Oleh Mohamad Sholihan
Aib seseorang terlihat dari kebakhilannya. Sedangkan, yang bisa menutup aib dari pandangan manusia adalah sikap kedermawanan. Karena itu, berselimutlah kain kedermawanan karena semua aib itu penutupnya adalah sifat dermawan.
Ali bin Abi Thalib mengatakan, ''Jika dunia mendatangimu, sedekahkanlah karena yang kau sedekahkan itu tidak akan habis.'' Ini sesuai sabda Nabi Muhammad SAW, ''Sedekah itu tidak akan mengurangi harta.'' (HR Muslim).
Kedermawanan adalah kemurahan, suka memberi, dan semua bentuk kemurahan hati. Hal itu akan memberikan pengaruh positif dan menyenangkan dalam diri si pemberi ataupun orang lain yang menerima.
Bersedekah bukan hanya kepada manusia, tapi juga makhluk lainnya. Banyak orang menyangka bahwa memperlakukan binatang dengan baik bukan termasuk kedermawanan. Padahal, perbuatan itu juga kedermawanan. Karena, hal itu tak akan dilakukan, kecuali oleh jiwa-jiwa mulia dan baik.
Jika tak sanggup bersedekah dengan harta terhadap manusia dan binatang, masih ada sedekah bentuk lain, yakni ucapan yang baik. Bila tak mampu menyenangkan manusia dengan harta, buatlah mereka senang dengan penampilan wajah kita yang berseri dan budi pekerti yang baik.
Menghormati, menghargai, dan memuliakan sesama dengan cara mengucapkan kata-kata yang santun, wajah berseri, dan sikap sopan merupakan bagian kedermawanan.
Kedermawanan meliputi makna-makna kewibawaan, memberi bantuan, kecerdasan hati, ringan tangan, menolong orang kesusahan, membantu yang terasing, membantu tetangga, dan segala kegiatan yang bernilai kebaikan dan kebajikan.
Jika unsur yang terbanyak dalam kedermawanan itu adalah sedekah, sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan kita banyak bersedekah. ''Dan, barang apa saja yang kamu sedekahkan, Allah akan menggantinya. Dan, Dia sebaik-baik pemberi rezeki.'' (QS Saba' [34]: 39).
Jika orang yang dermawan suka memberi, sebaliknya orang yang bakhil itu bangga dengan kebakhilannya. Orang-orang yang bakhil bangga dengan harta yang mereka miliki. Padahal, harta orang bakhil tidaklah berkah.
''Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan, adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala yang terbaik, kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (QS Allail [92]: 5-10).
Selasa, 31 Maret 2009
Kedermawanan
Senin, 30 Maret 2009
Krisis Spiritual Tragedi Situ Gintung
(Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Tsunami kecil yang terjadi di pagi buta, Situ Gintung Tangerang menewaskan banyak korban. Tragedi itu mengagetkan dan menyentak tanda tanya kita. Mengapa tanggul di tengah kepadatan penduduk itu jebol dan tidak ada peringatan dini? Mengapa korbannya begitu besar? Siapa yang bertanggung jawab? Pertanyaan ini bukan mencari kambing hitam, tapi ingin mencari tahu mengapa 'tanda-tanda zaman' jebolnya tanggul tidak terdeteksi oleh para pejabat di wilayah itu atau oleh otoritas yang bertanggung jawab.
Keberadaan tanggul yang posisinya lebih tinggi dari perkampungan padat adalah sebuah 'ancaman bahaya' yang kasat mata. Ia merupakan bom waktu yang kapan saja bisa menjadi 'malaikat maut' bila diabaikan atau tidak memperoleh perhatian penjagaannya. Apalagi, sudah diketahui sebelumnya bahwa tanggul Situ Gintung itu ada retakan dan pernah diperbaiki.
Sikap abai atau sikap meremehkan masalah lingkungan adalah sebuah bencana. Sikap semacam ini memperlihatkan sifat manusia yang merendahkan alam. Merendahkan ciptaan Allah (alam) yang seharusnya disyukuri sebagai mitra kehidupan adalah cermin dari kesombongan manusia yang lebih berorientasi kepada kepentingan diri manusia. Lingkungan alam adalah ayat-ayat (pertanda) Allah yang harus dibaca dan bukan untuk dieksploitasi. Membaca ayat-ayat alam berarti merawat dan menghormatinya seperti merawat dan menghormati diri kita.
Bencana Situ Gintung adalah akibat kelalaian kita dalam memperlakukan lingkungan alam itu. Kita tidak bersyukur pada kebaikan-kebaikan lingkungan yang diberikan Allah, tapi malah bersikap kufur atau cover (tertutup) untuk memerhatikannya. Jebolnya Situ Gintung adalah respons alam pada sikap kita yang tak lagi peduli dan bersyukur. Kitab suci agama-agama besar dunia, termasuk Alqur'an, telah memberi peringatan agar memperlakukan alam dengan baik sebagai cara kita bersyukur (QS Al-A'raf [7]: 56). Lingkungan alam adalah mitra kita dalam hidup. Karena itu, kita harus mengakrabinya. Hubungan manusia dengan lingkungan alam adalah hubungan etis dan sakral. Itulah sebabnya relasi itu harus membentuk atau meminjam istilah Sachiko Murata 'keakraban yang berani' yang saling menasihati dan mengingatkan.
Tragedi Situ Gintung dan bencana-bencana serupa harus dibaca sebagai retaknya relasi sakral dan etis antara manusia dan lingkungannya. Manusia telah menceraikan relasi suci itu dan memilih watak penaklukan atas lingkungan. Lingkungan bumi yang disebut sebagai gaia atau ibu ( mother ) telah dieksploitasi sehingga meninggalkan derita dan luka. Bencana-bencana itu menyimbolkan ketidaktahanan lingkungan atas penderitaan terus-menerus oleh watak penaklukan manusia melalui aktivitas-aktivitas penebangan hutan, perusakan lingkungan, industrialisasi ngawur dan sikap abai yang menyeluruh atas ayat-ayat Allah.
Bencana-bencana juga mencerminkan sebuah krisis spiritual. Sebuah krisis yang mengikis ketajaman manusia dalam 'membaca tanda-tanda zaman'. Krisis spiritual mencaplok 'kesadaran' yang oleh Seyyed Hossein Nasr disebut sebagai ciptaan pertama. Kesadaran adalah ciptaan pertama yang menentukan perilaku-perilaku positif-konstruktif manusia terhadap ciptaan lainnya. Krisis spiritual melemahkan kesadaran dan krisis kesadaran melemahkan relasi suci manusia dan lingkungannya. Krisis spiritual menandai sebuah konstruksi yang oleh Marx I Wallace disebut sebagai the wounded spirit (spirit yang terluka). Dalam kondisi terluka, sebuah spirit tak lagi mampu merawat dirinya sendiri, apalagi merawat lingkungannya. Adakah kita termasuk bangsa yang sedang mengidap the wounded spirit ?
Istilah kearifan lingkungan sangat relevan untuk kondisi bangsa yang terus dilanda bencana. Kearifan yang berasal dari kata 'arif' (Arab) berarti 'orang yang mengetahui'. Atau, arti bebasnya adalah orang yang pandai membaca tanda-tanda zaman. Dalam konteks lingkungan, kearifan memperlihatkan sebuah sikap spiritual yang reflektif, sadar, dan penuh penghormatan. Sikap semacam ini memperkuat basis-basis tindakan dan sikap konservatif terhadap lingkungan. Kearifan lingkungan meminjam ungkapan tradisi deep ecology adalah cermin dari the ecological wisdom by focusing on deep experience, deep questioning, and deep commitment (kearifan lingkungan yang berbasis pada komitmen, pertanyaan, dan pengalaman yang dalam atas lingkungan).
Dalam Alquran, kemampuan membaca tanda-tanda zaman pernah dilakukan oleh Nabi Yusuf yang menakwilkan mimpi 'tujuh ekor sapi gemuk memakan tujuh ekor sapi kurus dan tujuh pohon anggur rimbun memakan tujuh pohon anggur layu' (QS Yusuf [12]: 43). Nabi Yusuf membacanya sebagai akan datang tujuh tahun masa sulit ( sab'un syidadun ) yang menghabiskan logistik dan sesudah itu akan datang musim baik (hujan). Visi Yusuf ini membekalinya untuk melakukan antisipasi-antisipasi dengan menyiapkan logistik dan segala sesuatunya untuk menghadapi masa sulit itu. Visi inilah yang menyelamatkan Yusuf AS dan kaumnya dari kelaparan dan kesulitan. Kisah Yusuf AS adalah kisah tentang kearifan lingkungan. Sebuah kisah yang menyajikan sikap sadar, spiritual, dan bersyukur atas karunia Allah dalam wujud keakraban yang berani terhadap alam lingkungannya. Visi kearifan lingkungan menghindarkan Nabi Yusuf dari bencana kelaparan dan ini menjadi pelajaran bagi umat-umat sesudahnya.
Berlawanan dengan visi Nabi Yusuf AS itu adalah sikap-sikap abai terhadap lingkungan seperti yang diperlihatkan oleh manusia modern ini. Bencana-bencana itu bukan semata-mata karena alam, tetapi juga karena ulah kita yang tak peduli padanya. Kita terus melukai dan membebani kemampuan daya dukung lingkungan tanpa melihat dengan arif akibat-akibatnya. Redupnya daya baca kita atas tanda-tanda zaman (baca: ayat-ayat Allah) membuat makin redupnya manusia sebagai khalifatullah fil ardh . Jika ini terus-menerus berlangsung diidap oleh manusia, makna manusia sebagai 'wakil Tuhan' ( khalifatullah ) menjadi tidak relevan lagi. Kita mempertanyakan lagi posisi 'wakil Tuhan' karena kita tak lagi mampu membuat kebajikan-kebajikan buat lingkungan. Penegasan kembali kearifan lingkungan perlu dilakukan dan kini menemukan momentumnya sehingga lingkungan bumi menjadi tempat berlindung yang bersahabat. Sikap self-realization atau re-earthing (pembumian kembali) perlu dibangun untuk memperkuat topangan-topangan nilai dalam tindakan manusia atas lingkungannya.
Di Balik Rasa Sakit
Oleh Mujib Sahli
Seorang siswa yang sedang bersekolah, setiap memasuki waktu kenaikan kelas akan melaksanakan ujian. Nilai dari hasil ujian ini selanjutnya yang akan menentukan seorang siswa naik atau tinggal kelas.Demikian pula kehidupan dunia ini. Hidup adalah proses pembelajaran menuju insan mulia. Kemuliaan merupakan buah dari nilai ujian kehidupan kita yang lebih tinggi dari rata-rata.
Dalam Alquran surah Al-Ankabut [29] ayat 2, Allah berfirman, ''Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) menyatakan, 'Kami telah beriman,' sedangkan mereka belum diuji lagi.'' Adalah kesenangan luar biasa bagi manusia, jika dengan mengatakan dirinya beriman lantas Allah SWT tidak mengujinya. Allah SWT tentu akan menguji untuk mengukur keimanan seorang hamba. Dan salah satu bentuk ujian kehidupan manusia yang akan menghampiri setiap orang adalah sakit, baik ringan maupun berat.
Sakit adalah utusan kehidupan dari Allah SWT. Meskipun sakit merupakan fenomena fisik, namun yang menentukan kadar rasa sakitnya adalah psikis. Ketenangan psikis saat fisik diuji sakit separah apa pun, dengan sendirinya akan meminimalisasi rasa sakitnya.
Inilah yang semestinya disadari oleh seorang Muslim. ''Aku heran dengan Mukmin yang gelisah menghadapi penderitaan sakitnya. Jika ia mengetahui pahala yang terdapat pada sakitnya, ia pasti akan mengharapkan sakit tersebut sehingga bertemu dengan Allah.'' (HR Tabrani dari Ibnu Mas'ud).
Alangkah tingginya keutamaan rasa sakit yang Allah SWT ujikan kepada kita jika tepat menyikapinya. Cukuplah itu sebagai bukti bahwa Allah SWT mengaruniai rasa sakit dengan Maharahman dan Rahim-Nya, bukan dengan ghadhab (murka)-Nya.
Nabi Ayub AS adalah contoh tersukses dalam memahami fadhilah di balik rasa sakit. Justru sakitnya mengantarkan menjadi Nabi Allah SWT yang kian dekat dengan Sang Khalik. Dalam hadis riwayat Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda, ''Orang yang banyak mendapat ujian adalah para nabi, kemudian orang-orang yang lebih dekat derajatnya kepada mereka secara bertingkat dan berurutan. Seseorang diuji berdasarkan ketaatannya dalam agama. Demikianlah, bala dan ujian itu senantiasa ditimpakan kepada seorang hamba sampai ia dibiarkan berjalan di muka bumi ini tanpa dosa apa pun.''
Siapakah kiranya manusia di muka bumi ini yang tak suka menghadap Allah SWT tanpa dosa. Dirinya putih bersih laksana bayi yang baru terlahir ketika berpulang ke haribaan-Nya. Sakitnya tak disambut dengan rintihan, ratapan, keluhan, dan cacian kepada Allah SWT, melainkan disikapi dengan tepat dan proporsional karena paham fadhilah-nya.
Ilmu dan Amal
Oleh : Yadi Saeful Hidayat
Dalam Alquran, Allah SWT menyinggung kebaikan sebagai sebuah kesadaran yang lahir dari jiwa yang terdalam. Bukan formalitas atau ilmu yang tak membuahkan amal.''Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat.'' (QS Albaqarah [2]: 177).
Ajaran Islam tak akan sempurna tanpa pengamalan. Karena itu, Rasulullah SAW tidak pernah menyuruh para sahabatnya dengan suatu perkara tanpa beliau terlebih dahulu melakukannya. Inilah yang diisyaratkan Alquran bahwa teladan yang baik (uswah hasanah) bisa dilihat pada pribadi Rasulullah SAW, karena senantiasa mengamalkan ilmu yang dimiliki sebelum mengajarkannya kepada orang lain. Ilmu dibangun di atas landasan amal dan amal dikerjakan dengan basis ilmu yang mapan.
Umar ibn Khathab RA bila hendak memutuskan suatu perkara, terlebih dahulu ia mendatangi keluarga dan kerabatnya, lalu berkata, ''Terlintas dalam pikiranku untuk memutuskan suatu perkara penting menyangkut agama ini. Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, jika kalian berani menentangku, akan kujadikan kalian sebagai peringatan bagi kaum Muslim.''
Agama adalah kata-kata yang diucapkan dan tindakan yang dilakukan. Jika kata-kata terpisah dari tindakan, dakwah akan rusak. Amal tanpa ilmu akan buta, dan ilmu tanpa amal akan pincang. Islam sebelum tersebar dengan manhaj 'ilmi-nya, terlebih dahulu tersebar dengan manhaj sul'ki. ''Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh, dan berkata, 'Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri'?'' (QS Fushshilat [41]: 33).
Syarat pertama dari kebaikan adalah menyeru manusia kepada Allah SWT (dakwah). Sedangkan syarat kedua adalah amal saleh. Kutipan ayat di atas 'Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri,' pada dasarnya bukan menonjolkan keutamaan diri, tapi keutamaan Islam.
Teknologi Jam Warisan Peradaban Islam
Diagram jam karya Ridhwan Sa'atis
‘’Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihatmenasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.’‘ (QS Al-‘Ashr: 1-3).
Islam adalah agama yang mengajarkan pentingnya menghormati dan menggunakan waktu secara optimal. Sebuah syair Arab bahkan mengibaratkan waktu seperti pedang. ‘’Al-Waqt ka al-saif. Fa in lam taqtha’hu qath’aka.’‘—Waktu laksana pedang. Jika kamu tidak memanfaatkannya, ia akan menebasmu.
Ajaran pentingnya memanfaatkan waktu telah melecut para sarjana Muslim untuk menciptakan alat pengukur waktu, yakni jam. Selain didesak tuntutan hidup, pembuatan jam di dunia Islam juga didorong kebutuhan keagamaan. Dengan menguasai teknologi pembuatan jam, umat Islam bisa mengetahui secara pasti waktu shalat.
Apalagi, Rasulullah SAW mengajarkan umatnya agar menunaikan shalat tepat pada waktunya. Sebelum jam diciptakan, peradaban manusia menggunakan matahari sebagai patokan waktu. Jika matahari tepat di atas kepala, menunjukkan waktu sudah tengah hari atau sore. Ketika matahari dekat dengan kaki langit, berarti waktu sudah mendekati pagi atau malam.
Jam air
Sejarah mencatat peradaban manusia telah mengenal jam air sejak 200 SM. Meski begitu, jam air paling mutakhir pertama kali ditemukan di zaman kejayaan Islam. ‘’Kita tak perlu menekankan asal-usul jam air di dunia Islam. Dari sisi jangkauan dan daya cipta, jam al-Jazari (1136-1206 M) jauh melampaui pencapaian peradaban pra-Islam,’‘ tutur Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill dalam bukunya Islamic Technology: An Illustrated History.
Di dunia Islam, al-Jazari memang bukan satu-satunya ilmuwan yang menciptakan jam. Pada puncak kejayaannya, utusan Kha lifah Harun al-Rasyid—penguasa Di nas ti Abbasiyah—pernah menghadiahkan sebuah jam air kepada Charles yang Agung (Charlemagne), raja bangsa Frank. Menurut al-Hassan dan Hill, jam seperti itu juga pernah dibangun seorang insinyur Muslim bernama Ibnu al-Haystam (wafat 1039 M).
Deskripsi paling awal mengenai jam air dalam bahasa Arab, papar al-Hassan dan Hill, terdapat dalam risalah mesin karya al-Muradi yang bekerja di Spanyol Muslim pa da abad ke-11 M. Selain itu, pada abad yang sama, al-Zarqali juga telah membangun dua jam air besar di tepi Sungai Tagus di Toledo. Meski begitu, penciptaan jam air yang paling monumental dilakukan al-Jazari.
Berkat kemampuan mekaniknya, al-Jazari tercatat mampu merakit beberapa jenis jam air. “Salah satunya, sebuah jam dengan tenaga air tingginya satu meter dan lebarnya satu setengah meter. Jam itu ber hasil direkonstruksi di Museum Ilmu Pengetahuan tahun 1976,” ungkap Donald Routledge Hill dalam karyanya A History of Engineering in Classical and Medieval Times.
Al-Jazari juga mampu membuat jam air berbentuk gajah. Bahkan, jam buatan al-Ja zari sudah mampu menghasilkan suara. Dalam manuskrip al-Jazari, jam itu merupakan jam terawal yang menggunakan flow regulator, sebuah sistem tutuplubang dan sebuah otomaton seperti sebuah jam burung.
“Jam ini merupakan jam pertama dengan reaksi otomatis dalam interval waktu. Jam ini menggunakan sebuah robot ma nu sia (humanoid) yang membentur gembreng dan sebuah robot burung mekanik secara otomatis bersiul. Jam air ini juga dikenal sebagai jam pertama yang bisa merekam waktu secara akurat untuk menyesuaikan lamanya hari yang tidak sama sepanjang tahun,” imbuh al-Hassan dan Hill.
Rancangan jam air buatan al-Jazari juga diakui sangat bagus. ‘’Jam al-Jazari penuh dengan ide-ide dan teknik-teknik yang penting bagi sejarah perancangan mesin,’‘ kata al-Hassan dan Hill.
Jam matahari
Menurut catatan sejarah, sundial atau jam matahari merupakan jam tertua dalam peradaban manusia. Jam ini telah dikenal sejak tahun 3500 SM. Pembuatan jam matahari di dunia Islam dilakukan Ibnu al-Shatir, seorang ahli Astronomi Muslim ( 1304-1375 M). “Ibnu al-Shatir merakit jam matahari yang bagus sekali untuk menara Masjid Umayyah di Damaskus,” ujar David A King dalam karyanya bertajuk The Astronomy of the Mamluks.
Berkat penemuannya itu, ia kemudian dikenal sebagai muwaqqit (pengatur waktu ibadah). Jam yang dibuat Ibnu al-Shatir itu masih tergolong jam matahari kuno yang didasarkan pada garis jam lurus. Ibnu al-Shatir membagi waktu dalam sehari dengan 12 jam, pada musim dingin waktu pendek, sedangkan pada musim panas waktu lebih panjang. Jam mataharinya itu merupakan polar-axis sundial paling tua yang masih tetap eksis hingga kini.
Jam astronomi
Ahli astronomi Islam di era kekhalifahan juga telah berhasil menciptakan jam de ngan berpatokan pada astronomi. “Misalnya, jam astrolabe. Sekitar abad ke-10, al-Sufi menjelaskan seribu kegunaan astrolab, termasuk pengatur waktu, terutama untuk waktu-waktu shalat dan Ramadhan,” jelas Dr Emily Winterburn dalam karyanya Using an Astrolabe.
David A King dalam bukunya bertajuk The Astronomy of the Mamluks menjelaskan bahwa Ibnu al-Shatir menemukan jam astrolab pertama di awal abad ke-14 M. Al-Jazari pun menciptakan jam astronomi. Jam astronomi terbesar yang dibuat al-Jazari disebut castle clock, yang dianggap menjadi analog komputer terprogram pertama.
Howard R Turner dalam karyanya bertajuk Science in Medieval Islam: An Illustrated Introduction menjelaskan bahwa jam itu merupakan sebuah alat yang leng kap dengan ketinggian 11 kaki dan me miliki fungsi ganda di samping sebagai alat pengatur waktu. Alat ini bisa digunakan untuk menunjukkan zodiak (ramalan bintang) serta orbit matahari dan bulan.
Sarjana Muslim lainnya yang menciptakan jam astronomi adalah Abu Raihan al-Biruni pada abad ke-11 M, yakni jam meka nik komputer kalender lunisolar. Jam itu berupa sebuah kereta dan rodanya. Selanjutnya, muncul jam mekanik astronomi yang hampir sejenis dengan karya Abu Raihan al-Biruni.
“Jam itu dibuat Abu Bakar dari Isfahan pada 1235 M,” tutur Silvio A Bedini dalam bukunya Mechanical Universe: The Astrarium of Giovanni de’ Dondi”, Transactions of the American Philosophical Society. desi susilawaty/hri
Selasa, 24 Maret 2009
Menepis Kesombongan
Oleh Ibnu Syafaat
''Keagungan adalah sarung-Ku, kesombongan adalah pakaian-Ku. Maka, siapa yang merebutnya dari-Ku niscaya Aku akan mengazabnya.'' (HR Muslim).Kesombongan mengundang azab Allah SWT. Itulah makna yang tersirat dalam hadis Qudsi di atas. Pembuktian bahwa kesombongan mengundang azab Allah SWT terkuak dalam kisah-kisah yang tercatat di lembaran Alquran.
Sebut saja kisah Raja Fir'aun. Raja sombong yang mengaku sebagai tuhan ini dibinasakan Allah SWT di bumi milik-Nya dengan cara digulung ombak setinggi gunung saat mengejar pengikut Nabi Musa AS.Kesombongan merupakan virus yang mematikan hati. Seseorang yang terjangkit virus ini, walau hanya setitik, dijamin masuk neraka. ''Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sifat sombong meski hanya sebesar biji sawi.'' (HR Abu Dawud).
Virus sombong juga dapat merusak tatanan kehidupan sosial. Sebab, salah satu karakter sombong adalah menganggap dirinya lebih baik dan mulia daripada orang lain.Selalu memandang rendah orang di sekelilingnya, meremehkan, dan menjauhi yang dipandang rendah. Bila ada yang menasihati, seketika dianggap angin lalu. Karakter yang biasanya menjelma menjadi perilaku inilah yang berpotensi melahirkan permusuhan.
Dalam konteks kekinian, dapat disaksikan betapa banyak masyarakat yang dijangkiti rasa sombong. Banyak yang berbangga-bangga dengan kelompok dan golongannya. Semestinya, kita malu dengan Rasulullah SAW, manusia agung yang patut kita ikuti. Meski Rasulullah SAW memiliki posisi tinggi di sisi Allah SWT dan manusia, beliau tidak lantas mengagungkan diri kepada kaumnya.
Kehidupan Rasulullah SAW diwarnai tawadhu atau rendah hati, kebalikan dari sombong. Tawadhu berasal dari kata adl-dla'ah yang berarti kerelaan terhadap kedudukan yang lebih rendah, rendah hati terhadap orang lain, dan mau menerima kebenaran apa pun bentuknya dan dari dari mana pun asalnya.
Lalu, bagaimana caranya kita dapat menghadirkan sifat tawadhu? Ada empat cara yang biasa dilakukan Rasulullah SAW. Pertama, mengenal diri. Bila melihat asal usul, kita berasal dari sperma.
Kedua, bergaul dengan orang miskin. Selain dapat menimbulkan rasa empati kepada fakir miskin, kita akan pandai bersyukur kepada Allah SWT atas anugerah-Nya.
Ketiga, sesekali berpakaian yang lusuh. Cara ini akan melatih kita merasakan memakai pakaian yang tak bisa kita banggakan. Keempat, mengerjakan pekerjaan sendiri. Bila kita dapat mengerjakan sendiri, cobalah tidak meminta bantuan orang lain.
Sabtu, 21 Maret 2009
Amanah Kepemimpinan
Oleh Yusuf Burhanudin
''Sesungguhnya Kami menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Tetapi, mereka menolak memikul amanah karena khawatir tidak mampu melaksanakan amanah tersebut. Lalu, dipikul oleh manusia. Sungguh, manusia itu zalim dan bodoh.'' (QS Al-Ahzab [33]: 72).
Dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran, Sayyid Quthb menyimpulkan amanah dalam ayat ini harus diawali amanah paling besar yang tidak mampu diemban langit, bumi, dan gunung menyangkut kepemimpinan. Sebab, bila kepemimpinan terlaksana dengan baik, akan terealisasi amanah-amanah lain, baik amanah kepada Allah SWT (ibadah) maupun sesama (muamalah).
Karenanya, pemimpin dalam Islam hukumnya wajib berdasarkan Alquran, as-sunnah, dan ijma sahabat. Sesaat setelah Nabi SAW wafat, jauh sebelum beliau dikuburkan, para sahabat sepakat menunjuk terlebih dahulu penggantinya. Bisa dibayangkan bagaimana perpecahan terjadi di antara umat beliau tanpa kehadiran seorang pemimpin.
Fakta tak terbantahkan bila manusia cenderung menguasai satu sama lain, sehingga yang kuat menindas yang lemah. Amanah kepemimpinan sebagai titipan kuasa Allah SWT, Rasul-Nya, dan umat tiada lain agar seorang pemimpin mampu menegakkan keadilan dan memusnahkan ketimpangan.
Islam menaruh perhatian besar pada persoalan kepemimpinan karena ukuran kebaikan sebuah masyarakat turut ditentukan kualitas kepemimpinan. ''Tidak halal tiga orang tinggal di tanah tandus selain harus mengangkat pemimpin mereka.'' (HR Ahmad).
Penunjukan seorang pemimpin merupakan salah satu tugas agama paling besar. Menurut Ibnu Taimiyah, agama dan dunia tidak akan pernah tegak dan baik tanpa keberadaan seorang pemimpin. Sirnanya amanah kepemimpinan menjadi indikasi hilangnya misi agama dan dunia secara sekaligus.
''Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati perjanjian.'' (HR Ahmad).
Amanah yang secara bahasa terbentuk sama dengan kata iman dan aman, menunjukkan misi kepemimpinan harus didasarkan keimanan agar berikutnya terwujud keamanan, kemakmuran, dan kesentosaan sebuah bangsa. Inilah tujuan tertinggi kepemimpinan selain demi menegakkan amar ma'ruf dan nahyi munkar.
''(Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di muka bumi mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat baik, dan mencegah kemunkaran, dan kepada Allahlah kembali segala urusan.'' (QS Alhajj [22]: 41)
Senin, 16 Maret 2009
PEMUDA DALAM PERJUANGAN
Oleh : BRYAN AGA MURIDA |
Pemuda.!!! Sejarah pun juga membuktikan bahwa pemuda berperan penting dalam kemerdekaan.Dimana saja,di negara mana saja kemerdekaan tak pernah luput dari peran pemuda.Karena pemudalah yang paling bersemangat dan ambisius memperjuangkan perubahan menuju lebih baik.Hasan Al Banna seorang tokoh pergerakan di Mesir pernah berkata,"Di setiap kebangkitan pemudalah pilarnya, di setiap pemikiran pemudalah pengibar panji-panjinya."Begitu juga dalam sejarah Islam,banyak pemuda yang mendampingi Rasulullah dalam berjuangan sperti Mushaib bin Umair ,Ali bin Abi tholib,Aisyah dll.Waktu itu banyak yang masih berusia 8,10 atau 12 tahun.Dan usia-usia itu tidak dapat diremehkan.Mereka punya peran penting dalam perjuangan.Maka dari itu jika ingin Indonesia menjadi lebih baik maka perbaikan itu yang utama ada di tangan pemuda,Perbaikan itu akan tegak dari tangan pemuda dan dari pemuda. Pemuda mempunyai banyak potensi.Akan tetapi jika tidak dilakukan pembinaan yang terjadi adalah sebaliknya.Potensinya tak tergali,semangatnya melemah atau yang lebih buruk lagi ia menggunakan potensinya untuk hal-hal yang tidak baik misalnya tawuran dsb. Sekali lagi ,pemuda adalah usia dan sosok yang hebat tapi tidak semua pemuda hebat . Pemuda yang hebat adalah pemuda yang B A B.:Apa itu B A B? Niat .Niat saja tidak berani bagamana bisa berbuat.Niat saja mulai sekarang ,tapi yang baik-baik.Sabda Nabi,"segala sesuatu itu tergantung niatnya.Pemuda harus punya niat. Niat menumbuhkan kesungguhan dalam beramal,keseriusan dalam berfikir serta keteguhan dalam menghadapi penghalang. Niat yang sempurna adalah niat karena Allah dengan landasan iman. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadist dari Umar bin Khatab bahwa barang siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya,barang siapa berhijrah untuk dunia yang ia cari atau wanita yang akan dinikahi maka hijrahnya untuk yang ia niatkan. Dengan niat karena Allah kita akan mendapat ridho-Nya Insya Allah. Jadilah mereka pemuda yang mandiri, dengan kemandirian itu ia terpacu untuk tidak menggantungkan diri pada siapa pun kecuali Allah ,ia menjadi yang tangguh,ia berusaha memacu dirinya menjadi lebih baik dari hari ke hari sampai akhirnya ia bisa merubah lingkungannya. Ia menjadi pemuda yang percaya diri. Berani beraksi adalah wujud konsisten kita pada apa yang kita yakini,kita impikan.Kita memimpikan Indonesia menjadi lebih baik maka berani beraksi untuk perbaikan tersebut sesuai dengan kreativitas kita adalah hal yang hebat. Dari yang kecil tidak masalah. Yang penting kita berani.Tatap dunia , hadapi, jangan bersembunyai, jangan hanya bicara tapi berbuat,beramal.Kita tunjukan bahwa kita pemuda , kita tidak diam tapi bergerak menuju perbaikan yang lebih baik.Bahwa kita tidak duduk, tapi kita berjuang.Talk less to do more. Sahabat-sahabat kita adalah pemuda,masa depan negeri ada ditangan kita,Perubahan ada di tangan kita mari kita mencari ilmu ,membina diri dengan sekolah yang tekun ,ikut mentoring untuk memperkokoh keyakinan,ikut kajian kemudian membina fisik agar sehat dan kuat.Agar kita bisa mengelola dan merubah masa depan. |
Rabu, 11 Maret 2009
HM Luthfi Fathullah, Maulid Harus Lebih Bermakna
WAWANCARA
Bait-bait dari kitab Rawi Barzanji pun dikumandangkan umat Islam di berbagai pelosok tanah air, setiap kali peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tiba. Namun sayang, seperti dituturkan Direktur Pusat Kajian Hadis Dr HM Luthfi Fathullah MA, semangat membaca karya sastra Islami itu tidak diiringi dengan semangat untuk memahami maknanya.
Akibatnya, sosok dan figur Rasulullah belum diketahui luas. Padahal, menurut dia, ‘’Harusnya, kalau secara terus menerus ( Rawi Barzanji) dibaca, akan ada penguraian lebih lanjut tentang isi dan potret Rasulullah SAW,’‘ tandas Luthfi kepada Damanhuri Zuhri dari Republika Ahad (1/3).
Berikut wawancara lengkap dengan doktor bidang hadis yang juga dosen hadis di sejumlah universitas program pascasarjana ini:
Sebagai umat Nabi Muhammad SAW, bagaimana agar kita bisa benarbenar meneladani akhlak mulia Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari? Yang utama, tentu kita harus mengenal Rasulullah SAW. Seumpama mau mencontoh Rasulullah tapi sosoknya sendiri kita tidak kenal, maka mau meneladani dari mana?
