Minggu, 27 September 2009

Menjaga Ketakwaan



Oleh Suprianto

Ramadhan yang agung baru saja berlalu dengan membawa kenangan manis. Kaum Muslimin yang menjalankan ibadah shaum dengan penuh keimanan berharap memperoleh ketakwaan sebagai hasil dari ibadah individual dan sosial selama satu bulan penuh, (QS. Albaqarah: 183).

Kini, umat Islam telah memasuki Syawal. Secara bahasa, Syawwal berasal dari suku kata syala, ya syulu, syawwal artinya meningkat. Orang yang puasanya memperoleh hasil yang sempurna sehingga mendapat predikat takwa terlihat saat memasuki Syawal. Ibadahnya kepada Allah tetap konsisten atau dalam bahasa agama disebut istiqamah . Serta hubungannya terhadap makhluk lain (ibadah sosial) tetap terjaga dengan baik.

Adapun orang yang puasanya hanya memperoleh lapar dan haus saja adalah mereka yang ibadahnya menurun. Kekhawatiran baginda Rasululah SAW akan penurunan kualitas ibadah umatnya terbukti pada saat ini. Contoh sederhana, saat memasuki Syawal, masjid kembali sepi, Alquran kembali diparkir di rak buku, sajadah tetap rapi terlipat di almari.Ketakwaan pada bulan Ramadhan tahun ini semestinya tetap dijaga dengan baik. Sangat disayangkan jika cahaya, hidayah, dan ampunan Allah yang sudah diraih umat Islam dengan susah payah, melalui pengorbanan berupa kesabaran yang besar, kemudian luntur begitu saja.

Lantas, bagaimanakah Rasulullah SAW menuntun umat Islam agar senantiasa berada dalam ketakwaan? Pertama, beliau mengajarkan supaya kita menjalankan ibadah shaum enam hari di bulan Syawal. Kedua, selalu menjaga shalat berjamaah. Salah satu ciri orang bertakwa adalah yang senantiasa memakmurkan masjid dengan shalat berjamaah, (QS. At-Taubah: 18).
Ketiga, secara konsisten melaksanakan ibadah-ibadah sunah, utamanya qiyamullail dan iktikaf. Keempat, lisannya selalu dibasahi dengan zikir, terutama bacaan ayat-ayat suci Alquran. Kelima, tidak pernah meninggalkan shalat dhuha. Keenam, bersikap dermawan. Semangat berinfak, sedekah, dan zakat diniatkan untuk membantu kaum dhuafa meskipun berada di luar bulan Ramadhan.

Ketujuh, menjaga tali silaturahim yang dalam tradisi orang Indonesia disebut halal bi halal . Syawal adalah momentum yang paling tepat untuk saling memaafkan dan saling menghapus dosa dan kesalahan antarsesama. Allah SWT mengampuni dosa dan kesalahan para hamba-Nya setelah masing-masing pihak saling memaafkan.

Jika, ketujuh macam ibadah di atas dapat dilaksanakan dalam kehidupan pada 11 bulan setelah Ramadhan, maka predikat takwa akan dapat disandang orang Islam. Allah SWT berjanji akan menempatkan orang-orang yang bertakwa ke maqaman mahmuda (tempat terpuji) yang sebagian besar ulama menafsirkannya sebagai surga yang seluas langit dan bumi. Wallahu a'lam bish shawab .

Petunjuk Alquran



Oleh A Ilyas Ismail

Kitab suci Alquran, kata Prof Fazlur Rahman, bersifat antropologis dalam arti diturunkan untuk kebaikan manusia sepenuhnya. Lihat saja, Alquran menyebut dirinya sebagai petunjuk bagi manusia (QS Albaqarah [2]: 186), petunjuk bagi orang-orang takwa (QS Albaqarah [2]: 2), sebagai hukum (QS Arra'd [13]: 37), peringatan (QS Alhijr [15]: 9), serta rahmat dan obat penawar bagi penyakit-penyakit hati (jiwa) manusia (QS Yunus [10]: 57).

Jika demikian, kita semestinya dekat dan membangun komunikasi yang intens dengan Alquran (al-ta'amul ma'a Alquran ). Namun, pada kenyataannya, sebagian dari kita jauh dan menjauh dari Alquran.Bahkan, menurut Sayyid Quthb, ada jarak dan kesenjangan yang teramat dalam ( fajwah 'amiqah ) antara kaum Muslim dan Alquran. Kesenjangan ini tentu tak boleh dibiarkan terus melebar, tetapi harus diatasi dengan kembali kepada Alquran dan membangun kehidupan sesuai bimbingan dan petunjuk Alquran.

Alquran pada pokoknya adalah kitab petunjuk ( hudan ). Petunjuk Alquran itu bersifat sempurna ( kamil ), bahkan paripurna ( mutakamil ). Karena, ia membimbing dan membawa manusia kepada jalan yang tepat dan kuat ( aqwam ).Penting dicatat, kata aqwam di atas merupakan bentuk tafdhil dari qawim , yang bermakna lurus dan tegak. Kata aqwam juga berakar dari kata qama atau qiyam , yang berarti berdiri.

Setiap orang tentu tahu bahwa berdiri ( qiyam ) mengandung makna kekuatan karena orang yang berdiri jelas lebih kuat ketimbang orang yang duduk. Ini berarti, petunjuk Alquran, bila dihayati dan diaplikasikan dengan benar, akan memberi kekuatan dan kemajuan bagi manusia. Kekuatan dan keunggulan petunjuk Alquran ini, menurut para pakar tafsir, dapat dipahami dalam beberapa makna. Pertama, petunjuk Alquran lebih sempurna daripada kitab-kitab terdahulu yang diturunkan kepada Bani Israil.

Kedua, petunjuk Alquran sesuai dengan naluri dan watak dasar manusia (fitrah) sehingga kekal dan abadi (QS Arrum [30]: 30). Ketiga, petunjuk Alquran bersifat komprehensif karena berbicara dan mengatur segala segi kehidupan manusia, tanpa ada sedikit pun yang terlewatkan (QS Al-An'am [6]: 38).

Ada satu lagi keunggulan petunjuk Alquran. Menurut Sayyid Quthb, petunjuk Alquran merupakan jalan tengah ( tawassuth ) yang memperlihatkan moderasi ( tawazun ) antara aspek materi dan spiritual; dunia dan akhirat; antara akidah, syariah, dan akhlak; serta antara kehidupan individu, pemerintah, dan masyarakat.

Inilah petunjuk yang merupakan hukum keseimbangan ( al-mizan ). Kita tak boleh melanggar hukum keseimbangan ini karena akan menimbulkan keguncangan ( dis-equilibrium ) dalam kehidupan (QS Arrahman [55]: 7-8).

Ucapan yang Lemah Lembut



Oleh H Toto Tasmara

Allah SWT menghendaki meringankan hamba-Nya. Kita sebagai manusia yang lemah ini, apakah tidak mau peduli dengan kerahmanan-Nya?Rasulullah SAW bersabda, ''Jauhilah olehmu sikap melampaui batas dalam agama. Sebab, orang-orang sebelum kamu telah binasa karena sikap melampaui batas dalam agama.'' (HR Ahmad, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Hakim).

Ketika Mu'adz memanjangkan bacaan shalat berjamaah, Rasulullah SAW menegurnya dan bersabda, ''Hai Mu'adz, apakah engkau akan menimbulkan fitnah?''Teguran ini diulangi sampai tiga kali, seakan memberikan wasiat janganlah melaksanakan syariah agama hanya sekadar mengikuti kata hati. Tapi, selalu ditimbang dengan ilmu dan kemampuan berpikir objek dakwah. Sebagaimana kebiasaan Rasulullah SAW bila diminta memilih di antara dua pilihan, pasti dipilihnya yang lebih ringan selama tak mengandung dosa.

Imam Ghazali menulis, ''Tidaklah layak ber-amar ma'ruf nahi munkar , melainkan seorang yang bersikap lemah lembut dalam menyuruh berbuat baik, lebih lembut dalam cara mencegah kemungkaran, benar-benar memahami apa yang disuruhnya dan apa yang dilarangnya.'' (Mukhtashar Ihya Ulumuddin).

Suatu saat, beberapa orang Yahudi pernah mengolok-olok Rasulullah SAW, mereka menyampaikan salam kepada Rasulullah dengan ucapan As-samu'alaikum (yang artinya: matilah engkau) sebagai ganti dari ucapan Assalaamualaikum (damai sejahtera untukmu).

Aisyah RA marah dan membalas ucapan Yahudi itu dengan ucapan yang keras. Rasulullah SAW tak mengucapkan apa pun, kecuali sebuah ucapan pembalasan, '' Wa'alaikum '' (demikian pula atasmu). Setelah itu, beliau menegur Aisyah RA seraya bersabda, ''Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bersikap lemah lembut dalam segala hal.'' (HR Bukhari Muslim).

Sungguh, terpujilah orang yang senantiasa lemah lembut dalam segala urusannya. Tampak tutur katanya santun dan tersusun indah. Suaranya menyejukkan lawan bicaranya. Di balik sikapnya yang lemah lembut itu, ada batu karang yang sangat kuat. Keras pada pendirian, tapi lemah lembut dalam cara penyampaian.

Orang yang bersikap lemah lembut akan dijauhkan dari musuh. Tidak ada sesuatu yang dia peroleh, kecuali kedamaian jiwa, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, ''Siapa saja yang dijauhkan sikap lemah lembut adalah orang yang dijauhkan segala kebaikan.'' (HR Muslim).

Dalam keadaan penuh tekanan sekalipun, sungguh indah bila kita tetap tersenyum seraya menampakkan wajah yang sejuk. Dan, dari lidahnya tidak ada kata-kata yang lain, kecuali kebenaran yang diungkapkan dalam untaian kata lemah lembut yang damai dan menyejukkan.

Rabu, 23 September 2009

Fitrah Manusia Bagi Alam Sekitar



Oleh M Johan Nasrul Huda

Pada akhir ayat yang mewajibkan umat Islam berpuasa (QS Albaqarah [2]: 183, 187), Allah SWT menyertakan takwa sebagai tujuan utama dari ibadah Ramadhan.

Untuk mencapai kualitas tersebut, rangkaian ibadah, seperti puasa dan berbagai amalan yang mengiringinya, menjadi bentuk limpahan kesempatan bagi umat meraup pahala sebesar-besarnya.

Nikmat shalat tarawih, kemuliaan malam Lailatul Qadar, hari pengampunan (maghfirah) dosa di sepuluh malam terakhir, hingga kewajiban zakat fitrah bagi setiap Muslim, tidak lain adalah fasilitas pengampunan dan karunia pahala yang dijanjikan Allah SWT di bulan suci ini.

Dengan demikian, Ramadhan adalah media evaluasi agar umat bertafakur atas perilaku dan tindakan pada sebelas bulan lainnya. Lebih dari rangkaian pelibatan fisik di dalam penyucian diri, Ramadhan mengedepankan kesempatan seorang Muslim meningkatkan kualitas mentalnya agar mencapai tujuan ibadah puasa, yaitu derajat takwa.

