Oleh Abdullah Hakam Shah
Seandainya ibadah sepanjang tahun diibaratkan musim tanam, maka Ramadhan layak ditahbiskan sebagai panen rayanya. Secara empirik, inilah bulan ibadah yang menghadirkan nuansa yang benar-benar berbeda bagi umat Islam.
Getarannya menyentuh setiap kalbu, semangatnya mengubah irama siang dan malam mereka. Secara normatif, kita tahu dari sabda Rasulullah SAW bahwa setiap detiknya merupakan persemaian yang sangat subur bagi setiap kebajikan.
''Amalan sunah saat Ramadhan sama nilainya amalan wajib di luar Ramadhan. Dan, satu amalan wajib di Ramadhan memperoleh pahala setara 70 amalan wajib di luar Ramadhan.'' (HR Ibnu Huzaimah).
Di 'panen raya' ini sepantasnya setiap Muslim menuai buah pengendalian diri. Setelah sebulan penuh berlatih menahan diri dari hal-hal yang sebenarnya halal, seperti makanan, minuman, dan hasrat biologis selama belasan jam setiap hari, diharapkan akan lebih mudah menahan diri dari apa pun yang haram selepas Ramadhan.
Bila saat berpuasa bisa meminimalisasi kekhilafan dalam tutur kata dan tingkah laku, diharapkan bisa lebih mudah untuk tidak secara sengaja menyakiti orang lain dengan lisan dan perbuatan seusai Ramadhan.
Di 'panen raya' ini, seyogianya setiap Muslim juga memetik hasil berupa ketaatan yang murni. Sepanjang Ramadhan ia menikmati rasa lapar dan dahaga bukan karena dihantui ancaman pidana, tapi murni keinginan dan inisiatif sendiri demi memperoleh ridha Allah SWT.
Selepas Ramadhan, ia tinggal menjaga atmosfer positif ini dalam kesehariannya. Selama Ramadhan, ia terkondisikan mengisi waktu luang dengan membaca Alquran, memperoleh hiburan lewat tarawih dan witir; juga murni karena pilihannya sendiri.
Seusai Ramadhan, diharapkan ia terbiasa mencari hiburan dan kenyamanan lewat amalan-amalan sunah serta taqarrub kepada Allah SWT. Di 'panen raya' ini pula selayaknya setiap Muslim mendulang buah kepedulian.
Sebab, setiap prosesi ibadah Ramadhan menuntunnya menjadi manusia biasa: makan sahur, menahan lapar dan dahaga, serta gembira saat berbuka seperti orang lain. Tidak ada diskriminasi antara kaya dan miskin, pejabat dan rakyat.
Semua embel-embel duniawi berupa harta, jabatan, atau kedudukan sosial sejatinya tak pernah membuat umat Islam berbeda. Karenanya, tidak ada alasan untuk tak peduli sesama, dan menjadikan setiap kelebihan yang Allah SWT titipkan sebagai kesempatan berbagi kepada orang lain.
Sekarang, ketika 'panen raya' ini segera berlalu, umat Islam harus pintar-pintar menyimpan dan memanfaatkan semua hasil yang diperolehnya agar bisa menjadi 'logistik' 11 bulan ke depan. Sepintar Nabi Yusuf AS saat mengatur hasil panen raya selama tujuh tahun agar mencukupi kebutuhan musim paceklik tujuh tahun berikutnya.
Rabu, 23 September 2009
Panen Raya Ramadhan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar