Oleh Zaim Uchrowi
"Saya sekarang lebih fokus ke bisnis, Mas." Itu yang diucapkan Ismail Nahu, seorang aktivis gerakan Islam dari Surabaya. Setahun sekali saya bertemu dengannya di forum ICMI. Terakhir di Silaturahmi Kerja Nasional ICMI di Palembang, pekan lalu.
Pertemuan yang selalu kami isi dengan percakapan tentang ke mana bangsa dan umat ini perlu melangkah. Dalam peta masyarakat Indonesia, Surabaya lebih diasosiasikan dengan dunia dagang. Bukan dengan intelektualitas. Dalam urusan intelektualitas, Surabaya sering dianggap 'kalah' dari Jakarta, Bandung, dan juga Yogya. Padahal, sebenarnya, di sekitar Surabaya-lah tonggak kesadaran peradaban berbasis intelektualitas berakar kuat. Keberjayaan peradaban nusantara yang dibangun para saudagar Muslim di abad ke-15 berakar dari langkah Maulana Malik Ibrahim di Surabaya. Langkah yang melahirkan pusat peradaban Surabaya, Gresik, Demak, Cirebon, hingga Banten, dan puluhan bandar lain di nusantara.
Salah satu gerakan kunci bagi kebangkitan nasional juga berhulu di Surabaya, lewat sosok Tjokroaminoto. Dialah 'guru' bagi banyak tokoh nasional, termasuk Soekarno. Kesadaran intelektual yang berpilin-pilin dengan kesadaran kebangsaan dan keumatan yang tumbuh di Surabaya itu sebenarnya terus terwariskan hingga sekarang. Pak Muhammad Nuh, menteri negara Komunikasi dan Informasi, adalah salah satu representasi ahli waris kesadaran tersebut. Yang belum banyak terungkap adalah keterjalinan kesadaran intelektualitas-kebangsaan-keumatan dengan kewirausahaan.
Ismail Nahu mengingatkan saya pada sisi terabaikan itu. "Lihat kajian Cliffort Geerzt soal santri," katanya. Antropolog itu mengelompokkan masyarakat Jawa dalam kategori abangan, priyayi, santri. Abangan tinggal di desa, umumnya bertani, tak melakukan ritual agama, namun banyak bersandar pada kepercayaan mistik. Priyayi tinggal di kota, pamong praja, cenderung sekuler. Santri tinggal di kota-kota kecil, berdagang, dan puritan dalam beragama. Seluruh gerakan kebangsaan-keumatan dulu, lanjut Ismail, bertumpu pada para santri saudagar itu.
Para santri-saudagar itulah yang ada di balik langkah-langkah Tjokroaminoto. Peran santri-saudagar itu lebih kental lagi pada gerakan kebangsaan yang dimotori Haji Samanhudi. Efektivitas langkah Ahmad Dahlan dalam membangun Indonesia lewat Muhammadiyah adalah karena peran para saudagar batik di Laweyan, Solo; Karang Kajen, Yogya; saudagar mori Pekalongan; saudagar kretek Kudus; hingga saudagar sarung Gresik. Merekalah kaum bazaari yang dalam peradaban Islam dunia selalu menjadi motornya. Merekalah pribadi merdeka yang sebenar-benarnya, yang akan selalu berjuang buat memerdekakan seluruh bangsa ini.
Saat kecil, saya mendapati sosok-sosok seperti itu pada diri Pak Jumadi, Pak Ramdono, Pak Karmuji, dan lain-lain. Mereka para pemilik toko-toko terpenting di jalan-jalan utama Madiun. Merekalah yang ada di balik kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang digalang Pesantren Sabilil Muttaqien. Hal yang saat ini tinggal menjadi catatan ingatan. Seperti di Laweyan, Solo, anak-anak mereka tak mampu melanjutkan serta mengembangkan kesaudagaran santri tersebut. Mereka lebih memilih menjadi pegawai atau profesional. Hasilnya: dunia santri-saudagar itu mati!
Kematian dunia santri-saudagar itu membawa akibat sangat besar bagi bangsa ini. Dunia bisnis yang berkembang tak memiliki akar kuat di masyarakat. Pembangunan kemasyarakatan tak berkembang. Kemajuan peradaban tak tumbuh secara mulus. Bangsa menjadi terfragmentasi. Kesenjangan melebar. Kemiskinan terlestarikan. Sebuah tragedi yang baru saya sadari di Palembang, dalam Silaknas ICMI.
Kamis, 08 Januari 2009
Kematian Santri-Saudagar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar