu merupakan dambaan umat sepanjang zaman. Sosok yang akan senantiasa dibutuhkan di mana pun dan kapan pun juga. Sosok yang bisa menggantikan peran para nabi dan mewarisi misinya di muka bumi ini. Namun sayangnya, tak sedikit pula di tengah-tengah kita saat ini, yang dalam kacamata awam kita kenali sebagai ulama justru memperlihatkan sikap, ucapan, dan perbuatan yang sama sekali tak mencerminkan apa yang dimaksudkan oleh QS Fathir 35: 28, apalagi wasiat hadis Nabi Muhammad Saw.
Pada suatu kesempatan, ulama besar Islam dalam sejarah, Abu Hamid Al-Ghazali (Imam Al-Ghazali), pernah mengatakan dalam karya monumentalnya, Ihya Ulum al-Din . Beliau mengatakan bahwa tak selalu ulama menjadi inspirasi baik dan membawa manfaat besar bagi umatnya. Imam Al-Ghazali membagi ulama ke dalam dua jenis. Ada ulama yang sosoknya persis seperti apa yang disabdakan baginda Rasulullah Saw dalam hadisnya dan dalam QS Fathir 35: 28, tapi banyak pula ulama yang kadang malah menjadi penyebab petaka dan menimpakan bencana bagi umatnya.
Beliau menyebut ulama jenis pertama sebagai al-ulama al-ahsan (ulama yang baik/ulama akhirat), sementara ulama kategori kedua beliau sebut sebagai al-ulama as-su’ (ulama dunia/ulama yang buruk). Ulama yang buruk menurut Imam Al-Ghazali adalah ulama yang hanya memanfaatkan keulamaan dan ilmunya, untuk tujuan-tujuan pribadinya. Ulama semacam ini hanya hobi mencari harta, kehormatan, dan jabatan. Al-ulama as-su’ lebih mementingkan dan memikirkan kekuasaan (politik) dan kekayaan pribadinya sebagai tujuan utama. Sehingga, akhirnya kewajiban mengayomi umat dan menjadi teladan yang baik bagi mereka pun terabaikan.
Sementara ulama akhirat ( al-ulama al-hasanah ) adalah yang menjadikan segala hal bersifat duniawi sebagai pelengkap saja, bahkan ada yang menganggap bahwa hal semacam politik dan kekuasaan adalah 'musuh' yang harus diwaspadai. Ulama akhirat percaya bahwa kekayaan dan jabatan akan datang dengan sendirinya. Keduanya dianggap sebagai fitnah (cobaan) yang diberikan Allah Swt.
Pemakluman Imam Al-Ghazali bahwa ulama yang lekat dengan kekuasaan dan suatu jabatan lebih dekat kepada sebutan ulama yang buruk, memang tak terelakkan. Itu juga merupakan respons moral dan intelektual beliau ketika mendapati perilaku penguasa dan pejabat yang memang sudah tak pantas dilihat mata, dan cenderung melenceng dari etika hidup dan kerja yang dianjurkan Islam dan diteladankan oleh Rasulullah Saw.
Namun, mengidentifikasi ulama yang buruk di zaman sekarang ini mungkin bisa dikatakan agak problematik dan sesuatu yang tak mudah. Tak seperti ulama di zaman Imam Al-Ghazali yang merupakan ilmuwan semata, di masa kini mudah ditemui ulama yang juga menjadi penguasa atau menjabat suatu jabatan publik.
Dalam konstelasi keterlibatan ulama ke dalam berbagai aspek kehidupan, kemusykilan untuk mengenali ulama yang buruk mengemuka. Namun, hitam atau putihnya seorang ulama tetap saja bisa diketahui dari efek atau akibat yang disebabkan dari ulah yang diperbuatnya. Dari itulah, apa yang dikhawatirkan dari ulama yang buruk tentu saja efek sosial yang akan lahir, menyangkut kapasitas mereka yang dianggap sebagai teladan dan ikutan.
Keburukan ulama yang tergambar dalam peran esensial mereka dalam hal mengatur masyarakat, akan menjadi hal yang amat mengganggu. Meski keburukan dalam hal itu, belum seberapa mengkhawatirkan jika dibandingkan dengan keburukan mereka jika menyangkut kemampuan utama mereka, yakni bagaimana mereka menyebarkan pemahaman mereka terhadap suatu doktrin agama yang kemudian disebar dan diproyeksikan kepada umat.
Pikiran-pikiran dan tafsiran ulama yang keliru terhadap sumber-sumber Islam, dapat mengakibatkan umat terjerumus dalam bencana. Dengan tulisan dan ucapannya, seorang ulama yang buruk dapat saja memperlakukan doktrin agama terdistorsi sedemikian rupa. Sehingga, ulama menjauh dari esensinya sebagai pewaris agama itu sendiri. Agama yang pada awalnya hadir untuk kemaslahatan dan kebaikan, justru dapat jatuh pada harkatnya yang terendah sebagai penyebab segala bencana.
Realitas objektif umat Islam kini yang banyak mengisahkan peristiwa tragis dan ironi, tragedi kemanusiaan, khususnya pada belakangan hari ini di berbagai belahan bumi, dapat dikatakan merupakan hasil dari buah intelektual yang benihnya ditanamkan oleh kaum ulama sendiri kepada umat, atau setidaknya pertanggungjawabannya bisa dialamatkan kepada mereka.
Kisah pilu di dunia Islam, seperti keterbelakangan negeri-negeri Muslim, penistaan terhadap kaum perempuan, peran Islam yang makin memudar, antagonisme, dan intoleransi hubungan antaraliran, kekerasan atas nama agama, hingga kekangan tradisi keagamaan yang liat dan membonsai misi profetik agama, dapat saja didiagnosis sebagai adanya sebuah penafsiran 'keliru' oleh ulama terhadap doktrin agama.
Berbagai fakta memilukan itu dapat menegaskan, betapa ulama yang buruk sesungguhnya ada di tengah-tengah umat. Dan, kehadiran mereka berpotensi jauh lebih berbahaya dari simbol kejahatan yang ada. Ulama yang seperti itu dapat dengan mudah berkamuflase dalam jubah kebesarannya, sebagai orang yang terdepan menegakkan agama. Padahal tidak jarang, ambisi duniawi berupa kehormatan, harta, dan jabatan justru yang menjadi tujuan utama mereka, tidak kurang dengan dalih yang disandarkan kepada doktrin-doktrin keagamaan dari kitab suci.
Sayangnya apa yang datang dari ulama, terlebih lagi dari mereka yang tergolong sebagai ulama yang buruk, seringkali terpaksa ditelan bulat-bulat oleh umat. Ini tidak terlepas dari klaim para ulama itu sendiri, yang seolah menempatkan diri mereka sebagai calo-calo pahala dan dosa dan pemegang kunci surga.
Selain itu, umat sendiri masih jarang yang punya mekanisme penyaring dalam memilah mana-mana pendapat atau fatwa ulama, yang memang benar berujung pada maslahat ataukah ada kepentingan lain di dalamnya. Kreativitas umat menggali sendiri pesan-pesan Ilahi dari kitab suci dalam rangka menyapa Tuhannya, terkadang sering dianggap sebagai ekspresi keagamaan yang menyalahi tradisi.
Ulama sebagai otoritas ilmu memang amat diperlukan. Transfer ilmu dari ulama adalah hal yang sampai kapan pun akan terus berlaku, sebab hal ini merupakan modus dari kerja ilmu itu sendiri. Akan tetapi, di zaman sekarang ini banyak instrumen yang juga dapat dilakukan dalam menggali dan mendalami ilmu.
Bagaimana pun tugas pokok ulama adalah menjaga salah satu maksud disyariatkannya agama, yakni memelihara pikiran dan kecerdasan umat. Ulama yang berhasil adalah ulama yang menjadi sumber otoritatif, di mana masyarakat mengikutinya dengan tanpa paksaan sekaligus mengalami pencerdasan.
Ulama harus menjadi pihak yang otoritatif, tapi tak musti menjadi pihak yang melanggengkan otoritarianisme dalam berpendapat dan ber- hujjah . Sehingga, fatwa, risalah, taushiyah , dan hal lain yang berkaitan, misalnya saja, dengan dunia politik, hukum, sosial-kebudayaan, juga penilaian terhadap kemanusiaan haruslah berporos pada kemaslahatan umat, yang dalam terminologi ushul fiqh disebut sebagai al-maqashid as-syari’ah (maksud diturunkannya syariat), yakni pemeliharaan akan agama, harta, nyawa, akal dan kelangsungan generasi umat Islam.
Karena itu, amat sulit dicecap akal sehat menyikapi banyaknya teror yang dilakukan oknum di kalangan umat Islam, yang dalam pengakuan mereka merupakan inspirasi langsung dari seorang ulama yang menggali langsung fatwa dan taushiyah -nya dari kitab suci dan sumber Islam lainnya.
Adalah tidak masuk akal jika hal-hal yang membawa bencana merupakan pelaksanaan kerja Allah Swt yang Maha Rahman dan Rahim di muka bumi ini. Tampaknya, hanya agama dan kitab suci yang tafsirnya telah diselewengkan saja lah, yang mampu menanggung beban itu. Dan, kalau sudah begini, harapan lahirnya ulama yang menjadi penyejuk dan pelita di tengah-tengah umat, sudah selayaknya terus dilambungkan. Wallahu a'lam bi al-shawab .
Dosa dan Musibah
Oleh Cucu Surahman
Akhir-akhir ini penduduk dunia kembali dihebohkan oleh jenis virus baru, yaitu virus A-H1N1 atau virus flu babi (swine influenza ). Virus ini telah menyebar hampir di seluruh penjuru dunia. Kejadian ini bahkan telah masuk fase pandemi dan kini telah sampai ke negeri kita. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, ''Tiada seorang hamba ditimpa musibah, baik di atasnya maupun di bawahnya, melainkan sebagai akibat dosanya.'' (Mashabih As-Sunnah). Penyebaran flu babi ini adalah suatu musibah. Dan karena itu, kita mesti ber- muhasabah (introspeksi diri). Dosa apakah yang telah kita lakukan?
Secara sederhana, perbuatan dosa itu bisa disebabkan oleh dua perkara. Pertama, karena meninggalkan perintah Allah SWT. Kedua, karena melakukan apa yang telah dilarang-Nya. Untuk yang pertama, dosa yang disebabkan karena meninggalkan perintah Allah SWT. Kita dapat melihat bahwa kehidupan manusia modern lebih cenderung mengejar kelezatan duniawi dan melalaikan urusan agama.
Dalam hal ini kita harus ingat sabda Rasulullah SAW. ''Tiada manusia mengabaikan sesuatu dari urusan agama untuk kepentingan keduniaan mereka, kecuali Allah menimbulkan bagi mereka perkara-perkara yang lebih membahayakan mereka.'' (HR Ahmad). Untuk yang kedua, dosa yang disebabkan karena melakukan apa yang telah dilarang-Nya. Manusia modern kini tak ubahnya seperti masyarakat jahiliyah pada zaman Rasulullah SAW atau bahkan lebih lagi. Manusia sekarang lebih banyak memuja kemaksiatan daripada memuja Penciptanya.
Oleh karena itu, kita patut merenungkan hadis Rasulullah SAW. ''Jika perbuatan maksiat dalam suatu kaum sudah dilakukan terang-terangan, maka akan timbul wabah dan penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa orang-orang terdahulu.'' (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Kita mungkin bisa berkata, kami bukan mereka yang nista itu. Tapi, kita juga harus ingat sabda Nabi SAW, ''Perbuatan dosa mengakibatkan sial terhadap orang yang bukan pelakunya. Kalau dia mencelanya, maka bisa terkena ujian (cobaan). Kalau menggunjingnya, dia berdosa. Dan kalau dia menyetujuinya, maka seolah-olah dia ikut melakukannya.'' (HR Ad-Dailami). Maksud hadis ini adalah bahwa tidak hanya pendosa bersangkutan yang akan mendapatkan malapetaka, tetapi juga orang yang ada di sekitarnya yang tidak peduli dengan kemaksiatan yang ada di sekelilingnya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, ''Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.'' (QS Al-Anfal [8]: 25).