Kalau kita hanya mengandalkan pendengaran dari ceramah kiai atau ustadz di televisi atau majelis taklim, menurut saya kurang. Itu biasanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Karena itu, menurut hemat saya, jika ingin betul-betul mencontoh Rasulullah, kita harus mengenal Rasul. Caranya yang paling baik adalah dengan membaca sejarahnya, dengan membaca perintah-perintahnya atau ‘melihat’ sosoknya. Sosok beliau itu ada di kitab-kitab hadis, pun perintahnya. Karena itu, kita perlu memiliki bacaan yang paling tidak menggambarkan sosok dan akhlak beliau.
Bagaimana kecenderungan umat Islam Indonesia khususnya dalam mengenal sosok Rasulullah SAW?
Kecenderungannya ada salah langkah. Contoh yang paling mudah, mereka membaca Rawi Barzanji untuk mengenal Rasulullah. Prinsipnya nggak salah, cuma persoalannya tidak ada jembatan antara apa yang dibaca dengan pengetahuan masyarakat umum. Artinya, Rawi Barzanji dibacakan, tapi banyak orang nggak mengerti. Walhasil ketika Rawi Barzanji menyebutkan akhlak Rasulullah seperti ini dan itu, masyarakat belum nyambung. Hanya dinikmati seperti musik dan lantunannya, iramanya, bukan pesanpesan yang ada.
Apa upaya yang harus dilakukan agar umat ini faham?
Mulailah kita melek, mulai membaca kitab dan buku. Janganlah sampai kitab Sirah Ibn Hisyam yang terlalu tebal, cukuplah misalnya kitab Syamail Muhammadiyah yang kecil dan dikarang oleh Imam Ath-Thirmidzi serta Abu Dawud. Kitab ini di Indonesia sudah diterjemahkan, bahkan ada yang dalam bahasa Betawi kuno.
Artinya jangan sekadar melantunkan Rawi Barzanji, tapi berusaha memahaminya?
Ya. Dan sekarang ini, orang cenderung melakukan itu sebagai ritual rutin yang dibaca pada peringatan maulid Nabi maupun akikah. Dibaca tapi kurang difahami maknanya. Itu yang salah. Harusnya kalau secara terus menerus dibaca, ada penguraian lebih lanjut tentang isi, potret Rasulullah yang dibaca, jangan yang itu-itu saja.
Apa program yang dilakukan Pusat Kajian Hadis untuk lebih mendekatkan figur Rasulullah SAW kepada umat Islam?
Kita sudah selesai membuat DVD Ulumul Hadis, semacam DVD interaktif hadis. Tapi belum ada lembaga lain menggandeng kita untuk bikin potret Nabi Muhammad SAW dalam visual. Ini bukan gambar tapi hadis-hadis yang menggambarkan Nabi Muhammad begini, dan tentu bukan dalam bentuk fisik badan, melainkan lebih menceritakan keseharian beliau.
Dengan mengenal lebih dekat figur Rasulullah, hidup seseorang akan lebih tenang dan nyaman?
Harusnya seperti itu. Cuma ada yang salah, berapa kali kita meng adakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, tapi peringatan maulid sampai sejauh ini kesannnya ritual saja. Ada makan rame-rame dan sebagainya.
Jadi, bentuk kegiatannya harus lebih bermakna, sehingga umat Islam lebih mengenal figur Rasulullah yang sesungguhnya?
Ya. Harus lebih bermakna. Bagai mana umat ini kita giring untuk meneladani Rasulullah dalam kehidupannya sehari-hari. Misalnya ada buku yang menarik bagaimana cara tidur nya Rasulullah, juga bagaimana Rasul begitu memperhatikan aspek kebersihan, kesehatan, kerukunan dan lainnya.
Lembaga Kajian Hadis bisa berperan besar untuk menyebarkan figur Rasulullah?
Kita melangkah ke sana. Dan alhamdulillah, sekarang ini rencananya kita akan membuat program siaran televisi komunitas dan bakal mengudara dalam batas teks. Peluncurannya tanggal 9 Maret bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW, soft launching-nya berlokasi di Al-Mughni. Sebanyak 35-40 persen isinya hadis. Ada hadis untuk anak disampaikan dalam bentuk cerita dan drama. Ada hadis untuk remaja yang disampaikan oleh remaja. Ini menjadi solusi bagaimana mengenalkan Rasulullah melalui televisi. Trik-nya berbeda dengan stasiun televisi yang lain.
Selasa, 10 Maret 2009
Hikmah dibalik Memperingati Maulid Nabi Besar MUHAMMAD.S.A.W
Setiap kali Rabi`ul Awwal menjelang, kita akan memperingati hari kelahiran Rasulullah s.a.w. Bagi pendakwah, kedatangan bulan Maulid Nabi ini adalah satu ‘stop point’ untuk kita memperbaharui keyakinan kita terhadap kesaksian bahawa Muhammad Rasulullah s.aw dan meningkatkan komitmen untuk menunaikan tanggungjawab dari keyakinan itu.
Berikut adalah perkara-perkara yang perlu ditunaikan oleh setiap muslim khususnya para pendakwah yang berkaitan dengan keimanannya terhadap nabi Muhammad s.a.w;
1. Mencontohi beliau dalam semua perkara dengan berusaha untuk melakukan sunnah-sunnah beliau.
2. Menyebarkan sunnah Rasulullah s.a.w di kalangan manusia dan masyarakat. Ini dilakukan secara sempurna dengan penglibatan yang aktif dalam usaha dakwah. Usaha mengajak manusia untuk mengamalkan Islam berdasarkan ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasulullah s.a.w.
3. Mempertahankan sunnah Rasulullah s.a.w dari penyelewengan dan serangan mereka yang dengki terhadapnya. Ini juga tidak dapat dicapai kecuali dengan penglibatan dalam usaha dakwah. Bahkan lebih penting lagi ialah usaha dakwah yang kolektif.
4. Berkaitan dengan segala di atas, hendaklah ada dalam kehidupan kita masa untuk kita membaca dan mengkaji buku-buku hadits kerana tidak mungkin kita dapat melakukan sunnah Rasulullah s.a.w menyebar dan mempertahankannya jika tidak mengetahuinya. Tidak mungkin pula, kita dapat mengetahui sunnah Rasulullah s.a.w jika tidak mengkaji dan membacanya. Begitu juga dengan mengkaji sirah Rasulullah s.a.w bagi mendapat panduan dan untuk dijadikan bahan iktibar dalam usaha dakwah. Usaha ini seharusnya tidak terhenti dalam kehidupan kita kerana luasnya ilmu berkaitan hadits dan sirah Rasulullah s.a.w dan banyaknya buku yang ada sebagai bahan kajian. Usaha ini juga penting kerana ia akan membantu memperingatkan diri kita yang pelupa, memperbaharui kasih kita kepada Rasulullah s.a.w dan mempertingkatkan komitmen dalam usaha dakwah.
