Sungguhpun kekuasaan dan keperkasaannya tak tertandingi, akhlak dan hatinya selembut sutra, hingga karenanya ia mudah menyerap bukti kebenaran Ilahi. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, menceritakan, suatu ketika Iskandar Zulkarnain mendatangi suatu kaum yang tidak memiliki harta benda apapun yang bisa di nikmati. Lalu ia mengirim surat kepada Raja mereka dan berpesan agar Raja bersedia membalas suratnya.
Namun Raja itu menolak permintaan Zulkarnain, malah sebaliknya, ia berkata, jika Zulkarnain merasa ada kepentingan dengannya, sebaiknya dialah yang datang menemuinya.
Maka Zulkarnain pun pergi menemui Raja mareka, “Aku telah mengirimkan surat kepadamu dan memintamu datang kepadaku, tetapi kamu menolak, maka aku datang kepadamu,” kata Zulkarnain setelah sampai di istana Raja.
Sang Raja pun berkata, “Seandainya aku membutuhkanmu, aku pasti akan datang kepadamu.”
Sebagaimana jika aku melihatmu berada dalam suatu keadaan yang tak pernah dialami oleh siapapun?” tanya Zulkarnain.
“Apa itu?” sang Raja belik bertanya. “Kalian tidak memiliki harta dunia apapun. Kenapa kalian tidak memiliki emas dan perak hingga kalian bisa menikmatinya?” balas Zulkarnain.
“Tetapi kami membenci dua hal tersebut, karena seorang tidak mendapat apapun dari emas dan perak itu, kecuali hanya menginginkannya lebih dari itu,” jawab raja itu dengan tangkas.
Zulkarnain melanjutkan pertanyaannya, “Apa maksud kalian menggali kuburan lalu setelah itu kalian menjaganya, membersihkannya, dan sembahyang di sana?”
Raja itu kembali menjawab, “Kami ingin, jika kami memandang kuburan-kuburan itu dan mengharapkan dunia, kuburan-kuburan itu akan menghalangi kami dari harapan itu.”
Zulkarnain bertanya lagi, “Aku melihat kalian tidak memiliki makanan kecuali sayur sayuran, kenapa kalian tidak memiliki hewan ternak, hingga kalian dapat memerah susunya, menungganginya dan menikmatinya?”
Mereka menjawab, “Kami tidak suka menjadikan perut kami sebagai kuburan bagi binatang itu. Dan kami melihat di dalam tumbuh-tumbuhan itu faedah yang besar. Cukuplah anak adam memiliki kehidupan yang rendah karena makanan. Dan makanan apa saja yang melewati rahang bawah kami rasanya sama saja seperti makanan yang pernah kami makan sebelumnya.”
Setelah Zulkarnain meninggalkan raja itu dengan kagum dan menjadikan penjelasannya sebagai sebuah nasehat yang berharga.
Dalam setiap perjalananya, Zulkarnain selalu memperlakukan bangsa dan suku yang ditaklukkannya dengan amat baik dan santun. Tak mengherankan jika ia menuai kesuksesan dan selalu mendapatkan dukungan dari daerah yang telah di kuasainya.
Selain itu, Zulkarnain juga didampingi seorang penasihat kerajaan yang baik dan sangat luas pengetahuannya, yang tiada lain adalah Nabi Khidir AS.
Sebagian ulama menyebut, Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Khidir AS, lalu mengajarkan Wahyu tersebut kepada Zulkarnain.
Seorang mufassir lain, Al-Alusi, dalam kitab tafsirnya Ruhul Ma’ani, berkata, “Mungkin Khidir adalah salah satu pembesar kerajaan, seperti perdana mentrinya, karena tidak tertutup kemungkinan bahwa Zulkarnain bermusyawarah dengan orang lain saat menghadapi suatu masalah. Sebab pada saat itu, istilah yang dikenal untuk menyebut orang pandai, termasuk Nabi, adalah “Ahli Hikmah”. selain itu, pada masa-masa dahulu, para Nabi juga sering disebut dengan istilah “Orang bijak,” atau “Hakim”.
Wahab bin Munabbah dalam kitabnya At-Tijan mengisahkan, pada suatu ketika Nabi Khidir AS berkata kepada Zulkarnain, Wahai Tuanku, tuan membawa suatu amanat yang seandainya diberikan kepada langit, langit itu akan runtuh, jika diberikan kepada Gunung, maka Gunung itu akan roboh, dan jika diberikan kepada Bumi, maka bumi itu akan terbelah. Tuanku telah diberi kesabaran dan kemenangan. Tuanku akan melihat suatu kaum yang menyembah sesama manusia dan mereka adalah musuh-musuh Allah, yaitu Ya’juj dan Ma’juj. Allah adalah penuntut tidak akan terkelabui oleh orang-orang yang melarikan diri, dan tidak akan dikalahkan oleh orang yang “Menang”.
Kata Nabi Khidir lagi, “Wahai tuanku, ambillah apa yang telah diberikan Allah SWT kepada tuan dengan keteguhan hati dan sungguh-sungguh. Jadikanlah kesabaran sebagai pakaian, kebenaran sebagai pegangan hidup, dan takut kepada Allah sebagai perlindungan yang menumbuhkan amal pada tuan, dan tuan akan tenang dari ketakutan akan datangnya ajal. Ambillah pedang Allah dengan tangan tuan, karena tidak ada orang yang dapat menolong dan tidak ada orang yang dapat mencegah kemenangan. Cukuplah bagi tuan, Allah sebagai penolong tuan.”
Dalam Almuhadlarah al-Awali, kitab yang dikutip Ibnu Katsir, disebutkan, suatu ketika Nabi Ibrahim AS bertemu dengan Zulkarnain di Mekah. Nabi Ibrahim Memeluk dan menjabat tangan Zulkarnain serta memberinya bendera. Lalu ia mengikuti syariat yang dibawa oleh Nabi itu dan menyeru kepada manusia agar berpegang teguh pada syariat tersebut.
Hal ini dikuatkan kembali oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh salah seorang sahabat Nabi SAW, Ubaid bin Umair dan anaknya, Abdullah, yang menyatakan, selama masa jayanya, Iskandar Zulkarnain pernah melaksanakan haji dengan berjalan kaki. ketika Nabi Ibrahim mendengar berita tersebut, beliau menemuinya seraya menyeru kepada agama Tauhid dan memberikan beberapa nasehat. Nabi Ibrahim juga membawakan Zulkarnain seekor kuda agar dinaikinya. Akan tetapi Zulkarnain menolak, seraya berkata, “Saya tidak akan menaiki suatu kendaraan di suatu tempat yang di dalamnya ada Ibrahim Al-Khalil, yang dikasihi Allah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar