Oleh Supardi
''Orang Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah SWT daripada orang Mukmin yang lemah dan pada masing-masingnya ada kelebihan. Bersemangatlah kamu kepada apa yang bermanfaat bagimu.
Janganlah menjadi lemah. Mohonkanlah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu katakan, 'Seandainya saya berbuat begini, pasti begini.' Tetapi, katakanlah, 'Allah telah menakdirkan apa-apa yang dikehendaki oleh Allah. Maka, diperbuat-Nya.' Karena, sesungguhnya kata-kata 'seandainya' adalah pekerjaan setan.'' (HR Muslim).
Kuat di sini bisa bermacam arti: kuat iman, kuat badan, jiwa, inteligensia, ekonomi, kedudukan, dan mental. Menurut An-Nawawi, kekuatan iman, kekuatan jiwa, dan kepandaian pada urusan akhirat menjadikan paling cepat maju dalam berjihad.
Paling besar cita-citanya untuk ber-amar ma'ruf nahi mungkar dan paling sabar menghadapi rintangan, kesedihan, serta kesulitan. Selain juga paling mencintai shalat, puasa, zikir, dan segala ibadah.
Menurut sunatullah, agar seseorang menjadi kuat, ditentukan faktor penunjang. Dalam firman-Nya, ''Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.'' (QS Arra'd [13]: 11).
Kuat iman disebabkan oleh usahanya dalam mendekatkan diri pada Sang Khalik. Kuat badan ditunjang kekekaran dan kesempurnaan susunan tubuh dan gizi. Kuat ekonomi ditunjang harta hasil kerja keras dan penuh perhitungan. Kuat kedudukan ditunjang kelebihan ilmu dan leadership.
Jadi, sebelum menjadi kuat, dia harus siap dengan faktor penunjang kekuatan itu dan mencari segala sesuatu yang membawa manfaat, baik manfaat dunia maupun akhirat. Maka itu, sebisa mungkin seorang Mukmin jangan sampai mengosongkan waktu, bersikap malas, malu bekerja, dan hanya berangan-angan bahwa Allah SWT akan menyampaikan hajat kita dengan alasan Dia itu Maha Berkuasa.
Sedangkan, Allah SWT sendiri telah menjelaskan, segala sesuatu harus didapatkan melalui usaha. Orang yang punya banyak kekuatan niscaya bakal lebih bermanfaat bagi masyarakat. Begitu pun bangsa yang kuat, ia akan mampu mengambil peran aktif di percaturan dunia dan tidak akan diremehkan bangsa lain.
Segala kekuatan yang kita miliki hendaknya digunakan untuk meraih ridha-Nya. ''Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.'' (QS Annahl [16]: 97). Wallahu a'lam bish shawab.
Kamis, 22 Januari 2009
Mukmin Kuat
Keseimbangan Beragama
Oleh Rijalul Imam
''Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan Mizan (neraca keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.
Dan Kami turunkan besi yang padanya terdapat kekuatan hebat dan berbagai manfaat bagi manusia dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.'' (QS Alhadiid [57]: 25).
Ayat di atas menjelaskan suatu proses keseimbangan menjalankan agama. Pertama, diutusnya para rasul. Kedua, bersama mereka diturunkan tiga hal, yakni Alkitab, Mizan, dan Alhadiid (besi). Semua itu agar digunakan untuk menegakkan Islam.
Menarik men-tadabburi ayat di atas, yang secara eksplisit disebutkan besi. Besi yang disandingkan dengan Alkitab membawa isyarat akan pentingnya besi dalam kehidupan beragama.
Penyandingan pula dengan Mizan, kata besi ini semakin membawa hikmah mendalam bahwa kita perlu seimbang dalam beragama, yakni seimbangnya pengetahuan Alquran dan capaian teknologi.
Besi adalah satu komponen penting dari keseluruhan unsur teknologi. Tidak ada satu pun alat teknologi yang tak menyertakan besi, bukti pencapaian peradaban maju. Itulah sebabnya Allah SWT menyatakan, ''Padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia.''
Sayangnya, manfaat besi ini belum menjadi perhatian signifikan umat Islam dalam pengembangan teknologi. Padahal, sejarah membuktikan kemajuan peradaban Islam di abad pertengahan adalah capaian keseimbangan antara iman, sains, dan teknologi.
Al-Jazari, Al-Biruni, dan Ibnu Sina, misalnya, selalu menyandarkan hasil temuan teknologi mereka pada keimanan. Sebaliknya, ajaran-ajaran keislaman yang mereka pelajari pun menjadi titik tolak pengembangan teknologi yang dibutuhkan ketika itu.
Di zaman sekarang, kita membutuhkan teknologi canggih di saat umat Islam seolah terbelakang dalam berbagai kompetisi. Terlebih saat mengalami agresi pihak yang sewenang-wenang, umat Islam tampak kehilangan wibawa ketika hasil teknologi yang digunakan pun adalah hasil pinjaman peradaban lain.
Ayat ini menuntut kita sebagai khairu ummah (umat yang terbaik), untuk dapat menolong agama-Nya dengan keseimbangan antara iman, sains, dan teknologi. Surat Alhadiid mengingatkan kita untuk lebih berperan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuju peradaban Islam yang maju dan berwibawa.
Rahasia Kemenangan Alif Yusuf Abdullah
''Hai, orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan, janganlah berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.
Sesungguhnya, Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya kepada manusia dan menghalangi (orang) dari jalan Allah. (QS Al-Anfaal [8]: 45-47).
Demikian firman Allah SWT kepada orang Mukmin bagaimana meraih kemenangan. Rahasia kesuksesan dari ayat di atas sejatinya bukan hanya dalam peperangan, tapi meliputi aspek kehidupan yang lebih luas: politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Ayat ini pun bisa menjadi tolak ukur analisis sekaligus mencermati perilaku kita pada bidang-bidang itu.
Terdapat lima sikap yang terangkum bila ingin meraih kemenangan, baik dalam peperangan maupun dalam mengarungi kehidupan. Pertama, teguh hati dan sabar. Sesuai dengan kata fa atsbutuu pada ayat di atas, teguh hati adalah kemantapan tekad untuk melanjutkan perjuangan, optimistis terhadap apa yang akan dicapai, serta tidak lari dan tidak meragukan nilai-nilai yang diperjuangkan.
Dan, tetap bersabar, terutama ketika menghadapi kesulitan dan ancaman yang dapat melemahkan jiwa atau diri. Kegagalan sering kali hanya karena ketidakmampuan seseorang atau kelompok dalam mengontrol dan memelihara kesabaran.Kedua, perbanyak zikir agar tidak melepaskan ikatan dan harapan kepada Allah SWT. Zikir juga dapat menghilangkan rasa khawatir dan takut sehingga hati menjadi tenang dalam berjuang.
Ketiga, taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab, dalam suasana kacau, biasanya emosi kurang terkendali dan akal sehat seakan-akan tidak dibutuhkan. Keempat, tetap menjaga persatuan, di antaranya berusaha menghindari dan menjauhi sikap yang berlawanan antarsesama umat. Sesuatu yang tidak prinsip dan kecil menjadi diperdebatkan dan dibesar-besarkan, malah sering menjadi penyebab kegagalan.
Terakhir, hindari sikap angkuh dan mencari muka. Betapa banyak perjuangan atau keinginan berkuasa yang dilandasi keangkuhan dan mengandalkan kekuatan materi, justru berakhir menyedihkan. Kekalahan AS pada perang Vietnam dan Somalia menjadi bukti.
Sikap angkuh dan mencari muka sesungguhnya bumerang yang sewaktu-waktu bisa melukai pelakunya. Inilah rahasia sebuah kesuksesan, yang tentu senantiasa berada dalam naungan ridha Allah SWT. Semoga kita termasuk bagian dari orang-orang yang sukses dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Wallahu a'lamu bis shawab.
Minggu, 18 Januari 2009
Menuju Kemenangan
Tidak terasa perjalanan di bulan Ramadan hampir kita lewati. Itu artinya umat Islam di seluruh dunia termasuk di Indonesia kembali memperoleh hari kemenangan atas perjuangan melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh. Selama bulan Ramadan tersebut, setiap masjid, musala, langgar, dan bahkan lembaga-lembaga pendidikan penuh dengan berbagai macam kegiatan Ramadan oleh umat Muslim.
Ramadan sebagai bulan yang penuh berkah, tentunya kehadiran merupakan momen yang sangat tepat bagi umat Islam untuk merefleksikan kondisi nyata bangsa kita yang kini sedang dilanda demoralisasi individual dan sosial yang sangat tajam. Keprihatinan mendalam kini memang sedang melanda bangsa Indonesia.
Selain kondisi krisis yang tak kunjung berakhir, bangsa kita dilingkupi kecenderungan sosial yang kian anarkis dan penuh dengan kekerasan, baik di tingkat elite bangsa maupun di tengah masyarakat bawah.
Lebaran sesungguhnya memiliki arti yang sangat sakral, bukan hanya sekadar penampilan luar yang baru tetapi jauh di dalam diri haruslah memiliki penampilan yang baru juga. Hal ini mesti dilakukan karena, ketika gema takbir berkumandang, maka disaat itulah kita kembali bersih (fitrah). Oleh karenanya, maka keimanan kita terhadap sang pencipta haruslah semakin meningkat.
Membahas tentang keimanan berarti menguraikan tiga unsur yang mengikatnya; membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan. Begitu juga dengan pendukung iman; Islam dan Ihsan, keduanya pun tak dapat diceraikan dari iman begitu saja.
Ironisnya, fenomena yang sedang trend sekarang ini adalah kemuliaan "semu", kadar keimanan yang hanya didasarkan pada simbol-simbol belaka. Sehingga barometer keimanan seseorang adalah mereka yang berpenampilan agamis, fasih dalam berdalil, semua kalimatnya berbau Arab, dan militan. Sedangkan mereka yang "norak", umumnya tak digubris, tak dihormati, atau malah dipandang hina.
Selain melihat pada keimanan, disaat lebaran yang merupakan hari kemenangan semua umat muslim. Sudah semestinyalah sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kita harus berbagi kemenangan kepada sesama saudara kita yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal.
Dengan kenyataan kehidupan bangsa kita yang sungguh mempihatinkan, dimana harga-harga mulai naik dan beban hidup semakin bertambah. Maka sebagai umat Islam kita perlu merefleksikan kembali fungsi ritualitas Ramadan yang kita laksanakan selama satu bulan yang kemudian meraih kemenangan di hari 1 Syawal. Dengan melaksanakan ibadah Ramadan setiap tahun, idealnya umat Islam mampu memberikan dorongan positif bagi kehidupan bangsa ke arah yang lebih baik di masa-masa mendatang. Oleh karena itu, 1 Syawal, akan sangat penting bagi umat Islam untuk merenungkan kembali substansi dari ibadah Ramadan yang dilaksanakannya. Dimana tidak hanya sekadar memenuhi perintah agama semata, tetapi juga mampu menjawab keprihatinan kita atas kondisi bangsa yang semakin amburadul? Sebab bila disadari, bahwa keambrukan tatanan moral dan peradaban bangsa ini, tidak lain akibat kondisi suram atau rusaknya mentalitas di antara para pemimpin dan rakyat bangsa kita.
Tanpa merasa malu dan bersalah, praktik korupsi, kolusi dan kolusi tetap dilakukan demi memenuhi kepentingan hasrat hawa nafsu jahat mereka. Sementara beban hidup warga masyarakat semakin berat akibat kondisi kondisi krisis yang tak kunjung berakhir.
Fenomena tersebut tentu merupakan bentuk kerusakan mentalitas seseorang dalam menjalani kehidupan kesehariannya. Sebuah larangan bisa berubah menjadi kewajiban, dan apa yang menjadi kewajiban berubah menjadi larangan. Di sinilah posisi Syawal dan Ramadan, selain sebagai bentuk pengejewantahan kepatuhan manusia terhadap Tuhan, sekaligus juga merupakan sarana penyembuhan mentalitas umat yang rusak.
Sebagai sarana pembersihan terhadap mentalitas umat yang rusak tersebut, sudah saatnya di hari kemenangan kehidupan bangsa dan masyarakat kita mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Sehingga, kehadiran Ramadan dapat memperbaiki citra politik dan moralitas bangsa kita. Begitu juga dalam aspek ekonomi, bagaimana pelaksanaan puasa ini dapat menghilangkan sikap keserakahan dan ketamakan kita selama ini yang telah menghancurkan sendi-sendi ekonomi kita.
Semoga ibadah Ramadan yang dilaksanakan oleh umat Islam kali ini merupakan obat mujarab bagi perbaikan dan perubahan masa depan bangsa kita. Dan dengan adanya Ramadhan merupakan madrasyah bagi jiwa untuk kesadaran akan kedekatan dan kehadiran Tuhan pada ketakberdayaan diri dalam lapar dan dahaga. Sehingga tatkala datang hari Syawal, kita semakin dapat merasakan penderitaan saudara-saudara yang ada disekitar kita. Semoga Lebaran kali ini benar-benar membawa perubahan bagi kehidupan diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara kita. Amien...
Prakoso Bhairawa Putera S
Pemerhati Masalah Sosial Politik
Civitas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Renungan Idul Fitri
Selama bulan Ramadan sering sekali kita mendengar nasihat bahwa 10 hari pertama puasa Ramadan adalah saat pengampunan terhadap dosa, 10 hari kedua adalah saat penuh rahmat, dan 10 hari terakhir adalah saat kita dijauhkan dari api neraka.
Banyak ustaz dan dai yang mengatakan bahwa dengan berakhirnya kita menjalani puasa Ramadan, kita (pasti) memperoleh kemenangan, bahwa kita akan kembali seperti anak kecil yang baru lahir, tanpa dosa sama sekali. Kita kembali kepada fitrah diri kita sebagai manusia.
Karena itu layaklah kita memperingati kemenangan dan peristiwa kembalinya kita kepada fitrah, menjadi manusia tanpa dosa. Itulah Idul Fitri yang selalu kita rayakan dengan meriah, ada kalanya secara berlebihan. Di sejumlah tempat kita mengadakan selamatan seperti hari raya ketupat, enam hari setelah Idul Fitri, suatu kegiatan budaya yang penuh nuansa keagamaan.
Maaf dan Ampunan
Apakah kita pasti telah memperoleh kemenangan setelah berpuasa secara fisik? Sementara kita tidak tahu apakah secara batin puasa kita telah memberikan dampak positif secara berarti kepada diri kita sehingga bisa mengendalikan nafsu pada 11 bulan lainnya? Dosa kita kepada Allah pasti diampuni.
Tetapi apakah Allah pasti mengampuni dosa kita kepada orang lain yang haknya kita ambil dengan cara paksa atau tipuan, kalau orang itu tidak memaafkan tindakan kita? Dosa kecil dan tidak berarti kepada saudara atau kenalan tentu mudah untuk meminta maaf dan juga tidak sulit untuk memaafkannya.
Namun dosa yang tidak kecil dan sangat berarti tentu tidak mudah untuk meminta maaf dan memaafkannya. Dosa antarkawan atau antarsaudara akibat rebutan harta atau berkaitan dengan bisnis dan dosa akibat konflik kepentingan seperti masalah politik tentu memerlukan kemauan kuat untuk bisa saling memaafkan.
Bermaafan secara sungguh-sungguh dan tidak hanya basa-basi belaka. Apakah pihak-pihak yang bertikai itu mampu mengalahkan diri sendiri dan bersedia meminta dan memberi maaf? Apakah dosa banyak pemimpin yang mencederai janji kepada rakyatnya (bahkan sumpah jabatan atas nama Allah) otomatis terhapus setelah mohon ampun kepada Allah tanpa meminta maaf kepada rakyat?
Apakah dosa para aparat penegak hukum kepada seseorang yang mencari keadilan dan diperlakukan tidak adil akan diampuni kalau aparat tersebut tidak meminta maaf kepada yang bersangkutan? Apakah dosa para pengusaha atau para pengacara yang bekerja sama dengan para penyelenggara negara di atas akan terhapus setelah mereka memohon ampun kepada Allah, tanpa meminta maaf secara langsung kepada pihak yang mereka rugikan?
Apakah para pejabat negara yang membantu terjadinya pembalakan liar yang mengakibatkan banjir dan perusakan lingkungan akan diampuni dosa mereka tanpa mendapat maaf dari masyarakat yang menjadi korban. Masyarakat yang jumlahnya amat banyak itu, bagaimana caranya untuk meminta maaf kepada mereka?
Mengejar Kemenangan Hakiki
Layakkah kita memperingati suatu kemenangan yang belum pasti? Kita telah memperingatinya puluhan kali dan kita tidak tahu dengan pasti apakah betul kita telah memperoleh kemenangan. Kita juga belum yakin benar apakah kita telah berhasil menghapus dosa kita, termasuk dosa kepada mereka yang kita ambil haknya, mereka yang kita rugikan, mereka yang berhak menagih janji kepada kita saat kampanye tetapi kita abaikan?
Bagaimana kita bisa memastikan bahwa kita betul-betul, bukan hanya merasa, telah memperoleh kemenangan sejati dalam puasa kita? Jawabannya: jika kita telah mencapai tujuan berpuasa, yaitu menjadi orang yang bertakwa, derajat tertinggi di mata Allah. Seperti apakah orang yang bertakwa?
Orang yang mau meminta maaf dan memaafkan, yang mau menafkahkan rezeki kepada sesama dalam keadaan sempit atau lapang, yang mau jujur kepada dirinya, yang rendah hati, yang berusaha sekuat tenaga menjaga dan mengevaluasi keikhlasan di dalam setiap kegiatan, yang berusaha menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, yang apabila berlaku zalim kepada dirinya, dia sadar dan memohon ampun kepada Allah.
Dan itu kita jalankan selama 11 bulan setelah Ramadan. Tentu tidak mungkin tercapai 100 persen, tetapi tercapai sebagian besar sudah cukup. Berapa puluh kali puasa Ramadan dan perayaan Idul Fitri kita butuhkan supaya kita bisa memperoleh kemenangan sejati dan kembali menjadi manusia yang sesuai dengan fitrahnya sehingga sungguh-sungguh layak merayakan kemenangan tersebut? Jawabannya secara umum adalah seperti judul sebuah lagu Blowing in the Wind (meniup atau berembus ke arah angin) alias tidak ada jawabannya.