5. Hendaklah kita sentiasa berselawat ke atas Rasulullah s.a.w sebagai tanda kasih kita kepada beliau dan sebagai sebahagian dari zikir harian kita yang akan menyucikan dan menguatkan rohani kita. Bagi pendakwah, berselawat ke atas Rasulullah s.a.w setiap hari adalah sesuatu yang mesti. Bagi pendakwah, selawat adalah sesuatu yang seharusnya membasahi bibir dan mulut kita. Adalah malang jika dalam sehari selawat kita kepada Rasulullah s.a.w tidak melebihi dari jari yang kita miliki. Sedangkan ia adalah satu amal yang mudah. Ia boleh dilakukan hampir di mana sahaja dan pada bila-bila masa. Samada ketika memandu, dalam MRT, berehat sebentar dari tugas di pejabat dan sebagainya.
Hasil dari apa yang dinyatakan di atas, ialah rasa kerinduan yang amat sangat terhadap Rasulullah s.a.w dalam diri kita. Rindu untuk bertemu beliau, rindu untuk bersalam dan mengucup tangan beliau dan rindu untuk mendakap beliau.
Ibarat seorang yang merindui kekasihnya atau isterinya yang lama telah ditinggalkannya kerana bermusafir.
Bersedihlah kita hari ini, apabila hari-hari sebelum ini kita tidak pernah merasai kerinduan kepada Rasulullah s.a.w sedangkan kita sering merindui isteri, anak-anak atau kekasih.
Kerinduan inilah yang akan membentuk dorongan yang kuat untuk terus menjayakan perjuangan ini kerana kita memahami bahawa kerinduan ini tidak akan terubat kecuali dengan bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Untuk bertemu dengan Rasulullah s.a.w, kita haruslah layak untuk memasuki syurga dan tidak mungkin, kita dapat memasuki syurga jika amal kita sedikit dan komitmen kita kepada perjuangan ini lemah.
Umat dahulu, kerana kerinduannya yang sangat kepada Rasulullah s.a.w telah mendorong mereka untuk terjun dalam medan jihad pertempuran kerana ingin cepat menjadi syuhada agar cepat pula bertemu dengan Rasulullah s.a.w.
“Ya Allah! Sampaikan selawat dan salam kepada RasulMu, kekasih Kau dan kekasih kami. Sampaikanlah rasa kerinduan kami kepada beliau. Ubatilah kerinduan ini dengan satu pertemuan yang segera antara kami dan beliau dalam keadaan berdakapan.”
Setelah Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya - tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, “Ceritakan padaku akhlak Muhammad!”. Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.
Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi.
Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata, “Ceritakan padaku keindahan dunia ini!.” Badui ini menjawab, “Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini….” Ali menjawab, “Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]: 4)”
Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam yang sering disapa “Khumairah” oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur’an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam itu bagaikan Al-Qur’an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Qur’an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS Al-Mu’minun [23]: 1-11.
Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.
Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, Aisyah hanya menjawab, “Ah semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. “Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ‘Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.’” Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.
Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, “Mengapa engkau tidur di sini?” Nabi Muhammmad menjawab, “Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu.” Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam mengingatkan, “berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya.” Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.
Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam memanggilnya. Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi malah mencium sorban Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam tersebut.
Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.
Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam selalu memujinya. Abu Bakar- lah yang menemani Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam sakit. Tentang Umar, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pernah berkata, “Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta’wil) mimpimu itu? Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam menjawab “ilmu pengetahuan.”
Tentang Utsman, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam sangat menghargai Utsman karena itu Utsman menikahi dua putri Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, hingga Utsman dijuluki Dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. “Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.” “Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik.”
Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ah…ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.
Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam. Buktinya, dalam Al-Qur’an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam, Allah menyapanya dengan “Wahai Nabi”. Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.
Para sahabat pun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam. Mereka ingin Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam memutuskan siapa, Abu Bakar berkata: “Angkat Al-Qa’qa bin Ma’bad sebagai pemimpin.” Kata Umar, “Tidak, angkatlah Al-Aqra’ bin Habis.” Abu Bakar berkata ke Umar, “Kamu hanya ingin membantah aku saja,” Umar menjawab, “Aku tidak bermaksud membantahmu.” Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu turunlah ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal- amal kamu dan kamu tidak menyadarinya” (QS. Al-Hujurat 1-2)
Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, “Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia.” Umar juga berbicara kepada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam takut akan terhapus amal mereka karena melanggar etiket berhadapan dengan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam.
Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi’ah. Ia berkata pada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, “Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami”
Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam bertanya, “Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?” “Sudah.” kata Utbah. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.
Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan sebenarnya adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya Allah!
Ketika Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah yang meminta janji Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam bahwa Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam akan mengembalikan siapapun yang pergi ke Madinah setelah perginya Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Selang beberapa waktu kemudian. Seorang sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Sahabat ini meninggalkan isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam? “Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu.” Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam janji adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk berhijrah, bagi Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam janji adalah janji; bahkan meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam telah menyerap di sanubari kita atau tidak.
Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berkata pada para sahabat, “Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!” Sahabat yang lain terdiam, namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “Dahulu ketika engkau memeriksa barisan di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini.” Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap “membereskan” orang itu. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun melarangnya. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah beliau. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam keheranan ketika Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam berikan pada mereka.
Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berkata, “Lakukanlah!”
Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan memeluk Nabi seraya menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah”. Seketika itu juga terdengar ucapan, “Allahu Akbar” berkali-kali. Sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam sebelum Allah memanggil Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam ke hadirat-Nya.
Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pun sangat hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat manusia? Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. Na’udzu billah…..
Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam ketika saat haji Wada’, di padang Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, “Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?” Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam melanjutkan, “Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah kusampaikan pada kalian wahyu dari Allah…..?” Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “Benar ya Rasul!”
Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, “Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah!”. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian ini saya pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam. “Ya Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin meniru semua perilakunya yang indah; semua budi pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad, betapa kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya Nabi kami. Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlah”
Sabtu, 07 Maret 2009
Stabil Semangat Karena Kaya Harapan
MOHAMMAD DAMAMI
Anggota Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah
Salah satu ciri yang menjadikan manusia lebih unggul jika dibandingkan dengan jenis makhluk yang lain adalah karena manusia dikaruniai mampu merumuskan, menghayati dan memanfaatkan apa yang disebut “harapan”. Karena itu, benar kalau ada kata-kata mutiara yang mengatakan, “harapan adalah masa depan”, “harapan adalah perubahan”, “hidup diwarnai oleh harapan yang melatarbelakanginya”, dan sebagainya. Sebaliknya, jika seseeorang telah menghilangkan harapan dalam hatinya, maka berarti dia seolah-olah telah melakukan bunuh diri.
Dalam kitab Lisaanu-‘ul ‘Arab (Juz I, halaman 422) karangan Ibnu Mandhur dituliskan bahwa “ar-raghbah” berarti “al-hirshu ‘ala-‘l jam’ (serakah dalam usaha mengumpul-ngumpulkan). Di sini yang dimaksud adalah keinginan untuk berjaga-jaga, agar hal-hal yang buruk tidak menimpa. Karena itu, kata “ar-raghbah” ini sering dikaitkan dengan kata “ar-rahbah” yang berarti “al-khauf wa-‘l fasa” (takut dan membutuhkan keterlindungan) (baca: Lisaanu-‘l “Arab, Juz I halaman 436). Dalam bahasa Indonesia, kata “ar-raghbah” ini dapat diringkaskan terjemahannya dengan kata “harapan”.
Bagaimana ajaran yang dimaktub dalam Al-Qur’an tentang masalah di selingkar “harapan” ini?
Dalam Al-Qur’an (Q.s. Alam Nasyrah [94]: 8), Allah SwT berfirman: wa ilaa rabbika fa-‘rghab (dan hanya kepada Tuhanmu hendaknya engkau berharap). Kalau firman ini dirinci akan dapat dijelaskan sebagai berikut. “Wa ilaa rabbika” (dan hanya kepada Rabbimu/Tuhanmu) mengandung arti Rabbun (Tuhan Yang Maha Mengatur) adalah yang menjadi suara segala harapan. Bahwa, segala hal yang berlaku di dunia ini sesuai dengan segala ilmu, iradah/kehendak, dan rencana Allah SwT. Karena itu Allah sangat mengetahui rahasia apa pun yang berlaku dalam seluruh makhluk-Nya. Karena itu pula sangat logis kalau segala harapan ditumpukan dan ditujukan hanya kepada Allah SwT.
Apa yang disebut “harapan” itu berbeda dengan sebutan “keinginan” dan “cita-cita”. Yang disebut “keinginan” adalah hal-hal yang terlintas dalam ruang batin yang datang dan perginya begitu cepat. Suatu saat muncul berbagai macam keinginan, tetapi pada saat berikutnya keinginan tersebut dapat lenyap seketika. Jumlah keinginan ini tidak terhingga banyaknya. Karena datang dan perginya keinginan tersebut begitu gampangnya, maka sangat sering sang keinginan tersebut tidak pernah terwujud. Keinginan tinggal keinginan. Jarak antara “keinginan” dan “kenyataan” masih jauh.
Sementara itu, yang disebut “cita-cita” adalah keinginan yang telah dirumuskan secara jelas. Jumlahnya menjadi jauh lebih sedikit. Cita-cita ini akan dapat menjadi kenyataan kalau dikaitkan dengan pelaksanaan setahap demi setahap sesuai dengan rencana kerja yang telah disusun. Jarak antara “cita-cita” dan “kenyataan” memang relatif lebih dekat kalau dibandingkan dengan jarak antara “keinginan” dan “kenyataan” seperti di atas.
Mengapa masalah “harapan” masih diperlukan kalau arti dari “keinginan” dan “cita-cita” seperti di atas? Perlu dipahami bahwa apa yang disebut “keinginan” itu sifatnya sangat emosional (hanya memperturuti arus hati saja). Di situ tidak atau kurang dipertimbangkan faktor logis atau tidak, mungkin tercapai atau tidak. Akibatnya hati orang menjadi tidak begitu jelas mana yang dituju. Sementara itu, dalam cita-cita memang sudah mulai dikaitkan dengan rencana kerja untuk meraihnya. Namun, proses pencapaian cita-cita tersebut semata-mata bersifat teknis. Suatu ketika kalau sampai terjadi kegagalan, maka muncullah kecenderungan untuk kecewa, bahkan kecewa berat, dan frustasi. Orang menjadi limbung; seolah-olah hidup ini adanya hanya kegagalan dan kegagalan. Dalam kondisi seperti inilah “harapan” menjadi cahaya yang mampu melindungi. Mengapa demikian?
Al-Qur’an tidak pernah mengajari umat Islam dalam menghadapi Allah SwT sekedar memakai kata-kata “ingin” atau “cita-cita”, tetapi justru dianjurkan memakai kata “harap”. Dalam kata “harap” ini terkandung faktor, pertama, kemantapan hati. Kemantapan hati ini muncul karena adanya keyakinan bahwa keberhasilan amat mungkin dicapai mengingat Allah SwT adalah Rabbun (Tuhan Maha Mengatur) dan Al-Ghaniyyu (Tuhan Yang Maha Kaya). Jadi kalau harapan itu ditujukan kepada Allah SwT yang bersifat demikian itu, hati menjadi mantap, tidak ragu-ragu, tidak merasa khawatir, dan tidak gelisah. Kedua, konsentrasi menjadi tinggi. Bahwa, apa yang menjadi harapan di hadapan Allah SwT itu akan berlangsung satu persatu. Karena itu, hati tidak mudah dikacaukan oleh hal-hal lainnya. Hal seperti ini akan berdampak menenangkan hati dan jiwa. Dalam bahasa psikologi, orang akan terhindar dari rasa khawatir (anxiety) dan frustasi. Karena itu, anjuran yang sangat ditekankan Al-Qur’an kepada umat Islam bukan sekedar “ajukanlah keinginan kepada Allah” atau “ajukanlah cita-cita kepada Allah”, melainkan: banyak-banyaklah berharap hanya kepada Allah.
Manusia modern dewasa ini ada kecenderungan mengandalkan kemampuan berpikir rasionalnya dalam memecahkan berbagai macam tantangan hidupnya. Dalam bahasa filsafat, manusia macam ini lebih bersifat antroposentris (manusia sebagai pusat segalanya). Namun anehnya, “ketakaburan manusia modern” semacam ini tidak diimbangi dengan daya tahan untuk menderita apabila terjadi kegagalan. Tidak jarang lalu buru-buru mengeluh, mencari media penenang yang justru destruktif (narkoba, misalnya), atau lari ke hal-hal yang bersifat magis, animis, dan sebagainya. Al-Qur’an menawarkan pemecahan, bahwa semua hal tidak dapat dipecahkan secara rasional belaka, melainkan perlu ditransendensikan, ditarik ke “atas”, Allah SwT dilibatkan. Caranya adalah, dengan mempertebal dan mempertinggi harapan kepada Allah SwT. Dengan cara itu, semangat hidup akan stabil, bahkan meningkat. Semangat yang dicahayai suasana Ilahiah inilah yang sangat perlu dalam kehidupan dewasa ini.
Wallaahu a’lam bishshawab.l