Senin, 28 Juni 2010

Mensinergikan Piala Dunia dengan Qiyamul Lail

Mensinergikan Piala Dunia dengan Qiyamul Lail

Sabtu, 26 Juni 2010, 14:30 WIB
Smaller Reset Larger
Mensinergikan Piala Dunia dengan Qiyamul Lail
ilustrasi

Oleh Hasan Yazid

Saat ini, sekitar 2,6 miliar pasang mata menyaksikan perhelatan akbar Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Penikmatnya tak terbatas usia, warna kulit, etnis, agama, dan jenis kelamin. Semuanya bersatu padu menyaksikan hajatan empat tahunan itu. Ada yang menggelar nonton bareng (nobar), baik di rumah, pos kamling, kafe, restoran, maupun hotel.

Sungguh begitu dahsyat magnet deman piala dunia, hingga banyak orang rela antre dan menunggu untuk menyaksikan pemain kesayangannya dan pertandingan antarnegara itu. Tak terkecuali umat Islam, sebagian rela dan turut serta melampiaskan kesenangannya untuk menyaksikan pertandingan tersebut.

Alangkah indahnya, bila sebagian dari waktu menunggu itu bisa dimanfaatkan untuk menghidupkan malam (Qiyamul Lail) guna mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebab, kesempatan menunggu atau seusai menyaksikan pertandingan tersebut (sekitar pukul 03.30 WIB), digunakan untuk beribadah kepada Allah. Hal itu, jauh akan lebih dahsyat lagi, karena mendapatkan dua keuntungan. Dapat menyaksikan piala dunia, namun juga dapat kebahagiaan dan ketenangan hati karena punya kesempatan lebih dalam mendekatkan diri kepada Allah.

Menghidupkan malam (Qiyamul Lail) itu, antara lain, bisa dengan mendirikan shalat tahajjud, shalat witir, membaca Alquran, berzikir, munajat, muhasabah, taubat, dan lainnya. Semua itu adalah ibadah yang dicontohkan Rasul SAW dalam mengisi sebagian waktu malam, dengan tujuan mengharapkan ampunan, berkah, dan ridha Allah SWT.

Kedahsyatan Qiyamul Lail telah dijelaskan Allah dan Rasul-Nya. Pertama, orang yang mengerjakannya akan mendapatkan derajat yang terpuji di sisi Allah. "Dan pada sebagian malam hari, bertahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhan-Mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji."(QS Al-Isra [17]: 79).

Kedua, mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT. "Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri (tahajjud) untuk Tuhan mereka." (QS Al-Furqan [25]: 64).

Ketiga, doanya akan dikabulkan dan dosanya diampuni oleh Allah. Sebab, pada sebagian malam terdapat waktu yang mustajab untuk berdoa. Sebagaimana sabda Rasul SAW dalam hadis Qudsi: "Sesungguhnya Allah, jika telah berlalu sepertiga malam yang pertama, perlahan-lahan turun ke langit dunia. Maka, Allah berfirman, "Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, pasti Aku kabulkan permintaannya, dan barangsiapa memohon ampun kepada-Ku, pasti Aku ampuni."

Jika seluruh umat Islam dari berbagai lapisan dan pemimpin negeri ini mau bersama-sama menggerakkan diri untuk menghidupkan malam (Qiyamul Lail), niscaya akan terciptalah kedamaian serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Serta terwujud pula negeri yang diridhai-Nya, Baldatun Thoyyibatun wa rabbun Ghafur. Wallahu a'lam.

Jumat, 25 Juni 2010

Lima Pelajaran Hidup dari Sang Lebah

Oleh Wahyudin Wahid

Lebah adalah binatang kecil yang terukir indah dalam Alquran. Allah mengabadikan namanya pada salah satu surah dalam Alquran, yakni Annahl. Tentu, ada keistimewaan yang dimiliki hewan ini hingga namanya termaktub dalam kitab yang suci dan mulia. Lihat surah Annahl [16] ayat 68-69.

Lebah diciptakan Allah SWT dengan banyak memberi manfaat bagi manusia. Di antara manfaatnya adalah madu. Tak hanya itu, perilaku hewan kecil ini harusnya menjadi cerminan akhlak bagi Muslim sejati.

Perhatikanlah kehidupannya. Ada banyak manfaat yang bisa diambil hikmahnya dari lebah. Pertama, lebah hanya menghisap saripati bunga. Ia hanya mengambil yang inti dan membiarkan yang lain. Lebah tahu, yang menjadi kebutuhannya hanyalah saripati, bukan yang lainnya. Ini mengajarkan bahwa setiap Muslim harus mengambil sesuatu yang baik dan halal. Sebab, mengambil hak yang lain hukumnya adalah haram.

Kedua, lebah menghasilkan madu. Ia memberi manfaat bagi manusia. Ini pelajaran bagi umat Islam. Madu berasal dari saripati bunga dan baik, maka keluarnya pun baik. Sesuatu yang halal, keluarnya halal pula. Dan, ia banyak memberi manfaat bagi orang lain.

Ketiga, lebah tidak merusak. Di mana pun dia hinggap, tak ada tangkai daun ataupun ranting pohon yang patah. Betapa santunnya hewan kecil ini hingga dalam bergaul dia tidak menyakiti siapa pun dan senantiasa menjaga kedamaian dalam setiap suasana. Lebah senantiasa memegang prinsip iffah (ketenteraman) dalam pergaulan.

Keempat, lebah punya harga diri. Ia tidak akan pernah mengganggu orang lain selama kehormatan dan harga dirinya dihormati. Namun, bila harga dirinya dizalimi, ia akan siap 'menyengat' pengganggunya. Karena itu, setiap Muslim harus mampu menjaga kehormatan dirinya.

Sudah sepatutnya kita belajar ilmu dari lebah. Bukan karena fisik dan pesonanya yang kurang menarik, tapi karena komitmennya dalam bersikap dan berbuat. Manusia memiliki kemuliaan dari makhluk lain. Namun, tingkah laku dan kehormatan manusia bisa lebih hina dari binatang.

Allah memberikan pelajaran bagi manusia untuk mengambil hikmah dari lebah. Ia makhluk kecil yang memberikan manfaat sangat besar bagi manusia. Tentunya, tak hanya dari lebah, setiap hamparan yang ada di alam semesta ini diciptakan oleh Allah SWT untuk kebutuhan manusia. Maka, bisakah kita mengambil pelajaran? Wallahu A'lam

Minggu, 20 Juni 2010

Apa yang Hilang di Negeri Ini



Apa yang Hilang di Negeri Ini
ilustrasi
Oleh Prof Dr HM Baharun

Iman secara etimologis berarti kepercayaan atau keyakinan. Secara epistemologis, iman bermakna iktiqad, yaitu sesuatu yang mengikat seseorang dengan iman dan yakin secara totalitas kepada Allah SWT dengan segala konsekuensinya. Dalam Alquran, iman itu disebut sebagai cahaya (QS 2:257, 5:15-16, 13:16, 24:40, 33:43, 39:22, 42:52, 57:9, 28, 61:8, 65:11).

Iman itu pada awalnya diucapkan secara lisan (qaulun bi al-Lisan), kemudian disertai dengan keyakinan di dalam hati (i'tiqadun bi al-Janan), dan lantas konsekuensi logisnya dilanjutkan dalam bentuk amalan ('amalun bi al-Arkan).

Dari akar "iman" ini pula ada kosakata "aman" yang mengisyaratkan pada kita bahwa iman itu akan menghasilkan rasa aman, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Iman dan aman, ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Secara kimiawi adalah merupakan dua entitas yang senyawa dan tak mungkin bertentangan.

Aman, rasa aman, dan keamanan adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan setiap insan. Sebab, tidaklah beriman seseorang yang tidak mampu memberikan rasa aman kepada orang lain. Keamanan memang bukan segalanya, namun kehilangan rasa aman, orang bisa kehilangan segalanya.

Kemudian, dari akar kata"aman" ini juga ada istilah "amanat". Artinya, seorang yang beriman (mukmin) sudah pasti dituntut harus berlaku amanat (jujur). Antonim amanat adalah khianat (tidak jujur), yang tentu tidak senyawa dengan sifat amanat yang baik dan membaikkan itu.

Apa yang terjadi saat ini di negeri kita adalah sesuatu yang sangat memprihatinkan. Karena pendidikan keimanan gagal, rasa aman hilang di tengah-tengah kita. Di mana-mana telah terjadi kerusuhan dan keonaran. Musibah berupa banjir, longsor, gempa bumi, ataupun kebakaran terjadi bertubi-tubi membuat ketakutan semakin mencekam-melengkapi penderitaan yang mendera masyarakat.

Karena iman yang tipis pula, amanat berubah menjadi khianat. Mereka yang diberi kesempatan, bahkan kehormatan untuk mengelola bumi, ternyata telah melakukan pelanggaran keimanan dengan berlaku tidak jujur. Korupsi dan penyelewengan terjadi di sana-sini. Rakyat kecil yang tidak berdosa terkena imbasnya. Mereka harus menanggung akibat yang ditimbulkan dari krisis iman dan amanat tersebut.

Rasulullah SAW bersabda, orang yang khianat dan curang itu akan kehilangan agama (HR Abu Dawud). Dan, sifat pengkhianat berarti merusak iman (HR Muslim). Karena itu, Rasul menganjurkan umatnya untuk senantiasa bersyukur dalam kondisi apa pun, karena hal itu merupakan bagian dari iman. Wallahu A'lam.

Janji Kemenangan Islam, Kapan Terwujud?



Janji Kemenangan Islam, Kapan Terwujud?

Oleh A Ilyas Ismail

Meskipun banyak problem yang dihadapi umat, banyak pakar merasa optimistis tentang masa depan Islam. Sayyid Quthb, tokoh pergerakan Islam, sangat yakin dan optimistis bahwa umat Islam akan meraih kebangkitan dan kemenangan pada masa mendatang. Ia menulis buku yang cukup terkenal dan berjudul al-Mustaqbal li Hadza al-Din (Masa Depan Milik Agama [Islam] Ini).

Seperti Sayyid Quthb; ulama besar dunia, Yusuf al-Qaradhawi, juga memiliki optimistis yang sama. Hal ini dapat dibaca dalam dua bukunya, al-Islam Hadharat al-Ghadd (Islam Peradaban Masa Depan) dan al-Mubasysyirat bi Intishar al-Islam (Kabar Gembira tentang Kemenangan Islam).

Dalam buku yang terakhir ini, al-Qaradhawi menunjukkan fakta-fakta yang sangat kuat tentang janji kemenangan Islam, baik berdasar Alquran, sunah, fakta sejarah, dan hukum-hukum sejarah (sunnatullah). Dalam Alquran, begitu banyak janji kemenangan itu, antara lain, keunggulan Islam (QS Attaubah [9]: 32), kekuasaan secara politik (QS Annur [24]: 55), dan kemenangan bagi para pejuang Islam (QS Alhajj [22]: 40-41).

Dalam hadis, diterangkan bahwa pada suatu hari, umat Islam akan mengalahkan musuh-musuh mereka, terutama orang-orang Yahudi. Pada hari itu, orang-orang Yahudi akan lari terbirit-birit dan bersembunyi di balik pepohonan dan bebatuan, tetapi mereka tidak dapat melepaskan diri dari kejaran kaum Muslim (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam sejarah, umat Islam telah menunjukkan keperkasaannya mengalahkan semua kekuatan yang ada pada waktu itu, baik di timur maupun di barat. Umat Islam, kata al-Qaradhawi, keluar sebagai pemenang dalam perang melawan kaum murtad, perang melawan bangsa Tartar, perang melawan kaum salib, dan perang melawan penjajahan Barat (perang kemerdekaan).

Kemenangan itu memang diputar dan digilir oleh Allah SWT. Pada masa lalu, kemenangan di tangan Islam bergeser dan berpindah ke Barat. Sekarang, kita harus merebut kembali kemenangan itu. Tentu saja, direbut dengan perjuangan, kerja keras, kerja cerdas, serta izin dan pertolongan dari Allah SWT.

Tanda-tanda kemenangan itu dimulai dengan perkembangan Islam di negeri-negeri Barat, bangkitnya pemuda Islam dan pergerakan Islam, hingga makin gencarnya serangan dari musuh-musuh Islam terhadap para pejuang Islam lantaran mereka takut dan cemas dengan kebangkitan Islam.

Lalu, kapan janji kemenangan itu terjadi? Rasulullah dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata,"Bilakah datangnya pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (QS Albaqarah [2]: 214).

Hikayat Jalinan Takdir dan Ikhtiar


Smaller Reset Larger
Hikayat Jalinan Takdir dan Ikhtiar

Oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Semua perbuatan dan keberadaan kita sudah didesain dengan apik oleh Allah SWT. Wallahu khalaqakum wa maa ta'maluun (QS Ashshaaffat [37]: 96). Dialah Desainer semua kejadian dan peristiwa. Tidak satu pun yang luput dari pengawasan dan keteraturan-Nya. Dialah Mahakarya, Penentu semua ciptaan.

Meskipun segala sesuatunya telah ditakdirkan, ada banyak amalan yang bisa menentukan arah keberpihakan takdir Allah. Amalan tersebut juga adalah bagian dari takdir-Nya. Di antara yang bisa mengubah takdir adalah ikhtiar atau usaha.

Dalam beberapa ayat, banyak ditemukan bahwa sejatinya Allah mengikuti amalan dan usaha manusia. Kaya-miskin atau sukses tidaknya usaha dan aktivitas kita tergantung dari seberapa besar usaha yang dilakukan. Jika ikhtiar dan usaha kita sungguh-sungguh, Allah akan sungguh-sungguh penuhi permintaan kita. "Sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah nasib satu kaum, kecuali dari kaum itu sendiri." (QS Arra'du [13]: 11).

Jangan pernah berharap bisa mendapatkan harapan dan cita-cita jika kita berdiam diri dan tidak mau usaha. Diam hanya akan melahirkan kekecewaan, kegagalan, dan kesialan. Tidak ada keberuntungan diraih dengan berpangku tangan (laysatin najah bis sukuuti). Tidak mungkin emas jatuh tiba-tiba dari langit. Semuanya ada proses dan waktu. Di situlah sesungguhnya peran usaha dan ikhtiar kita. Tidak bergerak dan berproses berarti berhentinya roda kehidupan (the static condition is real looser).

Orang yang tidak mau berusaha dan tidak bekerja hanya akan memperbanyak persoalan. Air yang menggenang dan tidak mengalir menyebabkan sarang penyakit. Singa yang tidak mau keluar dari sarang akan sakit, bahkan menemui kematian. Begitu juga dengan matahari yang tidak bergerak, pertanda awal bagi berakhirnya kehidupan.

Saudaraku, berbuatlah sesuatu. Ciptakan amaliyah untuk mengubah takdir kita. Selama pagi masih menjelang, pasti kita akan menemui kejutan-kejutan siang. "Berbuatlah (dan bergeraklah). Karena Allah, rasul, dan orang-orang beriman akan menjadi saksi atas perbuatan kita." (QS Attaubah [9]: 105). Dan, Allah tidak akan menyia-nyiakan apa pun yang telah kita lakukan, kecuali selalu ada nilai di hadapan-Nya (QS Ali Imran [3]: 191).

Haqul Yaqin, Allah akan membimbing kita menemukan jalan-jalan kebaikan, asal kita sungguh-sungguh berusaha menjemput takdir. Takdir kita di antaranya karena usaha kita. Dengan catatan, usaha tetap berada dalam syariat-Nya dan tidak dengan jalan kemaksiatan dan kotor (dosa). Cara-cara yang tidak baik hanya akan menemukan deretan panjang kesialan kita. "Dan, mereka yang bersungguh-sungguh berbuat di jalan Allah, maka pasti Kami akan tunjukkan jalan-jalan (kebaikan)" (QS al-Ankabut [29]: 69). Wallahu a'lam.

Kamis, 17 Juni 2010

Keutamaan Shalawat

Oleh Mahmud Yunus

“Sesungguhnya, Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi SAW. Hai, orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu (sekalian) untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS Al-Ahzab [33]:56).

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT dan para malaikat serta orang-orang Mukmin senantiasa bershalawat untuk Nabi Muhammad SAW.

Dalam catatan kaki Alquran dan Terjemahnya yang telah ditashih oleh Lajnah Pentashih Mushaf Alquran dari Departemen Agama RI, shalawat dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW berarti memberikan rahmat. Sedangkan, shalawat dari malaikat berarti memintakan ampunan. Dan, shalawat dari orang-orang Mukmin adalah memohonkan doa agar diberikan rahmat. Contohnya, dengan mengucapkan perkataan, “Allahumma Shalli ‘Ala Muhammad.”

Ayat di atas mengisyaratkan kita, betapa pentingnya kedudukan shalawat. Sehingga, kita dianjurkan untuk membacanya. Rasulullah SAW bersabda, “Perbanyaklah membaca shalawat kepadaku.” (HR Ibn‘Asakir).

Banyak hadis ataupun riwayat yang menjelaskan keutamaan (fadlilah) membaca shalawat. Dalam sejumlah riwayat, disebutkan juga kisah-kisah seputar shalawat.

Pertama, menurut Ibn Jauzi dalam buku Salwat Al-Ahzan. Saat Adam AS hendak menikahi Hawa, ia sempat “ragu” terkait maskawin yang akan diberikan kepada calon istrinya. Keraguan itu akhirnya mendorong Adam untuk bertanya langsung kepada Allah SWT, “Wahai, Tuhanku, apakah kiranya yang aku berikan (sebagai maskawin) kepadanya (Hawa)?” Allah SWT menjelaskan, “Bacalah shalawat untuk kekasih-Ku yang terpilih, Muhammad SAW.”

Kedua, Ka’bu Al-Akhbar mengisahkan, Allah SWT pernah bertanya kepada Musa AS. “Wahai, Musa, apakah kamu suka pada hari Kiamat kelak kamu tidak merasa kehausan?” “Tentu (saja), Tuhanku,” jawab Musa. Lalu, Allah SWT berfirman, “Perbanyaklah membaca shalawat kepada Muhammad SAW.”

Ketiga, ketika seorang Bani Israil yang kerap berbuat maksiat meninggal dunia, tak ada seorang pun yang bersedia memandikannya dan menguburkannya. Konon, jenazahnya itu dilemparkan begitu saja. Sejurus kemudian, Allah SWT memerintahkan Musa AS untuk memandikan dan menguburkan jenazah tersebut. Disertai penjelasan bahwa dosa-dosa orang itu telah diampuni oleh-Nya.

Musa AS pun bertanya, “Wahai, Tuhanku, amal apakah yang menyebabkan dosa-dosa orang ini Engkau ampuni?” Allah SWT menjelaskan, “Suatu hari, dia pernah membaca Taurat. Ketika dia membaca nama Muhammad di dalamnya, dia lalu membaca shalawat untuknya. Karena itulah, Aku ampuni dosa-dosanya.” Lihat kitab Irsyad al-‘Ibad ila Sabili al-Rasyad. Semoga kita senantiasa gemar membaca shalawat untuk Nabi Muhammad SAW. Wallahu A’lam.

Janji Kemenangan Islam

Oleh A Ilyas Ismail

Meskipun banyak problem yang dihadapi umat, banyak pakar merasa optimistis tentang masa depan Islam. Sayyid Quthb, tokoh pergerakan Islam, sangat yakin dan optimistis bahwa umat Islam akan meraih kebangkitan dan kemenangan pada masa mendatang. Ia menulis buku yang cukup terkenal dan berjudul al-Mustaqbal li Hadza al-Din (Masa Depan Milik Agama [Islam] Ini).

Seperti Sayyid Quthb; ulama besar dunia, Yusuf al-Qaradhawi, juga memiliki optimistis yang sama. Hal ini dapat dibaca dalam dua bukunya, al-Islam Hadharat al-Ghadd (Islam Peradaban Masa Depan) dan al-Mubasysyirat bi Intishar al-Islam (Kabar Gembira tentang Kemenangan Islam).

Dalam buku yang terakhir ini, al-Qaradhawi menunjukkan fakta-fakta yang sangat kuat tentang janji kemenangan Islam, baik berdasar Alquran, sunah, fakta sejarah, dan hukum-hukum sejarah (sunnatullah). Dalam Alquran, begitu banyak janji kemenangan itu, antara lain, keunggulan Islam (QS Attaubah [9]: 32), kekuasaan secara politik (QS Annur [24]: 55), dan kemenangan bagi para pejuang Islam (QS Alhajj [22]: 40-41).

Dalam hadis, diterangkan bahwa pada suatu hari, umat Islam akan mengalahkan musuh-musuh mereka, terutama orang-orang Yahudi. Pada hari itu, orang-orang Yahudi akan lari terbirit-birit dan bersembunyi di balik pepohonan dan bebatuan, tetapi mereka tidak dapat melepaskan diri dari kejaran kaum Muslim (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam sejarah, umat Islam telah menunjukkan keperkasaannya mengalahkan semua kekuatan yang ada pada waktu itu, baik di timur maupun di barat. Umat Islam, kata al-Qaradhawi, keluar sebagai pemenang dalam perang melawan kaum murtad, perang melawan bangsa Tartar, perang melawan kaum salib, dan perang melawan penjajahan Barat (perang kemerdekaan).

Kemenangan itu memang diputar dan digilir oleh Allah SWT. Pada masa lalu, kemenangan di tangan Islam bergeser dan berpindah ke Barat. Sekarang, kita harus merebut kembali kemenangan itu. Tentu saja, direbut dengan perjuangan, kerja keras, kerja cerdas, serta izin dan pertolongan dari Allah SWT.

Tanda-tanda kemenangan itu dimulai dengan perkembangan Islam di negeri-negeri Barat, bangkitnya pemuda Islam dan pergerakan Islam, hingga makin gencarnya serangan dari musuh-musuh Islam terhadap para pejuang Islam lantaran mereka takut dan cemas dengan kebangkitan Islam.

Lalu, kapan janji kemenangan itu terjadi? Rasulullah dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata,"Bilakah datangnya pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (QS Albaqarah [2]: 214). Wallahu a'lam.

Intensitas Iman

Oleh A Riawan Amin


"Sesungguhnya, orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar." (QS Alhujurat [49]: 15).

Iman adalah fondasi umat Islam dalam setiap perbuatan. Seseorang baru akan bertindak bila ia merasa yakin mampu melakukan sesuatu. Jika tidak yakin, hasilnya pun pasti tidak akan optimal. Keyakinan utuh seperti inilah yang akan membuka lembaran realitas hidup. Semakin besar intensitas iman seseorang, semakin besar peluang keajaiban menjadi kenyataan.

Berkenaan dengan itu, ada sepenggal kisah menarik. Suatu ketika, di tengah jalan, Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah berjumpa dengan seorang pengemis. Ali berkata kepada Hasan, anaknya."Pergilah kepada ibumu. Mintakan uang dua dirham dari enam dirham yang tadi aku berikan padanya."

Hasan pun pergi. Saat kembali, Hasan mengabarkan perkataan ibunya bahwa uang enam dirham tersebut akan dipakai untuk membeli tepung. Mendengar hal ini, Ali berkata, "Sungguh, belum benar iman seseorang sehingga ia lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangannya"

Sekali lagi, Ali menyuruh Hasan untuk menemui sang ibu. "Minta uang enam dirham itu," kata Ali. Ali pun lantas memberikan semua uang tersebut kepada si pengemis.

Tak lama kemudian, muncul seorang laki-laki membawa seekor unta untuk dijual. Ali bertanya, "Mau kau jual berapa unta ini?" Orang tersebut menjawab, "140 dirham." Ali berkata, "Ya, sudah, tinggalkan saja untamu di sini. Biar aku yang menjualnya."

Orang itu pun pergi dan menitipkan untanya kepada Ali untuk dijualkan. Beberapa saat kemudian, datanglah seseorang menghampiri Ali. Ia berkata, "Hai, anak paman Rasulullah SAW, berapa unta ini mau kau jual?" Ali berkata, "200 dirham." Orang tersebut berkata, "Baik, aku beli unta ini seharga 200 dirham."

Ketika si pemilik unta datang, Ali pun memberikan sebesar 140 dirham kepadanya. Ali pun pulang membawa 60 dirham untuk istrinya, Fatimah RA. Dengan heran, Fatimah bertanya, "Dari mana uang sebanyak ini?" Lalu, Ali pun menceritakan apa yang terjadi pada hari itu. "Barang siapa yang melakukan satu kebaikan, ia akan mendapatkan 10 kali lipat yang sepertinya." (QS Al-An'am [6]: 160).

Dalam realitas keseharian, sesungguhnya semua prestasi dan kegagalan sangat dipengaruhi oleh tingkat keyakinan terhadap apa yang kita lakukan. Hidup dalam dinamika kekuatan keyakinan akan menuntun diri pada kekuatan luar biasa dari Sang Mahakuasa.

Dosa-dosa Membuka Aurat


Smaller Reset Larger
Dosa-dosa Membuka Aurat
ilustrasi

Oleh M Sahrul Murajjab Lc

Sesuai dengan fitrahnya, manusia merasa lebih nyaman untuk menyimpan rahasia atau privasinya dari jangkauan orang lain. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman dan teknologi, banyak orang yang berubah 'pikiran' menjadi lebih senang membuka rahasia agar diketahui orang lain.

Dalam Islam, wilayah privat sangat dilindungi. Dan, setiap Muslim diwajibkan untuk menjaga, menutupi, dan menyimpan jenis-jenis privasi tertentu yang biasa diistilahkan dengan aurat. Selain yang berupa privasi fisik (anggota tubuh), yakni seluruh apa berada di antara lutut dan pusar (bagi laki-laki) dan seluruh anggota badan kecuali muka dan telapak tangan (bagi perempuan), aurat juga mencakup privasi-privasi yang bersifat nonfisik. Apa yang dilakukan oleh seseorang ketika melakukan hubungan suami istri adalah termasuk di antara wilayah privat yang dilarang untuk dibuka dan disiarkan kepada orang lain.

Asma' binti Yazid menceritakan bahwa pada suatu ketika ia berada di majelis Rasulullah SAW, sementara kaum laki-laki dan perempuan duduk bersama. Rasulullah bersabda, "Barangkali seorang laki-laki menceritakan hubungan intim yang dilakukannya bersama istrinya? Barangkali seorang perempuan menceritakan hubungan intim yang dilakukannya bersama suaminya?" Para Sahabat yang berada di tempat tersebut terdiam. Akupun (Asma--Red) berkata, "Demi Allah, benar wahai Rasulullah! Sesungguhnya kaum perempuan melakukan hal itu demikian juga laki-laki!" Maka Rasulullah SAW bersabda, "Jangan lakukan, sesungguhnya hal itu seperti setan laki-laki yang bertemu dengan setan perempuan di jalan, lalu keduanya bersetubuh sementara orang-orang melihatnya." (HR Ahmad, hasan lighairihi).

Rahasia yang termasuk aurat dan harus ditutupi adalah aib atau perbuatan dosa yang pernah dilakukan oleh seseorang. Kewajiban menutupinya merupakan tanggung jawab bersama, baik pihak yang melakukannya maupun orang lain yang mengetahui perbuatan tersebut.

Rasulullah SAW bersabda, "Seluruh umatku akan diampuni dosa-dosanya kecuali orang-orang yang terang-terangan (berbuat dosa). Di antara orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa adalah seseorang yang pada waktu malam berbuat dosa, kemudian di waktu pagi ia menceritakan kepada manusia dosa yang dia lakukan semalam, padahal Allah telah menutupi aibnya. (HR Al-Bukhari dan Muslim). Wallahu a'lam.

Perilaku yang Menghapus Pahala


Smaller Reset Larger
Perilaku yang Menghapus Pahala
ilustrasi

Oleh Juman Rofarif

Termasuk etika dalam bersahabat dan lebih luas lagi dalam bermasyarakat, adalah menjaga perasaan. Bahkan, Rasulullah SAW menjadikan itu sebagai salah satu prasyarat Muslim sejati. Rasul SAW mengatakan bahwa yang disebut Muslim adalah orang yang mulut dan tangannya membuat orang lain merasa damai. Kata-katanya tidak menyakiti, perilakunya tidak melukai. Dua-duanya menjadi satu-kesatuan utuh untuk membentuk karakter Muslim sejati.

Kata-kata bijak seseorang akan menjadi omong kosong jika perilakunya meresahkan. Dan, perilaku mulia seseorang akan menjadi percuma jika kata-katanya menyakitkan. Sebab itulah Allah mengingatkan, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.'' (QS Al-Baqarah [2]: 264).

Karena itu, Muslim sejati adalah orang yang membawa rasa aman dengan apa pun yang ada pada dirinya dan bagi siapa pun yang ada di sekelilingnya. Abu Qasim al-Qusyairi dalam kitabnya al-Risalah al-Qusyairiyah, menulis kisah menarik tentang etika.

Suatu ketika, seorang ulama terkemuka bernama Hatim didatangi seorang perempuan yang hendak berkonsultasi tentang suatu hal. Berbarengan dengan saat bertanya, perempuan itu kelepasan (maaf) kentut. Hatim lalu berkata, ''Maaf, Anda bertanya apa? Mohon, angkat sedikit suara Anda agar saya dapat mendengarnya dengan baik.''

Perempuan itu berpikir, Hatim ini sepertinya memiliki pendengaran yang kurang baik dan pasti tidak mendengar kentut barusan. Maka, ia pun menyampaikan maksudnya. Selesai urusan, perempuan itu pun pulang dengan perasaan lega dan barangkali tak perlu malu kepada dirinya sendiri dan kepada Hatim, sebab telah kelepasan kentut di hadapan seorang ulama.

Sejak peristiwa itu, tersebar kabar bahwa Hatim adalah orang yang pendengarannya kurang baik. Dan bukan hanya kabar angin, orang-orang pun mengetahui sendiri bahwa Hatim memang demikian. Lalu, orang-orang menjuluki Hatim dengan al-asham atau si tuli. Sampai kemudian perempuan itu meninggal dunia.

Hatim lalu menceritakan keadaan diri bahwa sesungguhnya ia tidak benar-benar tuli. Apa yang ia lakukan hanya kepura-puraan. Saat perempuan itu kentut di hadapannya, ia pura-pura tidak mendengar. Dan, ia berjanji, kepura-puraan itu akan ia jaga selama si perempuan masih hidup, semata-mata karena tidak ingin membuat perempuan itu malu. Hatim ingin menjaga harga diri dan perasaan perempuan itu.

Meski demikian, sebutan al-Asham telah telanjur melekat pada diri Hatim. Sehingga, sampai saat ini, nama Hatim dalam karya-karya klasik selalu ditulis Hatim al-Asham atau 'Hatim Si Tuli.' Wa Allahu a'lam.

Keistimewaan Pahala Membaca Alquran

Keistimewaan Pahala Membaca Alquran

Ilustrasi

Oleh Syamsu Hilal

Salah satu keistimewaan Alquran adalah diberikan pahala bagi orang yang membacanya. Ibnu Mas'ud berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang membaca satu huruf dari Kitab Allah (Alquran ), ia akan mendapatkan satu kebaikan yang nilainya sama dengan 10 kali ganjaran (pahala). Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf." (HR Tirmidzi). Hadis dari Ibnu Mas'ud ini diperkuat dengan hadis serupa dari Abi Sa'id.

Rasulullah SAW memerintahkan kita mengkhatamkan (menyelesaikan bacaan) Alquran paling cepat dalam waktu tiga hari dan paling lambat satu bulan (30 hari). Kalau kita mengambil yang paling lambat, yaitu khatam dalam waktu satu bulan, berarti kita harus membacanya satu hari minimal satu juz. Satu juz kurang lebih terdiri atas 20 halaman. Bila 20 halaman tersebut kita bagi lima, setiap usai shalat fardhu kita cukup membaca empat halaman.

Membaca Alquran harus dilakukan dengan tartil, perlahan-lahan, dan sesuai dengan ilmu tajwid. Ibnu Mas'ud berkata, "Janganlah kalian membaca Alquran dengan amat perlahan seperti memungut buah kurma satu demi satu dan jangan pula membacanya dengan amat cepat seperti membaca syair. Namun, berhentilah pada keajaiban-keajaibannya dan resapilah dalam hati. Hendaklah perhatian kalian tidak terfokus pada akhir surat."

Berdasarkan pengalaman selama ini, membaca satu juz Alquran dengan tartil rata-rata membutuhkan waktu 30 menit. Ini berarti setiap selesai shalat fardhu kita cukup menyisihkan waktu enam menit untuk membaca Alquran agar kita bisa mengkhatamkannya satu kali dalam satu bulan.

Marilah kita hitung berapa kebaikan yang akan kita peroleh bila kita membaca Alquran setiap selesai shalat fardhu. Setiap halaman Alquran rata-rata terdiri atas 15 baris bacaan. Setiap baris bacaan rata-rata terdiri atas 35 huruf. Bila satu huruf dibalas dengan 10 pahala kebaikan dan bila membaca satu halaman Alquran; kita akan mendapat 5.250 pahala. Satu juz mendapat 105 ribu pahala. Bila satu bulan khatam, kita akan mendapat 3.150.000 pahala kebaikan.

Bila setiap selesai shalat lima waktu kita mencicil membaca Alquran minimal empat halaman-setara dengan enam menit-enam menit waktu yang kita sisihkan tersebut akan dibalas dengan 21 ribu pahala kebaikan. Subhanallah. Tentu saja ini balasan minimal dari Allah SWT. Dalam Alquran, disebutkan bahwa Allah SWT akan membalas setiap amal kebaikan tanpa batas sesuai dengan kehendak Allah SWT. Berapakah nilai satu ganjaran pahala di sisi Allah? Wallahu a'lam, tentu jauh lebih besar dari segala yang kita miliki di dunia.

Bagaimana Islam Memandang Sepak Bola?

Bagaimana Islam Memandang Sepak Bola?

ilustrasi

Oleh Abu Afifah Zulfikri

Sepak bola, hampir semua orang mengenalnya. Saat ini, gelegar Piala Dunia 2010, hampir terdengar di seluruh pelosok negeri. Saat ini, negeri Nelson Mandela, Afrika Selatan, menjadi sejarah perhelatan sepak bola terbesar di dunia. Bagaimana hukum sepak bola menurut pandangan Islam? Berikut sejumlah pandangan ulama mengenai sepak bola.

Dalam kitab Bughyatul Musytaq fi Hukmil lahwi wal la'bi was sibaq disebutkan, "Para ulama Syafiiyah telah mengisyaratkan diperbolehkannya bermain sepak bola, jika dilakukan tanpa taruhan (judi). Dan, mereka mengharamkannya jika pertandingan sepak bola dilakukan dengan taruhan. Dengan demikian, hukum bermain sepak bola dan yang serupa dengannya adalah boleh, jika dilakukan tanpa taruhan (judi)."

As-Sayyid Ali Al-Maliki dalam kitabnya Bulughul Umniyah halaman 224 menjelaskan, "Dalam pandangan syariat, hukum bermain sepak bola secara umum adalah boleh dengan dua syarat. Pertama, sepak bola harus bersih dari unsur judi. Kedua, permainan sepak bola diniatkan sebagai latihan ketahanan fisik dan daya tahan tubuh sehingga si pemain dapat melaksanakan perintah sang Khalik (ibadah) dengan baik dan sempurna.

Syekh Abu Bakar Al-Jazairi dalam karyanya Minhajul Muslim halaman 315 berkata, "Bermain sepak bola boleh dilakukan, dengan syarat meniatkannya untuk kekuatan daya tahan tubuh, tidak membuka aurat (bagian paha dan lainnya), serta si pemain tidak menjadikan permainan tersebut dengan alasan untuk menunda shalat. Selain itu, permainan tersebut harus bersih dari gaya hidup glamor yang berlebihan, perkataan buruk dan ucapan sia-sia, seperti celaan, cacian, dan sebagainya."

Bagaimana dengan hukum menyaksikan pertandingan tersebut? Berkaca pada kebolehan bermain sepak bola tersebut, menonton atau menyaksikannya juga diperbolehkan. Tentu saja ada syarat-syarat yang harus terpenuhi.

Menyaksikan pertandingan tersebut diperbolehkan asal bersih dari segala bentuk perjudian dan taruhan, tidak membuka aurat, tidak ikhtilat (campur-baur antara laki-laki dan perempuan), tidak diiringi dengan minuman keras, dan tidak melanggar norma-norma agama lainnya.Dengan demikian, jelaslah hukum dari permainan sepak bola itu. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Islam telah mengatur segala bentuk kehidupan umat manusia, termasuk dalam hal berolahraga.

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu." (QS Al-Maidah [5]: 3). Wallahu A'lam

Sabtu, 12 Juni 2010

Rahasia di Balik Matematika Shalat



Rahasia di Balik Matematika Shalat

Oleh Deden Zaenal Muttaqien

Berapa lamakah kita shalat dalam sehari semalam? Jika setiap rakaat kita perkirakan dua menit, maka dalam sehari-semalam jumlahnya ada 34 menit. Artinya, dalam sehari hanya kita isi sebanyak 2,4 persen dari 1440 menit. Dalam satu minggu, berarti ada 238 menit atau 3,96 jam. Dalam satu bulan, lama shalat kita sebanyak 952 menit atau 15,86 jam. Dan setahun, ada 11.424 menit atau 190,4 jam, yang berarti setara dengan 7,93 hari.

Jika rata-rata usia hidup manusia selama 60 tahun, dan dikurangi dengan 10 tahun masa awal akil baligh (dewasa), maka hanya 50 tahun seseorang melaksanakan shalat dalam hidupnya. Itu berarti, sepanjang hidupnya ia melaksanakan shalat fardlu selama 571.200 menit atau sekitar 9.520 jam, atau 396,7 hari (1,1 tahun).

Bisa dibayangkan, selama hidup, kita hanya butuh waktu untuk shalat fardhu selama 1,1 tahun, atau dalam satu tahun hanya 7,93 hari, atau dalam satu hari hanya 34 menit. Dari sini terlihat betapa jauhnya perbandingan ketaatan kita kepada Allah SWT dengan nikmat yang diberikan-Nya kepada kita dengan nikmat usia.

Maka, sangat disayangkan apabila ada orang yang tidak melaksanakan shalat karena alasan tidak ada waktu atau sibuk. Padahal, jika kita jujur terhadap diri sendiri, kita mampu berlama-lama bertelepon, nongkrong di depan komputer, jalan-jalan, nonton TV, dan lain sebagainya.

Ingatlah, Abu Zubair menceritakan bahwa dia mendengar Jabir bin Abdullah berkata, ''Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran itu terdapat perbuatan meninggalkan shalat'." (HR Muslim).

Oleh karena itu, jangan pernah merasa puas dan berbangga diri dengan ibadah yang telah kita laksanakan. Sebab, bisa jadi ibadah kita, terutama shalat, tidak akan berarti apa-apa bila hal itu kita kerjakan dengan tidak ikhlas. Apalagi berharap surga. Allah menyindir orang yang demikian dengan pendusta agama. (QS Al-Maun [107]: 1-7).

Jadi, jangan hanya mengandalkan masuk surga dengan selembar tiket shalat fardhu. Silakan menjaring rahmat Allah dengan banyak beramal saleh. Berinfak, zakat, puasa, haji, akur dengan tetangga, menyambung silaturahim, mengurus keluarga, belajar, menyantuni anak yatim, tidak membuang sampah sembarangan, bahkan hanya tersenyum kepada teman pun termasuk amal shaleh. Wallahu a'lam.

Jumat, 11 Juni 2010

Menyambut Idul Qurban 1428 H.

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Fakta-fakta historis di atas sengaja diungkap untuk menunjukkan cara-cara
bermartabat para founding fathers agama-agama semitik dalam menyikapi pluralitas agama-keyakinan, etnis, suku, dan sebagainya. Jelas, sebagaimana diteladankan Ibrahim, Nabi Muhammad adalah tokoh yang proaktif mencari solusi konflik dan perselisihan dengan menyelenggarakan dialog lintas suku dan agama.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat dalam Suara Pembaruan, 19/12/2007

Idul Adha 1428 H, yang jatuh pada 20 Desember 2007, dirayakan dengan penuh keprihatinan. Idul Adha 1428 H berlangsung ketika kekerasan atas nama agama di Indonesia meningkat tajam.

Kelompok Ahmadiyah yang dinyatakan sesat-menyesatkan mendapatkan perlakuan diskriminatif. Di berbagai daerah di Indonesia, Jemaah Ahmadiyah mengalami kekerasan. Sejumlah aset kepunyaannya disegel bahkan dibakar. Padahal, Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) bukan organisasi liar.

Organisasi ini berdiri 1937, beberapa tahun sebelum Indonesia merdeka. JAI
diakui secara resmi sebagai sebuah badan hukum pada tanggal 13 Maret 1953 melalui SK Menteri Kehakiman No JA.5/32/13.

Setali tiga uang dengan Ahmadiyah adalah sekte-sekte keagamaan yang dianggap sesat. Lia Eden yang sudah ke- luar dari penjara terus mengalami tekanan. Untuk diketahui, Lia Eden divonis dua tahun penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 29 Juni 2006. Ahmad Mosaddiq, pimpinan al-Qiyadah al-Islamiyah, masih meringkuk dalam tahanan karena dituduh menyebarkan aliran sesat.

Beberapa minggu terakhir ini, satu pesantren di Serang, Banten yang dianggap mengajarkan aliran sesat juga dirusak. Bukan hanya itu, perusakan terhadap rumah ibadah umat agama lain juga masih terjadi. Sudah tak terbilang jumlah gereja yang hancur. Bagaimana kita menempatkan perayaan Idul Adha di tengah semarak kekerasan atas nama agama itu?

*****

Sesungguhnya Idul Adha dirayakan untuk menapak tilas perjalanan hidup Nabi Ibrahim. Ini karena Nabi Ibrahim dianggap sebagai sumber teladan.
Ajaran-ajaranya merupakan asal-usul dan fondasi dari agama Yahudi, Kristen, dan Islam.

Dalam tradisi Yahudi, Nabi Ibrahim adalah penerima pernjanjian (kovenan)
asli antara orang-orang Ibrani dan Tuhan. Dalam tradisi Kristen, ia adalah
se-orang patriakh terkemuka dan menjadi penerima perjanjian formatif dan
orisinal yang disarikan dalam kovenan Mosa, sedangkan perjanjian kedua
dipandang telah dibuat untuk Yesus Kristus.

Dalam tradisi Islam, Ibrahim bukan hanya seorang nabi dan pewarta wahyu,
tapi juga Bapak Monoteisme. Ajaran monoteisme Nabi Ibrahim kontras dengan keyakinan *mainstream*. Ia menuai badai kontroversi di tengah masyarakat. Resistensi terhadap Ibrahim merebak, termasuk dari ayah kandungnya sendiri, Azar.

Namun, Ibrahim tetap mendahulukan cara dialog ketimbang cara kekerasan.
Alquran surat al-Syu`ara ayat 70-102 merekam dengan baik dialog antara Nabi Ibrahim dan ayahanda, plus kaumnya itu. Sekalipun sang ayah tetap pada keyakinannya semula, Ibrahim tak memaksakan kehendak bahkan mendoakan keselamatan ayahandanya di akhirat kelak.

Begitu juga, ketika Nabi Ibrahim diperintahkan untuk mengurbankan anaknya, ia berdialog dengan sang anak. Ia meminta pendapat sang anak sekiranya penyembelihan atas dirinya positif diselenggarakan.

Nabi Ibrahim sempat ragu. Namun, setelah si anak meyakinkannya, barulah ia mantap menjalankan perintah. Digambarkan dalam Alquran pernyataan sang anak, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan Tuhan kepadamu, niscaya aku termasuk orang-orang yang sabar (Ya abati if`al ma tu’mar satajiduni insyaallah min al-shabirin)”.

Melalui ayat itu diketahui, Ibrahim bukan hanya berdialog dengan Tuhan
sebagai sang pemberi wahyu, melainkan juga berkomunikasi dengan anak sebagai pihak yang akan menerima konsekuensi paling mengerikan dari wahyu penyembelihan itu. Akhirnya, Tuhan menyelamatkan sang anak dari hunusan pedang tajam Nabi Ibrahim dengan digantikan oleh seekor domba. Kisah dramatis itu menunjukkan konsistensi Nabi Ibrahim untuk bermusyawarah terutama dengan pihak yang akan dirugikan.

****

Tradisi dialog Nabi Ibrahim ini dilanjutkan Nabi Muhammad. Disebutkan dalam Alquran, “Ajaklah kepada jalan Tuhanmu dengan arif-bijaksana, nasihat yang baik, dan dengan diskusi yang produktif (ud`u ila sabili rabbika bi al-himah wa al-maw`idat al-hasanat wa jadilhum bi allati hiya ahsan)”.

Ketika sampai di Madinah, Nabi Muhammad menggunakan cara dialog untuk
mengatasi konflik yang sudah berpuluh tahun berlangsung, hingga akhirnya
terbangun sebuah traktat politik yang disebut Piagam Madinah. Piagam itu
merupakan konsensus bersama antarseluruh penduduk Madinah. Menarik dicatat bahwa pada saat itu Islam belum menjadi agama mayoritas. Berdasarkan sensus yang dilakukan ketika pertama kali Nabi berada di Madinah, diketahui bahwa jumlah umat Islam hanya 1.500 dari 10.000 penduduk Madinah. Sementara orang Yahudi berjumlah 4.000 orang dan orang-orang Musyrik berjumlah 4.500 orang.

Apa yang dilakukan Nabi Muhammad itu menginspirasi Umar ibn Khattab untuk membuat traktat serupa di Yerusalem, dikenal dengan “Piagam Aelia”. Piagam itu berisi jaminan keselamatan dari penguasa Islam terhadap penduduk Yerusalem, yang beragama non-Islam sekalipun.

Salah satu penggalan paragrafnya berbunyi demikian: “Inilah jaminan keamanan yang diberikan Umar, Amirul Mukminin kepada penduduk Aelia: Ia menjamin keamanan mereka untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, dalam keadaan sakit maupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apa pun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya, serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikit pun dari harta kekayaan mereka (dalam gereja-gereja itu). Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak seorang pun dari mereka boleh diganggu”.

Fakta-fakta historis di atas sengaja diungkap untuk menunjukkan cara-cara
bermartabat para founding fathers agama-agama semitik dalam menyikapi pluralitas agama-keyakinan, etnis, suku, dan sebagainya. Jelas, sebagaimana diteladankan Ibrahim, Nabi Muhammad adalah tokoh yang proaktif mencari solusi konflik dan perselisihan dengan menyelenggarakan dialog lintas suku dan agama.

Cara-cara dialog seperti ini yang sering alpa dari kelompok-kelompok yang
melancarkan vonis sesat-menyesatkan kepada yang lain. Tanpa diskusi. Cara penyelesaian seperti itu menyimpang dari tradisi Nabi Ibrahim, Nabi
Muhammad, dan para sahabatnya.

Idul Adha bagi umat Islam adalah momentum untuk meneladani sunnah Nabi Ibrahim.

Rabu, 09 Juni 2010

Ritualis Destruktif

Oleh Tate Qomaruddin Lc

Allah SWT mengisyaratkan adanya orang-orang ritualis destruktif, yakni orang yang rajin melaksanakan ibadah-ibadah ritual seperti shalat, puasa, dan haji, namun perilakunya merusak, merugikan, dan menebar nestapa kepada orang lain.

Allah SWT menyindir perbuatan mereka itu. "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna." (QS Al-Ma'un [107]: 1-7).

Ada beberapa yang menyebabkan timbulnya perilaku destruktif pada orang yang rajin melaksanakan ibadah ritual itu. Pertama, memisahkan kehidupan dunia dari urusan agama. Di antara mereka adalah yang lalai dalam shalatnya ('an shalatihim sahun), Lalai dari shalat itu digambarkan pada ayat-ayat sebelumnya yakni, "Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin."

Kedua, riya yakni melakukan ibadah dengan tujuan untuk dipuji orang lain. Ini diisyaratkan dengan kalimat, "alladzina hum yura`un", (mereka adalah) orang-orang yang berbuat riya.

Imam Ghazali mengatakan, orang yang riya hakikatnya adalah orang yang berorientasi duniawi dan kenikmatan instant. Mereka beribadah bukan atas kesadaran dan pengabdian kepada Allah, melainkan karena urusan duniawi.

Jika berbuat sesuatu, tidak ada yang dia inginkan selain semakin membangun kejayaan duniawi (QS An-Nisaa [4]:142). Akibat perbuatan riya itu, maka ibadah-ibadah ritual yang dilaksanakannya menjadi tidak bermanfaat. Padahal, inti dari ibadah adalah keikhlasan.

Ketiga, kikir, yaitu orang yang enggan menolong dengan sesuatu dan perbuatan yang berguna (wayamna'unal-ma'un). Perbuatan yang demikian itu adalah buah dari tidak adanya keikhlasan. Ia akan merasa rugi untuk mengeluarkan dan memberikan sesuatu jika tidak ada kompensasi duniawi seperti pujian atau popularitas. Ia hanya akan memberikan sesuatu manakala ia akan mendapat keuntungan duniawi darinya. Allah mengingatkan bahwa kikir merupakan salah satu sifat orang munafik (QS Al-Ahzab [33]: 19).

Jika ketiga penyakit ini terdapat pada diri seseorang, maka ibadah ritual yang dilakukannya tak akan mampu menolongnya menjadi pribadi yang penuh kebajikan. Sebaliknya, yang muncul adalah sosok ritualis destruktif. Semoga, kita semua, terhindar dari perbuatan ritualis destruktif tersebut. Wallahu a'lam.

(-)

Minggu, 06 Juni 2010

Iman, Aman, dan Amanat


Oleh Prof Dr HM Baharun

Iman secara etimologis berarti kepercayaan atau keyakinan. Secara epistemologis, iman bermakna iktiqad, yaitu sesuatu yang mengikat seseorang dengan iman dan yakin secara totalitas kepada Allah SWT dengan segala konsekuensinya. Dalam Alquran, iman itu disebut sebagai cahaya (QS 2:257, 5:15-16, 13:16, 24:40, 33:43, 39:22, 42:52, 57:9, 28, 61:8, 65:11).

Iman itu pada awalnya diucapkan secara lisan (qaulun bi al-Lisan), kemudian disertai dengan keyakinan di dalam hati (i'tiqadun bi al-Janan), dan lantas konsekuensi logisnya dilanjutkan dalam bentuk amalan ('amalun bi al-Arkan).

Dari akar "iman" ini pula ada kosakata "aman" yang mengisyaratkan pada kita bahwa iman itu akan menghasilkan rasa aman, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Iman dan aman, ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Secara kimiawi adalah merupakan dua entitas yang senyawa dan tak mungkin bertentangan.

Aman, rasa aman, dan keamanan adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan setiap insan. Sebab, tidaklah beriman seseorang yang tidak mampu memberikan rasa aman kepada orang lain. Keamanan memang bukan segalanya, namun kehilangan rasa aman, orang bisa kehilangan segalanya.

Kemudian, dari akar kata"aman" ini juga ada istilah "amanat". Artinya, seorang yang beriman (mukmin) sudah pasti dituntut harus berlaku amanat (jujur). Antonim amanat adalah khianat (tidak jujur), yang tentu tidak senyawa dengan sifat amanat yang baik dan membaikkan itu.

Apa yang terjadi saat ini di negeri kita adalah sesuatu yang sangat memprihatinkan. Karena pendidikan keimanan gagal, rasa aman hilang di tengah-tengah kita. Di mana-mana telah terjadi kerusuhan dan keonaran. Musibah berupa banjir, longsor, gempa bumi, ataupun kebakaran terjadi bertubi-tubi membuat ketakutan semakin mencekam-melengkapi penderitaan yang mendera masyarakat.

Karena iman yang tipis pula, amanat berubah menjadi khianat. Mereka yang diberi kesempatan, bahkan kehormatan untuk mengelola bumi, ternyata telah melakukan pelanggaran keimanan dengan berlaku tidak jujur. Korupsi dan penyelewengan terjadi di sana-sini. Rakyat kecil yang tidak berdosa terkena imbasnya. Mereka harus menanggung akibat yang ditimbulkan dari krisis iman dan amanat tersebut.

Rasulullah SAW bersabda, orang yang khianat dan curang itu akan kehilangan agama (HR Abu Dawud). Dan, sifat pengkhianat berarti merusak iman (HR Muslim). Karena itu, Rasul menganjurkan umatnya untuk senantiasa bersyukur dalam kondisi apa pun, karena hal itu merupakan bagian dari iman. Wallahu A'lam

Mengenal Tiga Tanda Kematian

Mengenal Tiga Tanda Kematian


Oleh Imam Nur Suharno

Dikisahkan bahwa malaikat maut (Izrail) bersahabat dengan Nabi Ya'kub AS. Suatu ketika Nabi Ya'kub berkata kepada malaikat maut. "Aku menginginkan sesuatu yang harus kamu penuhi sebagai tanda persaudaraan kita."

"Apakah itu?" tanya malaikat maut. "Jika ajalku telah dekat, beri tahu aku." Malaikat maut berkata, "Baik aku akan memenuhi permintaanmu, aku tidak hanya akan mengirim satu utusanku, namun aku akan mengirim dua atau tiga utusanku." Setelah mereka bersepakat, mereka kemudian berpisah.

Setelah beberapa lama, malaikat maut kembali menemui Nabi Ya'kub. Kemudian, Nabi Ya'kub bertanya, "Wahai sahabatku, apakah engkau datang untuk berziarah atau untuk mencabut nyawaku?"

"Aku datang untuk mencabut nyawamu." Jawab malaikat maut. "Lalu, mana ketiga utusanmu?" tanya Nabi Ya'kub. "Sudah kukirim." Jawab malaikat, "Putihnya rambutmu setelah hitamnya, lemahnya tubuhmu setelah kekarnya, dan bungkuknya badanmu setelah tegapnya. Wahai Ya'kub, itulah utusanku untuk setiap bani Adam."

Kisah tersebut mengingatkan tentang tiga tanda kematian yang akan selalu menemui kita, yaitu memutihnya rambut; melemahnya fisik, dan bungkuknya badan. Jika ketiga atau salah satunya sudah ada pada diri kita, itu berarti malaikat maut telah mengirimkan utusannya. Karena itu, setiap Muslim hendaknya senantiasa mempersiapkan diri untuk menghadapi utusan tersebut.

Kematian adalah kepastian yang akan dialami oleh setiap manusia sebagaimana yang telah ditegaskan dalam firman Allah SWT, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati." (QS Ali Imran [3]: 185).

Karena itu, kita berharap agar saat menghadapi kematian dalam keadaan tunduk dan patuh kepada-Nya. "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS Ali Imran [3]: 102).

Tidaklah terlalu penting kita akan mati, tapi yang terpenting adalah sejauh mana persiapan menghadapi kematian itu. Rasulullah SAW mengingatkan agar kita bersegera untuk menyiapkan bekal dengan beramal saleh. "Bersegeralah kamu beramal sebelum datang tujuh perkara: kemiskinan yang memperdaya, kekayaan yang menyombongkan, sakit yang memayahkan, tua yang melemahkan, kematian yang memutuskan, dajjal yang menyesatkan, dan kiamat yang sangat berat dan menyusahkan." (HR Tirmidzi).

Bekal adalah suatu persiapan, tanpa persiapan tentu akan kesulitan dalam mengarungi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Oleh karena itu, "Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa." (QS Al-Baqarah [2]: 197)

Empat Langkah Mewujudkan Visi Perdamaian

Empat Langkah Mewujudkan Visi Perdamaian


Oleh A Ilyas Ismail

Islam adalah agama yang cinta damai. Karena itu, Islam sejatinya tidak suka perang. Perang hanyalah pintu darurat (emergency exit) yang tidak dikehendaki atau keterpaksaan (QS al-Baqarah [2]: 216). Permusuhan antara dua kelompok tanpa perang dan pertumpahan darah, dipandang oleh Alquran sebagai kebaikan dan nikmat besar dari Allah SWT, seperti yang terjadi pada perang Khandaq dan Ahzab. (QS al-Ahzab [33]: 25).

Alquran juga memandang perjanjian damai yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dengan pihak kafir Quraisy, yang dikenal dalam sejarah sebagai 'Perjanjian Hudaibiyah' (Shuluh al-Hudaibiyah) sebagai kemenangan dan pembebasan (al-fath). Allah berfirman, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata." (QS al-Fath [48]: 1).

Sehubungan dengan ayat tersebut, Umar ibn al-Khattab bertanya kepada Nabi Muhammad SAW. "Afathun huwa ya Rasulallah?" (Apakah ini sebuah kemenangan ya Rasulullah?” Rasul menjawab, "Ya, itu sebuah kemenangan." Sahabat Umar semula tidak menyangka dan tidak bisa membayangkan bahwa ada kemenangan besar atau pembebasan yang berhasil dilakukan oleh kaum Muslimin, tanpa perang dan tanpa pertumpahan darah.

Kenyataan ini, menurut ulama besar dunia, Yusuf al-Qaradlawi, menunjukkan dengan jelas kecenderungan Islam pada kedamaian. Dalam buku Khithabuna al-Islami fi `Ashr al-Aulamah, al-Qaradlawi menunjukkan bukti-bukti lain tentang dukungan Islam terhadap perdamaian.

Pertama, Islam mendorong kaum Muslim agar menyambut setiap ajakan menuju perdamaian (QS al-Anfal [7]: 61). Kedua, Rasulullah SAW mengingatkan para sahabat agar tidak mencari-cari musuh (HR Bukhari dan Muslim). Ketiga, Rasulullah SAW melarang kaum Muslim menamai anak-anak mereka dengan nama 'Harb' (perang) dan 'Murrah' (pahit-getir), dua nama kebanggaan pada masyarakat jahiliah.

Semangat damai Islam ini perlu diupayakan dan diperjuangkan dalam realitas kehidupan, baik dalam skala nasional, regional, maupun mondial. Dalam buku al-Da`wah al-Islamiyah: Ushuluha wa Ma`alimuha, Ahmad Umar Hasyim, mantan rektor al-Azhar, mengusulkan agar visi kedamaian Islam itu diwujudkan melalui empat hal ini.

Pertama, menciptakan suasana tenang dan damai dalam masyarakat (al-amn al- Ijtima'i). Kedua, membebaskan masyarakat dari berbagai gangguan internal dan eksternal, baik berupa propaganda maupun gangguan fisik. Ketiga, menciptakan stabilitas dan rasa aman melalui peningkatan produktivitas kerja. Keempat, melakukan rekonsiliasi terhadap pihak-pihak yang bertikai (al-Ishlah bain al Mutakhashimain).

Ada satu lagi yang diusulkan Umar Hasyim, yaitu keadilan. Ia mengatakan, tak ada kedamaian tanpa keadilan. Keadilan adalah saudara sejati (akhun syaqiq) dari kedamaian. Wallahu A`lam.

Kamis, 03 Juni 2010

Modal Utama Perjuangan

Oleh HM Syamlan

Suatu hari, Nabi Muhammad SAW didatangi tokoh-tokoh kafir. Mereka punya banyak harta dan pengaruh yang luas. Mereka datang kepada Nabi ingin masuk Islam. Sebagai orang kaya, tokoh dan punya kedudukan, mereka minta tempat khusus. Mereka tidak mau disamakan dengan sahabat-sahabat Nabi yang miskin dan lemah. Mereka pun mengutarakan maksudnya itu kepada Rasul SAW.

Nabi SAW pun sempat ingin menerima pendapat mereka itu. Terbayang jika mereka masuk Islam, hal itu akan memudahkan dakwah dan syiar Islam, terutama dalam hal pendanaan. Namun, sebelum itu terealisasi, Allah menurunkan firman-Nya.

"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya
di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kedua
matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia
ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan
dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu
melewati batas." (Al-Kahfi: 28).

Ayat itu menunjukkan bahwa modal atau kekuatan utama dalam perjuangan, sesungguhnya bukanlah harta, status sosial, atau kedudukan. Modal utama itu juga bukan sarana-sarana dan fasilitas-fasilitas mewah dunia. Itu semua adalah kekuatan palsu, bisa menipu, sangat lemah, dan akhirnya sirna. (Lihat: Fi Zhilalil Qur'an, karya Sayid Quthb).

Kekuatan utama dalam perjuangan dakwah adalah iman. Iman yang kuat dan sungguh-sungguh itu terwujud karena adanya hubungan yang sangat intensif dengan Allah. Berzikir (ingat Allah) pagi dan petang, secara kontinu. Utamanya shalat lima waktu berjamaah di masjid.

Kader-kader dakwah yang seperti ini-meskipun mereka miskin, tampak lemah secara lahiriah- sesungguhnya jauh lebih hebat daripada orang-orang kaya dan berkedudukan tinggi, tapi belum jelas keimanannya. Inilah standar kualitas SDM yang ditetapkan oleh Allah.

Dalam kaca mata dakwah, ukuran pertama dan utama adalah iman. Harta benda, kedudukan dan kekuasaan yang tidak dilandasi dengan keimanan yang kuat, bisa berubah menjadi sumber kehancuran. Masuknya orang-orang kaya dalam barisan dakwah yang tidak tulus tetap harus diwaspadai. Apalagi bila mereka hanya mengharapkan kedudukan, status social, dan urusan keduniaan.

Logika dunia memang sangat memukau. Bisa juga dibungkus dengan kemaslahatan. "Sesungguhnya dunia itu manis dan indah. Allah menjadikan kamu berkuasa di dunia maka Allah melihat apa yang kamu lakukan. Karena itu, berhati-hatilah dengan dunia dan berhati-hatilah dengan (godaan) wanita." (HR Muslim). Wallahu a'lam.

Paradigma Kepemimpinan


Oleh A Riawan Amin

"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang orang yang dipimpin. Imam bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin rumah tangga dan bertanggung jawab terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab terhadap keluarganya. Pelayan adalah pemimpin terhadap harta tuannya dan bertanggung jawab terhadap apa yang ia kelola. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban terhadap kepemimpinannya." (HR Al-Bukhari No 5200, 7138, dan Muslim No 4701 dari Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu 'Anhuma).