Sebagai bukti janji Allah SWT, tujuan mulia ini tidak terhenti di pengujung ibadah puasa, tapi juga dari rasa syukur umat pada hari khatimah yang ditandai dengan 'kembali ke fitri'.

Bagaikan bayi yang baru lahir, dosa dan khilaf mereka yang menamatkan ibadah Ramadhan akan terhapuskan. Fitrah manusia yang disimbolkan dengan pelaksanaan shalat Idul Fitri, menjadi kesempatan umat untuk saling memaafkan.

Tetapi lebih dari itu, hendaknya kefitrahan juga digunakan untuk membersihkan diri dari kealpaan dalam memperlakukan alam semesta (QS Asysyura [42]: 4-5).

Ini mengingat adanya perbedaan karakter dan sifat antara alam serta manusia. Sementara alam semesta selalu mengikuti qadar Allah SWT dan tidak pernah keluar dari hukum alam yang telah digariskan-Nya, maka manusia memiliki potensi berlebih dari qadar, yakni kebebasan untuk memilih.

Qadar, bagi manusia menjadi moral command (titah moral) dari Allah SWT yang akan menjadikan hidup manusia lebih dinamis. Manusia punya kesempatan untuk memilih tindakan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Sungguh merugi tindakan manusia terhadap alam jika tidak dilandasi oleh kefitrahannya. Alam akan memberikan respons yang bertolak belakang dengan hukum alam, seperti bencana alam. Sebaliknya, alam dapat menjadi tempat tinggal yang nyaman jika manusia memperlakukannya dalam kondisi fitrah.

Maka itu, sebuah keberkahan tiada terkira bagi manusia dengan adanya perintah berpuasa di bulan Ramadhan. Sebab hal itu berguna untuk mengembalikan hubungan yang harmonis antara manusia dan alam.

(-)

Memotong Mata Rantai Kemiskinan



Oleh KH Didin Hafidhuddin

Bulan Ramadhan di samping disebut sebagai bulan Alquran (syahrul Quran) sering pula disebut bulan zakat atau syahruz zakat. Karena banyak umat Islam yang mengeluarkan zakat hartanya di bulan Ramadhan ini dengan mengharap keberkahan. Meskipun sebenarnya zakat yang terkait bulan Ramadhan hanyalah zakat fitrah.

Zakat maal maupun zakat fitrah memiliki tujuan sangat mulia. Di samping menyucikan dan memberkahkan harta muzakki (pembayar zakat), juga meningkatkan kesejahteraan mustahiq (penerima zakat) agar terpenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, serta pendidikannya. Ini sangat penting supaya kemiskinan tak terwariskan kepada keturunannya.

Zakat sesungguhnya mempunyai fungsi memotong rantai kemiskinan, antara lain, melalui zakat yang bersifat produktif (ibarat memberikan kail dan cara mengailnya), di samping yang bersifat konsumtif, terutama kepada mereka yang tak mampu bekerja.

Hanya yang perlu disadari, peran zakat tidak mungkin terimplementasikan dengan baik dan optimal, kalau zakat itu diserahkan langsung dari muzakki kepada mustahiq, sebagaimana seperti sekarang ini.

Muzakki mengumpulkan para mustahiq di depan rumahnya. Kadangkala berjumlah ribuan dalam keadaan berdesak-desakan. Bahkan, kerap kali menimbulkan korban jiwa. Cara-cara ini tidak sesuai petunjuk Alquran dan hadis, di samping tak sesuai hikmah dan tujuan zakat itu sendiri.

Dalam Alquran surat Attaubah [9] ayat 60 dan 103 dikemukakan secara tegas, zakat itu harus disalurkan melalui amil zakat. Mereka menerima atau mengambil zakat dari para muzakki lalu mendistribusikannya kepada para mustahiq.

Para amil mendistribukan zakat sesuai kondisi dan kebutuhan dari para mustahiq. Jika para mustahiq adalah pelajar atau mahasiswa, mereka diberi donasi sesuai kebutuhannya.

Jika mustahiq itu petani, mereka diberi dana zakat untuk memenuhi kebutuhan pertanian mereka. Dan, jika mustahiq itu orang-orang yang sehat jasmani, tapi belum memiliki penghasilan tetap, diberikan pelatihan, lalu diberi modal awal bagi usaha mereka. Masih banyak contoh lainnya.

Para muzakki harus merasa benar-benar yakin, zakat melalui amil akan disalurkan secara baik sesuai ketentuan syariah dan aspek-aspek manajerial. Jika ini berjalan, zakat akan benar-benar memiliki fungsi meminimalisasi angka kemiskinan.

Potensi zakat kita cukup besar, mencapai Rp 19,3 triliun setiap tahunnya. Potensi yang sangat luar biasa yang jika diaktualisasikan, umat Islam dan bangsa Indonesia akan mampu meningkatkan kualitas dirinya, baik fisik-material maupun mental-spiritual, yang akan berujung pada kesejahteraan hakiki, masa kini maupun akan datang.

Panen Raya Ramadhan



Oleh Abdullah Hakam Shah

Seandainya ibadah sepanjang tahun diibaratkan musim tanam, maka Ramadhan layak ditahbiskan sebagai panen rayanya. Secara empirik, inilah bulan ibadah yang menghadirkan nuansa yang benar-benar berbeda bagi umat Islam.

Getarannya menyentuh setiap kalbu, semangatnya mengubah irama siang dan malam mereka. Secara normatif, kita tahu dari sabda Rasulullah SAW bahwa setiap detiknya merupakan persemaian yang sangat subur bagi setiap kebajikan.

''Amalan sunah saat Ramadhan sama nilainya amalan wajib di luar Ramadhan. Dan, satu amalan wajib di Ramadhan memperoleh pahala setara 70 amalan wajib di luar Ramadhan.'' (HR Ibnu Huzaimah).

Di 'panen raya' ini sepantasnya setiap Muslim menuai buah pengendalian diri. Setelah sebulan penuh berlatih menahan diri dari hal-hal yang sebenarnya halal, seperti makanan, minuman, dan hasrat biologis selama belasan jam setiap hari, diharapkan akan lebih mudah menahan diri dari apa pun yang haram selepas Ramadhan.

Bila saat berpuasa bisa meminimalisasi kekhilafan dalam tutur kata dan tingkah laku, diharapkan bisa lebih mudah untuk tidak secara sengaja menyakiti orang lain dengan lisan dan perbuatan seusai Ramadhan.

Di 'panen raya' ini, seyogianya setiap Muslim juga memetik hasil berupa ketaatan yang murni. Sepanjang Ramadhan ia menikmati rasa lapar dan dahaga bukan karena dihantui ancaman pidana, tapi murni keinginan dan inisiatif sendiri demi memperoleh ridha Allah SWT.

Selepas Ramadhan, ia tinggal menjaga atmosfer positif ini dalam kesehariannya. Selama Ramadhan, ia terkondisikan mengisi waktu luang dengan membaca Alquran, memperoleh hiburan lewat tarawih dan witir; juga murni karena pilihannya sendiri.

Seusai Ramadhan, diharapkan ia terbiasa mencari hiburan dan kenyamanan lewat amalan-amalan sunah serta taqarrub kepada Allah SWT. Di 'panen raya' ini pula selayaknya setiap Muslim mendulang buah kepedulian.

Sebab, setiap prosesi ibadah Ramadhan menuntunnya menjadi manusia biasa: makan sahur, menahan lapar dan dahaga, serta gembira saat berbuka seperti orang lain. Tidak ada diskriminasi antara kaya dan miskin, pejabat dan rakyat.

Semua embel-embel duniawi berupa harta, jabatan, atau kedudukan sosial sejatinya tak pernah membuat umat Islam berbeda. Karenanya, tidak ada alasan untuk tak peduli sesama, dan menjadikan setiap kelebihan yang Allah SWT titipkan sebagai kesempatan berbagi kepada orang lain.

Sekarang, ketika 'panen raya' ini segera berlalu, umat Islam harus pintar-pintar menyimpan dan memanfaatkan semua hasil yang diperolehnya agar bisa menjadi 'logistik' 11 bulan ke depan. Sepintar Nabi Yusuf AS saat mengatur hasil panen raya selama tujuh tahun agar mencukupi kebutuhan musim paceklik tujuh tahun berikutnya.

Minggu, 13 September 2009

Alquran dan Bumi Manusia

SETIAP Ramadan di berbagai masjid selalu diadakan peringatan Nuzulul Quran, peristiwa turunnya Alquran. Tentu Alquran turun ke bumi tidak seperti turunnya hujan dari langit karena langit itu sendiri pengertiannya banyak, mengingat bumi itu bulat dan hanya sebagian kecil saja dari miliaran planet yang mengapung di alam semesta.

Jadi, kalau dikatakan Alquran itu turun dari langit, langit manakah yang dimaksud, sulit dijawab secara ringkas. Peristiwa nuzulul Quran mungkin mirip dengan Isra Mikraj, Yaitu peristiwa rohani yang hanya dialami oleh pribadi Muhammad SAW,sementara para sahabat tidak ikut terlibat di dalamnya.

Para sahabat hanya mendengar ceritanya, lalu meyakini. Ini berbeda dengan hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah yang merupakan peristiwa historis-empiris yang bisa disaksikan dan diikuti oleh para sahabat beliau. Alquran turun pun tidak dalam bentuk lembaran kertas penuh tulisan yang jatuh berhamburan di muka bumi, lalu dipungut oleh Rasulullah.

Tidak juga malaikat Jibril menyerahkan bundelan kitab yang dapat diraba dan dipegang. Tetapi Alquran turun pada bumi manusia, dengan lokus ataupun perantara Muhammad seorang diri. Ini merupakan peristiwa rohani yang Muhammad sendiri sulit menjelaskan, bahkan pada awal mulanya ketakutan ketika makhluk spiritual bernama Jibril menemuinya di Gua Hira.

Jadi, yang dituju oleh Nuzulul Quran adalah bumi manusia, yaitu hati dan pikiran manusia, agar pesan dan petunjuk Alquran direnungkan, dipahami, dinalar, selanjutnya masuk menjadi keyakinan dan pada urutannya menggerakkan dan membuahkan perbuatan baik atau amal saleh.

Bahwa setiap Ramadan diadakan peringatan awal turunnya Alquran, itu sangat bagus agar umat Islam semakin akrab dan semakin mencintai Alquran. Namun yang paling mendasar dari peringatan itu adalah apakah pesan dan semangat Alquran nuzul pada hati dan pikiran kita ataukah tidak? Alquran menamakan dirinya dengan beragam nama dan fungsi, namun yang terkenal sebagai hudan atau petunjuk jalan kebenaran dan kebaikan.

Dalam tradisi hermeneutika, sebuah petunjuk akan berfungsi dengan mengandaikan beberapa syarat. Pertama, seseorang mesti paham apa yang dikandung oleh petunjuk itu. Misalnya saja, ketika ke Jepang, saya tiba-tiba menjadi buta huruf lantaran dihadapkan dengan beberapa keterangan dan petunjuk jalan dalam huruf kanji dan bahasa Jepang. Demikian pula apa yang dikandung Alquran.

Ketika seseorang tidak mampu membaca dan menangkap pesannya, petunjuk itu tidak berfungsi. Kedua, ibarat petunjuk jalan, kalau seseorang paham tetapi tidak mau menaati atau dihadapkan pada situasi yang menghalangi, maka lagi-lagi petunjuk itu tidak mengantarkan seseorang pada sasaran yang dituju.Ketiga, ibarat resep dokter, kalau seseorang tidak berdisiplin mengikuti petunjuknya agar memakan obat serta menjaga gaya hidup sehat, maka sulit baginya untuk hidup sehat.

Jadi, Alquran sebagai petunjuk jalan kebenaran dan kebaikan pada implementasinya dikembalikan pada umat Islam sendiri, apakah benar-benar memahami dan mampu melaksanakan ataukah tidak. Bahwa membacanya berpahala, memang itu dibenarkan oleh Rasulullah. Bahwa peringatan Nuzulul Quran itu bagus, itu sudah pasti sebagai tanda cinta umat Islam pada kitab sucinya.

Heart, Head, Hand

Agar Alquran mencapai sasarannya dan nuzul atau turun pada bumi manusia dan berfungsi membawa rahmat bagi kehidupan manusia, tidak saja bagi umat Islam, maka syarat pertama seseorang haruslah menyucikan hatinya (clean heart). Bagi orang yang hatinya tidak bersih, Alquran sulit untuk masuk.

Demikianlah bunyi salah satu ayat Alquran. Selama Ramadan, dengan banyak memperbanyak ibadah mendekatkan diri kepada Allah, memohon ampunan dan berbuat baik kepada sesama, semoga hati seorang mukmin akan kembali menjadi bersih sehingga Alquran bisa nuzul ke hatinya.

Syarat kedua, bila tanpa pikiran kritis dan selalu ingin berdialog secara cerdas dengan Alquran, Alquran seakan bisu, tidak banyak berbicara pada kita. Sebuah teks akan berbicara dan mengajari kita kalau kita senang bertanya, berdialog dan menangkap kandungannya. Makanya umat Islam mesti menggunakan nalar kritis dalam membaca Alquran.

Itulah salah satu keunikan dan keunggulan mukjizat Alquran yang menantang dan sekaligus membimbing penalaran (head) manusia. Syarat ketiga, setelah menggunakan heart dan head dengan benar dan optimal, selanjutnya seorang muslim haruslah mengimplementasikan dalam karya dan tindakan nyata dengan hand, sehingga buah dari kecintaan dan pemahamannya pada Alquran membuahkan amal saleh, yaitu karya nyata yang benar dan bermanfaat bagi umat manusia.

Semasa Rasulullah, masyarakat Arab padang pasir yang dikenal jahiliah dan senang berperang, dengan bimbingan Alquran, hati, pikiran dan perilakunya dipandu oleh Alquran, sehingga dalam waktu singkat terjadi revolusi peradaban.

Alquran benar-benar nuzul pada hati dan pikiran mereka yang kemudian mendorong perubahan sosial, dari kehidupan yang tidak beradab menjadi beradab. Hidup yang semula senang berperang berubah menjadi senang ilmu dan perdamaian. Itulah salah satu pesan Nuzulul Quran yang mesti kita gali, renungkan dan amalkan. (*)

Selasa, 08 September 2009

Alquran yang Agung


image

KONON bangsa Indonesia ini mayoritas umat Islam. Jadi, menurut logika saya apabila Indonesia ini baik; adil makmur, maka kaum musliminlah yang pertama-tama harus bersyukur. Namun sebaliknya apabila negeri ini terpuruk, kaum musliminlah yang paling bertanggung jawab.

Kaum muslimin memiliki Alquran yang diyakini sebagai pedoman hidup yang dapat mengantarkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pedoman yang tidak hanya menuntun hamba beribadah secara ritual, tapi juga secara sosial. Pedoman yang tidak hanya memandu pergaulan pribadi dengan Tuhannya, tapi juga juga pergaulannya dengan sesamanya.


Tetapi mengapa Alquran sepertinya hanya terlihat pengaruhnya pada ’’sisi-sisi simbolis’’ keislaman kaum muslimin? Semangat membangun masjid misalnya, tidak disertai dengan semangat memakmurkannya. Semangat berpuasa dan berhaji, tidak diikuti oleh semangat meningkatkan ketakwaan. Semangat ber-Islam, tidak dibarengi dengan semangat berakhlak mulia. Banyak sekali masjid yang besar-besar dan indah kosong oleh jamaah (kecuali mungkin di hari Jumat dan hari-hari raya).


Tidak sedikit mereka yang habis berpuasa dan berhaji, terus melanjutkan maksiat mereka. Bahkan ada pihak yang menyuruh orang menghormati Ramadan, tapi tindakannya justru tidak mencerminkan penghormatan kepada Ramadan.


Dan lebih mengenaskan lagi, ada tindakan-tindakan dan perilaku sementara orang Islam yang justru bertolak belakang dengan Alquran. Tindakan-tindakan yang hanya pantas dilakukan oleh preman, mereka lakukan. Alquran, misalnya, melarang orang mencuri, mereka justru terus melakukan korupsi.
Alquran menyatakan Islam merupakan rahmatan lil-’aalamiin, mereka justru melakukan tindakan yang mencerminkan laknatan lil-’aalamiin. Alquran mengajak menyintai, mereka justru suka membenci.

Alquran mengajarkan keramahan, mereka justru memamerkan kemarahan.
Alquran diturunkan melalui Rasulullah SAW dan beliaulah orang pertama yang mengamalkan kandungan Alquran.

Firman Allah di dalamnya menjadi gamblang oleh penjelasan Rasulullah SAW melalui keterangan lisan dan contoh pengamalannya.
Dengan kata lain, sebagaimana diisyaratkan oleh istri beliau sendiri, sayyidatina Aisyah ra, Rasulullah SAW adalah ’’Alquran berjalan.’’ (Kaana khuluquhu Alquran).


Akhlak mulia yang dididikkan Alquran utuh mengejawantah pada diri Rasulullah SAW dan kemudian pada diri para pengikutnya. Dan keindahan Islam pun menjadi budaya masyarakat Madinah pada zaman itu. Orang sekarang menyebutnya serampangan dengan istilah Madani.


Survei Alquran


Alquran yang menjadi pedoman di zaman itu tidak lain dan tidak bukan ialah Alquran yang sama seperti yang kini ada pada kita. Mengapa kini, sebagaimana disinggung di atas, perilaku umat Islam seperti tidak begitu berkaitan dengan Alquran, bahkan sering tampak berlawanan dengan kitab sucinya itu?


Banyak faktor yang bisa disebut sebagai penyebab hal tersebut; misalnya jauhnya jarak kita dengan pemimpin agung kita, Nabi Muhammad SAW dan langkanya keteladan; atau karena umat sekarang terlampau menyintai dunia .


Namun terlepas dari itu semua; khusus untuk kita di Indonesia ini, saya masih menganggap penting adanya survei atau penelitian tentang Alquran kaitannya dengan umat Islam yang mayoritas di negeri ini.
Bukankah kita memiliki lembaga-lembaga survei yang hebat. Saya kira penelitian untuk itu tidak kalah penting dan manfaat dibanding penelitian untuk sekadar mengetahui siapa-siapa pemenang pemilu.


Apabila dilakukan penelitian tentang berapa persen dari umat Islam yang mayoritas ini yang membaca Alquran; dari mereka yang membaca Alquran ini, berapa persen yang paham maknanya; dari mereka yang paham makna Alquran ini berapa persen yang mengamalkannya. Insya Allah hasilnya akan sangat bermanfaat . Dan siapa tahu bahkan dapat menjawab banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.


Hasil penelitian tentang kaum mayoritas dan kitab pedoman mereka ini, dapat, misalnya, untuk menjadi bahan menyusun kebijaksanaan pendidikan nasional kita dan program-program lain yang berkaitan dengan sumberdaya manusia, termasuk dapat dijadikan bahan kajian bagi mereka yang mengidamkan terwujudnya masyarakat madani.
Wallahu aĆ­lam. (77)

- Penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Kabupaten Rembang.

Jumat, 04 September 2009

Lailatul Qadar



Mashudi Umar
(Redaktur Majalah Risalah NU Jakarta)

Sang waktu terus bergulir, tak terasa bahwa puasa kita telah memasuki lebih dari sepuluh hari pada bulan ini, di mana kaum Muslimin di seluruh dunia, akan segera berada di bagian akhir bulan Ramadhan yang penuh rahmat, berkah, dan ampunan Allah SWT. Pada sepertiga bulan terakhir, yaitu sepuluh terakhir bulan suci ini, ada satu malam yang selalu di tunggu umat Muslim, yaitu lailatul qadar, adalah suatu malam yang menurut Alquran 'lebih baik dari seribu bulan' (lailatul qadr khair min alfi syahr).

Kaum Muslimin pada malam-malam terakhir Ramadhan ini, harus lebih memperdalam penghayatan spiritual keislaman, di samping juga menyucikan harta dengan amal sosial berupa zakat. Sehingga, tujuan shiyam(puasa) sebagai instrumen pengembangan kesadaran menemukan tujuannya, yaitu 'takwa', sebagaimana firman Allah, la'allakum tattaqun (agar supaya menjadi orang yang bertakwa).

Takwa sering diartikan dan dipahami secara peyoratif (lebih rendah), yaitu takut kepada Tuhan. Fazlur Rahman, guru besar asal Pakistan, meluruskan makna hakiki dari kata takwa sebagai hadirnya kapasitas melindungi diri dari konsekuensi perbuatan jahat atau berbahaya (QS 52:27, 40:9, 76:11). Dalam tingkatan tertinggi, takwa menggambarkan seluruh kepribadian manusia yang terpadu, sejenis stabilitas karakter yang terbentuk setelah elemen positif mengkristal dalam jiwa seseorang.

Pada hari kesepuluh ke atas pada bulan Ramadhan ini, Allah SWT berjanji akan mengabulkan doa-doa kita dan berjanji akan membebaskan kita dari dosa-dosa dan api neraka. Berarti ini merupakan kesempatan baik untuk berlomba-lomba meningkatkan ibadah kita (fastabiqul khairat) di tengah kemelut perekonomian dan politik bangsa ini yang sedang karut-marut. Hal ini sesuai dengan Sabda Nabi Muhammad SAW: ''Bulan Ramadhan adalah bulan yang awalnya penuh rahmat, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirnya adalah kebebasan dari neraka. (HR Ibnu Huzaimah)
Pada titik krusial ini, Allah mengirim 'bonus istimewa' bagi orang-orang yang giat berpuasa dan bermunajat kepada-Nya. Kita tahu, konstruksi puasa pada bulan suci ini adalah pengejawantahan artikulasi kesalehan dalam Islam yang bercabang dua; Pertama, puasa mengandung kesalehan individual yang mewajibkan pelaku puasa untuk melakukan sikap empati terhadap derita kaum papa, yakni dengan menahan nafsu makan dan minum serta seks dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya sang surya. Kedua, artikulasi sikap aktif orang berpuasa mewujud dalam bentuk sedekah wajib (zakat mal maupun fitrah) maupun sunah yang diseyogiakan mengisi hari-hari bulan Ramadhan.

Lailatul qadar adalah malam yang agung di antara sekian malam pada bulan suci Ramadhan. Tidak disebutkan kapankah malam itu terjadi, sebagaimana Allah berfirman, Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan (lailatul qadar) itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS Al-Qadar 97: 1-5).

Di mana para malaikat dan roh suci dan Malaikat Jibril turun ke bumi menyampaikan keberkahan dari Allah untuk umat manusia yang dikehendaki-Nya. Lailatul qadar bagi bangsa ini menjadi santunan rahmat sehingga kita mampu bangkit kembali di tengah keputusasaan, perpecahan, dan kekerasan antarumat. Belum lagi soal ekonomi dan politik yang tidak pernah menguntungkan rakyat kecil, saatnya kita untuk berbenah diri dan berlomba-lomba berbuat kebajikan untuk mendapatkan malam kemuliaan itu. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Alquran, serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih.

Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir. Karena itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama 20 hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya Rasul SAW menganjurkan sekaligus mempraktikkan iktikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Diriwayatkan dari Abu Dawud, Nabi Muhammad SAW pernah ditanya tentang lailatul qadar, lalu beliau menjawab, lailatul qadar ada pada setiap bulan Ramadhan.

Hadis tersebut diperkuat oleh Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: Siapa mencari malam lailatul qadar, carilah pada hari ke-27.

Di Indonesia, oleh para jamaah Thareqat Mu'tabarah menjadikan malam 27 ini sebagai malam paling istimewa untuk bertobat, berzikir, bersedekah, dan istighatsah. Istilah ini, umum dikenal dengan 'malam pitulikuran' sebagai malam paling istimewa.

Namun, ada banyak penjelasan mengenai tanda-tanda datangnya lailatul qadar itu. Di antara tanda-tandanya adalah, pertama, pada hari itu matahari bersinar tidak terlalu panas dengan cuaca sangat sejuk, sebagaimana hadis Riwayat Muslim.
Kedua, pada malam harinya langit tampak bersih, tidak tampak awan sedikit pun, suasana tenang dan sunyi, tidak dingin dan tidak panas. Hal ini berdasarkan riwayat Imam Ahmad dalam Kitab Mu'jam at-Thabari al-Kabir disebutkan bahwa Rasulullah bersabda: Malam lailatul qadar itu langit bersih, udara tidak dingin atau panas, langit tidak berawan, tidak ada hujan, bintang tidak tampak, dan pada siang harinya matahari bersinar tidak begitu panas.

Dengan tidak diketahuinya secara pasti kapan malam istimewa itu turun, diharapkan justru makin memotivasi kita untuk meraihnya tidak sekadar pada sepuluh hari terakhir, tapi sebulan penuh lamanya kita gunakan untuk berbakti kepada Tuhan. Sehingga pada bulan-bulan yang lain (selain bulan Ramadhan), sifat kebajikan sosial, berkata jujur, dan tidak melakukan korupsi mampu diimplementasikan pada aktivitas kita sehari-hari, baik terhadap diri sendiri, keluarga, kolega, saudara, kawan maupun lawan, dan antarumat yang lain.

Sehingga, kita dapat berkata bahwa tanda yang paling jelas tentang kehadiran lailatul qadar bagi seseorang (abdullah) adalah kedamaian, ketenangan, dan kesejahteraan jiwa.

Dengan demikian, meraih lailatul qadar bukanlah sesuatu yang mustahil karena ia tak menunjuk kepada peristiwa masa depan. Lailatul qadar juga tak menunjuk pada even masa lalu yang hanya terjadi sekali pada masa Rasul menerima wahyu Ilahi. Ia akan menyertai umat manusia yang haus pencerahan rohani pada hari-hari akhir bulan suci. Semoga malam mulia itu berkenan mampir menemui kita untuk bangkit menemukan Indonesia baru sekaligus memberikan tanda-tanda bahwa rakyat akan segera sejahtera, makmur, dan bermartabat, sebagaimana cita-cita dalam Alquran, baldatun thayyibatun warabbul ghafur. Mudah-mudahan. Wallahu a'lam bis shawab

Puasa untuk Kebajikan Sosial



Oleh Taufik Damas

''Hai orang-orang yang beriman, diwajibakan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu (ayyam ma'duudaat).'' (QS Albaqarah [2]: 183-184).

Kalimat ayyaam ma'duudaat memiliki arti beberapa hari. Kemudian, diperjelas oleh hadis Nabi SAW bahwa kewajiban puasa berlaku sebulan penuh. Salah satunya riwayat Aisyah, ''Aku tidak pernah melihat Rasulullah melakukan shalat malam sampai pagi dan puasa sebulan penuh secara berturut-turut kecuali di bulan Ramadhan.'' (HR Muslim).

Seberapa lama kita wajib berpuasa, bukanlah topik yang diperdebatkan. Umat lebih gemar membincangkan seberapa banyak pahala yang didapat. ''Barangsiapa melaksanakan puasa Ramadhan karena iman dan harapan (pada Allah), maka dosa-dosanya yang lalu pasti diampuni.'' (HR Bukhari)

Bagaimana membuktikan bahwa puasa kita diterima Allah SWT dan dosa-dosa diampuni? Sulit menjawabnya. Meyakini sesuatu tentu tidak dilarang. Namun, yang perlu diperhatikan, bagaimana supaya keyakinan itu tidak menyeret pada kesombongan dan ritual-ritual kosong, yaitu ritual ibadah yang tidak bermakna bagi diri dan lingkungan.

Rasulullah SAW memberikan semacam acuan batin bagi pelaku puasa, untuk menjadikannya fungsional, berdampak positif bagi pribadi dan lingkungan. ''Puasa adalah perisai. Jika kamu puasa, jangan berkata keji dan jangan bertindak bodoh. Jika seseorang menantangmu atau mencacimu, ucapkanlah, 'Aku sedang berpuasa'.'' (HR Malik).

Puasa adalah perisai yang melindungi pelakunya dari ucapan dan perbuatan jahat. Orang yang berpuasa semestinya berperilaku baik dan toleran.
Hadis ini mengajarkan, puasa hendaknya mencegah perilaku menyimpang atau tindak kejahatan yang merugikan orang lain. Islam tak mengajarkan kekerasan terhadap mereka yang tidak menjalankan kewajiban agama. Ketika kita berpuasa, tak berarti diperbolehkan mengolok-olok mereka yang tidak berpuasa atau menuduh tidak menghormati Ramadhan.

Alangkah bijak sikap orang yang beriman jika mengamalkan kebaikan-kebaikan sosial seperti yang diajarkan Rasulullah SAW. Bukankah puasa diwajibkan agar pelakunya menjadi sosok yang bertakwa. Takwa adalah simbol kebajikan sosial.
Segala kebajikan adalah bagian dari ketakwaan. Orang bertakwa gemar pada kebajikan, dalam bentuk apa pun dan diberlakukan kepada siapa pun. ''Berapa banyak orang yang berpuasa, tapi hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga. Berapa banyak orang yang melaksanakan ibadah malam, tapi hanya mendapatkan kelelahan karena tidak tidur.'' (HR Ahmad).

Puasa dan Pengawasan Tuhan



Oleh A Ilyas Ismail

Ibadah puasa dimaksudkan, antara lain, untuk menumbuhkan kesadaran ketuhanan, yaitu kesadaran bahwa Allah SWT hadir, melihat, dan menyaksikan semua prilaku kita. Kesadaran inilah yang membuat seseorang malu dan tak mau berbuat dosa.
''Seorang tidak mungkin mencuri atau melakukan kejahatan, sedangkan ia beriman kepada Allah dalam arti menyadari kehadiran dan pengawasan-Nya.'' (HR Muslim).

Pengawasan Tuhan ini bersifat absolut; lahir dan batin. Tak ada sesuatu kecuali di bawah kontrol dan pengawasan-Nya. Dalam Alquran, Allah SWT disebut sebagai pengawas manusia (QS an-Nisaa [4]: 1), bahkan pengawas segala perkara. ''Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.''(QS Al-Ahzab [33]: 52).

Dalam ajaran kerohanian Islam, kesadaran yang tinggi tentang adanya pengawasan Allah SWT itu dinamaimuraqabah. Muraqabah dimaknai sebagai kemampuan memusatkan pikiran dan perhatian menuju Allah SWT semata. Kedudukan muraqabah menjadi penting, karena tanpa muraqabah, derajat takwa yang menjadi tujuan akhir puasa tidak mungkin bisa dicapai.

Imam Qusyairi, dalam bukunya yang termasyhur, Risalah al-Qusyairiyah, menuturkan, tiga keutamaan dari kesadaran adanya pengawasan Tuhan (muraqabah) itu.

Pertama, muraqabah mendorong manusia melakukan evaluasi dan introspeksi diri (mahasabat al-nafs). Kata Qusyairi, orang yang menyadari Allah SWT mengawasi laku perbuatannya, ia pasti akan menghitung-hitung dan mengkalkulasi kebaikan dan terutama keburukan serta dosa-dosanya.

Kedua, muraqabah meningkatkan rasa takut kepada Allah SWT (makhafat Allah). Nabi Yusuf selamat dari godaan Zulaikha, karena kesadaran (muraqabah) ini. ''Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan dosa) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andai kata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. (QS Yusuf [12]: 24).

Ketiga, sebagai kelanjutan logis dari dua keutamaan terdahulu, muraqabah, kata Qusyairi, dapat mendorong manusia meningkatkan amal kebaikan (shalih al-a'mal). Sufi lain al-Sarraj, pengarang kitab al-Luma', menambahkan satu keutamaan lain dari muraqabah, yaitu perasaan dekat dengaan Allah SWT (hal al-qurb).

Perasaan dekat ini akan mempertebal pengharapan atau optimisme (al-raja'), dan selanjutnya optimisme memperbesar peluang terkabulnya doa. Inilah makna firman Allah SWT, ''Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.'' (QS Albaqarah [2]: 186).

(-)

Selasa, 01 September 2009

Republika Online

Republika Online: "Kualitas VS Kuantitas (II)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Tidak saja bodoh dan miskin, sebagian kita juga merasa 'bangga' mempertunjukkan perilaku menyimpang dalam bentuk kekerasan dengan berlindung di bawah payung ayat-ayat sakral yang ditafsirkan secara salah dan menyesatkan. Kita tidak tahu sudah berapa ribu korban yang berjatuhan akibat tindakan kekerasan di berbagai tempat. Kita memang berhak melawan pihak yang menzalimi kita. Tetapi, jika teror dilawan dengan teror terhadap orang yang tidak bersalah, jelas ajaran syariat telah dilanggar secara sengaja. Semestinya, posisi kita yang masih berada di bawah harus cepat menyadarkan kita untuk segera memperbaiki dan mengejar ketertinggalan kita di ranah ilmu."

Al Quran On Line