Sabtu, 08 Mei 2010

Krisis Intelektual di Muhammadiyah


Oleh: Fajar Riza Ul Haq

(Direktur Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity)

Krisis sumber-sumber intelektualisme sedang mendera Persyarikatan Muhammadiyah saat memasuki abad ke-2. Akibatnya, eksistensi karakter pembaruan yang melekat pada identitas gerakan asal Kauman Yogyakarta ini sedang menjadi sorotan.

Berangkat dari kondisi inilah, Buya Syafii Maarif menyerukan perlunya perubahan (kembali) nama Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menjadi Majelis Tarjih dan Kebebasan Berpikir, sebagaimana disampaikannya dalam Resonansi (27/04).

Menurut mantan ketua PP Muhammadiyah tersebut, Muktamar Satu Abad Muhammadiyah yang akan digelar pada 3-8 Juli mendatang di Yogyakarta merupakan momentum penting untuk menjawab krisis intelektualisme di tubuh organisasi ini.

Memang usai Muktamar ke-45 Muhammadiyah tahun 2005 di Malang, Buya Syafii menilai, perubahan nama Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam menjadi Majelis Tarjih dan Tajdid adalah sebuah pertanda stagnasi. Padahal, dinamika pemikiran Majelis Tarjih setelah Muktamar ke-44 Aceh tahun 2000 sangat progresif, seperti produk Tafsir Tematik Alquran tentang hubungan sosial antarumat beragama serta rumusan manhaj tarjih yang mereformulasikan metode bayani, burhani , dan irfani .

Lalu, bukankah 'tajdid' bermakna pembaruan yang sebangun dengan semangat pengembangan pemikiran? Pada kenyataannya, psikologi bahkan alam pemikiran warga Muhammadiyah lebih memahami tajdid dalam bingkai purifikasi ketimbang dinamisasi, apalagi kreativitas. Jika ditelisik lebih jauh, akar persoalan itu berkaitan dengan model paradigmatik satu kelompok dalam memahami dan mengekspresikan corak keislaman di Indonesia. Padahal, sejak semula, pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan menegaskan keberpihakannya terhadap nuansa domestik-keindonesiaan dengan membakukan nama Moehammadijah (ejaan lama), bukan Moehammadiyyah (Nashir, 2010: 18).

Peneguhan nama pertama merepresentasikan semangat keberislaman yang berpadu dengan konteks keindonesiaan dibanding 'Moehammadiyyah' yang mengisyaratkan kemelekatan pada budaya Arab yang bersifat eksklusif. Teori bahasa Sapir-Whorf mengajukan bahwa keterikatan satu bahasa dengan budayanya tidak sebatas relasi semantik, tetapi juga saling memengaruhi. Alur logika semacam ini dapat diusut dalam relasi diskursus tajdid dan pengembangan pemikiran Islam pada struktur kesadaran Majelis Tarjih pada khususnya dan institusi Muhammadiyah pada umumnya.

Jika becermin pada Muktamar Muhammadiyah tahun 2005 di Malang, perubahan nama pada Majelis Tarjih menandai pergeseran orientasi dan merefleksikan kontestasi wacana keagamaan di kalangan internal. Kecemasan sebagian anggota Muhammadiyah terhadap dinamika Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (2000-2005) yang dianggap bergerak ke arah 'liberal' merupakan salah satu faktor penting yang melatarbelakangi proses pergantian nama Majelis Tarjih. Sulit untuk dimungkiri, terminologi kebebasan berpikir ( freedom of thought ) masih direspons sebagai sesuatu yang asing dalam masyarakat Muslim.

Akbar Ahmed dan Lawrence Rosen, misalnya, mencatat seluruh generasi intelektual Muslim dari Asia Selatan hingga Afrika Utara sedang berada dalam bayang-bayang ancaman pemberangusan kemerdekaan intelektual: Mereka ada yang diasingkan, dipaksa diam, bahkan sampai dibunuh. Padahal, karena semangat kemerdekaan berpikir inilah, peradaban Islam berkembang pesat di daratan Barat, Spanyol, dan gerakan reformasi Islam bermunculan di Asia pada era kolonial. Ini pula yang terjadi pada Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah, 12 November 1912.

Dengan demikian, urgensi usulan perubahan nama untuk Majelis Tarjih di atas terletak pada semangat intelektualisme-transformatif yang ingin ditanamkan pada alam kesadaran berpikir institusi Muslim modernis ini. Meskipun Muhammadiyah sering menyebut dirinya sebagai gerakan pembaruan yang menekankan pada dimensi aksi, bukan berarti organisasi ini harus membiarkan diri miskin pada level pembaruan pemikiran. Seperti diingatkan Paulo Freire, aksi tanpa refleksi menyeret pada aktivisme. Sebaliknya, refleksi tanpa aksi ibarat revolusi tak berkaki.

Jika kebebasan intelektual ( intellectual freedom ) bersumbu pada lembaga pendidikan semacam universitas, secara historis Muhammadiyah adalah salah satu inisiator pada awal abad ke-20. Dalam rapat anggota Muhammadiyah istimewa, 17-18 Juni 1920, HM Hisjam, Ketua Bagian Sekolahan HB/PP Muhammadiyah, menyampaikan rencana strategis Muhammadiyah di bidang pendidikan, yaitu mendirikan universitas Muhammadiyah untuk mencetak sarjana-sarjana Islam dan mahaguru-mahaguru (profesor) Muhammadiyah guna kepentingan umat Islam pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya (2010: 41).

Pernyataan Hisjam ini membuktikan bahwa sedari awal Muhammadiyah sudah memosisikan semangat kesarjanaan ( scholarship ) sebagai saka guru gerakan dalam skema perjuangan umat Islam di Indonesia. Dalam perjalanannya, organisasi ini belum bisa sepenuhnya menciptakan ruang-ruang publik yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebebasan intelektualisme. Selalu ada relasional subordinat antara agama dalam framing pemurnian dan wacana yang menyebabkan kekeringan intelektual. Hal inilah yang dikritik Azyumardi Azra dengan mempertanyakan tidak adanya sumber-sumber intelektualisme di tubuh Muhammadiyah. Apabila kondisi ini dibiarkan, akan sangat sulit bagi organisasi ini untuk tetap berada pada garda depan pembaruan Islam.

Sejauh ini, institusi Tarjih dan universitas-universitas Muhammadiyah yang seharusnya menjadi kantung-kantung pergumulan intelektualisme tidak cukup berperan signifikan dalam menggerakkan intelektualisme Islam. Idealnya, institusi strategis semacam ini berperan sebagai laboratorium intelektualisme Islam yang menjunjung tinggi etika kebebasan berpikir. Faktanya, gairah kemerdekaan berolah nalar di lingkungan Muhammadiyah sering terbentur tembok konservatisme agama yang berorientasi reifikasi produk-produk fikih abad pertengahan.

Tidak ada komentar:

Al Quran On Line