Oleh M Johan Nasrul Huda
Pada akhir ayat yang mewajibkan umat Islam berpuasa (QS Albaqarah [2]: 183, 187), Allah SWT menyertakan takwa sebagai tujuan utama dari ibadah Ramadhan.
Untuk mencapai kualitas tersebut, rangkaian ibadah, seperti puasa dan berbagai amalan yang mengiringinya, menjadi bentuk limpahan kesempatan bagi umat meraup pahala sebesar-besarnya.
Nikmat shalat tarawih, kemuliaan malam Lailatul Qadar, hari pengampunan (maghfirah) dosa di sepuluh malam terakhir, hingga kewajiban zakat fitrah bagi setiap Muslim, tidak lain adalah fasilitas pengampunan dan karunia pahala yang dijanjikan Allah SWT di bulan suci ini.
Dengan demikian, Ramadhan adalah media evaluasi agar umat bertafakur atas perilaku dan tindakan pada sebelas bulan lainnya. Lebih dari rangkaian pelibatan fisik di dalam penyucian diri, Ramadhan mengedepankan kesempatan seorang Muslim meningkatkan kualitas mentalnya agar mencapai tujuan ibadah puasa, yaitu derajat takwa.
Sebagai bukti janji Allah SWT, tujuan mulia ini tidak terhenti di pengujung ibadah puasa, tapi juga dari rasa syukur umat pada hari khatimah yang ditandai dengan 'kembali ke fitri'.
Bagaikan bayi yang baru lahir, dosa dan khilaf mereka yang menamatkan ibadah Ramadhan akan terhapuskan. Fitrah manusia yang disimbolkan dengan pelaksanaan shalat Idul Fitri, menjadi kesempatan umat untuk saling memaafkan.
Tetapi lebih dari itu, hendaknya kefitrahan juga digunakan untuk membersihkan diri dari kealpaan dalam memperlakukan alam semesta (QS Asysyura [42]: 4-5).
Ini mengingat adanya perbedaan karakter dan sifat antara alam serta manusia. Sementara alam semesta selalu mengikuti qadar Allah SWT dan tidak pernah keluar dari hukum alam yang telah digariskan-Nya, maka manusia memiliki potensi berlebih dari qadar, yakni kebebasan untuk memilih.
Qadar, bagi manusia menjadi moral command (titah moral) dari Allah SWT yang akan menjadikan hidup manusia lebih dinamis. Manusia punya kesempatan untuk memilih tindakan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sungguh merugi tindakan manusia terhadap alam jika tidak dilandasi oleh kefitrahannya. Alam akan memberikan respons yang bertolak belakang dengan hukum alam, seperti bencana alam. Sebaliknya, alam dapat menjadi tempat tinggal yang nyaman jika manusia memperlakukannya dalam kondisi fitrah.
Maka itu, sebuah keberkahan tiada terkira bagi manusia dengan adanya perintah berpuasa di bulan Ramadhan. Sebab hal itu berguna untuk mengembalikan hubungan yang harmonis antara manusia dan alam.
Rabu, 23 September 2009
Fitrah Manusia Bagi Alam Sekitar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar