Jumat, 11 Juni 2010

Menyambut Idul Qurban 1428 H.

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Fakta-fakta historis di atas sengaja diungkap untuk menunjukkan cara-cara
bermartabat para founding fathers agama-agama semitik dalam menyikapi pluralitas agama-keyakinan, etnis, suku, dan sebagainya. Jelas, sebagaimana diteladankan Ibrahim, Nabi Muhammad adalah tokoh yang proaktif mencari solusi konflik dan perselisihan dengan menyelenggarakan dialog lintas suku dan agama.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat dalam Suara Pembaruan, 19/12/2007

Idul Adha 1428 H, yang jatuh pada 20 Desember 2007, dirayakan dengan penuh keprihatinan. Idul Adha 1428 H berlangsung ketika kekerasan atas nama agama di Indonesia meningkat tajam.

Kelompok Ahmadiyah yang dinyatakan sesat-menyesatkan mendapatkan perlakuan diskriminatif. Di berbagai daerah di Indonesia, Jemaah Ahmadiyah mengalami kekerasan. Sejumlah aset kepunyaannya disegel bahkan dibakar. Padahal, Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) bukan organisasi liar.

Organisasi ini berdiri 1937, beberapa tahun sebelum Indonesia merdeka. JAI
diakui secara resmi sebagai sebuah badan hukum pada tanggal 13 Maret 1953 melalui SK Menteri Kehakiman No JA.5/32/13.

Setali tiga uang dengan Ahmadiyah adalah sekte-sekte keagamaan yang dianggap sesat. Lia Eden yang sudah ke- luar dari penjara terus mengalami tekanan. Untuk diketahui, Lia Eden divonis dua tahun penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 29 Juni 2006. Ahmad Mosaddiq, pimpinan al-Qiyadah al-Islamiyah, masih meringkuk dalam tahanan karena dituduh menyebarkan aliran sesat.

Beberapa minggu terakhir ini, satu pesantren di Serang, Banten yang dianggap mengajarkan aliran sesat juga dirusak. Bukan hanya itu, perusakan terhadap rumah ibadah umat agama lain juga masih terjadi. Sudah tak terbilang jumlah gereja yang hancur. Bagaimana kita menempatkan perayaan Idul Adha di tengah semarak kekerasan atas nama agama itu?

*****

Sesungguhnya Idul Adha dirayakan untuk menapak tilas perjalanan hidup Nabi Ibrahim. Ini karena Nabi Ibrahim dianggap sebagai sumber teladan.
Ajaran-ajaranya merupakan asal-usul dan fondasi dari agama Yahudi, Kristen, dan Islam.

Dalam tradisi Yahudi, Nabi Ibrahim adalah penerima pernjanjian (kovenan)
asli antara orang-orang Ibrani dan Tuhan. Dalam tradisi Kristen, ia adalah
se-orang patriakh terkemuka dan menjadi penerima perjanjian formatif dan
orisinal yang disarikan dalam kovenan Mosa, sedangkan perjanjian kedua
dipandang telah dibuat untuk Yesus Kristus.

Dalam tradisi Islam, Ibrahim bukan hanya seorang nabi dan pewarta wahyu,
tapi juga Bapak Monoteisme. Ajaran monoteisme Nabi Ibrahim kontras dengan keyakinan *mainstream*. Ia menuai badai kontroversi di tengah masyarakat. Resistensi terhadap Ibrahim merebak, termasuk dari ayah kandungnya sendiri, Azar.

Namun, Ibrahim tetap mendahulukan cara dialog ketimbang cara kekerasan.
Alquran surat al-Syu`ara ayat 70-102 merekam dengan baik dialog antara Nabi Ibrahim dan ayahanda, plus kaumnya itu. Sekalipun sang ayah tetap pada keyakinannya semula, Ibrahim tak memaksakan kehendak bahkan mendoakan keselamatan ayahandanya di akhirat kelak.

Begitu juga, ketika Nabi Ibrahim diperintahkan untuk mengurbankan anaknya, ia berdialog dengan sang anak. Ia meminta pendapat sang anak sekiranya penyembelihan atas dirinya positif diselenggarakan.

Nabi Ibrahim sempat ragu. Namun, setelah si anak meyakinkannya, barulah ia mantap menjalankan perintah. Digambarkan dalam Alquran pernyataan sang anak, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan Tuhan kepadamu, niscaya aku termasuk orang-orang yang sabar (Ya abati if`al ma tu’mar satajiduni insyaallah min al-shabirin)”.

Melalui ayat itu diketahui, Ibrahim bukan hanya berdialog dengan Tuhan
sebagai sang pemberi wahyu, melainkan juga berkomunikasi dengan anak sebagai pihak yang akan menerima konsekuensi paling mengerikan dari wahyu penyembelihan itu. Akhirnya, Tuhan menyelamatkan sang anak dari hunusan pedang tajam Nabi Ibrahim dengan digantikan oleh seekor domba. Kisah dramatis itu menunjukkan konsistensi Nabi Ibrahim untuk bermusyawarah terutama dengan pihak yang akan dirugikan.

****

Tradisi dialog Nabi Ibrahim ini dilanjutkan Nabi Muhammad. Disebutkan dalam Alquran, “Ajaklah kepada jalan Tuhanmu dengan arif-bijaksana, nasihat yang baik, dan dengan diskusi yang produktif (ud`u ila sabili rabbika bi al-himah wa al-maw`idat al-hasanat wa jadilhum bi allati hiya ahsan)”.

Ketika sampai di Madinah, Nabi Muhammad menggunakan cara dialog untuk
mengatasi konflik yang sudah berpuluh tahun berlangsung, hingga akhirnya
terbangun sebuah traktat politik yang disebut Piagam Madinah. Piagam itu
merupakan konsensus bersama antarseluruh penduduk Madinah. Menarik dicatat bahwa pada saat itu Islam belum menjadi agama mayoritas. Berdasarkan sensus yang dilakukan ketika pertama kali Nabi berada di Madinah, diketahui bahwa jumlah umat Islam hanya 1.500 dari 10.000 penduduk Madinah. Sementara orang Yahudi berjumlah 4.000 orang dan orang-orang Musyrik berjumlah 4.500 orang.

Apa yang dilakukan Nabi Muhammad itu menginspirasi Umar ibn Khattab untuk membuat traktat serupa di Yerusalem, dikenal dengan “Piagam Aelia”. Piagam itu berisi jaminan keselamatan dari penguasa Islam terhadap penduduk Yerusalem, yang beragama non-Islam sekalipun.

Salah satu penggalan paragrafnya berbunyi demikian: “Inilah jaminan keamanan yang diberikan Umar, Amirul Mukminin kepada penduduk Aelia: Ia menjamin keamanan mereka untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, dalam keadaan sakit maupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apa pun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya, serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikit pun dari harta kekayaan mereka (dalam gereja-gereja itu). Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak seorang pun dari mereka boleh diganggu”.

Fakta-fakta historis di atas sengaja diungkap untuk menunjukkan cara-cara
bermartabat para founding fathers agama-agama semitik dalam menyikapi pluralitas agama-keyakinan, etnis, suku, dan sebagainya. Jelas, sebagaimana diteladankan Ibrahim, Nabi Muhammad adalah tokoh yang proaktif mencari solusi konflik dan perselisihan dengan menyelenggarakan dialog lintas suku dan agama.

Cara-cara dialog seperti ini yang sering alpa dari kelompok-kelompok yang
melancarkan vonis sesat-menyesatkan kepada yang lain. Tanpa diskusi. Cara penyelesaian seperti itu menyimpang dari tradisi Nabi Ibrahim, Nabi
Muhammad, dan para sahabatnya.

Idul Adha bagi umat Islam adalah momentum untuk meneladani sunnah Nabi Ibrahim.

Tidak ada komentar:

Al Quran On Line