Amal Saleh
Oleh A Ilyas Ismail
Agama Islam dalam pandangan filosof Muslim terkemukan, Ibn Sina, tak hanya menekankan pikiran, tetapi terlebih lagi adalah tindakan atau perbuatan ('amal ). Bahkan dalam Islam, perbuatan atau tindakan dapat dipandang sebagai mood of existence , yaitu cara beradanya manusia. Seseorang disebut ada (eksis) bila ia bekerja atau berbuat. Tanpa kerja, ia sama dengan tidak ada ( wujuduh-u ka'adamih-i ).
Terdapat beberapa prinsip amal saleh yang perlu diketahui. Pertama, amal saleh adalah buah dari iman ( tsamrat al-iman ). Iman tak fungsional dalam kehidupan tanpa amal saleh. Sebaliknya, perbuatan tak dinamai amal saleh bila tak bersandar pada iman.
Dalam Islam, integrasi iman dan amal saleh menjadi pangkal keselamatan dan kesuksesan hidup manusia. ''Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.'' (QS Al-'Ashr [103]: 1-3).
Kedua, amal saleh adalah alam ( nature ) manusia. Menurut nature -nya, manusia suka pada kebaikan. Karena kebaikan adalah alam manusia, maka sesungguhnya hanya yang baik (kebaikan) yang bersifat manusiawi dalam arti berguna bagi manusia.
Sedangkan yang buruk (keburukan), dengan sendirinya tidak bersifat manusiawi dalam arti tidak berguna dan tidak sesuai dengan alam dan kemuliaan manusia. ''Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya, adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.'' (QS Arra'd [13]: 17).
Ketiga, amal saleh tidak untuk Tuhan, tapi untuk kebaikan manusia itu sendiri. Manusia harus beragama dan beramal saleh, bukan untuk Tuhan, tapi untuk kebaikan hidupnya sendiri di dunia dan di akhirat. Jangan mengira, kalau seorang berbuat baik, maka ia telah merasa dirinya berbuat baik kepada Tuhan.
''Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.'' (QS Fathir [35]: 15).Keempat, amal saleh mendorong terkabulnya doa. Prinsip ini didasarkan pada ayat berikut, ''Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allahlah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.'' (QS Fathir [35]: 10).
Jadi, untuk terkabulnya doa, diperlukan kekuatan pendorong bernama amal saleh. Namun, amal saleh di sini tak hanya bermakna kebaikan dalam arti sempit, tapi amal saleh dalam arti luas berupa kerja keras dan kerja cerdas yang mendorong produktivitas, kerja yang mendatangkan kebaikan ( dzatu shalah ) bukan hanya bagi pelakunya, tapi juga bagi umat dan bangsa.
Tiga Cara Mengunjungi Surga
Oleh Nanum Sofia
Rasulullah SAW bersabda, ''Barangsiapa menjenguk orang sakit, maka ia tak henti-hentinya dalam keadaan mengunjungi surga sampai ia pulang.''Bisakah kita mengunjungi surga sedangkan keberadaannya tak terlihat mata, tidak terdengar telinga, dan tak tergambar oleh akal? Bagaimana mungkin kita dapat mengunjungi surga yang berada di alam gaib?
Dalam Isra Mi'raj, Rasulullah SAW memang pernah mengunjungi surga dan menyaksikan para penghuninya. Tapi, kita bukan rasul, bukan pula nabi. Jadi, bagaimana bisa mengunjungi surga yang kita rindukan itu?
Sebenarnya, ada beragam cara yang ditunjukkan Allah SWT kepada hamba-Nya agar bisa mencapai surga. Di antara cara yang ditunjukkan Allah SWT adalah dengan menjenguk orang sakit serta memberi makan dan minum kepada hamba-Nya yang membutuhkan.
Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya pada hari kiamat, Allah 'Azza wa Jalla berfirman, 'Hai anak Adam, Aku sakit, tetapi kamu tidak menjenguk-Ku'.'' Dia berkata, ''Wahai Rabbku, bagaimana aku menjenguk-Mu, padahal Engkau adalah Rabb semesta alam?''
Dia berfirman, ''Tahukah kamu bahwa hamba-Ku si fulan, sakit, tapi kamu tidak mau menjenguknya. Tahukah kamu, jika kamu menjenguknya, kamu akan mendapati Aku berada di sisinya.'' ''Hai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tapi kamu tidak mau memberi makan kepada-Ku.'' Dia berkata, ''Wahai Rabbku bagaimana aku memberi makan kepada-Mu, sedangkan Engkau adalah Rabb semesta alam?''
Dia berkata, ''Tidakkah kamu tahu bahwa ada seorang hamba-Ku, si fulan, minta makan kepadamu, tapi kamu tidak memberi makan kepadanya? Tidakkah kamu tahu bahwa jika kamu memberi makan kepadanya, kamu akan mendapati hal itu di sisi-Ku?''
Berdasarkan hadis tersebut, jelaslah bahwa siapa pun yang menjenguk orang sakit, sesungguhnya ia sedang mengunjungi surga sampai ia pulang. Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah SAW ditanya, ''Wahai Rasulullah, apa maksud dalam keadaan mengunjungi surga?''
Beliau menjawab, ''Yaitu memetik buah surga.'' Itulah sebagian kemuliaan yang Allah SWT berikan kepada para hamba-Nya di dunia. Seorang hamba yang menjenguk orang sakit, memberi makan dan minum kepada hamba-Nya yang membutuhkan, akan mendapatkan pahala, rahmat, dan kemuliaan dari Allah SWT dan berada dalam derajat yang dekat dengan-Nya. Alangkah indahnya bila kita selalu menyempatkan waktu untuk mengunjungi surga-Nya, meskipun masih hidup di dunia.
Implikasi Iman
Oleh Fauzan
Iman kepada Allah SWT memberikan pengaruh besar pada tingkah laku seseorang. Ia bagaikan perisai yang menyelimuti hati dari setiap dorongan hawa nafsu.Orang yang benar-benar beriman merasa bahwa Allah SWT selalu mengawasi dan selalu ada di setiap langkahnya hingga dia akan malu jika hendak berbuat maksiat.
Iman seperti ini bukanlah iman dalam pengertian sederhana, yaitu hanya sekadar tahu bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT. Tapi, sebuah keyakinan yang didasari penghayatan bahwa Tuhan benar-benar ada dan mengawasinya setiap saat.
Sebagai gambaran, misalnya, seorang pencuri tak akan pernah menghiraukan ancaman petugas walau terus memburu dan mengawasi gerak-geriknya. Bahkan, ia akan terus mencari celah kesempatan melancarkan aksinya.
Tapi, bila timbul rasa sadar karena merasa diawasi Allah SWT, kemungkinan besar perbuatan tercela itu akan ditinggalkannya. Sebab, dia yakin tak ada celah sedikit pun untuk melepaskan diri dari pengawasan-Nya.
Ini merupakan gambaran bahwa iman menjadi kunci terciptanya kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera. Dengan memantapkan keimanan terhadap Allah SWT, perbuatan dan tingkah laku kita akan selalu diarahkan pada yang diridhai-Nya.
''Tak akan berzina seorang pezina ketika hendak berzina dia beriman. Tak akan meminum khamr seorang peminum ketika hendak minum dia beriman. Tidak akan mencuri seorang pencuri ketika hendak mencuri dia beriman.'' (HR Bukhari).
Namun, kesulitan yang sering dihadapi adalah intensitas iman kadangkala naik dan turun. Keadaan seperti ini mengharuskan kita terus berusaha menjaga keimanan agar tetap stabil.
Untuk itu, kita harus memperbanyak zikir kepada Allah SWT, baik siang maupun malam. Berzikir kepada Allah SWT bukan hanya dilakukan di waktu shalat, tapi juga dalam berbagai hal, baik ketika duduk, tidur, maupun berdiri.''Maka, bila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah ketika kamu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring.'' (QS Annisa [4]: 103).
