Oleh: Dr A Riawan Amin M Sc
Sungguh, hari ini kita hidup di sebuah bola dunia yang sedemikian sempit. Beragam peristiwa, di belahan bumi lain, dengan mudah kita ketahui. Bahkan, dalam detik yang sama. Bumi menjadi begitu dekat. Tiada jarak signifikan yang memisahkan satu negeri dari negeri lain, satu wilayah dari wilayah lain. Seolah dunia adalah satu dan padu. Sekat-sekat teritori, kini, menjadi maya. Tak mampu menjadi batas perkasa pembeda sebuah bangsa.
Mengapa demikian? Globalisasi jawabnya. Itulah kata sakti yang kerap digunakan untuk menggambarkan fenomena transparan yang telah, sedang, dan akan terus berlangsung di planet bumi ini. Globalisasi adalah kata yang sangat lekat dengan kehidupan manusia. Sebuah keniscayaan karena sifatnya yang senantiasa mengikut sunatullah. Tidak pernah berubah.
"Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapatkan penggantian bagi sunah Allah, dan sekali-kali tidak pula akan menemui penyimpangan bagi sunah Allah itu." (QS 35 [Fathir]: 43). Ada banyak hal positif yang didapat dari proses globalisasi ini. Karena itu, patut untuk disyukuri.
Namun, di sisi lain, bukan berarti globalisasi tidak memiliki dampak negatif bagi hidup dan kehidupan penduduk bumi. Sangat nyata ketika globalisasi dipersepsi sebagai westernisasi, ketimpangan, dan deskripsi eksistensi manusia menjadi rapuh. Upaya mem-'barat'-kan semua penjuru bumi menjadi persoalan bagi kemanusiaan.
Bila demikian, satu hal mendasar yang pasti akan terjadi adalah hilangnya identitas dan jati diri. Rasulullah SAW pernah mengingatkan, "Akan datang suatu masa pada perjalanan hidup manusia, di mana perhatiannya melulu tertuju pada urusan perut. Kemuliaan mereka hanyalah diukur dengan benda (materi) semata. Kiblat mereka adalah wanita. Agama mereka adalah emas dan perak. Sungguh, mereka itu makhluk Allah yang paling buruk, tiada bernilai di sisi Allah." (HR Imam Dailami).
Lantas, bagaimana kita menghadapi gelombang negatif globalisasi yang tak bisa dihentikan ini? Perkuat identitas diri dan negeri. Itulah caranya meski terkesan paradoks. Bahkan, Tun Mahathir Mohammad, mantan perdana menteri Malaysia, pernah mengatakan bahwa untuk menghadapi globalisasi kita harus memperkuat nasionalisme. Identitas diri sebagai bangsa.
Kita baru punya nilai dan identitas, kalau kita merupakan bagian dari sebuah keterhubungan dengan Yang Mahakuasa, kemudian kita betul-betul bisa menjadi pemakmur bumi, dan kita berani berperang untuk mempertahankan kedua hal tersebut. Berperang itu dalam arti luas, seperti ghazwul fikri dan muamalah.
Marilah kita berupaya sekuat daya untuk menjadikan diri dan negeri kita terus memiliki jati diri. Bangga dengan kepribadian yang ada. Tidak terperangkap oleh kata modern sebagai topeng westernisasi.
Selasa, 04 Mei 2010
Bagaimana Menyikapi Globalisasi
ilustrasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar