Selasa, 29 Sep '09 11:41
"TUHAN melaknat perbuatan korupsi: yang memberi dan yang menerima suap serta yang menjadi perantaranya," begitu lebih kurang makna sebuah hadits Rasulullah SAW yang sangat dipegang teguh oleh para sahabat; pemimpin Islam setelah beliau SAW. Salah satunya oleh Khalifah Umar ibn Al-Khattab ra.
Suatu kali, seorang pejabat negara kembali dan melaporkan adanya kelebihan kekayaan untuk baitul-mal sebanyak 400.000 dinar. Umar bertanya kepada pejabat yang ia tunjuk itu:
"Adakah saudara merugikan orang lain dengan harta itu?"
"Tidak," jawab si pejabat.
"Harta saudara sendiri berapa banyak?"
"Dua puluh ribu dirham".
"Dari mana saudara memperoleh itu?"
"Saya peroleh dari berdagang."
Mendengar itu Khalifah Umar marah. "Kami menugaskan saudara sebagai penguasa, bukan sebagai pedagang!! Kenapa saudara memperdagangkan harta umat Islam?"
Kelebihan harta demikian itu oleh Umar diambil kembali untuk negara dan hanya haknya yang semula dikembalikan pada pejabat itu. Umar memandang salah bagi pejabatnya yang berdagang di saat berkuasa. Sebab ia yakin, seorang pejabat yang berkuasa pastilah mendapatkan fasilitas dan kemudahan dalam menjalankan bisnisnya lantaran kekuasaan yang dimiliki. Dan kemudahan-kemudahan itu dianggap awal dari munculnya kecurangan dalam jabatan. Selain itu ia berprinsip bahwa jika seorang pejabatnya berdagang, pastilah pikiran dan tenaganya terbagi; di suatu saat ia harus melayani rakyat, disaat bersamaan iapun harus memikirkan bisnisnya. Makna jabatan kala itu benar-benar ibadah dan untuk melayani rakyat, bukan untuk melayani diri apalagi sampai memperkaya diri. Maka tak heran jika tak satupun pejabat negara kala itu kaya raya yang dibuahkan melalui jabatan mereka.
Demikian juga ketika ada pejabat yang harus bertanggung jawab itu diketahui memiliki beberapa ekor kuda seharga 1600 dinar, Khalifah yang terkenal tegas itu terkejut sekali lalu diusutnya sampai ke akar-akarnya. Dia tak dapat menerima alasan bilamana itu dikatakan dari hadiah orang, sebab hadiah demikian itu bukan untuk pribadinya, melainkan untuk jabatannya. Khalifah yakin bahwa si pejabat tadi pastilah tak diberikan hadiah sebesar itu bilamana ia tidak sedang memangku jabatan.
Sikap kepedulian Khalifah dalam 'mencegah' korupsi juga terlihat diawal-awal ia menunjuk pembantu-pembantunya. Ketika ada seseorang yang akan diangkat memangku jabatan tinggi, terlebih dulu harta kekayaan orang itu harus didaftar. Apabila setelah selesai masa jabatannya, kekayaan itu dilapor-ulang. Jika melebihi kepatutan, maka ia harus diserahkan untuk negara.
Tapi sungguhpun begitu, Khalifah Umar selalu berhati-hati dan teliti dalam hitung-menghitung kekayaan pejabatnya itu, agar tidak menimbulkan kedzaliman baru bagi si pejabat.
Memang, kemungkinan berlaku curang dalam memangku sebuah jabatan dapat dilakoni siapa saja, tak peduli kapan zamannya dan bagaimana orangnya, apalagi kesempatan dan peluang untuk berbuat curang itu sangat besar. Maka mungkin yang harus dilakukan hanyalah mempersempit gerak atau bahkan menghilangkan peluang dan kesempatan tersebut.
Apakah negeri kita ini mau mempersempit dan menghilangkan peluang2 dan kesempatan2 tersebut? Atau sebaliknya, justru dengan adanya kisruh KPK belakangan ini malah membuka lebar-lebar celah untuk bercurang-ria?
Insya Allah jangan-lah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar