Selasa, 07 April 2009

Reformasi Moral

Oleh Ansori

''Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik moralnya.'' (HR Abu Daud).

Salah satu aspek yang paling diperhatikan Alquran untuk dibenahi dan diperbaiki adalah moralitas manusia. Demikian besar perhatian Alquran terhadap aspek ini, sampai-sampai Alquran menegaskan dirinya sebagai kitab aturan moral, menjadi sumber rujukan paling utama mengenainya.

Moral, atau biasa disebut dengan akhlak, memiliki peranan yang tak kalah penting dalam kehidupan masyarakat. Ia penopang utama pembangunan masyarakat yang berkelanjutan. Kesalahan atau kehancuran suatu masyarakat manapun sangat bergantung pada kebaikan atau keburukan moralnya.

Setiap anggota masyarakat mampu hidup saling berdampingan, memahami satu sama lain, tolong-menolong, dan mengecap kebahagiaan, selama masih terikat dengan nilai-nilai moral yang agung.

Kemuliaan moral merupakan tuntunan sosial. Artinya, ketika moral yang mulia telah lenyap, yang pada hakikatnya merupakan sarana untuk menciptakan keharmonisan antarsesama manusia, niscaya seluruh anggota masyarakat akan saling berselisih. Untuk kemudian terjerembab ke lembah kehancuran dan kemusnahan.

Sejarah membuktikan bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu tidak lain disebabkan oleh lenyapnya unsur moral yang baik. ''Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah), tapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami). Kemudian, Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.'' (QS Al-Isra' [17]: 16).

Nilai penting moral juga berdampak pada perilaku individu manusia serta segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Barangkali dapat dikatakan bahwa perilaku manusia senantiasa selaras dengan watak yang tertanam dalam jiwa.
Dalam hal ini Imam al-Ghazali mengatakan, ''Sesungguhnya semua sifat tertanam dalam lubuk hati. Namun, pengaruh yang ditimbulkannya akan terlihat dengan jelas pada anggota tubuh. Karenanya, seseorang tidak berangkat melainkan sesuai dengan sifat dalam hatinya.''

Kemudian, menurut intelektual Muslim terkemuka, Abdul Karim Zaidan, langkah yang seyogianya ditempuh para pembaharu dalam upaya membenahi dan memperbaiki kehidupan dan perilaku manusia adalah membangun dan menyucikan jiwa serta menanamkan nilai-nilai moral yang terpuji.

Amanah dan Janji

Oleh Suprianto

Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memegang janji.''

Hadis di atas penuh makna yang mengisyaratkan hal penting, yaitu tidak ada iman bagi orang yang tak amanah. Amanah dapat menyelamatkan manusia kelak di hadapan Rabb-nya. Sifat amanah dapat pula menjauhkannya dari segala bentuk kedurhakaan.

Sifat amanah seseorang menunjukkan dirinya memiliki keimanan yang kokoh dan tidak berkhianat, kepada siapa pun, termasuk terhadap Allah SWT. ''Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan kepada yang berhak menerimanya.'' (QS An-Nisaa' [4]: 58).

Rasulullah SAW mengatakan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Ada empat hal yang harus dihindari dari pribadi Muslim. Jika empat hal ini terdapat pada diri seseorang, berarti ia benar-benar murni seorang munafik.

Sedangkan orang yang menyimpan salah satunya, berarti terdapat salah satu tanda orang munafik, sampai ia meninggalkannya. ''Jika diberi amanah ia berkhianat, jika bicara berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika bermusuhan ia keji.''

Menjaga amanah dan memenuhi janji merupakan syarat asasi bagi keberadaan iman dalam hati seorang hamba. ''Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya.'' (QS Almu'minun [23]: 8).

Dalam kondisi kekinian, di tengah hiruk pikuk kampanye pesta demokrasi, begitu mudahnya para calon pemimpin mengobral janji. Padahal, ketika sudah terpilih, mereka memegang amanah yang besar untuk melayani kebutuhan rakyat yang dipimpinnya.

Janji politik saat berorasi harus mereka tepati karena apa yang mereka ungkapkan sudah dicatat oleh Allah SWT. ''Dan tepatilah perjanjian dengan Allah bila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (kamu) itu, sesudah meneguhkannya, sedangkan kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu).'' (QS An-Nahl [16]: 91).

Betapa manusia telah banyak yang terjerumus ke dalam perbuatan nifak yang sangat dibenci Allah SWT. Karena, mereka diberi amanah, tapi tak dipegang dengan baik. Mereka juga berjanji, tapi tidak pernah diwujudkan.