Paradigma kepemimpinan di atas menunjukkan bahwa sejatinya kepemimpinan adalah milik setiap orang. Ia bukanlah monopoli segelintir orang yang memiliki rakyat atau anak buah sebagaimana dalam pandangan Barat. Seorang diri pun, dalam perspektif ini, adalah pemimpin, self leadership. Justru, kepemimpinan diri menjadi titik awal bagi kualitas kepemimpinan di level yang lebih tinggi.

Dalam paradigma ini, seseorang yang mampu memimpin dirinya secara optimal sesungguhnya sedang menunjukkan kekuatan dalam memimpin orang lain. Sebaliknya, menjadi ironi bila ada seseorang yang dipandang berhasil sebagai pemimpin sebuah organisasi, tetapi gagal memimpin diri dan keluarganya. Karena, ada satu asumsi dasar universal yang perlu menjadi catatan. Yaitu, orang yang tidak memiliki sesuatu pastilah tidak akan bisa memberikan sesuatu. Kepemimpinan dipandang sebagai bagian yang komprehensif di semua lini kehidupan.

Karena, sejatinya, seorang pemimpin sejati haruslah memulai kepemimpinannya dengan diri sendiri. Sebelum mengolah sesuatu di luar diri, ia harus dapat mengolah dirinya sendiri. Kegagalan para pemimpin kita selama ini semata-mata karena kegagalan mereka dalam memimpin diri, membawa diri, dan mengolah diri.

Dalam bahasa lain, setiap orang ditakdirkan hidup di dunia ini sebagai seorang pemimpin. Paling tidak, pemimpin bagi dirinya sendiri. Kemampuan memimpin orang lain sangat erat kaitannya dengan kemampuan memimpin diri sendiri. Untuk itu, diperlukan serangkaian kualitas yang mampu menunjang kepemimpinan terhadap diri sendiri. Kualitas-kualitas itulah yang akan menjadi fondasi kuat bagi keberhasilan dalam mencapai berbagai mimpi dan cita-cita pribadi, keluarga, organisasi, dan komunitas.

Dalam perspektif spiritual, kepemimpinan diri berangkat dari satu asumsi dasar bahwa kehidupan adalah wahana peribadatan. Setiap apa yang dilakukan merupakan wujud pengabdian kepada Sang Pencipta. Tidak ada satu pun dari aktivitas seseorang, kecuali selalu dinisbatkan sebagai bentuk ibadah. "Dan, Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS Adzdzariat [51]: 56).

Oleh sebab itu, seluruh gerak jiwa dan tubuh harus menjadi bahasa zikir. Bahasa yang senantiasa mengingatkan diri akan status sebagai khalifatullah fil ardh (khalifah Allah di muka bumi).

Selasa, 01 Juni 2010

Becermin pada Bunga

Oleh Dra Hj Lily Musfirah Nurlaily MA


Tak ada seorang pun yang tidak mengenal bunga dan menyukainya. Sejak dahulu hingga sekarang, banyak orang mengenalnya sebagai lambang kelembutan, kecantikan, kasih sayang, dan lainnya. Hingga banyak judul lagu yang dihasilkan para penggubah, bersumber dari bunga. Misalnya, “Melati di Tapal Batas”, “Melati dari Jaya Giri”, “Bunga Seroja”, “Sekuntum Mawar Merah”, dan “Bunga Nirwana”.

Sayangnya, orang hanya mengenal bunga dari sisi keindahan, kelembutan, aroma yang ditebarkan, dan nilai ekonomi yang relatif tinggi. Padahal, bunga mengandung manfaat lain yang luar biasa, yaitu metafora agung yang sarat nilai untuk dijadikan pedoman dalam mengarungi biduk kehidupan.

Allah berfirman dalam QS Ali Imran [3]: 191, “… (seraya berkata), 'Ya, tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.'”

Berikut beberapa nilai kehidupan pada bunga itu. Pertama, bunga selalu memberikan manfaat buat banyak orang. Ia memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Itu dibuktikan dengan pasar bunga dan toko bunga yang tak pernah sepi. Tak hanya orang, kupu-kupu pun senantiasa menari kegirangan ketika hinggap menghisap madunya.

Kedua, bunga selalu siap menyapa siapa pun dalam setiap keadaan. Mulai dari keadaan suka saat pesta pernikahan sampai keadaan duka dalam suasana kematian. Ketiga, bunga selalu menebarkan aroma wangi dan menyegarkan siapa pun. Kendati suatu saat ia dicampakkan, bunga tetap saja konsisten dan istikamah menebarkan wanginya sampai batas akhir kekuatannya.

Keempat, bunga rela mekar sekalipun untuk layu dan siap digantikan dengan generasi bunga segar berikutnya. Demikian antara lain metafora bunga yang tak pernah bosan menawarkan arahan kebijakan dalam berkehidupan.

Metafora bunga sudah seharusnya diteladani. Setiap orang harus selalu memberikan manfaat bagi orang lain sekecil apa pun. Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang paling baik adalah orang yang panjang umurnya dan banyak memberikan manfaat (hasuna 'amaluh). Sebaliknya, orang yang paling buruk adalah orang panjang umurnya dan buruk perilakunya (sa'a 'amaluh).

Pelajaran yang diajarkan bunga menyadarkan kita untuk siap digantikan oleh yang lain dan baru dengan aromanya yang lebih wangi. Regenerasi dan kaderisasi harus berlanjut secara cepat. Kader-kader muda yang mumpuni harus dihargai dan diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mendarmabaktikan dirinya dalam memajukan masyarakat dan bangsa. Sebab, jika kerakusan berkuasa terus berlanjut, berarti ia takabur dengan dirinya dan menutup rapat roda perputaran generasi berikutnya. Walhasil, seharusnya memang siapa pun layak banyak belajar dari kehidupan sang bunga. Wallahualam.

Cinta Damai

Oleh A Ilyas Ismail


Islam adalah agama yang cinta damai. Karena itu, Islam sejatinya tidak suka perang. Perang hanyalah pintu darurat (emergency exit) yang tidak dikehendaki atau keterpaksaan (QS al-Baqarah [2]: 216). Permusuhan antara dua kelompok tanpa perang dan pertumpahan darah, dipandang oleh Alquran sebagai kebaikan dan nikmat besar dari Allah SWT, seperti yang terjadi pada perang Khandaq dan Ahzab. (QS al-Ahzab [33]: 25).

Alquran juga memandang perjanjian damai yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dengan pihak kafir Quraisy, yang dikenal dalam sejarah sebagai 'Perjanjian Hudaibiyah' (Shuluh al-Hudaibiyah) sebagai kemenangan dan pembebasan (al-fath). Allah berfirman, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata." (QS al-Fath [48]: 1).

Sehubungan dengan ayat tersebut, Umar ibn al-Khattab bertanya kepada Nabi Muhammad SAW. "Afathun huwa ya Rasulallah?" (Apakah ini sebuah kemenangan ya Rasulullah?” Rasul menjawab, "Ya, itu sebuah kemenangan." Sahabat Umar semula tidak menyangka dan tidak bisa membayangkan bahwa ada kemenangan besar atau pembebasan yang berhasil dilakukan oleh kaum Muslimin, tanpa perang dan tanpa pertumpahan darah.

Kenyataan ini, menurut ulama besar dunia, Yusuf al-Qaradlawi, menunjukkan dengan jelas kecenderungan Islam pada kedamaian. Dalam buku Khithabuna al-Islami fi `Ashr al-Aulamah, al-Qaradlawi menunjukkan bukti-bukti lain tentang dukungan Islam terhadap perdamaian.

Pertama, Islam mendorong kaum Muslim agar menyambut setiap ajakan menuju perdamaian (QS al-Anfal [7]: 61). Kedua, Rasulullah SAW mengingatkan para sahabat agar tidak mencari-cari musuh (HR Bukhari dan Muslim). Ketiga, Rasulullah SAW melarang kaum Muslim menamai anak-anak mereka dengan nama 'Harb' (perang) dan 'Murrah' (pahit-getir), dua nama kebanggaan pada masyarakat jahiliah.

Semangat damai Islam ini perlu diupayakan dan diperjuangkan dalam realitas kehidupan, baik dalam skala nasional, regional, maupun mondial. Dalam buku al-Da`wah al-Islamiyah: Ushuluha wa Ma`alimuha, Ahmad Umar Hasyim, mantan rektor al-Azhar, mengusulkan agar visi kedamaian Islam itu diwujudkan melalui empat hal ini.

Pertama, menciptakan suasana tenang dan damai dalam masyarakat (al-amn al- Ijtima'i). Kedua, membebaskan masyarakat dari berbagai gangguan internal dan eksternal, baik berupa propaganda maupun gangguan fisik. Ketiga, menciptakan stabilitas dan rasa aman melalui peningkatan produktivitas kerja. Keempat, melakukan rekonsiliasi terhadap pihak-pihak yang bertikai (al-Ishlah bain al Mutakhashimain).

Ada satu lagi yang diusulkan Umar Hasyim, yaitu keadilan. Ia mengatakan, tak ada kedamaian tanpa keadilan. Keadilan adalah saudara sejati (akhun syaqiq) dari kedamaian. Wallahu A`lam.

Al Quran On Line