Minggu, 14 Desember 2008

Rokok dalam Perspektif Fikih


  • Oleh A Adib

APABILA Anda termasuk ”ahli hisab” —sebutan bagi orang yang memiliki kebiasaan mengisap rokok— ada baiknya kini mulai mengurangi dan pelan-pelan meninggalkan kebiasaan tersebut. Selain mengganggu kesehatan, saat ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tengah bersiap-siap mengeluarkan fatwa haram atas lintingan tembakau tersebut.

”Akhir tahun ini, kita akan membahas dengan sejumlah ulama. Jika rapat tersebut menyetujui fatwa haram, maka akan diberlakukan secara nasional,” kata salah seorang ketua MUI Pusat, H Amidhan, belum lama ini.

Fatwa haram bukan lagi hal baru di MUI. Juli lalu, ada rapat koordinasi daerah wilayah Sumatera yang telah menetapkan fatwa haram bagi rokok. Namun ketetapan itu masih akan dibicarakan dengan sejumlah ulama dalam rapat ijtima. Sebelum ini, lima tahun lalu, MUI Pusat telah menentukan fatwa makruh pada rokok.

Sementara Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Ikatan Ahli Kesehatan (IAK) terus mendesak agar MUI segera menetapkan fatwa haram bagi rokok. Untuk itu, Komnas Perlindungan Anak dan IAK telah mendatangi kantor MUI untuk membicarakan hal tersebut.

Ketua Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi berharap, penetapan fatwa haram bagi rokok bisa menekan angka perokok di kalangan anak. Ini akan membentuk paradigma baru tentang bahaya merokok. Yang penting, pemerintah juga harus ikut tanggap dalam upaya ini.

Wacana yang digulirkan MUI menimbulkan tanggapan dari sejumlah ulama yang setuju maupun menolak fatwa haram tersebut. Yang mendukung menyampaikan argumentasi tentang mudharat (bahaya) merokok, yang telah disampaikan oleh berbagai institusi berwenang, dengan data-data yang dan fakta efek negatif merokok.

Bagi yang menolak, tidak kalah sahih argumentasinya, terutama dengan alasan kemanusiaan. Sebab jika fatwa haram sampai dikeluarkan, makin banyaknya angka pengangguran di Indonesia, akibat penutupan pabrik rokok yang gulung tikar. Pemerintah merugi sangat banyak, akibat berkurangnya pemasukan negara dari cukai yang selama ini sangat mendominasi sektor pajak dan cukai.

Rokok dalam Prespektif Fikih

Khilafiah (perbedaan pendapat) soal hukum rokok juga bukan hal baru di kalangan ulama maupun umat Islam. Almarhum Syeh Ihsan, Jampes, Kediri, telah memaparkan masalah perbedaan ulama dengan mengumpulkan literatur kontemporer (kitab-kitab kuning) dalam kitab Irsyadul Ihwan setebal 53 halaman.

Secara rinci, Syeh Ihsan dalam bab kedua menjelaskan ulama-ulama yang mengharamkan rokok. Di antaranya ulama Alqulyubi dalam kitab Sarah Aljalal al-Mahalli dan Ibrahil Al-luqoni al-Maliki dalam kitab Sarah al-Minhaj dan Alkifayah, Syeh al-Tharabisi dan Al-Bijairami dalam kitab Al-Iqna, serta Imam Al-Bajuri dan Syeh Torabisy.

Kesimpulan dari pendapat ulama salaf (terdahulu) yang mengharamkan mengisap adalah: rokok bisa menyebabkan hilangnya akal sehat jika diisap, dan bisa menimbulkan penyakit yang membahayakan kesehatan tubuh seperti impotensi, sesak nafas, dan penyakit lain yang membahayakan.

Syeh Hasan al-Syarnabila al-Hanafy lebih keras lagi. Selain haram mengisap, karena jelas-jelas membahayakan kesehatan dan bisa melemahkan akal, juga haram bagi siapapun untuk menjual dan membeli rokok. Jika sesuatu diharampakan menjual, maka memebeli juga haram. Demikian pendapat Hasan.

Berbagaipendapat ulama yang mengharamkan ini bisa diringkas menjadi empat sebab dijadikannya alasan untuk mengharamkan rokok. Pertama, membahayakan kesehatan berdasarkan temuan dan pengalaman empiris tabib (dokter), sehingga setiap sesuatu yang membahayakan diharamkan.
Kedua, mengkhawatirkan terjadinya bahaya sehingga dilarang secara syar’i, merujuk hadist Imam Ahmad, dari Umi Salamah: ”Rasulullah mencegah setiap yang memabukkan, dan yang melemahkan akal sesuai advis tabib (dokter)”.
Ketiga, menimbulkan bau tidak sedap bagi pengisap, khususnya jika menghadiri pertemuan. Keempat, tidak ada manfaatnya, bahkan mengandung bahaya.

Dalih Halal

Tetapi, sejumlah ulama salaf justru menghalalkan rokok dan menolak pendapat ulama yang mengharamkan. Misalnya Syeh Abdul Ghoni al-Nabilisi, pengikut madzhab Hanafi. Menurut dia, rokok bukan sesuatu yang najis yang diharamkan.

Adapun jika menyebabkan gangguan kesehatan atau melemahnya akal sehat akibat merokok, itu dikarenakan ada sebab. Jadi, yang haram adalah akibat yang membahayakan, bukan materiil rokok itu sendiri. Yang diharamkan bagi orang yang terkena dampak rokok, bukan bagi yang lain.

Syeh Shulthan hanya menyebut hukum merokok itu makruh. Selain itu, karena tidak ada dalil yang menguatkan haram, dan tidak ada manfaat bagi pengisap, ada juga yang mengatakan hukum dasarnya adalah mubah.

Syeh Ali al-Ajhur dalam kitab Ghoyaul-Bayan menyebutkan, hukum rokok hahal sepanjang tidak mengakibatkan hilangnya akal sehat akabat merokok dan tidak membahayakan kesehatan tubuh.

Fatwa serupa juga telah disampaikan Abdullah bin Muhammad al-Khanafy, bahwa rokok tidak haram kecuali bagi orang bisa kehilangan akal sehat, serta membahayakan kesehatan badannya akibat merokok.

Abdullah bin Muhammad Annahriry Al-khanafy dalam kitab Syarah Al-Ummiyah, dan Syeh Ahmad Al-Maliky, pun menulis bahwa rokok haram jika berakibat hilangnya akal dan membahayakan kesehatan berdasarkan petunjuk dokter yang mengerti permasalahan tersebut. Jika tidak membahayakan sesuai dengan petunjuk dokter, maka tidaklah haram.

Kesimpulannya, para ulama terdahulu masih terjadi perbedaan pendapat soal hukum rokok, yaitu hukum dasarnya mubah, haram, dan makruh. Yang menjadi catatan, fatwa ulama —termasuk MUI— adalah fatwa keagamaan, bukan agama.

Kemungkinan terjadi khilafiah karena tidak seluruhnya sependapat adalah wajar dan biasa terjadi pada ulama ahli fikih terdahulu, baik pengikut Imam Syafii, Hanafi, Hambali, maupun Maliki. Ruang perbedaan cukup terbuka lebar, sebelum atau sesudah munculnya fatwa. (32)

—A Adib, wartawan ”Suara Merdeka” di Biro Jakarta.

Tidak ada komentar:

Al Quran On Line