Bahkan, banyak yang melupakan janjinya dengan Allah SWT: janji untuk berbakti, janji beribadah, janji menaati, janji melaksanakan aturan dan hukum-hukum-Nya, dan janji saat berkampanye untuk menyejahterakan rakyat.
Mudah-mudahan, para pemimpin yang akan kita pilih dapat memegang amanah dengan baik dan dapat merealisasikan janji-janji mereka saat berkampanye.

Berlaku Ihsan

Oleh Ecep Heryadi

Secara literal, kata 'ihsan' berarti menunjukkan sikap cinta kasih terhadap sesama tanpa pamrih. Allah berfirman, ''Sesungguhnya, Allah SWT menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.'' (QS Annahl [16]: 90).

Kata 'ihsan' menempati tingkatan kedua setelah berlaku adil. Kenyataan ini meniscayakan posisi penting ihsan di hadapan Allah karena ia merupakan titah yang datangnya langsung dari Allah.

Berlaku ihsan dalam kehidupan sehari-hari memberikan keuntungan berlipat. Di satu sisi, dalam konteks vertikal, cinta Allah akan ia semai setiap detik karena perilaku ihsan tadi. Di sisi lain, ia akan mendapat balasan kasih sayang yang setimpal pula, bahkan lebih dari sesamanya sebagai balasan di dunia.

Sayang, keuntungan-keuntungan tersebut banyak dilupakan karena memang nilainya abstrak dan tak dapat dirasakan secara langsung. Pemahaman yang ada hanya memberikan senyum sedikit pun dirasa merugi karena dianggap takkan memberikan implikasi keuntungan secara nyata.

Terkait hal itu, Allah mengetuk pintu hati umat-Nya, ''Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.'' (QS Alqashash: 77).

Secara tersirat, Allah menerangkan bahwa perbuatan baik Allah seharusnya dibalas manusia dengan cara berbuat baik kepada sesamanya. Jika tidak, Allah akan mengganti segala kebaikan yang telah diberikan-Nya dengan keburukan karena telah mengingkari titah-Nya.

Tuntutan berlaku ihsan juga sebaiknya dilakukan tidak pandang bulu sebagaimana yang pernah Nabi Yusuf AS lakukan. Ketika itu, ia menolong untuk menakwilkan mimpi sang raja yang melihat tujuh ekor sapi kecil memakan tujuh ekor sapi besar, sekalipun dulu Yusuf pernah diperlakukan tidak adil.

Mengapa Yusuf tak membalas dendam dengan membiarkan mimpi tersebut bergulir hanya sebatas praduga yang nihil takwil kebenarannya? Dalam hal ini, Nabi Yusuf telah berlaku ihsan dengan tak memilih-milih orang yang ditolongnya.

Kisah Yusuf bukan untuk menggambarkan keislaman atau kemunafikan orang-orang kafir. Kisah ini hendak mengajarkan kita untuk ikhlas dalam berbuat baik (ihsan), tanpa pandang bulu. Itulah tuntunan Islam sebagai agama yang paripurna.

Mengubah Lewat Kekuasaan


Oleh Fauzi Bahreisy


Tragedi Situ Gintung telah menambah daftar bencana dan musibah yang terjadi di Indonesia. Yang meninggal karena tenggelam dan terbawa arus mudah-mudahan menjadi syahid sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam riwayat Muslim.

Namun, bagi kita yang hidup, tragedi itu harus menjadi pelajaran berharga sebagai bahan introspeksi. Di antara pelajarannya adalah seperti yang disebutkan di Alquran bahwa musibah terjadi lantaran ulah perbuatan manusia.

''Dan, apa saja musibah yang menimpa kamu itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).'' (QS Asysyura [42]: 30).Artinya, musibah tak terjadi begitu saja dan secara kebetulan. Namun, Allah SWT menghendakinya sebagai peringatan, teguran, dan bisa jadi hukuman atas ulah sebagian manusia yang melakukan sejumlah pelanggaran dan kemungkaran.

Kemungkaran di sini tidak hanya terbatas pada maksiat, minum minuman keras, judi, zina, dan dosa lainnya. Tapi, juga meliputi sejumlah kemungkaran dalam pengertian luas. Misalnya, praktik manipulasi proyek, sogok-menyogok, suap, proyek fiktif, mark-up anggaran, dan berbagai bentuk korupsi dan kolusi lainnya. Akumulasi dari berbagai kemungkaran itulah yang mendatangkan begitu banyak musibah dan bencana.Lalu, apakah kemungkaran itu akan terus dibiarkan atau harus segera dihentikan? Semua kembali kepada kemauan seluruh elemen bangsa.

''Allah tidak mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mau mengubahnya.'' (QS Arra'd [13]: 11). Jadi, yang dibutuhkan saat ini adalah tekad untuk mengubah kemungkaran. Bagaimana cara mengubah kemungkaran? Rasulullah SAW bersabda, ''Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran hendaknya mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya. Jika tidak mampu, dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.'' (HR Muslim).

Mengubah dengan tangan adalah lewat kekuasaan; dengan lisan lewat kemampuan berbicara yang dilandasi oleh pengetahuan; dengan kalbu adalah lewat kebencian dan ketidaksenangan terhadapnya. Dengan demikian, kekuasaan mempunyai peran yang sangat efektif dalam mengubah kemungkaran sehingga diletakkan di urutan pertama. Karena itu, kekuasaan dan jabatan strategis lainnya tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang tidak layak, yang tidak amanah, dan yang tidak memiliki kemampuan.

Kamis, 02 April 2009

Kedermawanan



Oleh Mohamad Sholihan

Aib seseorang terlihat dari kebakhilannya. Sedangkan, yang bisa menutup aib dari pandangan manusia adalah sikap kedermawanan. Karena itu, berselimutlah kain kedermawanan karena semua aib itu penutupnya adalah sifat dermawan.

Ali bin Abi Thalib mengatakan, ''Jika dunia mendatangimu, sedekahkanlah karena yang kau sedekahkan itu tidak akan habis.'' Ini sesuai sabda Nabi Muhammad SAW, ''Sedekah itu tidak akan mengurangi harta.'' (HR Muslim).

Kedermawanan adalah kemurahan, suka memberi, dan semua bentuk kemurahan hati. Hal itu akan memberikan pengaruh positif dan menyenangkan dalam diri si pemberi ataupun orang lain yang menerima.

Bersedekah bukan hanya kepada manusia, tapi juga makhluk lainnya. Banyak orang menyangka bahwa memperlakukan binatang dengan baik bukan termasuk kedermawanan. Padahal, perbuatan itu juga kedermawanan. Karena, hal itu tak akan dilakukan, kecuali oleh jiwa-jiwa mulia dan baik.

Jika tak sanggup bersedekah dengan harta terhadap manusia dan binatang, masih ada sedekah bentuk lain, yakni ucapan yang baik. Bila tak mampu menyenangkan manusia dengan harta, buatlah mereka senang dengan penampilan wajah kita yang berseri dan budi pekerti yang baik.

Menghormati, menghargai, dan memuliakan sesama dengan cara mengucapkan kata-kata yang santun, wajah berseri, dan sikap sopan merupakan bagian kedermawanan.

Kedermawanan meliputi makna-makna kewibawaan, memberi bantuan, kecerdasan hati, ringan tangan, menolong orang kesusahan, membantu yang terasing, membantu tetangga, dan segala kegiatan yang bernilai kebaikan dan kebajikan.

Jika unsur yang terbanyak dalam kedermawanan itu adalah sedekah, sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan kita banyak bersedekah. ''Dan, barang apa saja yang kamu sedekahkan, Allah akan menggantinya. Dan, Dia sebaik-baik pemberi rezeki.'' (QS Saba' [34]: 39).

Jika orang yang dermawan suka memberi, sebaliknya orang yang bakhil itu bangga dengan kebakhilannya. Orang-orang yang bakhil bangga dengan harta yang mereka miliki. Padahal, harta orang bakhil tidaklah berkah.

''Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan, adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala yang terbaik, kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (QS Allail [92]: 5-10).

Reformasi Moral



Oleh Ansori

''Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik moralnya.'' (HR Abu Daud).

Salah satu aspek yang paling diperhatikan Alquran untuk dibenahi dan diperbaiki adalah moralitas manusia. Demikian besar perhatian Alquran terhadap aspek ini, sampai-sampai Alquran menegaskan dirinya sebagai kitab aturan moral, menjadi sumber rujukan paling utama mengenainya.

Moral, atau biasa disebut dengan akhlak, memiliki peranan yang tak kalah penting dalam kehidupan masyarakat. Ia penopang utama pembangunan masyarakat yang berkelanjutan. Kesalahan atau kehancuran suatu masyarakat manapun sangat bergantung pada kebaikan atau keburukan moralnya.

Setiap anggota masyarakat mampu hidup saling berdampingan, memahami satu sama lain, tolong-menolong, dan mengecap kebahagiaan, selama masih terikat dengan nilai-nilai moral yang agung.

Kemuliaan moral merupakan tuntunan sosial. Artinya, ketika moral yang mulia telah lenyap, yang pada hakikatnya merupakan sarana untuk menciptakan keharmonisan antarsesama manusia, niscaya seluruh anggota masyarakat akan saling berselisih. Untuk kemudian terjerembab ke lembah kehancuran dan kemusnahan.

Sejarah membuktikan bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu tidak lain disebabkan oleh lenyapnya unsur moral yang baik. ''Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah), tapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami). Kemudian, Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.'' (QS Al-Isra' [17]: 16).

Nilai penting moral juga berdampak pada perilaku individu manusia serta segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Barangkali dapat dikatakan bahwa perilaku manusia senantiasa selaras dengan watak yang tertanam dalam jiwa.
Dalam hal ini Imam al-Ghazali mengatakan, ''Sesungguhnya semua sifat tertanam dalam lubuk hati. Namun, pengaruh yang ditimbulkannya akan terlihat dengan jelas pada anggota tubuh. Karenanya, seseorang tidak berangkat melainkan sesuai dengan sifat dalam hatinya.''

Kemudian, menurut intelektual Muslim terkemuka, Abdul Karim Zaidan, langkah yang seyogianya ditempuh para pembaharu dalam upaya membenahi dan memperbaiki kehidupan dan perilaku manusia adalah membangun dan menyucikan jiwa serta menanamkan nilai-nilai moral yang terpuji.

Fatwa Hati



Oleh Arif Munandar Riswanto

Semua orang pasti pernah merasa bimbang dalam hidupnya, terutama saat memutuskan sesuatu. Antara melakukan atau meninggalkan, memberikan atau mengambil, dan meneruskan atau menghentikan.

Jika sedang bimbang, kita pasti akan sulit memutuskan. Hari-hari yang dilalui akan penuh dengan keraguan. Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa mengambil keputusan dari situasi bimbang seperti itu?

Rasulullah SAW mengajarkan, jika sedang menghadapi situasi seperti itu, kita harus meminta fatwa kepada hati. ''Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah yang membuat hatimu tenang. Sedangkan keburukan membuat hati bimbang dan ragu.'' (HR Ahmad).

Di sini, Rasulullah SAW mengajarkan bahwa hati manusia memiliki fitrah untuk memberikan petunjuk kebenaran. Karena, pada dasarnya, manusia memiliki fitrah untuk selalu melakukan kebenaran.

Dalam hadis lain pun Rasulullah SAW mengajarkan bahwa hati nurani bisa menjadi batasan dalam menentukan kebaikan dan keburukan. ''Kebaikan adalah akhlak yang baik dan kejahatan adalah hal yang membuat hati kamu ragu serta kamu benci jika ia diketahui oleh manusia.'' (HR Muslim).

Rasulullah SAW mengajarkan bahwa kebaikan adalah hal yang bisa membuat hati tenang. Sedangkan kejahatan bisa membuat hati bimbang. Contohnya adalah mengambil sesuatu yang bukan menjadi hak milik (korupsi).

Semua orang yang melakukan hal tersebut pasti tidak akan tenang, meski barang yang diambil memiliki nominal yang sangat besar. Ia pun tidak ingin perbuatannya tersebut diketahui banyak orang.

Kalaupun ada orang yang mengetahuinya, ia pasti akan mengeluarkan seribu alasan. Sebaliknya, orang yang memgambil hak yang menjadi miliknya pasti akan merasakan ketenangan, meski nominal barang yang diambilnya sangat sedikit.

Sejatinya, kebaikan, ketaatan, dan amal saleh, pasti akan membuat hati lapang dan tenang. Sedangkan kejahatan, dosa, durhaka, dan maksiat, pasti akan membuat hati sempit dan tidak tenang. Amal yang baik pasti akan menyebabkan hati sehat, sedangkan amal buruk akan menyebabkan penyakit hati.

Yang pertama akan menimbulkan rasa cinta dari masyakarat. Adapun yang kedua akan menimbulkan rasa benci. Karena, manusia pun memiliki fitrah senang melihat kebaikan dan benci melihat keburukan.

Dengan demikian, jika kita bimbang dalam memutuskan sebuah hal, tanyakanlah kepada hati. Karena, Rasulullah SAW telah mengajarkan, ''Tinggalkan hal yang meragukanmu dan lakukan hal yang tidak meragukanmu.'' (HR Al-Bukhari).

Al Quran On Line