Hanya Allah yang tahu jawabannya. Tentu ada yang bisa menjawab pertanyaan itu dan mampu memperoleh kemenangan sejati di dalam berpuasa, kemenangan atas dirinya dan nafsunya. Jumlahnya tidak banyak. Kebanyakan dari mereka adalah rakyat kecil yang tidak dikenal oleh orang banyak. Mereka tidak kekurangan dan juga tidak banyak berlebih, tetapi mereka ikhlas berbagi dengan sesama.
Mereka selalu diberi jalan keluar oleh Allah dalam setiap persoalan dan diberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Mereka adalah orang yang bertakwa dan berserah diri (tawakal) kepada Allah. Mereka yakin Allah akan mencukupi kebutuhan mereka. Tentu mereka berusaha secara lahiriah, tetapi secara batiniah mereka bersikap bahwa cukuplah Allah bagi mereka karena Dia adalah sebaik-baik penolong.
Semoga kita bisa benar-benar menjadi pemenang sejati di dalam menjalani ibadah puasa Ramadan. Kalau tidak tahun ini, ya pada tahun depan. Kita tentu berdoa semoga kita masih bisa bertemu dengan Ramadan 1430 H. Kita harus berbaik sangka kepada Allah bahwa doa kita ini akan diijabahi. (*)
Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng (//mbs)
Kamis, 08 Januari 2009
Kematian Santri-Saudagar
Oleh Zaim Uchrowi
"Saya sekarang lebih fokus ke bisnis, Mas." Itu yang diucapkan Ismail Nahu, seorang aktivis gerakan Islam dari Surabaya. Setahun sekali saya bertemu dengannya di forum ICMI. Terakhir di Silaturahmi Kerja Nasional ICMI di Palembang, pekan lalu.
Pertemuan yang selalu kami isi dengan percakapan tentang ke mana bangsa dan umat ini perlu melangkah. Dalam peta masyarakat Indonesia, Surabaya lebih diasosiasikan dengan dunia dagang. Bukan dengan intelektualitas. Dalam urusan intelektualitas, Surabaya sering dianggap 'kalah' dari Jakarta, Bandung, dan juga Yogya. Padahal, sebenarnya, di sekitar Surabaya-lah tonggak kesadaran peradaban berbasis intelektualitas berakar kuat. Keberjayaan peradaban nusantara yang dibangun para saudagar Muslim di abad ke-15 berakar dari langkah Maulana Malik Ibrahim di Surabaya. Langkah yang melahirkan pusat peradaban Surabaya, Gresik, Demak, Cirebon, hingga Banten, dan puluhan bandar lain di nusantara.
Salah satu gerakan kunci bagi kebangkitan nasional juga berhulu di Surabaya, lewat sosok Tjokroaminoto. Dialah 'guru' bagi banyak tokoh nasional, termasuk Soekarno. Kesadaran intelektual yang berpilin-pilin dengan kesadaran kebangsaan dan keumatan yang tumbuh di Surabaya itu sebenarnya terus terwariskan hingga sekarang. Pak Muhammad Nuh, menteri negara Komunikasi dan Informasi, adalah salah satu representasi ahli waris kesadaran tersebut. Yang belum banyak terungkap adalah keterjalinan kesadaran intelektualitas-kebangsaan-keumatan dengan kewirausahaan.
Ismail Nahu mengingatkan saya pada sisi terabaikan itu. "Lihat kajian Cliffort Geerzt soal santri," katanya. Antropolog itu mengelompokkan masyarakat Jawa dalam kategori abangan, priyayi, santri. Abangan tinggal di desa, umumnya bertani, tak melakukan ritual agama, namun banyak bersandar pada kepercayaan mistik. Priyayi tinggal di kota, pamong praja, cenderung sekuler. Santri tinggal di kota-kota kecil, berdagang, dan puritan dalam beragama. Seluruh gerakan kebangsaan-keumatan dulu, lanjut Ismail, bertumpu pada para santri saudagar itu.
Para santri-saudagar itulah yang ada di balik langkah-langkah Tjokroaminoto. Peran santri-saudagar itu lebih kental lagi pada gerakan kebangsaan yang dimotori Haji Samanhudi. Efektivitas langkah Ahmad Dahlan dalam membangun Indonesia lewat Muhammadiyah adalah karena peran para saudagar batik di Laweyan, Solo; Karang Kajen, Yogya; saudagar mori Pekalongan; saudagar kretek Kudus; hingga saudagar sarung Gresik. Merekalah kaum bazaari yang dalam peradaban Islam dunia selalu menjadi motornya. Merekalah pribadi merdeka yang sebenar-benarnya, yang akan selalu berjuang buat memerdekakan seluruh bangsa ini.
Saat kecil, saya mendapati sosok-sosok seperti itu pada diri Pak Jumadi, Pak Ramdono, Pak Karmuji, dan lain-lain. Mereka para pemilik toko-toko terpenting di jalan-jalan utama Madiun. Merekalah yang ada di balik kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang digalang Pesantren Sabilil Muttaqien. Hal yang saat ini tinggal menjadi catatan ingatan. Seperti di Laweyan, Solo, anak-anak mereka tak mampu melanjutkan serta mengembangkan kesaudagaran santri tersebut. Mereka lebih memilih menjadi pegawai atau profesional. Hasilnya: dunia santri-saudagar itu mati!
Kematian dunia santri-saudagar itu membawa akibat sangat besar bagi bangsa ini. Dunia bisnis yang berkembang tak memiliki akar kuat di masyarakat. Pembangunan kemasyarakatan tak berkembang. Kemajuan peradaban tak tumbuh secara mulus. Bangsa menjadi terfragmentasi. Kesenjangan melebar. Kemiskinan terlestarikan. Sebuah tragedi yang baru saya sadari di Palembang, dalam Silaknas ICMI.
Beri Kami Pemimpin yang Pandai Bersyukur
Oleh Asro Kamal Rokan
Ya Allah, atas kehendak-Mu--yang mengatur peredaran matahari dan bulan menurut hitungannya--hari ini 2008 berakhir, tiga hari setelah 1 Muharram 1430 Hijriyah. Sebagian dari kami yang tidak pandai bersyukur atas nikmat yang Kau limpahkan, menganggap bahwa pergantian tahun itu suatu yang normal, seperti siang pasti berganti dengan malam. Padahal, sangat mudah bagi-Mu memerintahkan matahari tidak terbenam dan malam tidak pernah datang.
Ya Allah, Yang Maha Pemurah, tahun sebelumnya kami lalui dengan berbagai persoalan. Keberhasilan dan kesedihan datang silih berganti. Ketika berhasil, kami merasa itu mutlak karena usaha kami sendiri. Ketika dilanda kesedihan, kami datang memohon ampunan-Mu. Padahal, tidak ada sehelai daun pun yang gugur tanpa sepengetahuan-Mu.
Ya Allah, Yang Maha Mengetahui, Kau ajarkan manusia pandai berbicara agar dapat menyampaikan ayat-ayat-Mu, menyampaikan kebenaran-Mu, dan bersyukur atas nikmat-Mu. Kau ajarkan kami huruf-huruf dan huruf-huruf itu berangkai menjadi kalimat agar kami dapat memuji-Mu dengan kalimat yang indah dan penuh makna.
Namun, pada tahun yang lalu, kami selalu berbicara tidak atas nama-Mu, tidak atas kebenaran-Mu, tidak atas kasih-Mu, apalagi memuji-Mu dengan kalimat indah dan bermakna. Dari mulut kami yang kecil, kami melindungi diri kami dengan dusta besar, kami menyemburkan api dengki dan fitnah, mengumbar janji dan melupakannya. Ya Allah, kami telah menjadi manusia yang melampaui batas.
Ya Allah, Yang Maha Pemberi Maaf, Kau beri kami udara, makanan, minuman, dan cahaya matahari untuk kami hidup. Kau beri kami hati dan pikiran agar kami tahu bersyukur dan memuji kekuasaan-Mu. Dalam Surah Arrahmaan, sebanyak 31 kali Kau ingatkan manusia untuk tidak mendustai nikmat yang melimpah itu. ''Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?''
Ya Allah, kami telah menjadi pendusta dan merasa sangat berkuasa. Segala nikmat seakan kami dapatkan dari hasil kerja keras kami. Kekuasaan, harta, dan kehormatan yang kami dapatkan seakan karena usaha kami. Padahal, Kaulah Yang Mahakuasa, yang memberikan kerajaan dan mencabutnya atas kehendak-Mu. Kaulah yang memuliakan dan menghinakan seseorang atas kehendak-Mu. Di tangan-Mu, segala kebajikan.
Sesungguhnya, Kau Mahakuasa atas segala sesuatu (QS Ali Imran).
Ya Allah, Yang Mahamulia, berkahilah bangsa kami ini. Lindungilah kami dari segala macam bencana karena keserakahan dan kesombongan.
Jauhkanlah bangsa ini dari perpecahan dan silang sengketa yang ditimbulkan oleh pemimpin-pemimpin yang tidak pandai bersyukur atas nikmat yang Kau limpahkan.
Ya Allah, Yang Maha Berkuasa atas segalanya, tahun depan kami memilih pemimpin. Berikanlah kami pemimpin yang tunduk pada perintah-Mu, menjauhi larangan-Mu, memelihara dan mencintai agama-Mu. Berilah kami pemimpin yang menjunjung tinggi amanah, bekerja keras untuk rakyat bukan untuk dirinya. Pemimpin yang mencintai fakir miskin, mencintai semua orang, termasuk musuh-musuhnya.
Ya Allah, berikanlah kami pemimpin yang dapat membimbing kami ke jalan-Mu, pemimpin yang pandai bersyukur atas nikmat-Mu, mampu menjaga moral dan kehormatan rakyat dan bangsa ini. Bukan pemimpin yang semata-mata mencari kekuasaan, hanya pintar berkata-kata, pintar menyalahkan, pengeluh, dan berhati culas.
Ya Allah, ampuni dosa-dosa kami, kuatkan iman kami dan pemimpin kami.
Hari Baru
Oleh Zaim Uchrowi
Waktu adalah kumpulan titik-titik abstrak yang memanjang menjadi semacam dimensi yang kita merasa memilikinya. Tapi, apa beda sebuah detik dengan detik lainnya bila kita tak memaknainya secara berbeda?
Bagi anak-anak Gaza, Palestina, detik-detik terakhir tahun 2008 adalah detik-detik petaka. Orang-orang tua mereka, saudara-saudara mereka, teman-teman mereka terenggut begitu saja dari kehidupannya. Rumah tempat bernaung mereka, sekolah tempat belajar mereka, bahkan sedikit ruang bermain mereka luluh lantak oleh bom-bom Israel.
Sebaliknya, bagi kekuasaan Israel, detik-detik akhir tahun lalu adalah detik-detik unjuk kepongahannya. Tak ada satu pun bangsa di dunia yang mampu menghentikan apa yang dimauinya. Masih akan lama umat dunia buat mampu mendudukkan mereka untuk menjadi beradab dan berkemanusiaan.
Bagi saudara-saudara kita para dhuafa yang harus menyabung hidup dari waktu ke waktu, pergeseran detik demi detik tak bermakna apa-apa. Tak ada beda buat mereka apakah terlelap dalam mimpi atau terjaga menikmati pesta kembang api saat tahun beralih. Bagi mereka hidup adalah garis kemiskinan yang memanjang hingga ajal. Sebuah garis kehidupan yang tak akan dipahami, dan tentu juga tak akan disentuh para pemimpin bangsa ini yang tak merasa bersalah hidup berlimpah dari uang publik.
Buat kita yang tak merasakan nestapa Gaza, juga tidak pepatnya kehidupan di permukiman-permukiman sumpek, lalu apa makna 'Hari Baru' yang biasa dikaitkan dengan peralihan tahun? Boleh jadi kita telah mencoba memaknainya. Boleh jadi juga belum, atau malah merasa tak perlu, memberi makna apa pun. "Buat apa?"
Apa pun, nabi telah berwasiat. "Hari ini harus lebih baik dari kemarin." Sebuah wasiat yang mengingatkan betapa penting memaknai setiap detik yang kita lalui. Tanpa itu hidup akan mubazir, sedangkan kemubaziran adalah pangkal kehancuran sehingga diistilahkan sebagai "kawan setan".
Seorang kawan menyatakan rasa syukurnya di akhir 2008 lalu. Ia sebut ia meraih sukses di tahun itu persis seperti semua hal yang ia tulis di akhir 2007 untuk harapannya dalam setahun ke depan. Maka, di akhir tahun lalu ia pun menulis semua harapannya untuk tahun ini. Tidakkah penting bagi kita buat mengikuti hal baik itu. Buat pribadi, juga buat umat dan bangsa.
Begitu banyak persoalan yang terhampar di hadapan kita. Begitu banyak tantangan yang harus kita taklukkan. Umat dan bangsa ini masih begitu lemah dan akan terus lemah bila tak ada upaya mendasar buat mengatasinya. Bom di Gaza, kemiskinan yang menyebar di sekujur bumi nusantara yang subur ini, hingga ketidakbertanggungjawaban para pejabat publik adalah gambar jelas yang menunjukkan betapa lemah kita sebagai bangsa. Kelemahan yang menuntut kita memiliki sikap berbeda dalam menyambut hari baru.
Maka, tidakkah kita ingin membuat makna berbeda buat hari baru yang telah tiba ini?
Spirit Muharram
Oleh Ahmad Syaikhu
Seiring bergulirnya waktu, usia bumi kian bertambah. Jika diibaratkan manusia, kiranya bumi layaknya seorang tua renta yang berbadan bungkuk, bertumpukan tongkat, berkulit keriput, dan berambut putih. Ini menunjukkan bahwa perubahan waktu adalah perubahan dalam berbagai aspek. Adapun yang tampak secara kasatmata adalah perubahan fisik.
Muharram secara bahasa adalah derivasi dari kata harama-yahrumu yang berarti mencegah atau melarang. Muharram sendiri bermakna dilarang atau diharamkan. Allah SWT menyebut bulan ini dalam Alquran di antara empat bulan yang dimuliakan.
''Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah 12 bulan. Dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu. Dan, perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.'' (QS Attaubah [9]: 36).
Para ulama mengemukakan, maksud dari ayat ini adalah Allah SWT melarang terjadinya peperangan dan hal sejenisnya yang termasuk kategori perang lantaran kemuliaan bulan ini. Larangan di sini adalah sebagai penekanan betapa Muharram adalah bulan yang mulia dan merupakan syahrullah (bulan Allah).
Secara akumulasi bulan Muharram kini beranjak pada usia 1430 Hijriah yang bertepatan dengan 2009 Masehi. Bertambahnya usia menandakan bertambahnya kemantapan dan kedewasaan sikap. Dengan beralihnya tahun, berarti spirit untuk memulai lembaran baru menuju langkah-langkah yang penuh optimistis dan rencana-rencana mantap mulai kian digelorakan. Jangan sampai tahun baru hanya sebagai euforia tanpa makna. Apalagi, di tengah gegap-gempitanya dunia yang sedang morat-marit akibat krisis global.
Alangkah indahnya jika Muharram dijadikan start awal untuk merefleksikan kehendak Allah. Dalam hal ini menyatukan visi bersama dan menundukkan kepentingan parsial. Yaitu, sebagaimana gambaran historis hijrah, merajut kembali tali ukhuwah dari nafsu pibadi dan kelompok. Karena, sejatinya kekuatan ukhuwah akan menampilkan nilai luhur Islam yang tinggi.
Menguatkan keimanan, membina moralitas, menolong kaum mustada'fiin (kaum yang lemah) adalah sekelumit contoh dari permasalahan umat yang lebih prioritas. Lebih lanjut, Muharram adalah momentum untuk meningkatkan etos diri, baik ukhrawi maupun duniawi. Berbenah diri dari kesalahan guna menyongsong hari esok yang lebih baik. Sebab, itulah hakikat hidup. Wallahu a'lam.
Sabtu, 03 Januari 2009
Rencana Perpu soal Dua Kali Centang Ditolak
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Djafar Badjeber, Rabu (31/12), menyatakan khawatir peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) ini semakin membingungkan pemilih.
Soalnya, sejak Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 ditandatangani 31 Maret 2008, partai sudah langsung menyosialisasikan agar rakyat memberi tanda centang satu kali dalam surat suara. Semua peraga kampanye pun sudah memasyarakatkan kepada pemilih agar memberi tanda satu kali, bukan dua kali. ”Perpu semakin membingungkan orang,” katanya.
Oleh karena itu, ketimbang mengeluarkan perpu, pemerintah lebih baik mendorong Komisi Pemilihan Umum menyosialisasikan secara besar-besaran agar pemilih memberi tanda centang satu kali di nama caleg yang akan dipilihnya.
Anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Saifullah Ma’shum, juga mengkhawatirkan perpu ini malah digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mendelegitimasi pemberian suara pada caleg sebagaimana telah diputuskan Mahkamah Konstitusi. Delegitimasi itu dilakukan dengan diam-diam mendorong pemilih hanya memberi tanda gambar partai.
Ketua Pelaksana Harian Pimpinan Kolektif Nasional Partai Demokrasi Pembaruan Roy BB Janis menilai dikeluarkannya perpu telah menafikan UU Pemilu yang telah mengatur pemberian tanda satu kali. Perpu juga seharusnya dikeluarkan dalam keadaan kegentingan yang memaksa. Padahal, situasi genting tersebut tidak terjadi saat ini.
Sementara itu, anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Arbab Paproeka justru mendukung dikeluarkannya perpu ini. Menurutnya, perpu ini justru lebih merespons pemilih untuk menyatakan kehendaknya.
Direktur Nasional Lingkar Madani Untuk Indonesia (Lima) Nasional Ray Rangkuti, dalam siaran pers yang diterima Kompas, Kamis (1/1), menyatakan, pemerintah dan KPU agar hanya melakukan perubahan terhadap aturan pemilu dengan didasari pada pertimbangan desain awal dari sistem pemilu itu sendiri.
Hal tersebut harus dilakukan agar pembangunan sistem pemilu yang tepat bagi bangsa Indonesia pada masa mendatang dapat dijamin kepastiannya.(DWA/SUT)