Ada yang memahami berzikir sebatas ritual, yaitu dengan membaca kalimat tahlil, tahmid, dan tasbih. Namun, pengertian zikir yang paling utama dan substansial adalah mengingat Allah SWT sebagai bentuk kesadaran hati terdalam bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah milik-Nya.
Berzikir seperti ini dilakukan dalam setiap kesempatan dengan cara merenungi karunia Allah SWT, mengingat-ingat keagungan-Nya yang tertuang di dunia ini. Dengan demikian, akan muncul kekaguman dan kecintaan terhadap Allah SWT.
''Dan, sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara pada waktu pagi dan petang. Dan, janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.'' (QS Al-A'raaf [7]: 205).
Index Koran
Pelajaran dari Suku Quraisy
Oleh Taufik Damas
Dalam sejarah perjuangan Rasulullah SAW, tercatat nama Umarah ibn al-Walid ibn al-Mughirah. Ia adalah seorang pemuda yang tampan dan menarik.
Terdapat kisah yang patut disimak menyangkut pemuda ini. Orang-orang kafir Quraisy telah memilihnya untuk ditukar dengan Rasulullah SAW karena keistimewaan fisiknya itu.
Orang-orang kafir Quraisy merasa terancam dengan dakwah Rasulullah SAW. Mereka melakukan berbagai cara untuk menghentikannya. Bujukan, hinaan, hingga penyiksaan telah mereka lakukan terhadap Nabi SAW dan para pengikutnya.
Hingga suatu hari mereka datang kepada Abu Thalib, paman Nabi SAW, hendak menukar Rasulullah SAW dengan Umarah. Mereka menyerahkan Umarah kepada Abu Thalib dan Abu Thalib menyerahkan Rasulullah SAW kepada mereka.
Mereka berharap Abu Thalib mengangkat Umarah sebagai anak angkatnya menggantikan Rasulullah SAW. Dan, mereka membawa Rasulullah SAW untuk kemudian dibunuh.
Mendengar tawaran itu, Abu Thalib terkejut. Ia pun menolak seraya berkata, ''Tidak mungkin aku menyerahkan Muhammad SAW untuk kalian bunuh, sementara kalian menyerahkan Umarah untuk aku jadikan anak.'' Salah satu tokoh Quraisy yang ikut mengajukan tawaran ini adalah al-Walid ibn al-Mughirah, ayah kandung Umarah sendiri.
Berkenaan dengan siasat yang tidak manusiawi itu, Allah SWT menurunkan wahyu yang mengecam mereka. Firman Allah SWT tentang orang-orang kafir yang mendustakan agama Allah SWT termaktub dalam Alquran surah Almuddatstsir (74): 11-30.
Mengapa kaum Quraisy sampai membuat penawaran yang tidak masuk akal itu? Apakah mereka berpikir Abu Thalib akan menerimanya karena akan mendapatkan Umarah yang tampan dan lebih muda dari Rasulullah SAW?
Apa pun pertimbangan mereka, tawaran itu adalah bukti kepanikan di hadapan sebuah kebenaran yang tidak dapat mereka bendung. Kebencian terhadap kebenaran melahirkan sikap panik dan penderitaan berkepanjangan bagi pelakunya. Apa pun akan mereka lakukan untuk meredamnya.
Dalam banyak kasus, kepanikan mendorong orang melakukan tindakan destruktif yang merugikan banyak orang. Harapan mendapatkan keuntungan, yang datang justru kerugian. Inilah yang dialami oleh kaum Quraisy ketika mereka menentang kebenaran risalah yang dibawa Rasulullah SAW.
Di zaman sekarang, yang menghalangi sebagian orang untuk menerima kebenaran adalah keserakahan ekonomi dan politik. Mereka tidak segan menjadikan agama sebagai alat mengeruk keuntungan pribadi hingga nilai-nilai luhur agama terabaikan.
Sejarah kaum Quraisy menunjukkan bahwa siapa pun yang menentang atau menodai kebenaran pasti akan kalah dan menjadi pesakitan.